14 | Jalan Bareng Mertua

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Rasa sesak di dada meluncurkan sinyal air mata yang sudah sangat siap untuk ditumpahkan. Kumohon jangan sekarang."

Pernah bermimpi dan berkeinginan untuk memiliki mertua sebaik serta seperhatian Umi, dan kurasa saat ini aku sudah menemukan sosok tersebut. Walaupun memiliki sifat dan pembawaan diri yang jauh berlainan, tapi aku dapat merasakan cinta kasih tulusnya.

Stigma buruk yang beberapa waktu lalu bersarang dalam pikiran, seketika lenyap dan digantikan dengan rasa lega yang sangat amat membahagiakan. Untuk kali pertamanya beliau mengajakku berjalan-jalan keluar, walau hanya berkeliling di pusat perbelanjaan.

Kurasa itu sudah lebih dari cukup. Aku serasa memiliki sosok pelindung baru, rasa tak nyaman dan canggung yang sempat datang sudah mulai menguap. Mungkin ini yang dinamakan dengan bahagia itu sederhana.

"Mau belanja apa?" tanyanya saat kami baru saja memasuki sebuah toko yang khusus menjual pakaian muslimah.

Aku menggeleng cepat. "Gak ada, Mah," tolakku yang beliau hadiahi dengan senyum tipis serta rangkulan.

"Masa gak beli apa-apa, barang belanjaan Mamah banyak nih, masa kamu pulang dengan tangan kosong. Kalau Naresh omelin Mamah gimana?" selanya dengan tangan sebelah menunjukkan barang-barang belanjaan beliau, yang menurutku jumlahnya tidak sedikit.

"Baju-baju aku masih banyak di lemari, sayang u—"

"Aduh kamu ini yah, masih sempet-sempetnya mikirin uang. Naresh gak akan jatuh miskin hanya karena belanjain istrinya," potong beliau dengan nada gemas bercampur jengkel.

"Tapi aku gak biasa, Mah," sanggahku berharap beliau bisa mengerti dan memahami.

"Gak asik ah!"

Setelah mengatakan hal tersebut beliau langsung berjalan cepat, meninggalkanku yang masih mematung linglung. Perubahan sikap beliau terlalu signifikan dan tak bisa diprediksikan. Kadang baik dan lembut namun tak jarang dingin dan ketus.

"Mah tunggu!" teriakku mencoba untuk mengejar langkahnya.

Baru saja aku bisa merasakan indahnya bersama ibu mertua, sekarang sudah berbeda lagi. Perasaan aku tak menyinggung serta mengucapkan kata-kata tidak sopan, tapi kenapa beliau bisa merajuk seperti itu?

"Aduhh!" Aku tersentak saat bahuku bertubrukan dengan seseorang. Ceroboh. Bisa-bisanya mataku tak melihat ada orang di depan sana.

"Maaf, Mbak saya tidak sengaja," kataku dengan tangan menelungkup di depan dada.

Perempuan dengan wajah polos serta lugu itu pun mengangguk maklum serta tersenyum. "Tak apa, saya juga jalannya sedikit tergesa-gesa," tuturnya.

Beruntung wanita berkhimar lebar itu tak memperpanjang persoalan, dengan segera aku pun berpamitan. Tapi suaraku tercekat di udara kala mendengar derap langkah lebar seseorang dengan diiringi ...

"Nisrina."

Sontak kepalaku menoleh ke sumber suara, dan aku dibuat mati kutu saat melihat atasanku berada tepat di sisi wanita yang kutabrak tadi. Dalam hati aku tak henti mengutuk diri sendiri, pantas saja wajahnya sangat amat kukenali, dia itu merupakan istri dari Pak Bagas.

Bodoh. Kenapa juga harus bertemu mereka dalam keadaan seperti ini. Dan lagi kondisiku sangat amat memiriskan, hanya seorang diri tanpa siapa pun yang mendampingi.

"Mas kenal sama Mbaknya?" seloroh perempuan itu lembut dan menenangkan.

Mas? Duniaku serasa runtuh seketika. Ada sedikit celah yang kini sudah mulai menganga karena rasa sakit hati serta iri. Namun dengan segera aku menepis perasaan tak halal itu.

"Dia karyawan, Mas di kantor," jawabnya yang begitu enggan untuk melihat ke arahku. Fokus beliau hanya pada istrinya, hatiku serasa tercabik-cabik.

Baru saja beberapa hari lalu dia menyatakan secara terang-terangan isi hatinya padaku, tapi sekarang dengan ringannya dia hanya menganggapku sebatas karyawan.

Sadar porsi dan posisi Nisrina.

"Btari Ayu Larasati," katanya dengan tangan tersodor ke arahku.

Dengan gugup bercampur ragu aku menyambut jabatan itu. "Nisrina Misha."

Senyum yang sedari tadi terpatri di wajahnya seketika sirna, dan aku tak mengerti dengan perubahan drastis yang perempuan itu tunjukkan.

Apa ada yang salah dengan namaku?

Pak Bagas seperti membisikan sesuatu di samping telinga istrinya. Entah apa, dan kurasa penyakit kepoku sudah mulai kumat serta naik ke permukaan.

"Sendiri aja, Na?" tanya beliau.

Aku meringis dan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Sama mamah mertua."

"Lho kok sendiri? Ke mana perginya ibu mertua kamu?" seloroh Pak Bagas yang malah semakin membuatku bingung tak ketulungan.

Tidak mungkinkan aku mengatakan dengan jujur, bahwa Mamah pergi karena aku tak bisa menuruti keinginannya. Bisa malu tingkat akut pasti.

"Mas," rengeknya manja, dan ingin mengambil fokus Pak Bagas yang kini sudah berpusat padaku.

"Iya, sebentar," balas Pak Bagas yang seperti enggan untuk menyahuti rajukan istrinya.

"Dede bayinya lapar, mau makan."

Tubuhku kaku seperti patung. Sangat sulit untuk digerakkan. Dede bayi? Allahuakbar. Fakta baru apalagi yang saat ini tengah kutemui.

Aku menunduk serta menengadah setelahnya. Rasa sesak di dada meluncurkan sinyal air mata yang sudah sangat siap untuk ditumpahkan. Kumohon jangan sekarang.

"Duluan, Na." Rahang Pak Bagas mengencang kuat, dingin, serta terlihat penuh amarah.

Bahkan aku melihat dengan jelas cekalan tangan beliau yang mencengkram kuat di pergelangan sang istri. Sayup-sayup terdengar suara ringis kesakitan, namun hal itu malah semakin membawa langkah mereka menjauh.

Aku meraup wajah penuh keputusasaan, melihat mereka seperti sepasang suami istri ideal yang akan segera mendapatkan malaikat kecil, membuat rasa sesak semakin menyeruak hebat.

Walau tak dapat kupungkiri bahwa benih cinta belum sempurna tertanam di hati Pak Bagas untuk istrinya, terlihat dengan jelas dari cara beliau menatap serta bertutur kata.

Semula seperti ingin menunjukkan bahwa mereka merupakan cermin keluarga bahagia, namun sandiwara itu seakan gagal total karena kurang perencanaan serta persiapan.

Astagfirullah, dengan segera kulangitkan lantunan istigfar. Bisa-bisanya aku berpikiran dangkal akan rumah tangga orang lain. Aku mencoba menggeleng beberapa kali guna menghilangkan segala pemikiran tak wajar ini.

Saat otakku sudah mulai bekerja, aku pun teringat akan keberadaan Mamah. Dengan tanpa pikir dua kali lagi aku segera mempercepat langkah untuk mencari keberadaan beliau.

Namun nihil, aku tak dapat menemukan jejaknya sama sekali, bahkan saat aku berada di parkiran tempat beliau memarkirkan mobil pun tetap tak ada.

Aku hanya mampu diam dan menggigit jari dengan badan bersandar pada pintu mobil. Rasa takut sudah mulai merayap dan membuatku menggigil tak ketulungan.

"Maaf tadi Mamah tinggal, mendadak ada panggilan alam."

Aku terkejut saat mendapati Mamah sudah berdiri tegak di belakangku, tapi beliau malah terkekeh tanpa dosa.

"Ngagetin yah, maaf," imbuhnya lantas menyalakan alarm mobil hingga menimbulkan bunyi nyaring.

"Yuk pulang, udah malem. Naresh pasti omelin Mamah karena bawa kabur istrinya kelamaan," katanya.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, bingung dengan apa yang terjadi kini. Tadi dingin, bahkan meninggalkanku begitu saja. Tapi sekarang justru ramah, baik, bahkan tak segan menebar senyum persahabatan.

"Mamah marah yah sama aku?" selorohku ragu-ragu.

Kegiatan beliau yang akan menggunakan sabuk pengaman pun terhenti lantas berucap, "Gak lah, masa gitu aja marah. Kesel iya, cuma tadi Mamah pergi itu gara-gara ada panggilan darurat."

Aku bernapas lega mendengarnya. "Kirain aku marah, aku gak enak hati sama Mamah," ungkapku dengan sunggingan di akhir kalimat.

Beliau terkekeh lantas melajukan mobil dan keluar dari parkiran. "Gak ada gitu-gituan, jangan heran yah. Mamah emang angin-anginan, kadang baik kadang gahar," ujarnya yang malah membuatku sedikit ngeri.

"Gak usah takut, selama kamu bisa jadi istri yang baik dan bisa nyenengin Naresh, Mamah gak akan macem-macem dan ganggu kalian. Dan maaf karena pas di hari pernikahan, Mamah masih bersikap ketus sama kamu," katanya lembut dan mengelus kepalaku pelan.

"Mamah cuma takut kehilangan kasih sayang Naresh, cuma dia harapan Mamah satu-satunya, dan cuma dia juga yang saat ini Mamah punya," imbuh beliau yang membuat hatiku tersayat sakit.

"Janji yah bakal bahagiain Naresh."

Aku memejamkan mata lamat-lamat, rasa sesak yang sudah kuredam sejak tadi kini kembali menyeruak. Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan, apa jadinya jika beliau tahu jika sampai saat ini aku belum berhasil menumbuhkan rasa suka pada putranya.

"Janji?"

Aku mengangguk dengan senyum tipis yang sebisa mungkin terlihat tulus menenangkan. Aku akan mencoba untuk memperbaiki semuanya, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menumbuhkan rasa pada Naresh, dan mengenyahkan perasaan tak halal ini pada Pak Bagas.

Kuharap Allah mempermudah niat serta kesungguhan hatiku ini ...

Halo semuanya. Kedua kalinya nih aku bikin note, hehe. Aku cuma mau kasih sedikit info aja kalau cerita ini gak akan memakai konflik berat, hanya lucu-lucuan yang bertujuan untuk menghibur. Kalau di antara teman-teman ada yang mau hengkang, silakan :')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top