Part 7

Aku merengut sedari tadi di meja belajar, Entah sudah berapa putaran waktu yang telah aku habiskan hingga selarut ini. Hatiku tak tenang, fikiranku sibuk berfikir, dan diriku sendiri kebingungan untuk memilih ataupun memutuskan.

'Takdir', semudah itukah alasan dari semua hal yang terjadi padaku?

Jadi berasa galau, atau begitulah aku menyamakan diriku dengan para remaja-remaja seusiaku. Atau mungkin saja, aku yang terlalu mempermasalahkan hal-hal yang sederhana? Ayolah, ini semua bukan hal yang sederhana.

Aku berdiri dari tempat dudukku, membiarkan lembaran buku di atas meja belajar terbuka diterpa angin malam. Kemudian aku mencoba untuk tidur, meski sulit aku mencoba untuk tidak membuka mata.

'Kletak..' Suara kerikil sebesar permen mengenai kepalaku. Aku terbangun, kebingungan darimana asal kerikil ini. Mataku tertuju pada jendela kamar yang terbuka, semakin fokus, terasa semakin menakutkan saja.

Aku menatap jendela tersebut dengan seksama, namun 'Kletak!' Krikil kedua sukses mengenai kepalaku untuk kedua kalinya. Dongkol! Aku berdiri dan menatap keluar jendela kamar.

Bosan, namun harus aku katakan. Itu kak Joe sedang melambaikan tangannya kepadaku. Entah apa yang pernah aku lakukan pada dirinya, hingga membuatnya menjadi seorang penggemar rahasia yang gemar menaruh bunga mawar, bahkan lebih parahnya memperlakukanku bak kekasih.

Lambaian tangan kak Joe mengisyaratkan padaku untuk datang padanya. Namun dengan malas nan ketus, aku menutup kasar jendela beserta gorden kamarku.

Aku menghambur ke tempat tidur. Enggan menghiraukan sosok teroris yang mengkambing-hitamkan cinta sebagai tameng untuk mengusik hidupku. Aku sedang patah hati, dan aku tak menginginkan siapapun untuk menerobos tembok pertahanan yang tengah aku buat.

Mataku terpejam, dengan menghiraukan suara berisik pada jendela tersebut. Ayolah! Tiduuuuuurrrrr....

Pada akhirnya, suara berisik tersebut berhenti juga. Aku rasa tidak, atau mungkin bertambah buruk.

Dalam heningnya malam, aku mendengar teriakan "MALVIIIINN!!!!! SAYANGG!!!! AYO KITA KENCAAAAAANNN!!" Teriakan kak Joe tersebut seketika membuatku membelalakkan mata. Apa kata tetanggaku nantinya? Aku segera ngacir turun dan keluar untuk menutup mulut kak Joe yang tak lagi memiliki urat malu.

"Cukup kak! kamu masih egois kayak gini? Kita putus aja." Ucapku pada kak Joe di depannya, otakku dipenuhi dengan amarah saat ini. Bagaimana bisa ia begitu gemar mengusik hidupku? Kumohon, Cukup! perlakuan aneh kak Joe yang terus-menerus ingin memasuki hidupku.

"Jangan marah, Maafin aku ya." Ujar Kak Joe memelas. Aku juga punya batas kesabaran, jadi tolong untuk tidak mengusikku dalam waktu dekat ini. Karena sepertinya hormon marah-marah tengah bereproduksi.

"Ada apa kesini?" Tanyaku ketus dan merasa tak perlu menghiraukan perilaku aneh-aneh kak Joe.

"Kamu sendirian kan dirumah, Vin?" Tanya kak Joe. Tunggu, gimana bisa kak Joe tahu kalau aku sendirian di rumah? Atau itu hanya tebakan yang beruntung?

"kenapa?" Tanyaku masih dengan ekspresi teramat ketus.

"Maaf ya Vin, tapi kak Joe sudah diminta oleh tante Tiara untuk menjagamu di rumah malam ini. Jadi bagaimanapun kak Joe harus masuk." Kak Joe beralasan dengan aksen formal yang dibuat-buat.

"Buktinya?"

"Ini." Kak Joe menunjukkan pesan singkat dari Mama. Oh! Yang benar saja Mama ini, Gimana mungkin si Jonathan Achiviera Hendra ini diminta menjagaku, ia bisa saja merenggut keperjakaan anakmu Ma!!

Kak Joe seketika nyelonong masuk ke dalam rumahku, dan tanpa permisi memasuki kamarku. Aku sekuat tenaga menarik tubuhnya untuk keluar. "KAK JOE GAPERLU REPOT-REPOT. SENDIRI ITU LEBIH BAIK KOK." Aku mencoba mengusir pria posesif satu ini. Namun aku hanya melakukan hal yang sia-sia. Karena apa? Kak Joe sudah melepas pakaiannya dan menyisakan celana boxernya itu, kemudian dengan santainya meniduri kasur tercintaku.

Tak ingin ambil pusing, aku mengambil bantal dan selimut kemudian berjalan keluar kamar.

"Mau kemana Vin?" Tanya kak Joe.

"Tidur diluar." Tanpa menghiraukan kak Joe, aku berjalan keluar menuju ruang keluarga. Sebelum aku menikmati tidurku di atas sofa, Kak Joe memulai kejahilannya.

"Tadi aku lihat kuntilanak duduk disitu." Seloroh Kak Joe, dengan tunggang-langgang aku berlari kembali ke kamar. Menutup pintu kamar dengan keras, dan mencoba menetralisir rasa takutku, sedangkan kak Joe malah cekikikan di atas bed milikku. Aku memang pengecut bila mendengar tentang hantu, dan kak Joe sepertinya sudah mengetahui hal itu.

"Sini-sini, sama om." Kak Joe melambai padaku. Aku begidik geli mendengar ucapannya.

"Aku tidur di bawah aja." Aku melemparkan bantal dan selimut itu ke atas karpet, kemudian tidur tanpa beban. enggan untuk menemani pria satu itu, apalagi tidur bersamanya.

"Gimana ya Vin, kemarin ada suster ngesot.." Belum sempat kak Joe menyelesaikan ucapannya, aku segera tidur di atas. Memukul lengan kak Joe dengan keras, namun sepertinya ia tak merasa sakit dengan pukulanku karena tawanya semakin kencang.

Lengan kak Joe mendekapku erat, tanganku sulit bergerak, dada bidangnya tepat di depan wajahku, bau keringat lelaki menyeruak pada hidungku. "Lepas! Kak Joe abis nge-Gym ya?" Tanyaku curiga pada bau kak Joe yang sedikit asem namun ada wangi-wangi bodyspray juga.

"Iya, enak ya baunya." Ucap kak Joe.

"Pantesan baunya asem-asem jawa gitu, mandi dulu sana kak." Aku mendorong tubuhnya agar aku terbebas dari tubuhnya yang hangat itu, maksudku pelukan kak Joe sungguh hangat. Namun sepertinya mustahil untuk melepas pelukan selengket ini.

"Nggak mau ah Vin dingin." Keluh kak Joe.

"Jangan ngehina rumahku ya, ada kok pemanas airnya. Mandi gih." Titahku.

"Percuma nanti aku mandi, kamu tetep nggak mau aku peluk. Mending gini aja bisa meluk kamu." Entah kenapa pria ini begitu manja.

"Oke, peluk aku lagi nanti kalau udah mandi. Sekarang minggir-minggir." Aku menjorokkan tubuhnya untuk menjauh. Kak Joe meringis kesakitan dibuat-buat dan melangkah ke kamar mandi sembari mengambil handukku.

Aku dapat bernafas lega, dan tertidur dengan nyenyak. Meski aku sebenarnya agak risau tentang apa yang akan terjadi. Bagaimana jika begini? Bagaimana jika begitu? Kerisauan itu membuat tidurku hanya berguling-guling tanpa kejelasan.

Cahaya bulan menelusup dari jendela kamarku, Angin di luar meniupkan dedaunan musim kemarau yang berguguran dan mulai menguning. Entah berapa malam? Perasaan pria itu akan tetap bertahan. Sejujurnya, dalam lubuk hati yang terdalam ingin ku katakan, 'Aku tak meyakininya.' Namun, ia terus saja mencoba menghancurkan tembok jarak yang telah aku bangun untuknya. Hingga perasaan ini dibuat luluh dan tak berdaya di hadapan cintanya.

Pintu kamar mandi mulai terbuka, Aku berpura-pura tidur. Dalam diam mataku menelisik tubuh kak Joe yang baru saja selesai mandi. Kak Joe mengambil pijama yang ada dalam lemariku, itu sama sekali tak muat dalam tubuhnya namun ia tetap memakainya dan membuat dada bidangnya terekspos.

Aku menelan ludahku saat kak Joe mulai membaringkan tubuhnya di belakang punggungku.

Keringat dingin bercucuran saat lengan besar memeluk tubuhku.

"Entah kapan, namun aku akan sangat menunggu saat kamu nerima aku Malvin." Suara itu berbisik di telingaku, bersamaan dengan jemari mengelus lembut rambutku.

Aku terdiam. Tak dapat aku mengatakan apapun, karena masih sulit untuk berjalan meninggalkan masa lalu yang singkat. Aku memang kekasih kak Joe, namun hatiku? Aku merasa sangat mengkhianati kak Reno bila jatuh cinta pada orang lain. Meski aku tidak tahu, apa dia masih peduli?

Malam itu aku sungguh tidur dengan nyenyak, mungkin karena pelukan sehangat kain wol yang memelukku semalaman. Kak Joe juga sepertinya juga demikian.

Pada paginya, aku terbangun terlebih dahulu. Kak Joe masih terlelap dalam tidurnya. Aku segera mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Setelah selesai, aku membangunkan kak Joe untuk mandi. Namun membangunkan kak Joe sungguh membunuhku, karena tubuhnya yang besar itu sangat sulit untuk berkompromi.

"Hoooooaaammm.... eh, Malvin." Kak Joe masih menguap. "Kamu udah bangun?" Tanya kak joe.

"Iya, kak Joe mandi sana. Habis ini berangkat ke sekolah. Kak Joe bawa seragam nggak?" Ujarku pada kak Joe yang mulai bersiap mandi.

"Ada kok Vin, di bagasi."

"Ya udah, aku ambilin." Sahutku. Sebelum tubuhku keluar dari pintu, kedua tangan besar melingkar pada leherku. Dan sebuah kecupan terasa pada rambutku.

"Makasih ya Vin." Ujar kak Joe. Aku mengelus lembut kedua tangan itu dan tersenyum.

"Iya kak, sama-sama." Celetukku. Setelah kedua tangan itu melepaskan pelukannya. Kakiku berjalan untuk menyiapkan keperluan kak Joe sekolah. Setelah semuanya siap, aku membuat sarapan. Tak banyak yang bisa aku buat, hanya roti berisi telor mata sapi dan segelas susu.

Setelah sarapan, aku pergi ke sekolah bersamanya.

***

Bu Jeni masih saja menjejalkan ilmu matematika pada seluruh muridnya tanpa peduli ekspresi kantuk semua murid disini.

"Jadi, matriks bla bla bla bla.." Penjelasan bu Jeni masih mengisi seluruh ruangan ini. Sedangkan aku sudah sangat mengantuk untuk menangkap 100% apa yang disampaikan oleh bu Jeni.

"Vin, ini kalo invers matriks A tuh gimana sih?" Vero bertanya tentang soal yang diberi oleh bu Jeni. Aku hanya menggeleng-geleng kepala tanpa semangat.

"kalau lu tanya ama gue, terus gue tanya ke siapa?" Celetukku dengan mata sembab menahan kantuk. "Tanya ama Deny sana Ver, nanti gue nyontek." Lanjutku dengan menunjuk cowok berkacamata di depan sana.

'Kriiiiiiiinggggg.....' Bel istirahat berbunyi dan mengusir tante mata duitan yang sedari tadi membicarakan matriks, juga senang menghitung bunga, pinjaman, yang bu Jeni anggap sebagai materi pelajaran tersebut. Kelas mulai sepi karena para penghuninya telah ngacir ke kantin.

"Vin," seseorang memanggilku. Bukan suara kak Joe sih. Suaranya lembut-lembut gitu. Aku mendongak dan melihat cowok chinese berkaca-mata yang berdiri didepanku, Deny.

"Ada apa Den?" Tanyaku ramah. Rasa kantuk akan matematika sepertinya sudah hilang.

"Kamu udah ngerjain belum tugas matematika dari bu Jeni tadi?" Tanya Deny padaku.

"Belum Den, aku masih bingung." Ucapku yang berniat mengerjakan tugas, mengandalkan catatan dari Deny.

"Ini aku udah selesai." Deny menyodorkan bukunya dengan Cuma-Cuma, tapi bukankah tugas ini masih dikumpulkan lusa? Hebat sekali Deny, berbeda denganku yang gemar bermalas-malasan.

"Wah, makasih banget Den." Aku segera menyalin catatan serta tugas pada buku Deni, mungkin jika terus begini nilai tugasku akan sembuh sedikit demi sedikit.

"Vin, boleh nanya sesuatu nggak?" Tanya Deny di sela-sela kesibukanku mencoret-coret buku matematika dengan tulisan tugas bak tai ayam.

"Nanya apa Den"

"Anu. Gini, kamu sekarang kan udah jadian ama Kak Joe. Aku mau bilang sama kamu kalau aku berniat ngedeketin kak Reno." Celetukan Deny tersebut sukses membuatku terdiam, membisu sejuta bahasa. Tanganku berhenti seketika dari pekerjaannya, dan jantungku terasa diremas kuat-kuat oleh sebuah fakta.

"Aku suka sama kak Reno." Lanjut Deny. Dengan membisu, aku berlalu dari hadapan Deny, meninggalkan pria yang aku tak tahu motifnya mendekatiku.

Aku berjalan menuju perpustakaan. perpustakaan di sekolahku amat besar, namun minim akan peminat. Aku berjalan ke sebuah ruang baca kesukaanku, ruang itu berada di pojokan, tertutupi oleh beberapa etalase buku perpustakaan, itu yang membuat ruangan ini sangat cocok untuk sendiri. Karena tak banyak murid yang menyadari keberadaan tempat ini.

Aku duduk di tempat itu, menatap bingkai jendela dihadapanku yang memperlihat sisi belakang dari perpustakaan yang mana adalah parkir sepeda motor.

Aku kembali teringat apa yang dikatakan oleh Deny, ia berhak untuk mencintai kak Reno dan aku tak seharusnya bersikap egois. Aku sudah bukan lagi milik kak eno, bukankah ia sudah seharusnya mendapat sosok yang lebih baik dari aku. Aku rasa Deny adalah orang yang tepat.

Entah mengapa suasana menyedihkan merasuk dalam perasaanku, menumpahkan air pada kelopak mataku. Aku yang tak berdaya harus menerima fakta bahwa kak Reno akan dimiliki orang lain.

Tapi bukankah kak Joe juga telah mencurahkan hatinya dengan penuh cinta padaku. Aku pun yakin bahwa cintaku akan tumbuh sesudahnya, karena seperti yang kak Reno katakan, bahwa kak Joe lebih membutuhkan diriku.

Namun tak semudah yang telah terucap, cinta tak mudah berpaling secepat kau membalikkan tangan. Meski aku telah mencoba menerima kak Joe apa adanya, Namun semua hal perlu proses.

'Apa aku biarkan saja Kak Reno dan Deny berhubungan?' Semakin aku memikirkan ini, semakin air mataku keluar dengan tanpa hambatan.

'tok... tokk..' Kaca jendela di depanku diketuk oleh seseorang, perlahan aku menatap sosok itu, dia adalah kak Reno, tanpa babibu Kak Reno pergi dari situ dan berjalan kemari. Aku terperanjat di tempatku karena malu yang hampir tak ketulungan. Bagaimana bisa kak Reno melihatku berceceran airmata?

Aku segera berjalan keluar, namun terlambat. Kak Reno berdiri di hadapanku saat ini.

"Ha-hai" Ucapku sembari mengusap luberan air mata dengan tanganku.

"Vin, ada apa?" Tanya kak Reno lembut. Jika aku berada di dekat kak Reno seperti ini, aku selalu merasakan perbedaan di antara kak Joe dan kak Reno. Apa kalian juga merasakan hal yang sama?

"Nggak ada apa-apa kak, aku mau ke kelas dulu." Selorohku beralasan.

"kelas kamu lagi jamkos, kamu tenang aja." Sanggah kak Reno. SKAKMAT!!!

Aku terdiam. Menunduk dalam-dalam.

"Vin, ayo duduk." Kak Reno menggiring tubuhku menuju sebuah kursi dan bangku yang ada disana. "Sekarang cerita." Titahnya.

Awalnya aku hanya membisu, mencoba merangkai kata demi kata. "Kak Ren, kenapa kamu taruh aku di posisiku saat ini?" air mata luruh saat aku mengatakannya.

"Maaf Vin, kak Reno nggak bermaksud melakukan semua ini. Coba mengerti." Celetuk kak Reno.

"Aku bingung, kenapa kita harus menyelamatkan hati orang lain? Sementara hati kita sendiri telah hancur berkeping-keping." Aku mencoba menjelaskan pada kak Reno.

"Nggak Vin." Kak Reno mengusap lembut air mata di pipiku. "Aku sangat sayang sama kamu, tapi masih ada yang jauh lebih butuhin kamu." Kak Reno kembali mengatakan kalimat itu.

"Cinta itu egois, itu yang aku tahu. Tapi kenapa kamu kayak gini? Aku juga ingin diperlakukan sebagaimana perasaan kak Reno padaku."

"Kenapa harus membuat cinta sekeruh dosa? Sementara kita bisa membuatnya suci dengan mengorbankan cinta kita, Berkorban untuk kebaikan kita dan orang lain" Ucap kak Reno, kemudian ia menggenggam tanganku. "Kamu harus percaya, tuhan saja tak akan tega memisahkan kita berdua. Karena cinta kita sejati."

"Tapi kak Ren, aku merisaukan semua hal. Sejujurnya, aku takut dengan rasa kehilangan. Aku tak rela jika hatimu untuk orang lain kak." Sahutku dengan emosional, aku terlalu baper dengan keadaan sekarang yang rumit ini.

"Ingat Vin, Kita itu air sungai dan air laut. Kemanapun kamu tempuh dan pilih jalan hidupmu. Ke lautlah pada akhirnya kamu akan bermuara. Untuk apa merisaukan hal-hal yang belum tentu terjadi, Karena hatiku telah tertambat pada seseorang. Aku nggak mau yang lain-lain lagi."

"Tapi kamu pantas untuk mencintai dan memiliki seseorang. Sejujunya aku memang egois kak, tapi melihatmu bahagia jauh lebih membahagiakan aku."

"Aku sudah memiliki semua kebahagiaan, aku sudah memiliki kamu. Meski sebenarnya aku harus membaginya pada Joe. Meski sebenarnya aku harus melepaskanmu pula. Tapi satu hal yang aku yakin adalah kamu akan menjadi milikku, bukan Joe atau siapapun." Ucapan demi ucapan kak Reno laksana air hujan yang menghapus air mata kepedihan pada mataku, menyegarkan dan menenangkan.

Perasaan ini sudah cukup bahagia mendengar semua untaian kata-kata itu.

"Aku kok jadi lapeer ya?" Celetukku. hehehe, ternyata bener kata orang, kalau baper itu bikin laper.

"Bisa aja kamu, yuk kak Reno traktir." Kak Reno menarik tanganku menuju kantin.

Begitulah setiap masalahku, hanya kak Reno yang mampu memahaminya. Begitu pula dengan semua sikapku, hanya kak Reno yang sangat mengenalinya.

Bersambung.

Jangan Lupa Vote and comment, mana yang lebih cocok jadi couple?

Joe & Malvin? Reno & Malvin? Atau Reno & Deny?

Yang comment semoga dapat mengambil faedah dari ini semua, meski entahlah apa faedahnya. But i am really hoping you'll like this story.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top