1
Arty berlari kencang ditengah terik matahari yang membuat keringatnya bercucuran dan baju seragam SMP yang berwarna putih jadi basah dan lengket.
Jarak sekolah dan rumah sakit lebih dari setengah jam jika jalan kaki. kalau naik angkot bisa jadi lebih cepat tapi uang yang dibayarkan juga lumayan, padahal Arty harus berhemat.
Dia tak mau membebani nenek yang sedang sakit.
semenjak nenek sakit tak ada lagi yang mencari nafkah meski adik sepupu yang buta dan bekerja sebagai tukang pijat sering memberi uang tapi uang tersebut tidak cukup.
Uang yang sedikit tersimpan juga sudah mulai habis untuk biaya dan kebutuhan nenek selama di rumah sakit.
Arty sudah bertanya-tanya ke orang-orang apakah mau menerimanya kerja, cuci piring atau apapun yang bisa dikerjakan anak SMP seperti dirinya, asalkan Arty bisa makan dan dapat uang sedikit.
Dia hanya ingin nenek sembuh agar Arty bisa membahagiakannya kelak.
nenek lah yang menjaganya setelah kedua orangtuanya meninggal saat umur Arty masih dua tahun.
Nenek yang selalu tersenyum meski kehilangan anaknya dan tidak pernah mengeluh sedikitpun meski kulitnya harus hitam legam terbakar matahari saat menjadi buruh tani.
Nenek sudah terlalu banyak menderita, apalagi sebelas tahun yang lalu, dua tahun setelah orang tua Arty meninggal, kakak perempuan Arty tiba-tiba saja lari meninggalkan rumah dan ikut orangtua angkatnya yang katanya orang berada di kota.
Kata orang, kakak Chie yang cantik malu pada kemiskinan mereka.
Arty tidak terlalu ingat bagaimana wajah kakak, jarak umur mereka dua belas tahun lebih.
Saat meninggalkan rumah kakak berumur enam belas tahun dan nenek tidak pernah menganggapnya ada lagi semenjak saat itu.
Nenek akan sangat marah jika ada yang menyebut tentang kakak didekatnya.
Andaikan saja disaat seperti ini kakak ada bersama Arty, mungkin rasa takut dan cemas yang menghimpit dada Arty bisa sedikit berkurang.
Yang Arty butuhkan saat ini adalah tempat mengadu dan berbagi.
Papan nama rumah sakit mulai terlihat, besar dan masih baru.
Awalnya nenek di rawat di puskesmas dekat rumah tapi karena sakitnya tambah parah maka pihak sana merujuknya ke rumah sakit ini.
Nenek yang lemah hanya bisa pasrah saat Arty dan nenek Zae setuju.
Saat itu Arty tidak memikirkan hal lainnya, yang ada dipikirannya bagaiamana caranya agar nenek sembuh dan bisa berkumpul lagi dengannya.
Sekarang Arty bertanya-tanya tepatkah keputusannya.
Sebagai anak kecil, Arty terkadang merasa lelah bolak-balik rumah sakit dan sekolah.
Arty benci setiap kali harus datang ke sini, bau dan suasananya membuat Arty tak nyaman.
Namun dibalik itu semua, Arty juga menantikan hal tersebut.
Selain karena ingin bertemu nenek, Arty juga ingin selalu bertemu dengan seorang Dokter muda yang sangat tampan.
Seumur hidupnya belum pernah Arty bertemu dengan pria setampan sang Dokter.
Orangnya tinggi dan tubuhnya tegap.
Matanya tajam tapi senyumnya sangat manis.
Dokter itu ramah pada Arty dan baik sekali pada nenek yang cerewet dan banyak protes.
Kelihatan sekali kalau Dokter Arkaan bukan berasal dari sini.
Bawaan sebagai pangeran begitu menonjol dalam dirinya, tidak mungkin pangeran berasal dari kotal kecil dan terbelakang seperti ini.
Dirapikannya rambut dan dihapusnya keringat yang membasahi wajahnya. Arty menarik napas kuat lalu menghembuskannya.
Berharap tanpa sengaja dia bertemu Dokter Arkaan atau mungkin saja Dokter Arkaan sedang memeriksa nenek.
Sayangnya sampai masuk ke bangsal tempat nenek dipindahkan setelah keluar dari ICU, tetap saja Dokter Arkaan tak kelihatan, mungkin Arty datang terlalu cepat. Jadwal periksa sore masih belum dimulai.
Yang ada nenek malah menegur Arty yang berkeringat agar tidak perlu terus-terusan menemaninya.
"Tidak. Arty akan terus datang sampai nenek diizinkan pulang"
Bantah Arty keras kepala.
Kalau nenek sudah bicara banyak berarti nenek jauh lebih baik.
Arty makan makanan rumah sakit jatah makan siang nenek yang pasti sengaja nenek sisakan untuknya.
Cara ini walau kata orang tidak baik tapi terbukti bisa menghemat pengeluaran.
Beberapa saat kemudian saat nenek tertidur dia mulai mengerjakan tugas sekolah di lantai yang dingin.
Bangsal bagian penyakit dalam ini sunyi sekali karena hanya nenek satu-satunya pasien di sini karena itu Arty merasa bebas dan bisa menghapal ataupun mengerjakan tugas tanpa terganggu.
Begitu selesai semuanya, langit sudah mulai merah.
Saat Arty menyimpan semuanya kembali ke dalam tas, saat itu terdengar suara langkah dan orang bicara.
Dada Arty berdebar-debar, berharap itu Dokter Arkaan yang akan memeriksa nenek.
Arty berdiri menunggu menghadap pintu tapi hanya untuk kecewa karena yang masuk adalah Dokter Perempuan yang seumuran dengan Dokter Arkaan dan asistennya.
Ah.. Berarti Dokter Arkaan sudah pulang atau nanti datang jaga malam.
Arty melirik pada nenek yang masih tidur, selalunya nenek ketus dan kasar pada kedua orang ini.
Dokter dan perawat yang menjadi asistennya baru seminggu ini mulai bekerja mengantikan dokter magang sebelumnya yang sudah selesai bertugas di sini.
Arty tersenyum tapi kedua orang tersebut hanya mengangguk samar sebagai balasan, Dokter Arkaan dan Dokter yang sebelumnya orang-orang baik tapi yang ini tidak.
Saat Dokter itu mulai menghitung denyut nadi nenek, nenek terbangun.
Begitu sadar siapa yang dilihatnya wajah nenek langsung terlihat jengkel dan membuang wajah ke arah lain.
Sepertinya kedua orang ini juga tidak suka dengan nenek, begitu selesai mereka langsung pergi tidak seperti Dokter Arkaan yang suka mengajak nenek bicara dan tersenyum bahkan terkadang menepuk bahu arty atau Puncak kepala Arty.
Setelah itu mood nenek terlihat tidak lagi membaik.
Nenek diam dengan wajah masam hingga Arty tidak berani mengajak nenek bicara.
Menurut Arty keadaan nenek makin memburuk semenjak dokter dan asistennya itu bekerja padahal sebelumnya nenek bahkan hampir diizinkan pulang.
"Arty.. Tidurlah. Besok sekolah kan"
Adalah kata-kata nenek yang pertama terucap pada Arty semenjak dia terbangun tadi.
Bahkan nenek tidak menyentuh makan malamnya dan memilih tiduran.
Arty tersenyum.
"Ya. Tentu saja nek" jawabnya yang tidur di ranjang sebelah nenek karena kosong dan tak terpakai.
Di pergi ke kamar mandi setelah keluar mematikan lampu ruangan dan hanya menyisakan satu saja hingga bangsal ini jadi tidak terlalu terang menyilaukan dan matanya bisa terpejam.
lalu selanjutnya dia mendekati nenek untuk merapikan selimutnya.
Nenek menarik tangan Arty, mengenggamnya erat.
"Nenek sayang padamu Arty. Nenek selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Memohon pada tuhan agar kelak kau punya kelurga bahagia, orang yang mencintaimu lebih dari nyawanya sendiri. Rela melakukan apapun demimu"
Bisiknya yang membuat Arty malu karena nenek tidak pernah bicara seperti ini padanya.
"Nenek percaya tuhan akan mengabulkannya, karena anak baik sepertimu memang layak mendapatkan yang terbaik, doa nenek akan selalu bersamamu Arty.
Wajah cantik dan hatimu yang tulus akan membawamu pada jalan kebahagiaan"
Bisiknya.
"Ingatlah ini Arty, didunia ini yang paling penting adalah kejujuran dan tanggungjawab. Kasih sayang dan keiklasan maka apapun yang kau inginkan akan terlaksana"
Nasehatnya sedikit lebih panjang dari biasanya.
Nenek menepuk sayang punggung tangan Arty dan tersenyum.
"Kau akan selalu jadi cucu kebanggaanku. Kau akan selalu menjadi yang terbaik.
Kau adalah Arty ku, calon perempuan hebat di masa depan.
Kau akan lebih baik, jauh lebih baik dari mereka yang sombong dan angkuh" tutupnya sebelum akhirnya melepaskan tangan Arty dan memejamkan matanya.
Arty tersenyum, bicara sebanyak itu membuat nenek langsung tertidur.
Arty menatap wajah nenek yang terlihat semakin tua dan kurus.
Biasanya nenek susah tidur kalau malam tapi siang hari kerjanya tidur terus.
Arty akan tidur saat nenek sudah tidur. Kali ini adalah pengecualian dan Arty bisa tidur lebih awal.
Arty tidak tahu jam berapa sekarang yang dia tahu dia melompat bangun dari ranjang saat mendengar suara nenek memanggilnya.
Arty membelalak ketakutan saat melihat wajah nenek tegang dan mata yang melotot sedangkan tangannya meremas dadanya.
Lidah nenek terjulur yang memberi tahu Arty kalau nenek dapat serangan lagi.
Arty memanggil nenek tapi percuma saja, dia beteriak memanggil bantuan tapi tak ada yang datang.
rumah sakit dikota terpencil selalu kekurangan staff.
Arty semakin kalut memperhatikan wajah nenek yang mengerikan dalam cahaya suram seperti ini.
Dia berlari keluar, mencari bantuan suster jaga atau dokter, siapapun itu.
Sialnya Arty justru tersesat, dia lupa membaca arah jalan dan hanya asal berlari seakan tahu semua belokan. Airmata meleleh dipipinya, ia berjalan pelan tanpa suara di lorong gelap disaat tidak menemukan jalan kembali.
Nenek kesakitan, Arty tidak tahu harus melakukan apa lagi sekarang, satu-satunya yang Arty inginkan adalah berada bersama nenek.
Dia menyesal berlari keluar disaat panik seperti tadi.
Arty tidak mau kehilangan nenek. Dia hanya bisa berdoa, mudah-mudahan ada dokter atau perawat yang tanpa sengaja ditemuinya.
Ia tidak menyangka kalau malam rumah sakit akan sesunyi dan segelap ini.
Takut-takut Arty mengintip ke dalam setiap ruangan yang dilewatinya, berharap tuhan akan membantu dirinya yang mulai putus asa menemukan dokter atau staff medis.
Digigitnya bibirnya menahan isakan yang mulai keluar dari tenggorokan.
Ini sudah terlalu dia meninggalkan nenek, dia jadi takut nenek malah jadi mencemaskannya yang tak kunjung kembali.
Arty berbalik tapi sendirinya bingung dia tak tahu lorong mana dan belokan yang mana yang dilaluinya padahal saat siang hari rasanya rumah sakit ini tidak terlalu besar.
Dicobanya mengingat-ingat kemana dia harus langkahnya.
Dia sendirian di sini mau bertanya pada siapa?
Bahkan langkah kakinya terdengar kuat di telinganya sanking sunyinya.
Tapi jika arty terus di sini dan. Menunggu, apa gunanya?
Jadi Arty nekat melangkah meski dia tak tahu kalau dia justru makin jauh dari nenek.
Sesaat matanya menangkap sebuah papan nama yang ditempelkan ke pintu. Papan itu putih dengan tulisan putih hingga Arty masih bisa membacanya dalam pencahayaan yang sedikit ini
Papan itu bertuliskan
Dr. Arkaan Waffi Sp.JP
************************************
(01012019) PYK.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top