Pengikut Matahari | 1
Dengan the power off kepepet akhirnya bisa juga nyelesain cerpen ini. Hampir pesimis karena dataku yang hilang:((
#RAWSbestfriend from RAWSCommunity
Need krisan💕 vote, komen leh ugha:vv
Selamat menemukan kisah persahabatan menguras hati😙
Happy reading🌞🌞🌞🌞
***
"Anda yakin mau mengadopsinya?" tanya Aryn, wanita yang sudah berkepala empat namun tetap anggun dengan suara keibuannya. Meski kalimat barusan ditunjukkan untuk wanita yang berdiri di sampingnya, tapi matanya tak lepas dari gadis kecil yang duduk menyendiri di bawah pohon di pekarangan rumah panti.
"Sejak pertama kali melihat, saya sudah suka anak itu. Dia manis dan cantik," jawabnya mantap diikuti anggukan sang suami.
"Bukannya saya menolak niat baik kalian, tapi gadis kecil itu sepertinya tidak ingin diadopsi keluarga manapun. Sebelumnya sudah aja tuju orang tua yang mau mengangkatnya, dia terus menolak."
"Tidak mau di adopsi? Lalu untuk apa dia ada di panti ini? Mereka semua yg ada di sini adalah yatim piatu bukan? Lalu mengapa menolak mendapat kehidupan lebih layak bersama kami?" nada bicara wanita itu terdengar setidikit tidak ramah.
Bunda Aryn, panggilan anak-anak panti untuknya, mengalihkan pandangan dari gadis kecil ke arah sepasang suami istri yang berdiri di sampingnya. Sudut bibirnya tertarik lembut. "Di sini saya sebagai ibu mereka. Mana ada seorang ibu yang tega melihat anaknya tidak bahagia. Saya hanya akan memberikan mereka kepada orang tua angkat hanya atas keinginan mereka sendiri."
"Saya donatur tetap di panti ini. Bagimana bisa anda bersikap begini pada saya?" suara wanita itu meninggi.
Bunda Aryn mengelus puncak kepala Ellio, bocah laki-laki yang sejak tadi memeluk kakinya. Tangan mungilnya gemetar, terkejut dengan nada suara yang di keluarkan lawan bicara bundanya."Tujuan mereka diadopsi adalah agar mereka bisa mendapat kebahagian yang tidak bisa saya dan panti berikan. Tapi kalau mereka menolak diadopsi, tandanya mereka lebih bahagia di sini. Kebahagiaan anak-anak jauh lebih penting."
"Sombong sekali kamu. Lihat saja, sampai di mana kalian bisa bertahan tanpa bantuan kami."
Seolah-olah tidak terpengaruh, Bunda Aryn tersenyum sebagai jawaban.
"Bunda, gimana kalau Bu Amirah dan suaminya berhenti jadi donatur kita? Kita pasti bakal-"
Cup!
Satu kecupan mendarat di kening Nina. Remaja itu menatap mata bunda dengan pandangan gelisah.
"Jangan putus asa, Nin, Tuhan nggak pernah membiarkan hambanya kesusahan. Apalagi kalian, malaikat-malaikatnya bunda yang baik hati."
Usia Nina sudah memasuki masa remaja. Gadis itu paham bagaimana keadaan keuangan panti. Meski Bunda tidak pernah mengatakan apapun, Nina melihatnya, kekhawatiran yang jelas terpancar dari mata bunda. Panti ini bergantung pada dana dari para donatur dan uang pribadi bunda yang tidak seberapa. Tidak setiap bulan ada donatur yang menyumbang, hanya sesekali.
Anak-anak panti bisa mengenyam pendidikan berkat bantuan dari yayasan. Beberapa diantaranya yang berprestasi, bisa melanjutkan hingga SMA, Nina salah satunya. Meski begitu, beberapa anak panti yang seusia Nina berinisiatif membantu bunda dengan menjual kue atau mainan buatan tangan anak-anak panti. Apapun mereka lakukan demi meringankan beban Bunda.
"Bunda." anak laki-laki itu bersuara.
"Kenapa Elli?" tanya bunda sambil menyebut nama panggilan Ellio.
"Ellio, Bunda. Elli kedengaran seperti anak perempuan," protesnya dengan pipi merah. Teman-teman panti selalu diam-diam tertawa saat bunda memanggilnya dengan panggilan Elli.
"Elli kedengeran manis kok, nggak seperti anak perempuan," kata bunda sembari terkekeh melihat ekspresi Ellio yang cemberut.
"Kak Nina jangan ketawa." Ellio menegur Nina yang bersembunyi di belakang Bunda. Nina sendiri justru makin senanng menggoda Ellio. Menggemaskan.
Ellio menatap gadis kecil yang masih setia berada di bawah pohon itu. Dia hanya diam, tidak melakukan apapun. Tidak juga menanggapi ketika anak-anak panti lain mengajaknya bermain. "Bunda, apa Adisty tidak jadi di ajak pulang mama dan papa baru lagi? Kenapa?"
Bunda tersenyum mendengar pertanyaan polos Ellio. "Karena dia mungkin lebih suka di sini, bersama kita. Makanya Ellio harus menemaninya ya."
Ellio ingat betul bagaimana tiga bulan lalu Adisty bisa datang ke panti ini. Waktu itu hujan deras saat pintu panti di ketuk malam-malam. Saat Bunda dan Nina keluar untuk melihat siapa yang mengetuk, Adisty, gadis kecil itu berdiri di depan pintu dengan tubuh basah kuyup sambil memegang boneka beruang. Tapi anehnya Adisty tidak menangis. Bunda langsung membawanya masuk dan menggantikan pakaiannya.
Sejak awal kedatangannya, Adisty tidak pernah memberikan respon yang baik. Sesekali dia mengangguk atau menggeleng menanggapi bunda, atau lebih sering membiarkan kalimat bunda menguap di udara.
Bunda dan Kak Nina kembali melanjutkan kegiatan menjemur baju di hari minggu yang sempat terhenti karena kedatangan Bu Amirah dan suaminya.
Ellio memandang Adisty, gadis kecil itu tidak bergerak dari tempatnya. Ellio sudah kelas 4 SD. Bunda bilang dia harus menemani Adisty, meskipun sejak pertama kali Adisty berbagi kamar dengan anak-anak perempuan di panti ini, gadis kecil itu tidak pernah menanggapinya. Ellio selalu berusaha mengajaknya bicara, dan Adisty selalu diam bagai patung.
"Aku pikir kamu berbakat kalau bermain permainan jadi patung. Dari tadi kamu betah diam saja," kata Ellio yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan Adisty. Gadis kecil itu hanya menoleh sekilas.
"Boleh aku duduk?"
"Aku nggak perduli kamu mau duduk di manapun, tapi tolong jangan ganggu aku." ketus seperti Adisty yang biasanya. Ellio jadi terbiasa dengan sikapnya tiga bulan belakangan.
"Aku cuma mau duduk bukan ganggu kamu."
Ellio menatap Adisty. Dia penasaran apa yang membuat gadis kecil itu betah duduk berlama-lama di sini tanpa melakukan apapun. Bakat bermain jadi patungnya sungguh hebat.
"Lihat apa?" tanya Ellio sambil mengikuti arah pandangan gadis berambut sebahu di sebelahnya.
Langit, awan, matahari. Apa yang Adisty lihat di atas sana?
Ellio kembali mendongak, tapi tidak sampai lima detik dia menunduk. "Memangnya nggak capek mandangin matahari begitu? Kan silau."
Bibir mungil gadis kecil itu tetap dalam satu garis lurus.
"Adis." Ellio mengeluarkan jepit kupu-kupu dari saku celananya. Dia taruh jepit itu di tengah- tengah antara dirinya dan Adisty. "Adisty terlalu susah. Boleh kan, aku panggil Adis. Supaya kamu punya nama panggilan, sama kaya Bunda manggil aku Elli."
Adisty menoleh, menatap Ellio dengan pandangan datar. "Jangan mengganti-ganti namaku."
"Cuma panggilan kok. Kamu bisa tetap pakai nama Adisty."
"Aku nggak suka."
"Yah, padahal bunda bilang panggilan Adis itu manis, seperti panggilan Elli untuk Ellio."
Sejak malam itu menginjakan kaki di sini, bunda selalu berlaku sayang padanya. Orang-orang di sini memperlakukanya dengan baik. Anak laki-laki itu juga.
Adisty masih ingat saat dia memperkenalkan namanya tanpan di minta. Namanya Ellio. Anak laki-laki yang selalu menempelinya. Dia tidak menyerah meskipun mendapat tanggapan yang ketus. Dia juga kelihatan bodoh dan tidak bisa apa-apa. Gadis itu pernah melihat bagimana Ellio bahkan tidak bisa mengerjakan soal pengurahan dan penjumlahan paling mudah. Dia hanya hapal angka dari satu sampai sepuluh dan tidak lancar membaca. Bagaimana bisa anak kelas 4 SD sebodoh itu.
Dia aneh, pikir Adisty.
"Beruangnya jadi lebih cantik kalau pakai jepit." Adisty kembali dari lamunannya. Ellio tiba-tiba saja memasangkan jepit kupu-kupu tadi di telinga boneka beruangnya. "Kamu pasti sedih waktu Kak Nina mau buang bonekamu karena dia kotor. Semoga kalo beruangnya jadi cantik karena pakai jepit, dia tetap bisa tetap di sini."
Adisty terbengong menatap Ellio. Mungkin Ellio tidak seaneh penampilannya. Dia selalu tersenyum seperti bunda.
"Kenapa kamu nggak mau ikut mama dan papa baru?" Ellio sangat ingin menanyakan pertanyaan ini. Bukan hanya karena penasaran, tapi dirinya juga iri.
Sejak dulu tidak pernah ada mama dan papa yang mau mengajaknya pulang ke rumah mereka. Mereka bilang kepalanya bermasalah. Bunda sampai menangis dan mengatakan kalau dia tidak perlu ke mana-mana, cukup temani bunda dan jadi anak baik. "Bunga bilang, ikut mama dan papa baru itu menyenangkan. Bisa sekolah dan main ke taman hiburan. Kamu nggak ingin mencobanya? Atau udah pernah pergi ke taman hiburan?" Ellio jadi mengingat Bunga, temannya yang sudah punya mama dan papa baru. Bunga sesekali datang ke panti lalu menceritakan semua pengalamannya.
Adisty menggeleng. "Aku nggak boleh pergi jauh supaya Mamaku bisa bawa aku pulang."
Ellio kelihatan kaget. "Kamu punya mama? Punya papa juga?"
"Cuma mama."
"Kenapa ada di sini? Kak Nina bilang teman-teman yang tinggal di sini nggak punya mama dan papa."
Wajah Adisty tiba-tiba murung. Ellio jadi merasa bersalah. "Tapi kamu nggak perlu sedih. Kan ada bunda."
Ellio menggaruk kepalanya bingung. Ini pertama kalinya Adisty mau bicara padanya, tapi dia justru membuat gadis kecil itu sedih.
Cup!
Air matanya yang tadinya siap tumpah, tidak jadi membasahi pipi Adisty. Gadis kecil itu mematung dengan apa yang dilakukan Ellio barusan.
"Kenapa masih sedih? Bunda selalu langsung tersenyum kalo aku cium pipinya."
Adisty membuang muka.
"Maaf Adis. Aku nggak akan tanya soal mama dan papa baru lagi, jangan sedih ya. Nanti beruangmu ikut nangis loh." Ellio berusaha membujuk. "Kata bunda kalo terlalu sering menangis matanya bisa jadi bola ping-pong. Kamu nggak mau matanmu jadi seperti ping-pong kan? Ayo, hapus air matanya."
Entah sihir dari mana, Adisty melakukannya. Gadis kecil itu menghapus air matanya asal dengan punggung tangan.
Melihat itu Ellio kembali merasa bersalah. "Ini sapu tangan dari bunda. Kamu bisa pakai buat lap dulu, tapi nanti kembalikan lagi ke aku, ya. Bunda bisa sedih kalau tahu sapu tangan pemberiannya hilang."
Ragu-ragu, Adisty menerima sapu tangan berwarna biru itu.
"Adis?"
"Ya?"
Ellio menoleh takjub. "Waw, kamu nggak marah dipanggil Adis?"
"Kamu bilang bunda suka nama itu. Aku... Juga nggak mau buat bunda sedih."
"Adis baik banget. Bunda pasti senang." katanya Ellio. "Hapus yang bersih supaya mata kamu nggak berubah jadi bola ping-pong."
Ellio tersenyum sambil memandangi Adisty yang tengah mengusap air matanya dengan sangat tekun dan serius.
"Adis, kita jadi teman ya."
Adisty menghentikan gerakannya. "Kenapa aku harus jadi temanmu?"
"Kamu tahu nggak nama Ellio artinya matahari."
"Nggak mau tahu."
Ellio justru terkekeh pelan dengan jawaban ketus gadis kecil di sampingnya ini. Adisty masih serius menghapus air matanya sebersih mungkin. Dia tidak mau matanya berubah jadi bola ping-ponh.
"Nama Adisty juga artinya matahari."
"Kata siapa?"
"Katanya nggak mau tahu."
Ellio terkekeh mendapati ekspresi kesal gadis itu.
"Kata bunda. Bunda sering menceritakan dongeng-dongeng sebelum tidur. Semalam bunda cerita tentang kisah pangeran matahari bernama Ellio. Lalu aku tanya arti nama Adis apa. Bunda bilang adisty artinya juga matahari. Semalam Adis tidur duluan, jadi nggak tahu bunda cerita."
Penghuni panti memang selalu berkumpul di ruang tengah sebelum tidur. Bunda atau Kak Nina biasanya akan menceritakan kisah-kisah menarik untuk anak-anak.
Lain halnya dengan mereka yang selalu bersemangat saat akan diceritakan dongeng, Adisty lebih memilih tidur di kasurnya dari pada bergabung dengan yang lain. Dia lebih suka bersama dengan boneka beruangnya.
"Ellio dan Adisty artinnya matahari. Kita ini teman sepernamaan."
Wajah Ellio dan anak-anak yang entah mengapa turut menghampirinya itu nampak bahagia.
"Adis, ayo kita main jadi patung." teriak Ellio yang sedang berlarian bersama anak-anak panti yang lain.
Mama, bolehkan aku menunggu mama sambil bersama mereka?
***
😣😣😣 aku udah berusaha mengingat apa yg aku tulis.
I mean, alurnya.....😢😢😢 oh dataakkuuuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top