Part 9
"Malvin tunggu!" kak Joe berlari tergopoh-gopoh ke arahku. Sedangkan aku masih berdiri di depan ruang 13. Setelah ia sampai di depanku, ia menatapku dan berkata "Ayo aku anter pulang."
"Kak joe udah selesai main basketnya?" Tanyaku.
Kak Joe mengangguk dengan antusias. Kemudian ia menarik lenganku dan membawaku ke tempat parkir kendaraan.
Aku melihat tubuh kak Joe yang penuh dengan keringat, kulit tubuh dan wajahnya mengkilat menampakkan otot-otot tubuh yang berkilauan. Aku membayangkan malam-malam dimana lengan itu memelukku semalaman, sungguh aku begidik geli.
"Malvin." Sebuah suara terdengar memanggilku dari belakang. Dengan segera aku menoleh dan melihat seorang cowok yang tak ingin aku temui berdiri disana. Kak Reno? Tentu saja bukan, aku tidak akan menolak untuk bertemu kak Reno. Tapi cowok yang tengah memanggilku tersebut merupakan Deny, seseorang yang menyukai kak Reno.
"Ada urusan apa dia sama kamu?" kak Joe mulai bersuara, menanyakan ada apa gerangan Deny jadi mau bicara pada orang lain, bukankah dia pendiam?
"Nggak tahu kak, mungkin dia mau curhat. Kak Joe pulang dulu aja, aku nanti naik taksi."Jawabku.
"Apa? Naik taksi? Gak boleh vin, aku bakal anterin kamu." Tegas kak Joe.
"ya udah kak, tunggu di parkiran aja, nanti aku kesana."
"Kenapa aku nggak boleh disini?" Terkadang posesif itu membuatku merasa ingin menciumnya saja. *LHO??*
"Kamu kayak cewek aja kak, suka nguping curhatan orang. Udahlah, tunggu diparkiran." Aku mendorong tubuhnya, namun mendorong tubuh sebesar itu? sungguh-sungguh mustahil.
"Tapi vin..." belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, sesuatu yang kenyal mendarat pada bibirnya.
*Cupp*
Aku mengecup pelan bibir kak Joe, pelan dan penuh makna. Kak Joe membelalakkan matanya, mungkin ia merasa terkejut saat aku menciumnya, karena hal yang seperti ini adalah hal yang tabu dan langka terjadi bagiku. Dan ini hanya reflek, aku hanya ingin membuat kak Joe diam.
Kak joe mulai membuka mulutnya, hendak melumat kecupan bibirku. namun sebelum hal yang tidak-tidak terjadi, aku segera melepas ciuman kami.
"Kenapa berhenti?" tanya kak Joe.
Aku tak menjawabnya, dan hanya memberikan isyarat dengan lirikan mata ke arah Deny,Dan kak Joe hanya mengangguk dengan sok faham. Sedangkan Deny sudah melongo melihat adegan dewasa tadi.
"Nanti malam, tunggu aku." Kak Joe berbisik lembut di telingaku. Namun itu membuatku seketika begidik kayang dan mundur selangkah.
"Aku nanti malam nggak ada di rumah." Jawabku.
"Kamu kemana?" Tanya kak Joe.
"Aku ke rumah temen kak, ada kerja kelompok."
"Pulang jam berapa? Nanti aku jemput. Atau perlu aku temenin kerja kelompoknya, aku nggak mau ya kamu macam-macam sama cowok lain. Aku culik kamu, kalau kamu sampai main-main. Kamu faham vin?" Seloroh kak Joe dengan sangat posesif. Wajah tampannya menampilkan raut marah dibuat-buat.
"Jangan aneh-aneh deh kak Joe! Apa perlu kerja kelompok ditemenin gitu?"Aku masih tidak setuju dengan wacana yang mengatakan ia harus menemaniku kemanapun. Oh tuhan, bagaimana bisa ada manusia yang seposesif ini?
"Perlu, bisa saja kamu ketemuan dengan Reno kan? Aku nggak mau hal itu terjadi."
"Yang jadi pertanyaan, siapa yang mau ketemu kak Reno? Aku itu mau kerja kelompok." Aku mulai berapi-api, bagaimana tidak pusing bila hanya karena masalah kerja kelompok jadi serumit ini?
"Maaf, bisa aku bicara dengan Malvin sebentar?"Deny mengintrupsi, mungkin ia sudah tak tahan lagi melihat perdebatanku dengan kak Joe yang mungkin seperti tanpa jalan keluar.
Kak Joe mulai tenang, namun tatapannya mengincarku tajam. "Aku tunggu di tempat parkir." Ucap kak Joe. Kemudian ia berlalu dan meninggalkan kami berdua.
Aku menghela nafas panjang, aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Tidak lain dan tidak bukan mengenai kak Reno.
Deny menatapku tanpa berkedip, aku pun demikian. Apa yang harus aku lakukan saat ini? Apa yang harus aku jawab jika Deny bertanya-tanya tentang kak Reno?
"Malvin, Aku kesini Cuma mau bilang tentang suatu hal." Deny mulai bersuara. Matanya yang sipit itu sama sekali tidak cocok untuk membuat look yang serius.
"Aku nggak ada waktu untuk bantuin kamu dapetin kak Reno. Aku minta maaf." Tanpa menunggu Deny mengatakan apapun, aku mengatakan hal itu. Aku hanya berfikir itulah yang ingin Deny katakan saat ini.
"Maaf saja, tapi aku nggak perlu bantuanmu lagi."Deny dengan angkuhnya berkata demikian sembari membenarkan posisi kacamata-nya yang sedari tadi tak bermasalah.
"Maksud kamu?" Aku memicingkan mataku saat mendengarnya. Apa maksud Deny sebenarnya? apa dia sudah berubah arah dan jatuh cinta pada kak Joe? Atau dia jatuh cinta pada mbak Nina? Mbak-mbak penjaga kantin?
"Maaf aku nggak ada waktu buat jelasin, tapi yang pasti adalah, malam ini aku ada janji kencan dengan ketua osis." Senyum licik tergambar dari wajah Deny, Seraya ia berlalu dengan lenggok tubuh penuh dengan keangkuhan.
Aku masih sulit untuk mempercayai hal yang baru saja aku dengar, Kak Reno mengencani Deny? Yang benar saja?
Deny tiba-tiba berbalik dan berteriak dari radius 100 meter "Kalau pengen tahu, lihat aja di Tea Story Cafe." Kemudian ia berlalu dan menghilang ditelan tembok-tembok sekolah.
'Ini Mustahil'
***
Sedari tadi aku hanya memperhatikan gelas yang berada dalam genggaman jemariku, bola hitam mataku hanya mengikuti perputaran sekumpulan es dalam gelas tersebut. Pikiranku melayang-layang tentang Deny, cowok sialan yang kurang belaian.
'Kenapa? Ada apa?' aku bertanya pada diriku sendiri. Apa yang akan terjadi diantara kak Reno dan Deny. Apa aku harus meninggalkan belajar kelompok ini dan berlari ke kafe? Tempat dimana Deny dan Kak Reno berjumpa. Itu ide yang buruk, tapi jantungku tak dapat berkompromi. Aku benar-benar ingin keluar dari tempat ini.
"Vin ada apa?" Heidi menepuk pundakku. Aku menatapnya balik dan mengangkat pundakku tak bersemangat. "Ada masalah?" ia kembali bertanya.
"Nggak ada apa-apa kok hehehe." Aku hanya cengengesan.
Heidi tersenyum dan kembali mengerjakan pekerjaannya.
Aku memutar otakku, mencoba untuk berfikir logis dan mencari cara untuk keluar dari sini. Tapi apa? Apa yang harus aku perbuat saat ini?
Tunggu sebentar, kenapa juga aku harus datang kesana? Sekarang ini aku sedang menjalin sebuah hubungan bersama kak Joe, kan? Jadi apakah pantas untuk berjelalat ria pada pria lain? Ah, persetan! Kak Reno itu kakakku! Aku harus pergi ke kafe itu.
Aku melihat ke arah teman-temanku yang tengah sibuk menulis pada buku dan mengetik pada laptop mereka dengan bunyi cetak-cetik. Aku memerhatikan itu semua, kemudian tanpa sepengetahuan mereka aku memutar lagu pada music player seolah-olah seseorang menelponku saat ini.
"Halo, Ma ada apa?" Aku pura-pura menerima telepon dari Mama. Teman-temanku yang sedari tadi sibuk mengerjakan, berubah menatapku dengan seksama.
"Oke ma, Malvin bentar lagi pulang." Aku bermonolog sedang teman-temanku masih menatap penuh tanda tanya. Kemudian aku berpura-pura menutup telepon.
"ada apa Vin?" Tanya Heidi.
"Mamaku mau pulkam nih, aku di suruh pulang." Jawabku dusta.
"Emang pulang kemana?" Kali ini Gita bertanya.
"Ya ke Jepang, Mamaku kan orang Jepang." Celetukku.
"OHHHHHH....." kali ini semua teman-temanku kompak untuk bersahutan
"Udah dulu ya, maaf banget aku nggak bisa bantuin." Ucapku seraya berdiri dan hendak keluar.
"Oke vin, salam ya buat tante Tiara." Sahut Heidi.
Pada akhirnya aku keluar dari rumah itu, berlari menembus gelapnya malam untuk bertemu dia. Gemerlap bintang malam yang enggan bersinar menerangi jalanku, namun langkah takkan gentar oleh bisikan-bisikan malam.
"kak Reno." Aku menyebut namanya, Sosok pria yang aku selalu puja.
Langkah kaki berjalan dengan semangat. Mungkin karena cinta yang semakin dekat. Apa aku akan menyerahkan cintaku begitu saja? meninggalkannya dalam rengkuhan kasih oranglain? Yang benar saja!
Aku sampai didepan Tea Story, aku bingung! Apa yang harus aku lakukan?
Aku memutuskan untuk mengendap-endap ke dalam, mencari batang hidung Deny.
Aroma teh menyapa hidungku dengan lembut saat memasuki cafe ini, tampak semua orang tengah menikmati teh dengan beberapa kudapan. Namun dalam keramaian itu, aku menangkap sosok yang sedari tadi aku cari, Deny.
Aku mengendap perlahan. Dan duduk pada kursi yang tak terlalu jauh dari kursi Deny. Seorang pelayan menghampiriku dan aku memesan teh hijau kesukaanku.
Mataku masih mengunci sosok Deny yang aku lihat. Dia tampak risau dalam kesendiriannya itu, matanya tak henti menatap pintu masuk kemudian mengecek telepon genggam miliknya.
Bahkan saat pesananku diantarkan, sosok yang di tunggu oleh Deny masih belum terlihat. Aku sangat kasihan padanya.
Aku juga sibuk mengutak-atik handphone milikku, karena tanpa aku sadari terdapat 30 missed call dan 25 pesan yang tertera pada pemberitahuan.
Aku membuka dan melihat pemberitahuan itu, tak ada nama lain yang tertera selain nama 'Pacarku'. Sungguh! bukanlah aku yang memberi nama seperti itu pada kontak kak Joe, melainkan dia sendiri yang memberi nama kontaknya pada handphoneku.
Aku menelpon kak Joe balik dan langsung diangkat olehnya.
"Ha-" belum sempat aku menyapa halo, kak joe sudah memotongnya.
"Kamu dimana Malvin?" tanya kak Joe.
"Aku lagi kerja kelompok, ada apa kak Joe?" Aku berdusta.
"Jangan bohong! Aku dari rumah temen kamu! Kamu nggak ada!" kak Joe membentak, sakit telingaku dibuatnya.
"Iya, aku ada di suatu tempat. Tolong untuk malam ini aja. Kasih waktu aku untuk sendiri!" Aku segera mematikan telefonku tanpa mendengar lagi ucapan-ucapan kak Joe.
Saat telefon milikku telah aku non-aktifkan. Aku kembali menatap pada sosok Deny, ia tampak seperti hendak menangis. Mungkin karena orang yang ia tunggu tak kunjung datang.
Saat pandanganku tertuju pada Deny, Tiba-tiba seseorang duduk pada kursi kosong di mejaku. Aku tak dapat melihat wajahnya karena ia menutupi dirinya dengan koran yang ia tengah baca.
"Permisi!" Ucapku pelan pada orang yang duduk di depanku saat ini.
Namun pria itu masih ta bergeming sedikitpun , bahkan hanya untuk sekedar 'permisi boleh saya duduk disini?'
"Anda bisa cari tempat duduk yang lain, disana masih kosong." Aku menunjuk meja yang tak jauh dari tempat dudukku. Disana memang masih kosong, tapi kenapa pria ini malah memilih untuk duduk disini?
"Saya ingin disini."jawabnya. Suara itu, aku seperti mengenalnya.
"Anda siapa?" tanyaku lagi.
Pria itu membuka koran yang menutupi wajahnya. Aku membelalakkan mata dan sangat terkejut melihat sosok berkacamata hitam di depanku. Sedang Ia tersenyum lembut padaku
"Selamat malam Malvin." Pria itu menyapaku.
"kak Reno?" Ya! Itu kak Reno. Lalu siapa yang bersama dengan Deny?
Aku menoleh dan menatap meja Deny, ada seorang pria disana, aku mengamati pria yang bersama Deny itu dengan sekasama. Demi apa? Itu Wildan!
"Kok kak Reno bisa disini? Katanya Deny yang hari ini ada rencana untuk ketemu sama ketua osis, jadi kenapa kak Reno bisa disini? Bukannya kak reno ketua osis?" Aku membombardir kak Reno dengan pertanyaan. Kak Reno hanya tersenyum dengan lembut, sungguh melihat senyumnya adalah terapi terhindar dari stress.
"Kamu belum tahu? Aku udah dikeluarin dari osis."
'JDERRRR!' Suara petir menyahut di luar sana. menerbangkan kabar pada khayalak tentang pertanda hujan.
"Kok bisa?" Aku bertanya penuh rasa ingin tahu yang menggebu. Apa kesalahan kak Reno? Kenapa ia harus dikeluarkan dari osis? setahuku banyak sekali program dari osis yang sangat jauh dari ekspektasi, namun semua terwujud berkat tangan handal kak Reno.
"Ceritanya panjang. Tapi sekarang ketua osisnya Wildan. Lagi pula dengan keluar dari osis, aku bisa lebih menyukaimu tanpa ada penghalang."Itu adalah jawaban paling sempurna yang pernah aku dengar.Aku luluh lantak dihadapan cinta yang hampir mati. Aku diberkati karena ketulusannya dalam penantian dan kesabaran. Sungguh! Aku ingin mencintainya lebih dari ini.
Setetes air menghangat pada kelopak mataku. Namun aku segera mengusapnya sebelum menjadi tangis yang berkelanjutan. "Tapi Deny suka sama kak Reno, gimana bisa dia sekarang sama Wildan?" satu pertanyaan kembali menghantui fikiranku.
"Tadi pagi Deny nemuin aku, dia bilang kalau ada sesuatu yang mau dibahas sama ketua osis tentang ekskul. Tapi Deny mau bicarainnya di Cafe ini, mungkin dia belum tahu kalau ketua osisnya sudah berganti." Ucap kak Reno menjelaskan.
Aku menoleh pada meja Deny, ia tampak merengut kesal di mejanya. Karena bukan kak Reno yang berhasil ia temui. Aku tertawa penuh haru kali ini. Melihat Deny yang kebingugan itu.
"Kamu pasti ada sesuatu spesial yang ingin kamu sampaikan. Udah bilang aja, nggak usah malu-malu." Wildan mulai menggoda Deny. Wildan itu memang homo sebetulnya, hanya saja topeng yang ia miliki terlalu tebal untuk menyembunyikan identitas yang sesungguhnya.
"Aku nyari ketua osis, bukan ketua kelas."Jawab Deny sinis.
"Maksud kamu apa? Aku kan ketua osis." Ucap Wildan.
"Nggak usah mimpi deh, kamu nggak akan pernah jadi ketua osis." Deny mulai jengah dengan pembicaraan ini. Ia tak dapat bertemu dengan pangeran yang ia puja, malah jatuh ke sarang harimau. Sungguh malang.
Wildan sudah tak dapat lagi menahan arogansinya, ia diam-diam mengambil sebuah sapu tangan dan memberikan sesuatu disana, apa itu obat bius?
Tanpa alasan dan salam, Deny pergi meninggalkan Wildan disana, tampak mata Wildan dari jauh telah berapi-api dan siap memberikan pelajaran pada Deny, Wildan tak diam begitu saja. Ia berdiri kemudian berjalan menyusul Deny.
Aku dan kak Reno yang melihat hal itu segera bangkit dan berjalan keluar menuju tempat parkir.
Betapa terkejutnya kami, saat Wildan benar-benar membius Deny hingga ia tak sadarkan diri. Aku menegang pada tempatku berdiri, belum pernah aku temui sebuah hal yang lebih biadab dari ini.
Perlahan Wildan memasukkan tubuh Deny ke dalam mobilnya.Dan kemudian Wildan mengemudikan mobil itu untuk pergi.
Kesadaranku mulai kembali, aku dan kak reno bergegas mengikuti Wildan dengan menggunakan motor kak Reno.
Wildan yang sudah menggila itu mengendarai mobilnya dengan sangat kencang, menembus hawa dingin malam tanpa secercah cahaya untuk sadar. Aku dan kak Reno masih mengikuti mobil itu dengan harapan Wildan tak akan melakukan hal yangtidak-tidak pada Deny.
Tak berapa lama kemudian mobil Wildan berhenti. Aku dan kak Reno berhenti cukup jauh dari tempat Wildan memarkirkan mobilnya.
"Kita harus gimana nih kak?" Tanyaku, karena seolah gang buntu mulai menghadang jalan kami dan tak membiarkan siapapun lewat.
Mobil Wildan memasuki sebuah Hotel Melati, tak berselang lama Wildan memasuki hotel itu sendirian dan meninggalkan Deny pada mobilnya.
Aku dan kak Reno segera bergerak untuk membuka mobil Wildan dan menyelamatkan Deny. Namun lagi-lagi tak ada harapan, karena mobil itu terkunci. Tak berselang lama juga aku melihat Wildan keluar dari hotel itu menuju mobilnya.
"Sembunyi kak." Sahutku pada kak Reno. Kami segera berlari dan bersembunyi di balik semak-semak. Dan dari balik semak itu kami melihat Wildan menggendong tubuh Deny yang tergolek tanpa daya, laksana sepasang kekasih. Wildan membawa Deny ke dalam sebuah Hotel Melati.
Aku dan kak Reno mengikuti Wildan dari belakang, kami masih dapat mengetahui keberadaan Wildan dan mengikuti nya perlahan dibelakang nya tanpa diketahui. Namun saat sampai di lantai 2, jejak Wildan menghilang.
Bahkan aku dan kak Reno berpencar namun tetap saja kami tidak menemukan keberadaan Wildan. Bahkan hingga hampir satu jam kami berkeliling di lantai dua hotel ini, namun batang hidung Widan masih tidak dapat ditemukan. Entah apa yang terjadi pada Deny saat ini, aku sangat khawatir pada Deny.
"Gimana dong kak?" Aku bertanya sedikit putus asa pada kak Reno.
Kak Reno meraih tubuhku dan memelukku lembut. "Sudahlah, kita pulang dulu. Mau bagaimana lagi?" kak Reno sepertinya juga putus asa.
Dalam heningnya keputus-asaan, sebuah jeritan terdengar "Lepasssssss!"
Aku dan kak Reno segera terperanjat. Suara tadi terdengar dari kamar dibelakang kami. Aku merasa sangat hafal dengan suara itu, ya! Itu suara Deny.
Aku dan kak Reno segera mencoba mencari tahu siapa gerangan yang ada disana. Aku mencari, dan menemukan sebuah jendela dengan tirai yang sedikit tersingkap dibaliknya. Aku melihat sesuatu perbuatan tidak senonoh disana.
Kedua tubuh yang tak lagi ditutupi oleh sehelai benangpun, Deny yang tampak baru sadar itu tak dapat bergerak banyak dikarenakan obat bius yang tak segaja ia hirup tadi. sedangkan wildan telah menindih tubuh Deny dan menghujam pantat itu dengan batang kejayaanya. Ia memaju-mundurkan pantatnya agar hujaman batang yang ia miliki dapat lebih dirasakan oleh Deny.
Deny menangis disana, namun Wildan dengan kelembutan memeluk tubuh Deny dan membelai lembut rambutnya.
Aku segera menggedor-gedor pintu kamar itu. Aku berteriak penuh kegilaan. "Wildan!!! Buka pintunya!"
Tak berselang lama, Wildan membuka pintunya dan tampak tubuh nya yang penuh otot seperti kak Joe, Hanya saja kak Joe lebih besar tubuhnya. Dan tubuh Wildan kali ini hanya dibalut oleh handuk.
"Jangan ganggu!" Bentaknya pada ku.
"Kamu sudah gila ya Wil, nggak nyangka kamu bisa ngelakuin hal sebejat ini." Kak Reno ikut menghujat apa yang dilakukan oleh Wildan dan semua kegilaannya.
Aku melihat Deny yang terkapar tak berdaya disana. Ia seolah mengatakan padaku untuk menolongnya. Aku segera mendorong tubuh Wildan dan aku segera masuk ke dalam kamar itu untuk menolong Deny.
Astaga! Lubang yang Deny miliki itu terlihat sedikit robek. Dengan banyak sekali bekas kemerahan pada leher dan dadanya. Apalagi cairan-cairan bening seperti precum yang mengalir dari lubangnya.
Aku kembali melihat sosok Wildan yang segera bangkit untuk menutup pintu kamar itu dan menguncinya. Kak Reno masih di luar, sedangkan aku didalam.
Wildan perlahan berjalan ke arahku, dan melepaskan handuk yang bertengger pada selangkangannya perlahan namun pasti, memamerkan pisto ular yang ia miliki padaku.
Hanya dengan melihat batang itu, aku dibuat lemas. 'Pantas saja, Deny bisa sampai robek seperti itu.' Fikirku.
"Mimpi apa aku tadi malam, dapat dua pantat yang masih perawan malam ini."Ucap Wildan tertawa penuh kebanggaan.
Kak Reno diluar dan menggedor pintu itu seraya memanggil namaku. Aku juga membalas dengan meneriaki nama kak Reno, aku takut didalam sini, aku takut nasibku akan jadi seperti Deny.
"Reno nggak akan bisa nyelametin kamu Vin. jadi kamu dan Deny, kalian berdua akan memuaskan aku malam ini." Wildan sudah diselimuti oleh atmosfer nafsu yang tak dapat lagi ia kendalikan.
"Kak Reno! Tolong!" aku menjerit dari dalam kamar yang tak lagi terlihat seperti kamar, sprei yang telah acak-acakan dengan noda cairan-cairan putih kental beramburan dimana-mana.
"Kak Reno! Tolong!!" Aku kembali menjerit, karena tubuh Wildan yang menarik tubuhku dan membopongku pada pundaknya. Dengan penuh paksaan ia membaringkan tubuhku pada dipan dimana Deny yang juga terkapar tak berdaya disana. Aku semakin menjerit kesetanan, karena wildan tengah membuka paksa pakaianku.
'BRUAKKKK!' pintu itu terbuka dengan paksa. Aku melihat sosok kak Reno yang penuh amarah disana. Berdiri melihat Wildan penuh emosi. Wildan melepaskanku dan berjalan ke arah kak Reno.
Kak Reno yang juga penuh amarah segera menonjok pipi Wildan. Wildan bahkan langsung terkapar disana, mengaduh. karena kak Reno yang lepas kendali terlihat masih menonjok Wildan tanpa henti. Mata dan senyuman yang biasanya menenangkan kini berubah menjadi iblis berselimutkan api amarah. Wildan bahkan tak berdaya untuk menepis pukulan itu, apa begini yang terjadi apabila orang penyabar telah kehilangan kendali kesabaran?
Aku berlari ke tubuh kak Reno. Memeluk pundak kokoh kak Reno dari sisi belakang tubuhnya, mencoba menarik mundur tubuh itu, namun mustahil. "kak Reno, udah! Aku mohon berhenti." Ucapku pada cowok yang tengah terkurung dalam bisikan setan itu.
"Kak Reno!! Aku mohon BERHENTI!!" Aku menjerit untuk kesekian kalinya dan menangis pada punggungnya. Kak Reno mendengar itu dan berhenti.
"Untuk apa kamu menghentikan aku?" kak Reno kembali bertanya. "Dia udah berani nyentuh kamu. Harusnya dia itu MATI!" Lanjutnya.
"Iya, tapi udahlah. Aku baik-baik aja kok. Lebih baik sekarang kita pulang." Aku masih memeluk pundaknya dengan erat. Kak Reno kemudian berdiri dan berbalik memelukku lebih erat. Ia memejamkan matanya dan membenamkan hidung mancung miliknya ke sela-sela rambutku, aku sedikit was-was karena tadi aku keramas pake shampo wangi kesemek.
"Tumben, rambut kamu nggak bau apel." Celetuk kak Reno sembari mencium rambutku dengan khusyuk.
"Tadi habis stock shampo apelnya waktu aku mau beli, tadi tinggal ini ya aku beli aja daripada nggak keramas." Sahutku dengan bibir manyun karena kak Reno pasti berniat mencibir rambutku yang sangat wangi itu.
Di luar dugaan, ia menyukainya. "Aku tetep suka, karena walau bagaimanapun wanginya, ini tetap rambut kamu." Sungguh untuk kesekian kalinya, hatiku meleleh tiada henti dan kayang dibuatnya.
"Kita pulang yuk kak." Aku mengajak kak Reno untuk pulang dan ia mengangguk.
Aku menoleh pada Deny, namun Deny malah memalingkan muka dariku. Namun aku tetap peduli padanya, Aku segera menarik lengannya untuk keluar dari tempat ini, namun tanpa diduga ia menepis lenganku dengan angkuh.
"Ayo kita keluar." Ajakku padanya.
"Jangan bergerak, Reno! Kamu hanya boleh memilih satu, kamu membawa Deny keluar atau Malvin." Ujar Wildan seraya bangkit dan mengusap darah yang keluar dari bibirnya.
Kak Reno menarik lenganku untuk keluar namun aku meronta dan meyakinkan Deny untuk ikut kami keluar. Tapi terlambat sudah, Wildan telah menidurkan Deny diatas dada bidangnya, mengelus lembut setiap jengkal tubuh Deny. Deny hanya menatap nyalang ke arah sprei yang bersimbah sperma terebut.
Aku dan kak Reno keluar dari tempat itu, meninggalkan Deny yang harus menghadapi kenyataan pahit dirinya yang telah dikotori oleh pria bejat bernama Wildan.
Aku berjalan ke tempat parkir dengan hening bersama kak Reno. Kami berdua kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan keadaan ini.
Kak Reno merangkul tubuhku lagi saat kami sampai di tempat parkir. "Kamu masih mikirin Deny, sudahlah Vin. Kita doakan yang terbaik saja untuk Deny, kamu jangan sedih." Ternyata kak Reno merasakan kegundahan hatiku. Tapi bukan itu, bukan hal itu yang tengah mengusik rasa tenangku.
"Aku cuma mikir, apa yang harus aku lakukan jika keadaan seperti Deny saat ini terjadi padaku."Ucapku perlahan penuh ketakutan.
Kak Reno memelukku makin erat, "Hal itu nggak akan terjadi selama masih ada aku disini. Aku yang akan selalu jagain kamu. Kamu harus tau itu Vin. Dan juga sekarang udah malam, kita harus pulang. Yuk!"
Aku dan kak Reno pun segera menaiki motor miliknya.
"Siap? Pegangan!" Titah kak reno. Aku mendengarkannya dan melilitkan tanganku pada pinggang kak Reno dengan suka cita, ini yang sangat aku idam-idamkan.
Kak Reno mulai menyalakan motor itu, dan melajulah motor itu melewati malam penuh cerita dengan suara jangkrik yang penuh riang jelita. aku menyaksikan semua ini secara langsung dan ini bukanlah mimpi, senyumannya, kemarahannya, kerisauannya, dan ketenangannya di saat yang sama semua itu terpampang di depanku.
Entah takdir seperti apa yang harus aku jalani nantinya, seperti kata kak Reno bahwa aku pasti akan berlabuh pada hatinya, pada dirinya, dan pada cintanya. Tiada kegundahan yang perlu dirisaukan karena perasaan takkan mendustai sebuah rasa.
Dinginnya malam akan berubah menjadi kilauan embun di pagi hari, begitupun hujan yang akan menjadi pelangi sesudahnya, semua itu merupakan realitas dalam sebuah penjelasan akan gelap dan terang. Mungkin seperti itulah hubungan kami, gelap terang yang harus kami goreskan dalam lembaran takdir.
Aku mencintainya dalam setiap frasa, menjadi sebuah kata, dari kata menjadi kalimat, dari kalimat menjadi paragraf, tiada definisi terbaik betapa besar harapan yang aku gantungkan padanya. dan begitupun nama seorang Reno Dwiki Alfiansyah yang senantiasa membingkai indah kisahku, membuat kisah berbalut seperti retorika, namun semua ini fakta.
"Kak Reno turunin aku disana aja ya." Aku menunjuk sebuah pertigaan yang mana jika berbelok akan sampai di rumahku. Aku ingin sekali memintanya untuk menurunkanku di depan rumah, namun apalah daya, ada hati lain yang perlu untuk aku jaga.
"Baiklah, Joe pasti telah menunggumu di depan rumahmu." Ucapannya tepat mengenai sasaran.
Aku hanya diam mendengar hal itu. Bukan berarti aku berselingkuh, namun karena permintaan kak Reno padaku untuk berhubungan dengan kak Joe. Aku menerima semua ini, dengan konsekuensi sesal tak boleh jadi kesal, dan ragu dikata rindu.
Sampailah aku pada sebuah trotoar jalanan yang berbisik kelam pada indahnya malam. Kak reno menurunkanku disini, senyumnya terlihat masam dipandang. "Aku pulang dulu ya kak." Aku hampir berlalu saat itu juga, hingga sebuah lengan terulur dan menarikku ke pelukannya dan menghentikanku. Membenamkan tubuhku dalam kilau kebahagiaan dan kesedihan di saat yang sama.
Tangis tak terelakkan, kegundahan hatiku, dan seluruh tembok hati yang aku buat hancur lebur dalam sekejap. Kak Reno juga demikian, hatinya terleburkan dalam cawan bertuliskan cinta.
Tiada kata untuk menyingkap keheningan, ataupun tawa untuk menghapus air mata. Seperti pepatah yang selalu berucap bahwa cinta tak harus selalu dikatakan. Kita akan selalu menjadi penggemar rahasia antara satu sama lain. Mengagumi karena cinta, namun tak dapat mencintai.
"Sudah, sudah. Maafin kak Reno yang udah bikin kamu nangis kayak gini. Kamu harus segera pulang gih." Ucap kak Reno terdengar parau.
Pelukan itu terlepas. Aku menunduk dan menghapus air mataku.
Tanpa kata, hanya senyuman yang dapat aku tunjukkan padanya. Dan saat itulah aku berbalik badan, berlalu dari hadapan sosoknya yang tiada memudar walau dalam gelap malam.
Saat itulah aku berlari kecil menuju rumahku yang berjarak seratus meter dari belokan tadi. Aku dapat melihat seonggok mobil swift yang terparkir dengan damai di depan rumahku.
Aku harus menghadapi sosok lain yang juga setia menantiku disana. Aku tahu cinta sejatiku di luar sana kak Joe, dan bukan bersamamu. tapi satu hal yang harus kamu tahu 'Aku akan membuatmu selalu bahagia.'
Karena tak penting apakah kita mencintainya, sebab aku percaya bahwa kebahagiaan bisa datang dari mana saja.
Aku mengetuk pelan jendela mobil itu, tampak seorang lelaki yang tertidur disana terbangun. Melihatku dengan terkejut dan segera membuka pintunya untuk memelukku. Apakah ini hari berpelukkan? Entah sudah berapa banyak pelukan yang aku dapatkan dalam satu hari.
"Kamu dari mana aja sih Vin? Aku muter-muter nyariin kamu dan nggak nemuin kamu dimanapun. Kamu mau ngeliat aku mati kesepian hah?" Gerutu kak joe. Aku tersenyum kecil mendengar hal itu.
"Aku minta maaf ya kak Joe, maaf udah bikin kamu khawatir dan nunggu aku kayak gini." Ujarku menyesal karena mengatakan hal kasar di telpon tadi. Lihat Malvin! Dia bahkan tidak sakit hati.
"Cium aku sebagai tanda maaf." Sahutnya polos. Namun aku bersyukur mendengar hal itu, karena berarti dia masih waras.
"iya nanti. Sekarang masuk dulu. Yuk."
"Oke, masuk ke mobilku biar sekalian aku parkir mobilnya di dalam."
Begitulah malam ini berakhir dengan penuh kisah, termakan oleh gelombang cinta dan terdampar pada pulau harapan.
Ah, sudahlah. Aku ingin tidur dulu.
Bersambung
Vote dan comment sangat membantu. jangan jadi silent reader.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top