05 : Celaka!


“Keberuntungan sedang memihak padamu. Harusnya sekarang kau sudah tidak di sini. Aku tau kejadian di toilet kemarin. Kau ini tidak punya tata krama atau bagaimana?” Bagai tak kenal bosan, mulut Fatma begitu rajin memberondongi perawatnya dengan repetan.

Saat ini, Ratu sedang membantunya latihan berjalan kembali di taman usai sarapan. Sudah dua hari usai kejadian itu, kali ini Ratu sedikit bernapas lega karena kemarin Ester memanggilnya dan mengatakan Tuan Muda memberinya kesempatan untuk masa percobaan. Jika ia kembali berulah, maka tak ada kompromi, ia akan ditendang keluar. Keputusan yang dikembangkan Ester atas kebijakannya sendiri berdasarkan keputusan Restu.

Sejak detik itu, Ratu mengusahakan sebaik mungkin dalam membawa diri untuk mematuhi aturan. Dari interaksi pada semua anggota keluarga Eduard di rumah ini hingga masalah tak boleh bergosip dengan para pelayan.

“Maaf, Grandma. Iya saya salah. Saya nggak tahu,” ungkap Ratu tertunduk.

“Di rumah ini, jarang ada toleransi buat pekerja yang lalai juga tidak tahu aturan. Ah, cucuku mungkin sedang berbaik hati. Karena kau orang baru, dan  ....” Fatma menggantung kalimat tak melanjutkan.

Dalam hati, ia tahu benar, tak ada care worker  yang bertahan merawatnya. Selain karena Fatma yang tak cocok, juga masalah sang perawat  tak pernah berhasil mengambil hatinya.

Ratu, mungkin gadis itu juga sama. Kita lihat, seberapa lama ia sanggup bertahan di sini? Gumam Fatma sinis.

Bukan Fatma tak ingin sembuh, tapi ia lebih mencari perhatian  putranya yang sekarang entah sedang terbang ke mana. Ia kesal pada Eduard dan akhirnya melampiaskan kemarahan pada perawat yang tentu saja tidak akan pernah melakukan perlawanan.

Namun perawatnya kali ini, sedikit  berbeda. Gadis itu cukup berani menimpali serapahan Fatma tapi anehnya tidak terkesan kurang ajar. Bahkan lebih akrab dan hangat. Hal yang sejujurnya ingin Fatma dapat dari orang terdekatnya. Hanya Restu yang peduli padanya. Iva  sesekali juga datang bersenda gurau. Namun sikap gadis yang kadang tulalit itu membuat Fatma sering geram saat perbincangan mereka tidak 'nyambung'.

Dinda, Kakak Iva, cenderung congkak dan angkuh. Termasuk pada Oma-nya sendiri.

“Kalau Grandma lelah, bilang, ya,” ucap Ratu hangat.

“Nggak kamu bilang juga aku tau. Memangnya kamu mau maksa aku biar bisa cepat jalan?” Ratu mengaduh saat satu tepukan mendarat di kepalanya.

Grandma. Ini sakit loh. Untung aku sayang. Kalau nggak--” Wajah Ratu menggerutu manja.

Kata sayang dari bibir Ratu mengundang tatapan sinis Fatma.

“Hilih, sok manis!”

“Emang aku manis. Nggak habis-habis malah. Makanya aku tetap akan berbuat baik sama Grandma sekalipun Grandma ngeplak kepalaku kayak tadi.” Air muka Ratu kini berseri.

Mata Fatma menajam heran. Gadis ini, benarkah memang punya hati yang resistent terhadap umpatannya?

Fatma menguji ucapan Ratu. Hari-hari berikutnya lansia itu semakin berulah. Dari sengaja pipis di lantai, menumpahkan susu dan memberantaki tempat tidur.

Bukan hanya sekali. Jika ia belum puas, maka ia akan mengulangnya lagi. Hingga Ratu kerepotan mengganti pakaiannya setiap kali itu terjadi.

Fatma pikir, gadis itu akan memberengut, tapi hal lain yang malah terjadi.

Grandma, nggak pa-pa? Ratu kelamaan, ya nolongin Grandma ke kamar mandi? Maafin Ratu, ya. Kita mandi dan ganti baju, habis itu Grandma duduk di kursi malas dulu. Okay.”

Fatma menyumpahinya dengan umpatan seperti biasa. Namun gadis itu hanya tergelak jenaka, meminta maaf, seolah repetan Fatma hanya serupa guyonan orang tuanya.

Bahkan gadis itu menimpali dengan guyonan balik.

“Aku nggak suka kamarku bau!" seru Fatma keras.

“Iya. Nanti Ratu bantu bersihkan. Bau juga Grandma yang buat.” Gadis itu bersikap santai saja.

“Enak aja!”

“Ya udah. Ratu. Ratu yang buat,” ucap gadis itu mengalah. “Permisi, ya, Grandma, Ratu bantu pakaikan celana dalam," pintanya sopan setelah membantu Fatma membersihkan diri di kamar mandi.

“Nggak sopan kamu!”

“Jadi Grandma mau plong bolong kayak buka pintu biar ada angin semriwing ... gitu?” Netra Ratu menyorot lucu. “Ya udah kalau nggak mau pakai popok aja, mau?”

“Kamu ini? Memangnya aku bayi!” Sergahan Fatma kian menjadi-jadi.

Namun kikikan mengganggu yang malah terdengar dari mulut perawat Fatma itu.

“Ya udah. Ya udah. Jadi Grandma maunya gimana?” tanya Ratu dengan nada geli. Seakan tak pernah sakit hati.

“Biar aku sendiri!” Mulut Fatma mengerucut bengis.

Ratu mengikuti kemauan sang nenek lansia dan berbalik sambil menunggu, barangkali lansia itu butuh bantuan. Setelah memastikan, ia beranjak keluar dan kembali lagi.

Wajah gadis itu sering terlihat lelah saat mengepel bekas air seni Fatma, tumpahan susu yang sengaja dibuat si lansia, juga sisa makanan yang ia hambur begitu saja di ranjang. Anehnya,  tak sedikit pun gadis itu mengumpat apa yang sedang menimpa nasibnya di sini.

Grandma butuh sesuatu?”

Pertanyaan itu, yang hampir setiap waktu, selalu diutarakan Ratu.
Kalimat yang juga selalu dijawab Fatma dengan gerutuan kasar diikuti cemberutan.

Hingga kali ini, ketika Ratu kembali mengulang pertanyaan, Fatma hanya menggeleng pelan tanpa lengkingan.

Grandma, sakit?” Sontak wajah Ratu terlihat panik. “Mana yang sakit? Sebelah mana? Kakinya nggak berasa? Pegel? Di mana? Atau perutnya berasa begah eump  ... gak enak?” kejar Ratu dengan sorot khawatir.

Namun Fatma tetap menjawab dengan gelengan kepala. “Kamu keluar gih.”

“Tunggu. Grandma benaran nggak pa-pa?” Ratu segera meraih stetoskop dan alat tensi darah miliknya yang selalu sedia di nakas Fatma.

“Gak perlu.” Lansia itu menghindar.

“Kita periksa dulu, Grandma.” Tanpa peduli, Ratu memaksa dan mengeraskan diri untuk tetap memeriksa pasiennya itu.

“Kamu ini ngeyelan sih!”

“Bukan Ratu yang ngeyelan sekarang, tapi Grandma. Aw!” Gadis itu mendapatkan toyoran di kepalanya, bukan pukulan seperti biasanya. “Toyor aja lagi. Nggak pa-pa. Tapi habis itu kita cek tensi Grandma, ya. Kalau memang ada hubungannya dengan makanan, besok Ratu  bilang ke Chef untuk ganti menu Grandma sementara.”

“Cerewet!” seru Fatma mengandung arti. Bagai ada makna tersirat di balik seruannya tadi.

“Iya. Iya. Ratu cerewet. Suka-suka Grandma bilang saya ini apa. Yang penting Grandma senang. Kalau Grandma senang,  kesehatan Grandma bisa stabil. Bahkan juga merangsang kesembuhan lebih cepat.”

“Kamu suka, ya dengar umpatanku?" Fatma menggerutu.

“Ya, Nggak. Tapi itu lebih baik lah kayaknya. Supaya Grandma nggak terus sakit. Kalau Grandma sakit, siapa nanti yang marahin saya lagi? Hayo, siapa coba?”

Ungkapan dan cebikan  polos dari mulut Ratu membuat Fatma bergeming. Secepatnya ia menyuruh careworker itu pergi setelah mengecek tensi darah.

Seperginya Ratu, perlahan senyum yang dari tadi hendak keluar kini tergambar. Fatma mengerling samar mengingat semua respons yang keluar dari Ratu untuknya.

°=°=°=

Surya masih menyengat kulit mendekati waktu ashar. Ratu menatap bingung saat melihat para pelayan sibuk merapikan ruang tamu yang seluas empat kali lapangan badminton itu. Ia baru saja selesai mengantar Fatma ke kamarnya dan bertemu Iva di tangga.

“Bakal ada acara, ya?” tanya Ratu ramah.

“Sepertinya. Pertemuan rekan bisnis Restu kali. Aku juga bingung.” Iva mendongak ke arah ruang tamu.

“Ngapain kalian di situ?” Dinda datang bersama wajah angkuhnya.

“Mau ada acara apa, Dind?” Wajah Iva berkerut ingin tahu.

“Teman bisnis aku dan Fery mau dateng entar malam. Kalian jangan bikin rusuh, ya. Jauh-jauh aja sana.” Tangan Dinda mengibas dengan congkak.

“Emang Restu izinin?” kata Iva dengan mimik wajah polos.

“Rumah ini bukan cuma punya dia, ya. Nggak harus minta izin dia dulu mau apa-apa. Rumah ini juga punya Papa. Kita anaknya. Terus kenapa? Nggak usah rewellah!” Tanpa peduli Dinda melangkah angkuh menjauh dari Iva yang 'mencucu', juga Ratu yang menyimpan denyut di hati untuk Iva si gadis yang kadang suka tulalit itu.

Sudah hampir dua minggu ia berada di sini, hanya Iva yang bersikap ramah padanya. Sikap yang begitu kontras dari semua penghuni rumah ini. Iva, ibarat ikan yang berenang di laut. Seasin apa pun airnya, gadis itu bagai tak terkontaminasi dengan efek pekat kandungan garam di sana. Hal tersembunyi yang ditemukan Ratu, bagai dianugerahi rezeki tak terduga. Karena Iva juga, ia merasa punya teman di sini.

Sejujurnya Iva juga bersikap begitu pada yang lain. Namun, sikap ceria dan terbuka itu pula yang membuat gadis yang suka menggelung rambutnya itu terkesan dikucilkan oleh Dinda dan Fery.

“Reval!” Iva sedikit berteriak saat melihat sosok tegap melintas di pintu utama. Gadis itu langsung mendekati Reval tanpa menggubris Ratu. “Kamu dah pulang? Kok cepet? Mana yang kamu janjikan kemarin buat aku?” todong Iva garang.

Reval tersenyum dan mengeluarkan sesuatu dari balik jas hitamnya. Saat bersamaan netra pria tinggi semampai itu  beradu dengan Ratu. Pemuda itu hanya memasang wajah ketat sambil menanggapi ucapan Iva. Tanpa menunggu, Ratu langsung beranjak untuk ke kamar Fatma. Takut lansia itu butuh sesuatu.

Langkahnya terpenggal saat menyadari tangis bocah terdengar dari lantai dua. Awalnya Ratu abai, tapi saat tangis itu kian merintih, dan kewaspadaan Ratu menyala, ia pun memutuskan untuk naik.

Mata Ratu menangkap Sasya, sedang tertelungkup.

“Sasya. Ka-kamu. Sssh, ssh. Kamu kenapa? Jatuh? Aunty Ratu bantu, ya. Sitter kamu mana?”

“Nggak tau, tadi Asya kejaw bowa. Bowanya iwang.”  Kian pecah lagi tangis balita yang belum bisa mengucak huruf "l" depan tepat.

“Ssh, ya udah. Nanti dicari lagi, ya.”

“Cawi  ... cawi  ...!” Bocah itu kian histeris.

Okay. Okay. Aunty cari. Tapi kamu berhenti nangisnya, ya. Sekarang tunggu di kamar aja.”

Sasya mengangguk dan berbalik sambil mengucek matanya yang sembab. Ratu bangkit mulai menyisir area lantai dua yang juga lebar. Saat langkahnya sampai di balkon bagian timur, tanpa sengaja netranya menangkap sosok tinggi berjas hitam sedang saling mengimpit dan berhadapan dengan seorang wanita yang dari seragamnya bisa Ratu duga kalau itu  .... baby sitter Sasya?

Mata Ratu terlonjak diikuti denyut jantung yang hendak melompat apalagi saat dua insan itu sontak terpisah karena mendengar benturan yang sebenarnya berasal dari kaki Ratu terantuk meja tanpa sengaja.

“Sasya?”

Gugup, Ratu berlari  segera dan masuk ke pintu di sudut ujung yang terbuka begitu saja.

Mulut Ratu tertutup rapat ditambah lagi dengan bungkaman tangannya sendiri. Napasnya yang tersengal kini mulai bisa ia tenangkan saat langkah yang mencari jejaknya berhenti dan pergi.

Mata Ratu memejam lega diikuti bahu yang merosot lunglai.

“Syukurlah,” lirihnya yang tadi nyaris kebabaran. “Haish, mereka yang tertangkap basah, kenapa aku yang harus ketakutan begini?” ceracau Ratu merasa kacau sendiri.

Tanpa ia sangka, kekacauan itu kian menukik tajam saat suara bariton mendobrak telinga Ratu dengan seram.

"Ngapain kamu ada di sini?!”

Mata Ratu terbuka dan langsung terbeliak. Kali ini pacu jantungnya malah lebih kencang lagi dibanding efek dari apa yang ia lihat tadi.

Suara itu, bagai meriam berdegam yang hendak meledakkan pertahanan Ratu. Gadis itu kini beku dan mendadak bisu di bawah sorot mata tajam bagai hendak menerkam dan mencabiknya hidup-hidup.
.
.
.

Kalian bisa tebak nggak, itu Ratu berhadapan dengan siapa sampai langsung beku begitu? Wkwkwk 🤣


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top