Part 6
Part 6
"Dimana cinta sulit untuk ditemukan, maka temukanlah kasih sayang."
***
Katakan padaku sekali lagi! Aku masih sulit untuk percaya apa yang baru saja aku ketahui.
"Kenapa?" Hanya itu yang dapat aku katakan. Baiklah, jika dia membenciku itu tak mengapa, bukankah sudah hal yang mainstream bagiku untuk dibenci oleh para kaum hawa.
"EH! BANCI! KENAPA LO NGGAK MATI SEKALIAN." Umpat Ratna penuh amarah. "Reno? Joe? Dan sekarang Wildan? Dasar banci keparat! Kenapa lo harus ambil semua cowok di dunia ini." Ratna tampak marah dengan tatapannya yang mengolok. Sedangkan polisi mencoba menenangkan anjing itu agar tidak meggigitku.
"JAGA MULUT LU!" Kak Reno ikut menyalak. Aku harus ekstra memegang bahunya agar tidak saling gigit dengan satunya. Baiklah, aku pacar paling durhaka telah mengatakan cowokku sendiri sebagai anjing. Maaf!
"Udahlah kak, dia itu mulutnya kayak rentenir yang suka nyablak. Mending jangan samakan diri kita dengan si rentenir itu." Ucapku mencoba menenangkan cowokku, duh panggilannya! Yang biasanya kak Reno. J
"WILDAN ITU COWOK GUE! GUE NGGAK TERIMA JADI HOMO GARA-GARA BANCI KEPARAT KAYAK LU!" Umpatan itu tepat menampar akal sehatku. Jadi si homo denial yang bernama Wildan itu cowok dari cewek anjing ini? Astaga!
"Mungkin dia jadi homo karena lu yang nggak memuaskan sebagai cewek." Sahutku, dan seketika membuat Ratna stroke. Bercanda! Dia Cuma sedikit shock mendengar apa yang aku katakan. Lagipula apa yang telah dia lakukan adalah hal yang sangat kurang ajar, bukannya meminta maaf malah mengumpat sana sini. "Lu ama gue juga lebih cantik gue." Oke! Untuk kali ini aku harus berlagak binal dan membungkam mulut bejat tuh anjing.
"Udah, yuk pergi." Ajak Cowokku.
Bisa nggak manggilnya jangan alay gitu?
Ciye... yang jones sirik liat orang pacaran. Authornya jones.
Please vin, ke-alay-an lu udah diatas kewajaran, gw nggak jones ya. Gue kan ada banyak koleksi gadun. Wkwkwkwk. Dan panggil mas pacarnya biasa aja.
Biasa gimana?
Panggil mama papa gitu. :3
Pacul mana pacul?
**
Aku dan kak Reno berjalan menuju rumah sakit, jarak antara rumah sakit dan kantor polisi tidak terlalu jauh. Apalagi jika sambil bebincang ria dengan cowokku. Seneng ya rasanya nggak jomblo lagi, gak apa deh meski jadiannya sama sahabat sendiri, sama mantan ketua osis yang hits, sama cowok paling ganteng di sekolah. Jenis kelamin bukan segalanya.
"Kak Reno, seandainya ada sesuatu yang misahin kita? Apa setiap hal masih berjalan sewajarnya?" Pertanyaan bodoh bin bahlul terucap begitu saja dari mulutku. Bukankah hal yang wajar bagiku untuk merasa khawatir? tentang apa yang akan terjadi suatu saat nanti. Apakah itu berarti aku tak ingin kehilangannya? Apa itu arti dari cinta yang sesungguhnya? Tidak ingin kehilangan satu sama lain.
"Tentu saja, baik aku dan kamu nggak perlu merasa risau. Karena aku ibarat laut, dan kamu adalah sungainya, hal yang harus kamu ingat adalah kemanapun kamu ikuti arus hidup kamu, maka padaku kamu akhirnya bermuara vin."ucapan manis itu memang sangat menyentuh dalam kalbuku. Tanganku tanpa diperintah memeluk sosok lelaki penuh kata-kata manis ini, dan aku meyakini semua omong kosongnya. Karena dalam omong kosong itu, suara takdirku akan menggema didalamnya.
"Aku takut.."
Kak Reno mengeratkan pelukan kami, seolah mengatakan padaku untuk tenang. "Jangan takut, bukannya aku udah bilang aku ini laut kamu. Apalagi yang kamu takutin Malvin?"
"Aku takut hiu, kan dilaut ada hiu." Kalimat tersebut sukses berhadiah sebuah jitakan lembut di kepalaku, dan disitulah kemudian kami tertawa. Menikmati setiap detik, karena aku sudah tidak sendirian lagi, ada kak Reno, tempatku pada akhirnya bermuara.
Setelah berbincang dan bergurau dengan bahagia, kami memutuskan untuk menjenguk kembali kak Joe di rumah sakit. Lagipula aku juga tidak tahu, seperti apa reaksinya nanti saat mendengar hubungan kami. Tapi apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin dimiliki oleh dua orang sekaligus, dan pada akhirnya aku harus menyakiti yang lainnya. Aku juga tak ingin kak Joe jatuh cinta padaku terlalu dalam, itu hanya akan menyakitinya. Masih banyak wanita yang jauh lebih pantas untuk mendapatkan cintanya. Dan aku merasa apa? Aku sama sekali tidak pantas.
Beberapa menit kemudian, kami sampai di rumah sakit dimana kak Joe dirawat. Aku dan kak Reno segera masuk. Namun saat aku memasuki ruang rawat kak Joe, terdapat simbahan darah pada lengan kak Joe. Aku segera berlari menghampiri kak Joe, sedangkan kak Reno memanggil dokter. Aku mencoba memanggil-manggil nama kak Joe.
Rasa panik begitu membuncak saat melihat kak Joe bersimbah penuh darah seperti ini, 'om Hendra kemana sih?' tanyaku dalam hati. Ia harusnya menjaga kak Joe. Lagipula apa yang dilakukan cowok satu ini hingga bersimbah darah seperti ini. Bagaimanapun aku sangat merasa bersalah tentang hal apapun yang terjadi pada kak Joe. Setidaknya, aku belum dapat mengatakan tentang kak Reno saat ini pada kak Joe. Aku menghebuskan nafas penuh kegetiran.
Tak berapa lama, dokter dan kak Reno datang. Kami segera membawa kak Joe ke ruang UGD. Dengan sekuat tenaga aku, kak reno, dan dua orang suster mendorong dipan kak Joe menuju UGD.
"Uhuk," kak Joe terbatuk, aku membelalakkan mata. Merasa senang karena kak Joe masih sedikit sadar. Namun aku tak menyangka, dengan kondisinya saat ini. Kak Joe masih mampu mengucapkan kalimat seperi ini. "Malvin, aku mau mati aja." Ujarnya. Aku sangat bingung. Apa yang sebenarnya terjadi pada kak Joe?
"Kamu omong apa sih?" sahutku dengan bingung.
"Percuma aja aku hidup, kalau kamu nggak mau sama aku." Maksudnya apa? Apa Kak Joe sedang mengigau? Ingin sekali aku menampar wajahnya agar tidak melakukan eksperiman bunuh diri sebodoh ini.
Aku masih terdiam.
'uhuk.' Darah kembali keluar dari mulut kak Joe. Namun, meski demikian ia masih dapat berbicara. "Kalau kamu mau berjanji, kamu mau jadi milikku. Aku janji, aku pasti sembuh." Aku semakin panik, urat keringatku sedang bereproduksi dengan cepat. Seolah waktu sedang melambat saat ini. Fikiranku melayang, ingin sekali aku berkata jika aku sudah tidak jomblo lagi. Tapi gimana kak joe nantinya? Atau jika aku berkata mau menerima kak Joe? Bagaimana kak Reno nantinya.
Aku menatap kak Reno, namun ia melemparkan senyum penuh keyakinan dan mengangguk. Mengisyaratkan aku untuk menyetujui permintaan absurd kak Joe. Otakku mulai bekerja dan mengolah berbagai implus yang diterimanya. "OKE! AKU SETUJU! ASALKAN KAMU SEMBUH!" ucapan itu akhirnya terlontar begitu saja. Hatiku mati rasa, berdarah namun tak terasa.
Seketika ranjang dorong rumah sakit itu masuk ke dalam ruang UGD bersama beberapa perawat, menyisakan dua sejoli yang sibuk dengan pikirannya masing-masing ini. Memikirkan hal-hal yang akan terjadi setelah ini. Sejujurnya, apapun yang terjadi aku tak ingin berpisah. Tapi kenapa kak Reno seperti memainkan perasaanku? Apa sih maksud dari semua ini?
"Vin. Maafin kak Reno." ucap kak Reno dari sampingku. Aku bingung. Aku sangat ingin menangis, perasaanku sungguh tak menentu. "Kakak fikir Joe lebih butuhin kamu." Lanjutnya. Perasaanku semakin terombang-ambing badai. Kak Reno? Apa kamu nggak tahu sakitnya perasaan ku saat ini? Bagaimana bisa ia memberikan kekasihnya pada orang lain? Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menjauh dari hadapan kak Reno. Mungkin ini akan jauh lebih baik apabila aku tidak melampiaskan emosiku saat ini.
***
*RENO POV*
Jika orang yang paling berharga itu mulai menjauhimu. Apa dunia ini masih berharga? Malvin jauh lebih berharga daripada seluruh barang berharga. Apa aku terlalu egois? Aku melihat wajah Joe yang sangat mencintai Malvin, mungkin Joe bisa membahagiakan Malvin. dari apa yang aku lihat, Joe sangat membutuhkan Malvin. Begitupun Malvin juga pasti bahagia dengan segenap kasih sayang yang Joe berikan. Aku tak ingin malvin terpuruk, hanya karena berfikir kematian Joe dikarenakan oleh dirinya. Aku ingin malvin bahagia. Aku akan mengesampingkan ego dan perasaan hanya untuknya.
"Halo tante, kondisi Joe memburuk. Apa tante bisa kemari? Saya bingung harus menghubungi siapa?" Aku segera menelpon Tante Tiara, Suara Tante Tiara di sebrang sana, ia juga tampak khawatir sepertinya. Aku tahu sebelumnya Tante Tiara, Ayah Joe, dan Malvin menjaga Joe bersama. Dan begitulah aku memutuskan untuk menelpon Tante Tiara.
Setelah menelpon Tante Tiara, aku segera mencari dimana keberadaan Malvin, aku melihat ekspresi wajahnya yang bingung tadi. Aku tahu bahwa aku telah menyakiti perasaannya, tapi aku harus bagaimana lagi? Aku berlari kesana-kemari mencari keberadaan lelaki pujaanku itu berada, namun aku masih belum bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya, aku sampai pada rooftop gedung rumah sakit ini, dan seonggok lelaki mungil yang tengah menatap keramaian kota.
Aku mulai berjalan mendekati lelaki itu, dan berhenti dibalik punggungnya. Mungkin ia telah menyadari keberadaanku, hanya saja masih kecewa dengan sikapku tadi.
"Malvin." Desisku memanggil namanya.
Ia masih tak bergeming dari kesunyian.
"Kak Reno minta maaf, tapi mengertilah, kak Reno sayang sama Malvin." Aku mencoba mengakhiri kesunyian. Rasa sakit hatiku memuncak, menimbulkan aliran aneh pada kelopak mataku. "Maafin kak Reno." Ucapku tertahan. Rasa sedih itu menyelimuti hati bak kabut.
"Mau kak Reno apa?" Malvin mulai bersuara, namun apa maksudnya?
"Aku ingin kamu bahagia." Jawabku sejujurnya.
"Apa ini membuatku bahagia? Aku harus apa kalau kak Joe nantinya sembuh dan menagih janji gila ini." Malvin masih bertanya sembari menatap pemandangan kota, dan aku ingin sekali memeluk punggung didepanku saat ini.
Pikiranku semakin kalut saat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Malvin. "Tak ada yang bisa kita lakukan Vin, mungkin ini saatnya kamu dapet yang lebih baik daripada aku." Ujarku . Setengah hati aku mengatakan kata-kata keji ini, kami baru saja memulai hubungan dan kenapa hal seperti ini harus terjadi? Meski sejujurnya aku tak ingin kehilangan Malvin.
Malvin hanya diam, mungkin hatinya sangat hancur saat ini. Aku memang orang jahat, sungguh jahat. Tapi Malvin, yang harus kamu tahu adalah Joe mungkin saja akan menabrakkan dirinya di jalanan jika kau sampai menolaknya. Dan seorang pemikir sepertimu akan menagis berhari-hari atau mungkin trauma seumur hidup. Apa aku setega itu membiarkan nya terjadi? Bersabarlah Vin, Cinta itu akan muncul bila disirami dan dirawat oleh kasih sayang yang tulus, dan tak lama lagi kamu akan merasakan jatuh cinta pada lelaki lain, setelah itu, aku hanya menghitung hari dan menunggu saat dimana aku akan dilupakan.
Malvin berlari kebelakang, matanya sembab. Ia berlari tanpa menghiraukan aku. Sebulir air mata menetes disusul oleh air mata lainnya pada kelopak mataku. Aku menangis sendirian, memikirkan betapa hancurnya hati kami berdua. Aku harus menelan mentah-mentah kenyataan pahit ini, menerima fakta bahwa aku telah melepaskan semua kebahagiaan. Mengganti semua rasa hidupku menjadi rasa pedih.
"Malvin." Desisku menyebut namanya. "Aku akan menjagamu dari jauh, dan saat kau mulai menangis. Saat itulah aku takkan bisa membiarkan kaki ini tetap menjauh."
Aku mulai bangkit, berjalan tertatih menuju ruang tunggu, meski sesungguhnya diri ini belum siap untuk melihat kekecewaan di mata Malvin. Tak butuh waktu lama untuk aku sampai di ruang tunggu. Benar saja, Malvin duduk disana sendiri dengan tatapan kosong.
Aku berjalan mendekat, namun Malvin berdiri dan pergi entah kemana saat ia melihat diriku. Kami bagaikan orang asing yang tak pernah mengenal satu sama lain. Aku benci untuk mengatakan bahwa akulah penyebab semua ini terjadi.
Beberapa menit kemudian kedua orang tua Malvin datang bersama Om Hendra, wajah mereka tampak khawatir. Kemudian tatapan kami bertemu, ketiga orang itu berjalan ke arahku.
"Apa kamu Reno? gimana keadaan Joe?" Om Hendra bertanya padaku. Wajah paruh baya itu tampak berkeringat dingin dengan mata berair seolah baru saja menangs.
"Malvin juga dimana?" Timpal Tante Tiara.
"Joe sudah masuk UGD beberapa menit yang lalu."Jawabku apa adanya. "dan Malvin..." Tenggorokanku tercekat, sedangkan mata ketiga orang itumelihat dengan tatapan menyelidik. "Lagi ke Toilet kayaknya tadi." Jawabku dengan ngawur, meski sejujurnya aku tidak tahu dimana keberadaan Malvin.
Tiba-tiba pintu UGD terbuka. Seorang dokter keluar, itu seperti dokter yang menangani Joe tadi.Aku berlari menuju dokter tersebut diikuti oleh ketiga orang tadi. "Dok, gimana keadaan Joe?" Om Hendra bertanya pada dokter tadi.
"Keadaan Joe sudah membaik dan sudah kembali sadar. Kami akan segera memindahkannya ke Ruang perawatan." Jawab dokter tersebut. "Jika ingin melihat keadaan Joe, bisa di ruang perawatan saja." Imbuh dokter tadi.
***
*JOE POV*
"INI NGGAK MUNGKIN!" Bentakku pada seorang pria suruhanku untuk mengikuti Malvin, tapi berita yang amat mengejutkan menampar batas kewajaranku. Foto ditanganku juga merupakan bukti, Malvin dan Reno, Jadian? Malvin harus benar-benar dihukum.
Pria pembawa berita itupun pergi, Aku segera mencari akal, dengan segala luapan emosi gila dan amarah yang tak terbendung. Aku menggoreskan pisau itu pada tanganku. Tiba-tiba rasa pusing menjalar dan aku terjatuh, Tak berselang lama Malvin dan Reno masuk dan melihat aku yang tengah terkapar tanpa daya.
Tubuhku segera dibawa ke ruang UGD dan disaat yang tepat, Reno dan malvi juga ikut mendorong dipankku.
Aku segera meminta Malvin untuk memilihku agar aku memiliki semangat untuk sembuh, apa semua itu memerlukan alasan? Baiklah, alasan yang tepat dari semua ini adalah karena aku mencintainya, tak ada alasan lain, Just Love.
"OKE! AKU SETUJU! ASALKAN KAMU SEMBUH!" Pekiknya disela tangisan. Dengan segera, tubuhku masuk dalam ruang UGD itu, dengan penuh harapan serta rasa optimis untuk menjalani kehidupanku selanjutnya, bersama Malvin.
Aku tak tahu apa yang terjadi saat diriku masuk kedalam ruang UGD. Namun saat kesadaranku mulai ada, satu hal aku cari adalah sosok mungil nan imut yang membuat hati bergetar, Malvin. Aku membawa gantungan infusku berkeliling rumah sakit.
Dimana? Di lorong? Koridor? Bahkan sudut toilet? Tak kusangka, Sosok yang sedari aku cari itu tengah berdua dengan Reno disalah satu taman. Dua sejoli itu tampak sangat romantis, cukup untuk membuat hati ini dirundung amarah. Kaki ini tak perlu lagi dititah untuk menarik lengan Malvin, karena sudah seharusnya begitu bukan? Betul sekali, aku posesif.
Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, namun tatapan keduanya sangatlah berbeda, Malvin terlihat sangat buruk dengan rambutnya yang berantakan dan Reno tampak menarik lengan Malvin untuk mendekat ke arahnya. Dan aku akan menjadi tokoh protagonis dimana sang putri aku rebut dari pelukan sang pangeran.
"Menjauh dari Malvin Ren." Seruku sembari menarik lengan Malvin. Keduanya terkejut melihat kedatanganku.
"Kak Joe." Desis Malvin. "Kak Joe udah sembuh?" Lanjutnya.
Tanpa jawaban, aku menarik Malvin begitu saja, menuju kamar rawatku. Sudah rindu sekali rasanya pada pria mungil satu ini.
Aku membuka pintu kamar rawatku, menarik tangan Malvin untuk masuk. Tak ada sepatah katapun untuk mencairkan suasana canggung diantara kami. Aku gugup sekali dengan semua pikiran kotorku, khilaf malam ini saja, aku harap Malvin bersedia.
Aku memeluk tubuh Malvin, bau shampo buah-buahan menyapa hidungku, buah apa ya? Sepertinya Apel? Atau durian? Wkwkwk.
"Kak Joe," Panggil Malvin.
Aku segera melepas pelukanku, menatap wajahnya. Tampak sembab dengan bekas air mata. Namun sama sekali tak mengurangi keimutan di wajahnya. Ia begitu memikat.
"Duduk, kakiku capek." Pintanya.
Aku segera duduk selonjoran di atas dipan, dan memaksa Malvin untuk duduk diatara kedua kakiku.sehingga memudahkanku untuk memeluknya. aku begitu rindu, rindu untuk selalu di dekatnya. Hatiku sangat sakit saat mengetahui Malvin memilih Joe, tapi itu sudah berbeda, Malvin hanya milikku dan tak seorangpun yang mampu memilikinya kecuali aku.
"Malvin malam ini temenin kak Joe ya." Pintaku dengan lembut di telinganya. Tanganku sibuk menyelimuti kedua kaki kami.
Malvin hanya diam, namun mengangguk.
"Kak Joe punya hadiah buat Malvin."Ucapku, aku benar-benar ingin melihat wajahnya yang ceria. Bukan kesedihan dari Malvin yang aku inginkan. Aku sudah mempersiapkan hadiah ini sebelumnya, tentunya untuk saat-saat seperti ini. "ini buat Malvin, jangan sedih-sedih kayak gini ya. Kak Joe janji, akan buat Malvin selalu bahagia." Aku menyerahkan kotak berbungkus kertas kado itu sembari mengecup rambutnya. Aku benar-benar gila, pikiranku sudah dipenuhi Malvin, Malvin, dan Malvin.
"Aku buka sekarang?" Ucapnya.
"Iya Vin, buka aja."
Ia begitu terkejut membukanya, "Ini? Drone?" Tanya Malvin, aku hanya mengangguk. Sangat senang bisa melihat wajah berbinarnya. Tak masalah jika harus menghadiahkan drone setiap hari untuknya, jika itu memang bisa membuat Malvin bahagia. Tapi drone terlalu banyak juga buat apa?
"Makasih kak Joe. Tapi aku nggak bisa nerima hadiah semahal ini. Mama aja nggak ngasih waktu aku minta tahun lalu. " Duh, rendah hati banget sih. Kak Joe mu ini jadi makin jatuh cinta.
"Kak Joe nggak nerima penolakan, ingat?" Jawabku dengan enteng.
"Tapi ini terlalu mahal, aku jual aja udh dapat 8 sepeda motor, atau ngasih makan banyak anak yatim, atau bisa juga buat sedekah, kak Joe punya uang malah dipake buat beli pesawat-pesawatan kayak gini, buat orang kayak aku pula. Duh" Baru aku tahu pikirannya dipenuhi dengan hal-hal semacam itu, dimana aku sendiri tak pernah memikirkannya. Jujur, perkataannya membuatku tersentuh.
"Tapi kamu spesial, kak joe gak mau lihat Malvin sedih. Ya udah, gini aja. Gimana kalau kak Joe udah pulang nanti,Kak Joe bikin syukuran dan juga ngundang anak yatim."
Malvin menatapku dengan bahagia, akupun juga bahagia. "Ide bagus." Desisnya.
Aku bahagia sekali, tak tahan untuk tak menyentuh tubuh mungil itu sedetikpun, Aku melihat leher itu, sungguh memabukkan, sekonyong-konyongnya diriku, aku mencium leher itu, menghisapnya perlahan dan menggigit kecil. Malvin meronta keenakkan.
"Kak Joe! Berhenti!" pekiknya. Aku berhenti dan melihat hasil karya seniku di lehernya. Sangat senang. "pasti merah? Gimana nih? Aku besok sekolah? Kak Joe, jangan sembarangan ngasih kiss mark!" Omelnya.
"Maaf ya, habisnya Malvin imut sih." Jawabku konyol.
"Alesan, gimana kalo ada yang tanya aneh-aneh besok?" Ia masih tampak gusar.
"Bilang aja habis bercumbu dengan ketua ekskul basket semalem gitu." Jawabku dengan hadiah sebuah jitakan yang dilayangkan oleh Malvin.
"Ngaco, bla.. bla.. bla.."
Begitulah aku mengakhiri malam ini dengan omelan dari Malvin. Namun tenang saja, ia akan segera tidur. Dan saat itulah aku beraksi.
Bersambung.
Terima kasih semua, finally part 6 keupdate juga. thanks yang udah nungguin buat waktu yang lama, yang sempet ke-php juga, yogi minta maaf. alasan kenapa part ini lama banget updatenya adalah minimnya inspirasi, jalan cerita udah ada, cuman inspirasi buat klimaks kecil-kecilan itu yang biasanya buat aku menikmati saat-saat aku menulis. dan untuk big Klimaks Penggemar Rahasia masih jauh, ini mungkin masih seperempatnya cerita penuh dari penggemar rahasia. jadi untuk para readers tercinta dimohon untuk bersambar perihal slow updatenya :) Yogi Cinta Kalian. :*
JANGAN LOPA VOTE DAN COMMENT!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top