23 | Malarindu

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Dasar lelaki pemberi harapan palsu, biang gombal dan tukang mengobrak-abrik perasaan orang."

Long distance relationship, atau yang lebih dikenal dengan hubungan jarak jauh. Semula aku percaya diri bahwa aku takkan merindu sedalam ini, bahkan aku bersikukuh tak ingin memulai jika bukan dia sendiri yang mendahului. Namun sepertinya pendirian itu mulai luntur dan goyah.

Mencoba untuk menghubunginya tapi hanya suara operatorlah yang menjawab. Panggilan itu tersambung, tapi tak kunjung mendapatkan sambutan. Mungkin dia memang sudah benar-benar melupakanku. Kukira dia yang akan kalah dan mengalah, tapi pada nyatanya dia seperti baik-baik saja.

"Gimana?" Aku terkesiap saat mendapati suara Umi yang baru saja masuk ke dalam kamar, beliau berjalan menghampiriku yang tengah duduk gelisah di tepi ranjang.

"Panggilannya sibuk terus, lagi teleponan sama cewek lain kali," kesalku yang langsung memilih untuk merebahkan diri di ranjang dan membelakangi Umi.

Aku merasakan elusan lembut dari tangannya. "Jangan suuzan ah, gak baik." Sontak aku pun membalik tubuh agar berhadapan langsung dengannya.

Kulingkarkan tangan di pinggang Umi dan melesakkan kepala di perut beliau. "Ish kenapa? Kok malah nangis sih?"

Aku tak menjawab dan lebih memilih untuk meneruskan kegiatan menangisku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sangat sensitif dan terserang malarindu tak berkesudahan. Padahal aku sudah tinggal dua minggu lebih di sini, sudah terbiasa dengan ketidakhadiran lelaki itu.

Sepertinya ada yang aneh dengan diriku, dan aku merasa itu disebabkan karena Naresh yang tak kunjung menerima panggilan. Sebal. Ternyata dia memang benar-benar tak ingin mengalah serta harus aku sendiri yang memintanya untuk menjemput.

Tiga hari lalu Abi sudah menghubungi lelaki itu dan dia pun berjanji akan membawaku pulang. Namun nyatanya malah tidak ada kabar, dasar lelaki pemberi harapan palsu, biang gombal dan tukang mengobrak-abrik perasaan orang.

"Nanti Umi coba hubungi Nak Naresh yah, udah jangan nangis. Kaya anak kecil aja," hiburnya seraya terkekeh pelan.

Aku mendongak dan menggeleng tegas. "Gak usah. Biarin aja aku tinggal selamanya di sini, Naresh udah gak peduli lagi sama aku," kataku di sela isakan.

Aku tak ingin lemah dan cengeng seperti ini, tapi entah mengapa air mata terus saja berjatuhan tanpa henti.

Umi menghapus lembut kedua sudut mataku dengan ibu jari. "Lagi sibuk sama pekerjaannya mungkin. Jangan berpikiran yang gak-gak dong," tuturnya.

Aku melihat Umi menahan senyum dan menggeleng beberapa kali. "Kan kamu yang minta Nak Naresh buat LDR-an, kenapa sekarang malah kamu yang jadi uring-uringan?"

"Ya kan aku kira dia cuma tahan beberapa hari doang, lah ini udah mau hampir tiga minggu malah ngilang gak ada kabar," kilahku kembali melesakkan kepala di perut beliau.

Umi mengelus ubun-ubunku penuh sayang. "Sabar aja dulu atuh, kan waktunya juga satu bulan. Belum lebih, malah masih kurang."

"Tahu ah Umi nyebelin, belaian Naresh aja terus. Anak Umi itu aku atau dia sih?" Dengan cepat aku menyingkir dan kembali membelakangi beliau.

Kesal. Tidak Umi, tidak Abi, mereka sama saja. Naresh selalu dijunjung tinggi dan dipuji-puji, sedang aku yang bergelar sebagai putrinya tak pernah lagi merasakan hal itu. Naresh berhasil mencuri sebagian perhatian dan kasih sayang kedua orangtuaku.

"Udah ah jangan ngambek kaya gitu, mending kamu tidur. Nanti pas bangun mood-nya pasti bagus lagi," ungkapnya dengan tangan terampil menyelimuti tubuhku hingga sebatas dada.

Aku tak mengindahkan hal itu, dan lebih memilih untuk memejamkan mata rapat-rapat. Berharap dengan cara ini aku bisa mengenyahkan segala rasa aneh yang bersemayam nyaman dalam diri.

Aku menggeliat dalam tidurku kala merasakan ada embusan angin yang menerpa sekitaran wajah, lebih tepatnya di kedua mataku. "Umi apaan sih? Masih ngantuk, bentar lagi," racauku masih dengan mata terpejam.

"Ih Umi, udah atuh jangan rusuhin aku terus," pintaku dengan tangan bergerak ke sana-kemari.

Mataku masih berat dan mungkin bila tidur selama 30 menit ke depan bisa membuat rasa kantuk menghilang. Tapi lagi-lagi aku dibuat jengkel sekaligus kesal karena kembali merasakan embusan angin itu.

"U ... um-"

Kalimatku menggantung di udara kala melihat bukan Umilah yang tengah berada di sisiku. Aku menggeleng beberapa kali untuk menghalau bayangan Naresh yang sudah memenuhi pelupuk mata.

Kacau. Ini sudah tidak beres. Bisa-bisanya aku menghalu sampai kadar tingkat akut seperti ini. Dengan tanpa pikir panjang aku menepuk-nepuk pipi, dan itu terasa sedikit sakit. Berarti ini bukan mimpi?

Naresh benar-benar ada di sini ....

"Bangun, katanya mau pulang?"

Aku hanya mampu diam dengan bibir terbuka lebar. Masih tidak percaya bahwa ini bukanlah ilusi belaka. Dengan tidak tahu malu aku langsung merengkuh tubuh Naresh dari samping.

Lelaki itu menegang untuk beberapa saat, dan setelahnya membalas pelukanku. Dagunya bertumpu di kepalaku, sedang tangannya dia gunakan untuk mengelus lembut salah satu pipi.

"Lah kok malah nangis sih, Teh? Aku kan gak ngapa-ngapain Teteh," cetus Naresh heboh dan panik.

Aku saja tak tahu kenapa air mata ini tiba-tiba merembes begitu saja. Hari ini aku berulah aneh dan sangat sensitif, bahkan begitu mudah mengobral air mata.

"Kangen," lirihku dengan kepala tertunduk malu, bahkan aku pun memilih untuk menutup seluruh tubuhku dengan selimut.

Terdengar suara tawa pelannya, dan aku masih setia di bawah lindungan kain berbahan tebal ini. "Akhirnya ngaku juga."

Aku mencebik sebal dan meringkuk membelakanginya. Tapi aku dibuat mati kutu kala merasakan ada sebuah elusan lembut di puncak kepalaku. "Gak usah malu-malu kucing gitu, aku seneng karena Teteh bisa jujur sama perasaan Teteh sendiri."

Ragu, aku pun menarik lepas selimut hingga sebatas pinggang. Wajahku sudah memanas dan memerah rasanya, terlebih saat melihat senyum yang lelaki itu tunjukkan.

"Kenapa gak angkat telepon aku?" tuntutku dengan tangan terlipat di depan dada.

Naresh terkekeh sebelum akhirnya menjawab, "Aku lagi banyak kerjaan, hapenya aku silent jadi gak tahu kalau Teteh telepon."

"Alasan klise!"

Lelaki itu malah tertawa dan mengacak rambutku hingga sedikit berantakan. "Beneran atuh. Aku kan gak pernah bohong sama Teteh," selanya meluruskan.

"Ih terus tadi kenapa pas aku telepon, operatornya bilang, 'nomor yang Anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi'. Pasti kamu lagi sibuk teleponan sama cewek, kan?" selidikku.

Naresh menggeleng lantas mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahiku. "Teteh lucu kalau lagi cemburu," katanya dengan diakhiri kekehan.

"Aku gak lagi ngelucu!"

"Ish, sensi banget sih. Efek menahan rindu terlalu lama tuh pasti," cetusnya yang langsung kuhadiahi dengkusan.

"Bodo ah. Sebel!"

"Yuk pulang," ajaknya yang langsung kuhadiahi gelengan.

"Nginep di sini, besok pagi baru pulang," pintaku.

Naresh mengangguk seraya mengukir senyum teduh menenangkan. "Cuci muka sana, gak baik tahu tidur setelah Ashar, sebentar lagi Magrib juga."

Aku menurut dan bergegas ke arah kamar mandi untuk melakukan apa yang lelaki itu perintahkan. "Gimana rasanya hidup tanpa aku?" tanyanya yang entah sejak kapan sudah berdiri santai di ambang pintu.

"Biasa aja." Hanya dua kata itu yang mampu kulontarkan. Tidak mungkinkan jika aku berterus terang bahwa aku merasa hampa dan kosong? Bisa dijadikan bulan-bulanan pasti.

"Yakin? Terus tadi kenapa ada drama air mata segala, hm?" Gerak tanganku yang akan mengambil handuk kecil yang tergantung di dinding pun terhenti sesaat.

"Jangan kepedean deh. Itu mah emang akunya lagi sensitif aja." Naresh malah menggelegarkan tawa remeh penuh rasa tak percaya. Terserah. Aku tak peduli, yang penting dia kini ada di sini.

"Liburan berdua yuk, Teh, mumpung aku udah dapet lampu hijau dari Papah," ocehnya dengan kerlingan mata nakal.

"Gak mau." Aku langsung berjalan melewatinya dan duduk santai di kursi meja rias, menyisir rambut yang sedikit basah.

"Honeymoon, Teh." Alis lelaki itu sengaja dinaik-turunkan. Aku melempar wajahnya dengan tissue bekas.

"Madu banyak tuh di dapur!"

Dia malah tertawa dan berdiri tepat di belakangku, tangannya bergerak menepuk pelan ubun-ubun. "LDR-an mah gak enak, mending pdkt-an aja."

"Males, buang-buang uang aja tahu. Lagian kamu juga kan harus kerja, kalau kita liburan yang handle pekerjaan kamu siapa?"

Naresh menumpukan dagunya di atas kepalaku, pandangan lelaki itu lurus menghadap cermin. "Belakang ini aku sibuk buat kelarin semua pekerjaan di kantor, supaya pas nanti kita liburan aku bisa tenang karena gak lepas tanggung jawab gitu aja."

Aku mendongak dan langsung disambut senyum semringah olehnya. "Liburan ke mana?"

"Ke hati Teteh aja supaya aku bisa bersemayam tenang di sana. Gak papa nyasar juga, yang penting sama Teteh." Aku mencubit pinggangnya kesal.

Aku tengah menanyakan hal yang serius, tapi dia malah bercanda dan menebar gombalan. Naresh memang tidak pernah berubah, dan selalu bisa membuatku terbang ke awang-awang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top