25 | Nakhoda Bahtera

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Nakhoda bahtera yang akan membawaku pada penghujung cinta bernama surga."

Aku langsung ambruk di sofa kala semua pekerjaan rumah usai dikerjakan. Rasanya badanku pada remuk redam, lelahnya nauduzbilah. Sedangkan Naresh pun tak jauh beda dariku, dia juga tengah terbaring di sofa yang saling berseberangan.

"Pesen go food ya, Teh, laper aku," katanya seraya melirik sekilas ke arahku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Tak ada sedikit pun selera untuk bercengkrama dengan perkakas dapur. Aku ingin sejenak mengistirahatkan tubuh dan menetralkan pikiran yang sudah ngebul.

"Mau beli apa, Teh?" tanyanya seraya bangkit dan menghampiriku.

"Apa aja terserah kamu," sahutku dengan mata yang sudah mulai akan terpejam.

Tak ada lagi suara darinya, mungkin lelaki itu tengah khusuk memilah dan memilih menu makan siang. Terserah saja, apa pun pasti akan kumakan, apalagi kondisi saat ini tengah lapar akut.

Aku tersentak saat kepalaku terasa ada yang mengangkat, kupaksakan netra ini untuk terbuka dan langsung terbelalak saat melihat Naresh sudah duduk serta menumpukan kepalaku di pangkuannya.

"Teteh istirahat dulu aja, biar aku yang nunggu makanannya," cetus Naresh dengan tangan mengusap bulir-bulir keringat di dahiku.

"Ih, modus, bilang aja mau deket-deket aku. Kangen yah?" selidikku yang disambut kekehan olehnya.

"Iya aku kangen, aku mah gak bisa bohongin perasaan aku sendiri. Aku gak bisa jauh-jauh dari Teteh," tuturnya yang berhasil membuat dadaku berdesir hebat, bahkan mungkin aku sudah blushing.

"Kata Umi sama Abi akhir-akhir ini Teteh sering uring-uringan yah. Efek menahan rindu yang gak tersalurkan pasti," ujarnya yang jujur saja membuatku malu.

Kenapa kedua orangtuaku harus melapor pada Naresh sih? Jadi, kan dia ada bahan ceng-cengin aku. Ish, mau ditaruh di mana wajahku ini.

"Iya," singkatku pelan.

"Apa, Teh? Gak denger aku," sahutnya yang kuhadiahi dengkusan serta cubitan di pinggang.

Dasar menyebalkan. Sudah tahu aku tak memiliki keberanian cukup untuk berterus terang, lah dia dengan seenak jidat malah minta pengulangan. Dikira ini acara televisi yang ada rerun-nya kali.

"Gak ada pengulangan. Makanya kalau orang lagi ngomong itu didengerin baik-baik," omelku sebal.

Naresh malah menggelegarkan tawa. "Teteh mah bukan ngomong, tapi ngebatin. Pelan banget itu."

Aku merotasi mata dan bersidekap dada. "Ya terserah aku dong, kan aku yang ngomong, suka-suka aku lah."

"Suka-suka Teteh? Jadi Teteh udah mulai suka sama aku nih?" selorohnya dengan alis terangkat satu.

"Serah!"

"Gitu aja marah ih, jadi makin sayang deh," ungkapnya yang membuat mataku terbelalak kaget. Gombalannya memang tidak pernah berubah, receh tapi selalu berhasil membuatku terbawa perasaan.

Aku tak menyahut dan lebih memilih untuk berkawan geming, rasa kantukku mendadak hilang, terlebih saat Naresh tak pernah bungkam dan selalu bercerita ini dan itu.

"Go food!" Suara teriakan dengan diiringi lengkingan bel berbunyi nyaring.

"Bangun dulu, Teh," pintanya dan aku langsung mengikuti titah lelaki itu untuk duduk.

Naresh langsung bergegas ke arah pintu, terlihat dia terlibat sedikit perbincangan dan tak lama dari itu, dia pun kembali dengan tangan membawa beberapa jinjingan.

"Mau makan di mana?" tanyanya setelah meletakkan barang bawaan di meja.

Aku sedikit menimbang dan akhirnya menjawab, "Di sini ajalah, mager aku kalau harus repot-repot ke ruang makan."

Naresh mengangguk dan setelahnya dia melesat ke dapur untuk mengambil peralatan makan. Lelaki itu semakin hari semakin manis saja, aku beruntung bisa memilikinya sebagai suami.

Dia tak pernah mengeluh dan menuntut banyak hal dariku, sedangkan aku bisanya hanya mengomel dan memprotes saja. Kurang bersyukur aku, padahal Allah sudah sangat berbaik hati menjodohkanku dengannya.

"Aku cuma beli seafood doang, Teh, bingung soalnya," ujar Naresh dan langsung duduk lesehan di lantai.

Aku pun mengikutinya serta duduk saling berhadapan. "Gak papa, aku suka kok," jawabku dengan diiringi sunggingan.

"Suka aku atau seafood-nya, Teh?"

"Kamu."

Sontak hal itu membuat Naresh terbatuk-batuk karena tengah meminum jus jeruk yang tadi dia pesan.

Aku hanya tersenyum samar dan melanjutkan kegiatan untuk membongkar makanan. Namun gerakanku langsung terhenti saat Naresh mencegahnya.

"Apa?"

"Coba ulang, tadi Teteh ngomong apa?"

Aku hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh, walau sebenarnya ingin segera meledakan tawa karena melihat ekspresi lucu yang Naresh tampilkan.

"Makan, Bang, kalau dingin gak enak nanti," cetusku jelas mengundang keterkejutan baginya.

"Pingsan aku ini," ocehnya terdengar sangat berlebihan, bahkan dia pun benar-benar terbaring di lantai.

Dasar. Ada-ada saja kelakuannya.

Namun detik berikutnya dia langsung terbangun serta duduk di sampingku. Tangan lelaki itu bergerak untuk merengkuh pinggangku dari samping.

Hal itu jelas membuatku kaget bukan kepalang, bahkan tubuhku dibuat menegang dengan dada saling bertalu-talu tak tahu malu. Dia menenggelamkan wajahnya di pundakku.

"Teteh gak lagi ngibulin aku, kan? Yang tadi Teteh bilang beneran, kan?" bisiknya terdengar lucu.

"Yang mana? Aku kan dari tadi ngomong, banyak lagi," balasku yang dihadiahi dengkusan olehnya.

"Jangan pura-pura bodoh deh, Teh, aku butuh kejelasan Teteh!"

Aku tertawa cukup kencang saat mendengarnya merajuk seperti itu. Kejelasan katanya? Dikira kita tengah menjalin hubungan pertemanan yang melibatkan perasaan kali.

"Ih kok malah ketawa sih." Naresh langsung menjauhkan diri dan mencebik sebal. Aku menggeleng beberapa kali, sifat kekanak-kanakkannya masih ada ternyata.

Kutarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan, menatap lekat netranya lantas berucap, "Aa ... aa ... ku ... laper mau makan."

Wajahnya langsung lesu tak bertenaga dan aku hanya bisa menahan tawa. "Aku mau menua bareng sama kamu, In syaa Allah until Jannah Bang Naresh."

Setelah mengatakan hal itu aku langsung menunduk dan membelakanginya yang masih diam kaku seperti robot. Dadaku sudah berdebar dengan begitu hebat, wajahku pun sudah panas seperti ingin meledak.

Apa yang baru saja kukatakan coba? Mau ditaruh di mana mukaku ini. Naresh pasti akan menjadikanku bahan bulan-bulanan. Ish, kenapa mulutku tak memiliki rem sih.

Bola mataku berkeliaran ke sana-kemari saat merasakan ada sepasang tangan yang memeluk tubuhku dari arah belakang. Bahkan aku dibuat membatu saat Naresh meletakkan dagunya di salah satu pundakku.

Aku mendongak dan pandangan kami saling bertemu beberapa saat, namun dengan cepat aku pun membuang pandangan jauh ke depan sana. Rasa canggung, gugup, dan bahagia itu menjadi satu perpaduan apik yang saat ini tengah dirasai.

Naresh menarikku agar menghadap ke arahnya. Senyum lelaki itu menjadi pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan, dengan lembut dia pun menggenggam tanganku.

"Aku bukan nakhoda yang ahli dalam melajukan kapal hingga bisa berakhir di semenanjung pelabuhan. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi nakhoda dalam mengarungi bahtera rumah tangga agar kapal kita tidak karam di tengah lautan, aku akan membawanya berlabuh tepat di dermaga penghujung cinta kita berdua."

Aku hanya diam dan menunduk serta melihat tautan tangan kami berdua. Jujur saja hatiku sudah berbunga-bunga dan kehabisan kosakata.

Rumah tangga itu diibaratkan seperti bahtera, atau yang lebih kita kenal dengan nama kapal. Sebuah bahtera diciptakan tentunya bukan untuk dijadikan sebagai pajangan dan tontonan, melainkan untuk mengarungi samudera luas demi mencapai pelabuhan. Walaupun konsekuensinya, bahtera yang berlayar di laut lepas pasti harus melawan ombak dan badai untuk dapat mencapai pulau impian.

Bahtera tidak mungkin bisa berlayar sendiri tanpa ada nakhoda yang mempersiapkan segala sesuatu kelengkapan sehingga bahtera diyakini sudah layak berlayar. Dan nahkoda tidak mungkin melayarkan bahteranya seorang diri, ia membutuhkan orang lain untuk membantunya yang bertugas sebagai jurumudi, yang harus bekerja sama dengan nakhoda kapal, agar perjalanan bisa berlangsung selamat tiba di tempat tujuan.

Nakhoda dan jurumudi adalah dua sisi yang saling membutuhkan serta melengkapi, di mana pemimpin tidak akan pernah bisa bergerak sendiri tanpa ada yang menjadi pengendali. Begitupun kami, Nareshlah yang menjadi nakhoda agar bahtera rumah tangga kami tidak tenggelam di tengah lautan, dan di sini aku bertugas sebagai jurumudi, atau pengendali diri yang akan mengikuti segala instruksi yang diberikan olehnya.

"Teteh itu penghujung cintaku, tempat persinggahan terakhir untuk mencapai Jannah yang abadi." Kalimat itu dibarengi dengan sunggingan lebar serta kecupan singkat di dahi.

Aku mengangguk malu dan berusaha untuk menetralkan gemuruh dalam dada yang sudah berulah di luar ambang wajar. "Bismillah, In syaa Allah until Jannah." Kucium punggung tangannya lembut penuh rasa khidmat, dan dia pun mengelus puncak kepalaku penuh sayang.

Namun tiba-tiba saja lambungku bergejolak hebat dan seperti ingin memuntahkan sesuatu, dengan kecepatan kilat aku berlari menuju wastafel dan mengeluarkan apa pun yang tadi pagi sempat kukonsumsi.

Naresh memijat tengkukku dan memberikan segelas air hangat yang entah sejak kapan dibawanya, aku meminum hanya sekitar dua tegukan saja. "Udah, cukup."

"Kenapa?"

"Tangan kamu bau, gak enak banget bikin aku mual," jawabku blak-blakkan.

Kontan dia pun langsung mendekatkan tangannya pada indra pembau. "Enggak ih, kan udah cuci tangan tadi pake sabun yang biasa," sangkalnya.

Aku hanya menggeleng lemah, tak mau ambil pusing akan hal itu. Lagi pula aku juga aneh dengan penciumanku yang terlalu sensitif ini.

Aku menoleh saat mendengar helaan napas beratnya yang begitu kentara. "Kenapa?"

"Gara-gara bau sabun gagal romantis dah. Rusak semuanya!"

Aku sedikit terkekeh dan refleks memberikannya sebuah kecupan singkat di pipi. "Hadiah buat yang gagal tadi."

Setelahnya aku langsung berjalan cepat dan meninggalkan lelaki itu seorang diri, tubuhnya kaku membeku tak bergerak sedikit pun. Jelas hal itu membuatku puas ke awang-awang. Baru saja seperti itu sudah linglung seperti orang kekurangan vitamin.

Kisah cinta kami memang sederhana, bahkan terkesan receh luar biasa. Namun karena hal itu pulalah kami bisa saling berbagi cerita dan mewarnai hidup dengan penuh canda serta tawa. Kini, aku sudah menemukan sosok pemimpin sekaligus pelindung yang bisa membawaku mengarungi mahligai bersama.

Dia adalah Naresh Mahaprana. Nakhoda bahtera yang akan membawaku pada penghujung cinta bernama surga.

-SELESAI-


Assalamualaikum semuanya🤗
Alhamdulillah akhirnya kita berada di penghujung juga yah, terima kasih untuk teman-teman yang sudah mendukung cerita ini sampai selesai. Semoga suka dengan endingnya dan bisa mengambil pelajaran dalam cerita ini. Tapi kayanya gak ada sih😂

Akhir di atas termasuk dalam Cliffhanger Ending atau yang lebih kita kenal dengan ending yang gantung. Yap bener banget, aku menyajikan open ending, dalam artian kalian bisa berekspektasi sesuai dengan asumsi kalian masing-masing. Seru kan? Iya dong, kan enak bisa jadi pengendalinya, hehe.

Mungkin ada kritik dan saran yang ingin teman-teman sampaikan? Silakan corat-coret di kolom komentar😊

Oh ya jangan lupa mampir ke lapaknya Pak Tua di aplikasi novel.me yah.

Terima kasih, wassalamu'alaikum😘

Ada bonus picture untuk kalian 👇


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top