08 : Dasar Pokok Pisang!
Mimik wajah Ratu kian panik tak menentu. Gadis itu sempat spontan menutup mulut saking terperanjat bahwa ia penyebab sang bos kian kesakitan.
"Ma-maaf, Bos. Maaf. Saya nggak sengaja. Duh maaf ..." Erangan Ratu yang cemas penuh penekanan.
"Sa-saya periksa lagi."
"Menjauh!" Bentakan Restu menyentak ners wanita yang terlonjak dan mundur.
"Agh, harusnya kubinasakan saja kau waktu itu, ya!" cecar Restu kasar.
Ratu meremas jemari dengan takut. Sementara pria yang kesakitan terus memegang perutnya bersama erangan. Lelaki itu memejam dan mengatur napas untuk beberapa saat.
Melewati tiga menit kemudian netra biru kehijauan itu terbuka diikuti gerakan bangkit seraya mengenakan kemeja lain yang ada di samping sofa.
Ia meraih gawai di atas meja segera menghubungi Eric.
"Berapa lama lagi kau tiba, ha? Nunggu aku mati di sini? Cepat!"
Panggilan langsung terputus begitu saja bersama napas Restu yang terengah.
"Bos. Maafkan saya."
"Kata maaf tak membuat lukaku sembuh!" cecar sang bos geram. "Kupikir, dengan keberadaanmu di sini, gen seranggamu itu akan tertindas mati. Namun ternyata kau makin menjadi."
"A-apa maksud, Bos?" Mata Ratu terperangah.
Sekilas, senyum miring tertarik di ujung bibir Restu. "Bagaimana detik pertama kau ke sini? Diterkam anjing nggak?" ledek Restu sarkas.
Lagi, mata Ratu tercekat. Mengingat pertama kali ia datang ke sini sendiri usai selamat dari mereka.
"A-apa maksud, Bos?"
Kepala Restu bergoyang kecil diikuti kekehan angkuh. "Jangan pikir aku melepaskanmu hari itu karena kebaikan hatiku. Begitu aku melihat card yang menyembul di saku jaketmu, aku tahu posisimu di mana."
Mata Ratu membeliak kaget. "Ja-jadi, kartu itu ...."
"Ya. Kenapa?" ucap Restu yang sadar arah ucapan Ratu ke mana. "Kau mau protes? Aku, aku penguasa card yang kau dapat untuk bisa masuk ke rumah ini. Aku pikir kau sudah ditendang keluar karena tak punya pengenal. Atau diterkam Doggy dan kawan-kawannya. Tapi nasibmu bagus juga, ya. Ester datang tepat waktu."
Air muka Ratu langsung keruh mendengar kalimat sang bos mafia.
"Aku sengaja tidak memberi perintah apa pun pada security dan Ester untuk menolakmu atau apa pun karena tak punya card untuk masuk ke sini usai melepaskanmu waktu itu. Biar kulihat, sejauh apa keberanianmu, nasibmu, bisa bertahan dan masuk ke sini. Rupanya kau cukup beruntung, ya!"
"Sudah kukatakan. Jangan main-main denganku! Dengan adanya kau di sini, aku bisa terus memantau tindak tandukmu itu. Bahkan menindasmu! Atau ... menghabisi nyawamu! Bagaimana? Betah di sini?"
Ratu mengerjap tak suka, jujur saja sesungguhnya ia tak betah. Namun keadaan memaksanya untuk bertahan.
"Kalau tidak tahan. Silakan pergi! Angkat kaki! Makin hari aku pun makin gerah dengan tingkah gen seranggamu itu!"
Ratu bagai tertusuk belati tak kasat mata tepat ke hati. Tusukan itu bagai mencuatkan luka berdarah yang tak terlihat. Ratu ingin marah. Pria ini ternyata benar-benar tak punya sedikit pun rasa belas kasihan, apalagi empati. Entah mengapa kali ini kata-kata Restu menghantam dan membobol gerbang perasaan Ratu.
Satu lagi. Apa pria ini sengaja mencemoohnya? Menjatuhkannya? Semua orang di rumah ini tahu, setiap pekerja sudah punya perjanjian kontrak sebelum masuk. Jika melanggar sebelum masa kontrak habis, maka pihak kedua harus mengganti rugi.
Dasar! Pria tak punya hati! Ternyata sikapnya hari itu melepasnya bukan karena kasihan. Namun punya tujuan. Ratu salah menilainya masih punya empati, padahal ternyata pria ini tak lebih dari patung hidup yang tanpa nurani. Persis pokok pisang yang hanya punya jantung. Makanya hidup!
Seperti ini rupanya asli dari Tuan Muda rumah ini.
'Dasar, pokok pisang!' gerutu Ratu geram yang hampir saja lolos dari lidahnya jika tidak diinsterupsi oleh ketukan di pintu.
Dengan tergopoh tapi gegas, Restu bangkit dan menarik Ratu dengan kasar melewati pintu berbentuk rak buku yang tadi dipikir Ratu adalah ruang rahasia.
"Tetap di sini. Jangan ke mana-mana apalagi bersuara. Jika kau mendesis sekali saja, kuhabisi kau dengan sekali bidikan!" ancam pria itu dengan rahang mengeras.
Ratu tak menjawab tapi sorot matanya cukup memberi isyarat kalau gadis itu akan patuh walau terpaksa. Namun hatinya menggerutu. "Mendesis! Enak aja! Memangnya aku ular? Kamu tuh yang ular! Berbahaya!"
Di luar, dalam sepersekian detik Restu segera menghimpun pisau yang masih berbalut cairan merah di meja, membungkusnya dengan kain dan menyimpannya di laci.
Pemuda dengan sorot mata tajam itu menekan tombol panggil pada Eric. "Kau yang di luar?"
'Ya, Bos.'
"Dengan siapa?"
'Teknisi, Bos.'
"Cepat!"
'Baik.'
Tak lama pintu kamar terbuka dan Restu bernapas lega. "Segera perbaiki. Aku nggak mau ini terulang lagi!" perintahnya pada teknisi.
Dalam kondisi pintu masih terbuka, tiba-tiba hentak langkah seseorang masuk ke kamar Restu begitu saja tanpa aba-aba. Eric yang menyadari kedatangan itu, maju untuk mencegah tapi tangan wanita itu menepis keras lengan Eric dengan beringas.
Dengan isyarat mata Restu memerintah Eric untuk membawa teknisi keluar dari sini dan langsung dimengerti pria yang tak lebih tinggi dari bosnya itu.
"Kenapa kau ikut campur dengan urusan bisnis suamiku?" Dinda. Wanita itu langsung menyerbu Restu dengan amarah yang berkobar di mata.
Dahi Restu berkerut, menegakkan bahu dengan gagah agar Dinda tak melihat tubuhnya yang sedang lemah. "Apa maksud kamu?"
"Aku mengundang rekan bisnis ke rumah ini, tapi mereka semua nggak ada yang berani datang. Kau tekan mereka?"
"Bukan urusanku!" jawab Restu dingin. Tak ingin berdebat dengan adiknya sendiri. Wajahnya mengeras karena menahan nyeri tapi pria itu tetap dengan lihai memainkan ekspresi dengan baik.
"Bohong! Pasti kau punya andil di sini. Aku tau siapa kau di balik direktur utama Eldrago Kingdom. Kau 'kan pemimpin orang-orang jahat itu, ha? Tega kau pada adikmu sendiri!" Mata Dinda menyorot bengis. Kaca-kaca cair yang menggenang di kelopak matanya hampir terjun jika tidak segera ia tepis.
"Kau salah sangka, Dinda. Aku nggak pernah berbuat curang padamu!"
"Bohong! Kalau nggak, kenapa orang-orang kepercayaan suamiku selalu aja berbalik menusuk kami, ha?"
"Itu urusan mereka. Kenapa malah melemparkan kesalahan pada kakakmu yang gak mau ikut campur? Harusnya, suruh suamimu instropeksi diri. Apa yang dilakukannya di belakangmu, ha?"
"Apa maksudmu?!"
"Tak perlu mulutku yang bicara, Dinda. Kau cari tahu sendiri dan buka mata!" bentak Restu keras dengan geram.
Ratu yang bersembunyi tak mengira akan mendengar pertengkaran abang beradik itu. Ia kembali mengingat adegan kissing dua insan yang tak sengaja dilihatnya sebelum terperangkap di sini. Apa Tuan Muda juga tahu apa yang dilakukan Fery di belakang Dinda?
Mata Ratu berkedip penuh praduga.
Ia memutuskan untuk menutup telinga. Semua itu, tak ada hubungannya dengannya. Ia tak mau punya masalah lagi di sini. Jadi, lebih baik pura-pura tidak tahu saja.
Karena itu, langkah Ratu kian masuk ke dalam ruang rahasia yang ternyata berisi walk in closet mewah.
Senyum Ratu merekah saat melihat ke beberapa cermin besar pengisi seluruh sisi yang memantulkan dirinya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
"Dari dulu aku ingin punya cermin besar begini." Ratu terkikik. "Supaya bisa melihat diriku sendiri setiap hari tanpa ada yang terpotong seperti cermin di rumah yang cuma bisa melihat separuh muka." Gadis itu kembali tertawa. Wajahnya pun kini berbinar.
Matanya kembali mengedar. Walk in closet ini ternyata juga didominasi warna hitam dengan cermin-cermin berkilau dari efek cahaya LED strip di bagian atas juga setiap list lemari. Cukup eksotik dan menarik. Jas-jas yang tergantung di almari rata-rata berwarna gelap.
"Ah, apa si pokok pisang ini memang sukanya yang gelap-gelap saja? Sama dengan profesi rahasia yang dilakoninya?" gumam Ratu menyisir pandang.
Dari Iva ia tahu kalau Restu punya perusahaan besar yang beroperasi dalam banyak bidang. Bisnis tambang batu bara, emas, otomotif, juga restoran ternama.
Perusahaan Restu juga dikenal dengan Trader pemegang saham terbaik dengan keuntungan milyaran dollar perbulan. Kalau yang ini, ia tahu dari Fatma. Dengan hasil itulah ia membiayai seluruh oprasional di rumah ini yang mungkin masih tak seberapa dari total kekayaannya.
Namun Ratu tak yakin, Fatma mengetahui sepak terjang dunia hitam yang dipimpin Restu. Ya, menurut Ratu begitu. Jika tidak, mana mungkin semua orang yang ada di ruang bawah tanah hari itu memanggilnya Bos dengan penuh hormat? Lalu Oma Fatma selalu memuji cucunya itu dalam prestasi bisnisnya.
"Ah, semoga dia tidak menggunakan hasil rampok untuk menggaji kami," gumam Ratu mengerutkan hidung sedikit cemberut. "Walau aku nggak tahu, apa kelompok mereka merampok? Memeras? Atau apa? Jika tidak, kenapa kakek tua hari itu sampai mendapatkan luka tembak? Apa itu mangsa mereka?" Kian banyak saja tanya mengalun di benak gadis dengan seragam perawat itu.
Tangan Ratu yang ikut menyisir cermin tak sengaja mendorong permukaan licin itu dan tiba-tiba sebuah pintu menganga menelan tubuh Ratu yang hampir tersungkur.
Mata gadis itu membeliak hebat saat tiba-tiba lampu otomatis menyala hingga matanya kembali menangkap sebuah ruang rahasia lain yang ada di kamar Restu. Ruang ini menyimpan segala jenis senjata, dari senapan, pistol, pedang sampai segala jenis pisau belati berbagai ukuran. Kerongkongan Ratu bergerak menelan ludah kosong. Pria ini sungguh bukan manusia biasa. Gumam Ratu di hati.
'Apa dia selalu menggunakan benda-benda ini untuk membunuh orang?'
'Karena ini ia tak ingin ada orang lain yang masuk ke ruang pribadinya?'
'Apa itu artinya, keluarganya tak tahu siapa Restu di luar dari direktur utama perusahaannya?'
Tanya tiap tanya kian bertambah-tambah di benak Ratu terkait Tuan Muda di rumah ini. Segera ia keluar dari sini sebelum empunya menangkap basah dirinya yang tak seharusnya masuk sejauh ini.
Lalu saat langkahnya tiba di pintu rahasia, sesosok tubuh tinggi pemilik mata biru kehijauan sudah berdiri di ambang pintu rak buku menatapnya dengan amarah.
.
.
.
Bersambung.
Ratu ketangkap basah apa gimana? 😱
Besok diapain dia? 🙈
Ketemu juga di sini yuk
Instagram📷 :Zain_Isika
KBM App : Zain_Isika
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top