19 | Sebuah Kesepakatan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Yang digedein itu nyali, bukan gengsi. Gak zaman kalau cuma bisa memendam dan diam-diam mengagumi, karena cinta itu perlu aksi dan bukti."
Selepas perdebatan alot semalam, Naresh masih bersikukuh mendiamkanku. Rasanya sangat kesal dan juga jengkel, tapi aku tak bisa berbuat banyak selain terus meminta maafnya. Aku menyadari dengan betul bahwa kesalahanku saat ini sulit dimaafkan. Tapi ya seharusnya tidak sampai berlarut-larut seperti ini juga, aku sangat tak enak hati jika terus seperti ini.
Hidup di bawah lindungan atap yang sama, tidur dalam ruangan yang sama pula, tapi bibir masih bungkam tanpa kata. Aku tak suka dengan cara Naresh yang lebih memilih berkawan geming. Bolehkah aku jujur satu hal, bahwa aku rindu setiap gombalan recehnya. Sekarang dia dingin tak tersentuh, berbicara seperlunya dan sangat jarang mengobral senyuman.
"Sarapan dulu, itu udah aku siapin sekalian sama bekel makan siangnya juga," kataku saat melihat Naresh baru saja keluar dari kamar, lengkap dengan setelan formal. Aku bernapas lega karena dia masih mau memakai pakaian yang sudah kusiapkan.
Anggukan kecil Naresh berikan, dan dia langsung mendaratkan tubuh di kursi kosong tempat biasa. Dengan sigap aku mengambilkan dua centong nasi lengkap dengan lauk pauknya juga, hanya dengan capcay serta ayam goreng saja.
Membuat ayam goreng sangatlah merepotkan, beruntung aku membeli bumbu kemasan yang hanya tinggal cemplung. Walau pada saat menggorengnya minyak saling nyiprat-nyiprat, tapi tak apalah. Anggap saja ini sebagai menu spesial penebus rasa bersalah.
"Aku mau ke rumah Umi, bosen kalau cuma di rumah sendirian," cicitku meminta izin. Ragu sebenarnya tapi jika tak seperti ini malah akan membuat Naresh semakin marah lagi.
"Aku antar."
Hanya dua kata itu yang dia lontarkan, dan aku pun hanya bisa menghela napas berat penuh keputusasaan.
"Jangan kaya gini terus atuh, Resh," pintaku dengan pandangan memohon.
"Aku minta maaf, aku gak akan macem-macem lagi. Aku gak suka kamu giniin, jangan marah lama-lama atuh," sambungku berharap dia bisa memberikan maafnya, kalaupun tidak sekarang tidak masalah, yang penting dipertimbangkan.
"Aku gak marah."
"Gak marah tapi diemin aku lama banget. Katanya mau menua sama-sama, tapi baru dapet masalah gini aja marahnya sampai berhari-hari," sangkalku.
Naresh meletakkan sendoknya di atas piring yang sudah bersih dan hanya tersisa tulang belulang saja. "Aku gak marah sama Teteh, aku cuma mau lihat aja apa Teteh betah dengan aku yang kaya gini. Kita harus menelaah isi hati kita masing-masing," selanya dengan mimik wajah serius.
"Aku gak suka kamu yang irit ngomong dan berlagak dingin kaya gitu, aku lebih suka kamu yang dulu, Resh." Sebisa mungkin aku menjawabnya dengan tenang dan mantap.
"Bukannya ini yang Teteh mau?" Keningku terlipat tak mengerti. Apa coba maksudnya?
"Memiliki suami seperti Pak Tua yang berkelas, penuh wibawa, irit berbicara, dan tak suka menebar gom—"
"Aku gak minta kamu buat berubah jadi orang lain, Naresh. Cukup jadi diri kamu sendiri," potongku cepat. Tak suka rasanya mendengar penuturan Naresh yang seperti tadi, itu sangat menohok hati.
Aku yakin tanpa dia bersandiwara seperti orang lain pun, aku akan bisa mencintainya. Tapi ya tidak dalam waktu dekat, hatiku masih perlu ditata ulang dan dibenahi.
"Tapi aku capek, aku terus yang usaha buat Teteh jatuh cinta sama aku. Tapi Teteh sendiri, gak ada usahanya. Masih sibuk mengurusi masa lalu," sahut Naresh dengan pandangan datar menyeramkan.
Aku menghela napas panjang dan berucap, "Kamu salah kalau berpikiran kaya gitu. Aku juga lagi usaha, tapi ya gak bisa instan dong. Kita masih punya banyak waktu untuk menyelami perasaan kita masing-masing."
Aku terdiam sejenak, menatap tepat ke arah bola matanya dan kembali berucap, "Kayanya kita perlu pis—"
"Teteh jangan sembarangan kalau ngomong!" Dengan tidak sabarannya Naresh langsung menyela perkataanku.
Aku mendengkus tak suka. "Dengerin dulu bisa? Jangan asal potong atuh, maksud aku itu kita pisah untuk sementara waktu. Aku akan pulang ke rumah Umi sama Abi, dan kamu di sini. Kita masih tetap berkomunikasi dan kamu pun boleh menemui aku," putusku yang langsung dibalas tatapan tajam dengan rahang yang mengencang kuat.
"Kita gak lagi dalam masa pacaran, kalau berantem putus dan bisa nyambung kalau udah merasa baikan. Bedain dong, Teh, ini pernikahan."
"Aku perlu menelaah isi hatiku. Kalau kita saling berjauhan, apakah kita akan saling merasa kehilangan atau malah gak sama sekali. Dari sana kita bisa tahu, ada di tahap mana kadar perasaan kita masing-masing," terangku.
"Tapi kan gak harus melibatkan orang tua kita. Apa kata mereka kalau tahu kita pisah, walau dalam konotasi yang gak sebenarnya," selanya tak sepaham.
"Hanya sementara, mungkin satu bulan," sahutku yang langsung mendapat gelengan keras darinya.
"Gak ada gitu-gituan!"
Aku menghela napas putus asa. "Dalam waktu satu bulan itu kita tetap berkomunikasi, kamu juga bisa menemui aku sesuka hati kamu, tapi jangan terlalu sering. Ingat tujuan awal kita, berpisah untuk menelaah perasaan kita masing-masing."
"Kerja otak Teteh makin hari makin ngaco. Ini pernikahan gak pantes dijadikan bahan permainan." Naresh berkata dengan tegas dan lugas.
Aku memberanikan diri untuk menggenggam tangannya yang berada di atas meja. "Aku cuma mau tahu perasaan aku sama kamu aja, Resh. Kalau aku merasa hampa, kosong, dan kangen sama kamu, itu berarti aku udah mulai jatuh cinta sama kamu."
Dia menarik tangannya dan menatap lekat ke arahku. "Kalau gak gimana?"
Dengan mantap aku pun menjawab, "Aku akan berusaha untuk menumbuhkan perasaan itu."
"Yakin bisa lepas dari masa lalu?"
Pertanyaan itu terdengar mengejek. Aku mengangguk penuh keyakinan. "In syaa Allah, atas izin-Nya aku bisa."
Naresh memberikan senyum tipis menenangkan. Rasanya sudah lama aku tak menjumpai sunggingan itu. Hatiku terasa disirami sejuk air dingin, terasa sangat amat melegakan.
"Ok, aku akan ikutin kemauan Teteh. Aku gak akan ke rumah Umi sama Abi kalau bukan Teteh yang minta," tukasnya yang langsung kusambut dengan gelengan.
"Kok gitu?"
Salah satu bibir lelaki itu terangkat. "Kita lihat aja, siapa yang akan lebih bertahan lama, aku atau Teteh? Tapi seperti yang Teteh bilang, kita akan tetap berkomunikasi."
Aku mendengkus tak setuju. "Enggak mau kaya gitu." Senyum miring semakin merekah menyeramkan di sana, dan itu cukup membuatku kikuk sekaligus takut.
"Aku mau mengajari Teteh bagaimana caranya mengungkap rasa. Jangan sok kuat memendam, tapi nyatanya hati memberontak tak tahan. Di sini kita sama-sama berjuang, Teteh yang sedang berusaha mencintai aku dan aku yang berusaha untuk membuat bibir Teteh agar bisa berkata jujur sesuai isi hati. Impas dong?"
Aku memutar bola mata malas. Sangat tak setuju dengan cara mainnya. Dia kan tahu bahwa aku tak bisa blak-blakkan soal hati, dan lebih suka memendamnya seorang diri. Dengan adanya aturan ini, justru akan memberatkanku.
"Gimana, deal?"
Aku menatap sengit ke arah Naresh lantas membalas uluran tangannya. "Deal," kataku penuh kemantapan hati. Kuyakin dia tidak akan betah berlama-lama dariku, dan dia sendiri yang akan menyerahkan diri. Lihat saja nanti. Aku pasti yang akan keluar sebagai pemenang.
"Inget, Teh yang digedein itu nyali, bukan gengsi. Gak zaman kalau cuma bisa memendam dan diam-diam mengagumi, karena cinta itu perlu aksi dan bukti." Setelah mengatakan kalimat itu dengan usil dia mendaratkan bibirnya di punggung tanganku.
Rasanya sekujur tubuhku langsung panas dan menggigil, bahkan mungkin wajahku pun sudah memerah menahan malu. Ish, usilnya mulai kumat lagi.
Aku meneguk ludah dengan susah payah, dan menarik paksa tanganku. Senyum kemenangan sangat terlihat jelas di wajah lelaki itu.
"Inget juga satu hal, bahwa kamu gak pernah bisa jauh-jauh dari aku. Berani bertaruh?" Naresh menggeleng dengan angkuh.
Dia berdecak pelan sebelum akhirnya berujar, "Cuma satu bulan, bukan selamanya."
Aku bersidekap dada, dan melirik songong ke arahnya. "Sebulan yang terasa bertahun-tahun," kataku penuh akan rasa percaya diri.
"Kita liat aja nanti."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top