Part 4
'Hiks.. hiks..'
Suara tangis ini, aku harap akan melewati segala penghalang yang ada diantara kita agar kau dapat mendengarnya. Kesedihan yang aku rasakan, aku harap kau bisa tahu bahwa aku begitu kehilangan. Sosok dirimu yang tengah berbaring khidmat disana, tak ada doa lain yang terucap selain meminta kesembuhanmu.
Dokter masih di dalam ruang UGD bersama kak Joe, ah! Kak Joe, aku ingin segera tahu bagaimana keadaanmu. Perasaan bersalah, kehilangan, dan benci pada diriku seolah melebur menjadi air mata penuh dosa. Kenapa harus kak Joe! Kenapa bukan aku saja!
"Apa aku udah pantas buat kamu?"
Kata-kata yang terus saja terngiang indah seolah mengolok diriku yang tak memiliki sejurus kata-pun untuk mengelak. Dadaku terasa sesak, diremas oleh kesedihan. Rumah sakit telah sepi, dan hanya dokter serta suster yang sedari tadi berlalu lalang menghiasi suasana malam rumah sakit ini. Aku melihat arloji di tanganku yang menunjukkan jam 10 malam. Orang tua kak Joe juga sedang di luar negeri, jadi aku yang harus menunggunya sekarang ini.
'Drttt.. drttt..' Telepon genggam dalam saku berdering, Mama ku menelpon.
"Malvin! Dari tadi mama telpon kok nggak di angkat sih." Suara mama terdengar cemas dari sana, dari tadi aku memang sibuk menangis hingga lupa mengabari mama.
"Ma-maaaaaa..." Aku langsung saja merengek pada mamaku. Hatiku yang sedang kacau balau ini belum mampu untuk mendengarkan ceramah kultum suci darinya. "Ka-kak Joe ma.. ke-kecelakaaan.. hiks.. hiks.. ka-kare-rena uda-h nye-nyelametin aku..." aku bicara sambil menangis tersedu-sedu.
"Apaaa? Kok bisa Vin? Oke, kalau gitu sekarang kamu ada di rumah sakit mana? Mama akan segera kesana." Kemudian aku memberitahu mama tentang rumah sakit tempat kak Joe sedang dirawat. Setelah itu Mama langsung menutup telepon tanpa salam.
Rumah sakit adalah tempat yang sangat asing bagiku, mungkin karena aku yang jarang sakit. Namun, kali ini aku tengah menunggu seseorang yang tengah sakit disana. Memperjuangkan hidupnya dalam pengadilan tuhan.
Tanpa perlu menunggu lama, sekitar sepuluh menit kemudian mama tercintaku datang. Ia begitu tergopoh-gopoh saat aku melihatnya di pintu UGD. Seketika itu aku melambai padanya dan ia menghampiri diriku yang duduk seorang diri.
"Malvin.." mama memelukku dengan erat, Mungkin ia sangat khawatir karena anaknya tidak pulang sampai malam dan baru saja mengabari padanya tentang kecelakaan teman dari anaknya. "Gimana keadaan Joe? Orang tuanya dimana?" Mama menghajarku dengan pertanyaan.
"Kak Joe masih di dalem maaaa. Dari tadi dokter juga belum keluar. Papa kak Joe juga lagi diluar negeri. Hiks hiks." Aku masih saja terisak. Meratapi kebodohan dan kecerobohanku.
Mama kemudian memelukku, itu membuat rasa khawatirku sedikit ternetralisir. "Kamu tenang Vin. Joe anak yang kuat, dia nggak mungkin kenapa-napa." Hibur mama padaku. Di saat seperti ini, tak ada lagi yang aku butuhkan selain support dan sosok mama yang teduh, memayungi diriku dari badai kegelisahan.
"Tapi i-ini semua karena Malvin ma.. Malvin harus bilang apa kalau nanti kak Joe sadar? Apa yang akan Malvin bilang ke orang tua kak Joe?" Ya, pertanyaan itulah yang ada dibenakku saat ini. Bahkan bayangan seandainya saja aku yang tertabrak, rasa khawatir dan menyesal ini mungkin tak akan sebesar ini.
"Yang pasti, Malvin tenangin diri dulu. Kamu nggak bisa berfikir jernih di saat seperti ini. Ambil air wudhu, gih. Minta petunjuk sama yang di atas." Mama mungkin ada benarnya, di saat sepeti ini fikiranku terlalu kalut untuk mencerna semua hal. Hitam dan putih semuanya terasa kelabu.
"Ya udah, mama jagain kak Joe ya. Tungguin dokternya keluar. Nanti telfon malvin." Pintaku pada Mama. Aku berjalan menuju musholla rumah sakit dengan langkah gontai. Mata sembab ini sangat sulit untuk berhenti menangis saat sudah menangis. Aku membasuh wajahku dengan air wudhu, sensasi segar itu menampar wajahku, setiap jengkal guyurannya terasa menenangkan.
Usai ber-wudhu, aku masuk ke dalam mushola. Nampak lenggang karena tak seorangpun disana. Aku bergegas untuk sholat dan mendoakan untuk kesembuhan kak Joe.
"Assalammualaikum warahmatullah.. Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Usai sholat, tak lupa ku sisipkan doa. "Ya Alloh, beri kesembuhan untuknya. Atau berikan saja rasa sakitnya padaku. Aku akan menerimanya. Aku yang tak begitu memahami perasaanku sendiri ini, terasa begitu kehilangan saat melihat dirinya terbaring karena aku. Ya Alloh, tolong berikan ia hidup dan kesembuhan. Aku akan menjaganya." Aku menangis mengingat lagi darah yang bersimbah tadi siang. Aku sangat terpukul karena hal ini.
Setelah aku merasakan getaran ponsel dalam saku celanaku, ternyata dari Mama. Apa kak Joe udah siuman?
***JOE POV***
Aku mulai membuka mataku, rasa sakit di sekujur tubuhku, pening di kepalaku, aroma obat-obatan menyengat hidungku, dan orang berpakain biru yang terlihat seperti dokter itu disekelilingku.
"Mal-vin... Mal-vin.." Nama cowok mungil itu yang terucap parau dari bibirku. Otakku hanya bisa membayangakannya. Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?
"Suster panggil anak yang diluar tadi." Aku bisa mendengar titah dokter tersebut. Seketika suster itu keluar dan mencari. Aku sangat tidak sabar untuk melihat wajah polosnya itu, hanya wajah itu yang ingin aku lihat saat ini.
Aku mencoba bergerak, namun kaki kananku sangat sulit untuk digerakkan. Aku terus saja mencoba, tapi sangat sulit. "Dok.. kaki kanan saya kok sulit di gerakkin?" Tanyaku pada dokter yang tengah berada di sampingku saat ini.
"Kamu yang sabar ya.." Dokter itu nampak tercekat saat hendak melontarkan fakta padaku. "Kamu lumpuh sementara." Akhirnya, dokter itu mengatakan hal yang aku tak ingin dengar. Meski pada akhirnya aku harus menerima cobaan ini. Ah, di fikiranku hanya ada Malvin. Bagaimana aku akan melindunginya dari cewek-cewek di sekolah?
'Bragg..' Pintu ruang rawatku terbuka. Seseorang yang sedari tadi aku fikirkan tengah berdiri disana dengan mata sembab dan wajah yang diliputi kecemasan.
"KAK JOE!!!!!!!" Teriak cowok manis itu dengan berlari imut ke arahku. Kemudian, Malvin memelukku. IYA!!! MALVIN MEMELUKKU. :') "Kak Joe, maafin aku. Gara-gara aku kak Joe jadi kayak gini." Lanjut Malvin dengan sedih.
"Kamu nggak perlu minta maaf. Aku ikhlas dan rela ngelakuin ini semua demi kamu. Sekalipun nyawaku taruhannya, aku akan mati dengan bahagia." Ucapan dari lubuk hatiku, aku harap Malvin akan memahaminya. Tangisannya, kesedihannya, dan perasaan terpukulnya saat ini sangat membuatku tidak nyaman. Karena senyumannya yang manis itu yang aku suka.
"Jika kau mati dengan bahagia, bagaimana dengan aku? Apa kau fikir kepergianmu akan membuatku bahagia?" Ucapan Malvin menohok ulu hati dan logika ku. Tentu saja, bagaimana kematian akan membuat semua orang bahagia? Pasti ada yang terluka, bukan? "Jangan katakan tentang kematian lagi. Aku tak ingin kehilangan siapapun kak Joe." Lanjutnya.
Pelukanku seketika merengkuh dirinya, meski aku berharap untuk dapat memeluk cowok ini selamanya, tak ada lagi kata-kata yang dapat menghapus kegundahan hatiku selain ucapan dari bibirnya. "Aku nggak akan ninggalin kamu kok." Ucapku padanya.
Malvin melepaskan pelukan ini dan menatapku, "Gimana keadaan kak Joe?" Ia bertanya padaku. 'Deg' jantungku berdegub memukul dadaku. Apa yang akan Malvin fikirkan saat tahu keadaanku saat ini tengah lumpuh?
"A-aku?" terbata-bata, aku gusar untuk mengatakannya. "Malvin, saat ini aku..."" Bagaimana aku harus mengatakannya?
"Bagaimana?" Malvin kembali bertanya. Matanya yang sembab terlihat sangat menggemaskan.
"Aku lumpuh." Ucapku perlahan. Malvin tampak sangat shock dan membulatkan bibirnya. Mata bulat kecil itu mulai kembali berkaca-kaca. Aku kembali merengkuh tubuh mungil itu dengan kedua tanganku. Suara isakan kecilnya terdengar di telingaku, bersama air mata itu hatiku ikut menangis. "Kenapa nangis lagi? Aku nggak apa-apa kok. Jika aku kehilangan satu kakiku, Masih ada kaki satunya." Hiburku pada Malvin. Namun tangisnnya semakin keras.
"Hiks.. Ini semua karena aku ceroboh kak Joe. Harusnya aku aja yang saat ini lumpuh. Bukan kak Joe! Tapi kenapa kak Joe yang rela mengalami semua ini." Ujarnya dalam pelukanku. Tangannya memeluk tubuhku. Jika kehilangan satu kaki ini bisa membuatku lebih dekat padamu. Tentu aku rela kehilangannya Malvin, itu yang harusnya kamu tahu
"Aku masih bisa jalan kok. Lagipula kata dokter ini hanya sementara." Aku harap kata-kataku ini dapat menghiburnya. Sekali lagi, aku tak ingin melihat air mata itu di matanya.
"Baiklah, aku akan jadi kaki kamu yang satunya. Karena kita ada untuk saling melengkapi." Ucap Malvin dengan polosnya, ah kepolosan itu semakin membuatku tergila-gila. Malvin semakin erat memelukku. Sensasi hangat dan bahagia melebur dalam air mata haru di mataku. Terima kasih malvin, setidaknya bersamamu aku sempurna.
"Aku nggak akan menyesali ini malvin. Karena kamu harus tahu, Aku cinta kamu." Iya, aku mengatakannya, bukan? Ini kali kedua aku menyatakan cinta pada Malvin. Meski aku tahu, Malvin masih berharap untuk memiliki cewek.
"A-apa ini harus di jawab?" Pertanyaan yang sangat lucu dari Malvin.
"Tentu.." Aku juga tahu bahwa masih sulit baginya untuk menerima hal ini. untuk memahami tentang hubungan macam apa yang harus kami jalani nantinya jika kami memutuskan untuk bersama. Terbesit pula sosok Reno, bukankah cowok itu juga menyukai Malvin? Meski aku juga belum tahu bagaimana perasaan Malvin pada Reno.
"Aku.." Desis Malvin.
"Saat kau siap." Potongkku. Aku tak ingin dibelas-kasihani, seandainya itu alasan Malvin menerima cintaku. Aku juga tak ingin mendengar Malvin menolakku, karena Malvin masih belum tahu banyak tentang perasaanku. Aku ingin Malvin memahaminya terlebih dahulu sebelum membuat keputusan. "Tentu saja pada saatnya nanti. Tidak sekarang kamu harus menjawabnya." Lanjutku.
Malvin tampak diam dalam pelukanku. Dokter juga sudah keluar dari tadi, Aku menarik lengan Malvin sehingga tubuhnya tertarik ke pelukanku, Malvin duduk di peangkuanku. tubuh ringan itu sangat cocok dan pas dalam pelukanku. Aku menyukainya.
"Aku masih bau asem." Sahut malvin saat aku merebahkan tubuhnya disampingku.
"Sebenarnya aku nggak masalah sih, tapi kayaknya kamu bakal nyaman tidur kalau tubuh kamu udah bersih. Ya udah, mandi gih." Titahku pada Malvin. Malvin kemudian berdiri dan hendak pergi, Namun aku segera menarik tangannya. kemudian disanalah, bibir kami bertemu. "Kamu harus nemenin aku tidur malam ini. Aku cinta kamu." Lanjutku.
"Iya, iya..." Malvin kemudian berjalan keluar.
Namun sebelum ia keluar, mata kami begitu terkejut saat melihat ke arah pintu, Bungkusan di tangan wanita itu terjatuh. Astaga! Sejauh apa tante tiara melihat kami?
**Malvin POV**
Mungkin kebanyakan persidangan terjadi antara hakim dan terdakwa, namun berbeda untuk kali ini. Yang mana komponen persidangan yaitu ibu dan anak yang terjadi di rumah sakit, kau bisa menyebutnya seperti itu. Apalagi kasus yang disidangkan adalah masalah hati, pengacara macam apa yang dapat membantuku saat ini?
"Malvin..." Panggil mamaku. Aku mendongak, menatap wajahnya yang dirundung sendu. "Mama nggak tahu harus ngomong apa." Lanjut mama. Ia menggelengkan kepalanya, mengusap kasar wajah cantiknya.
"Maaf ma." Ucapku pada mama. Ada rasa bersalah dalam hatiku pada Mama. Sosok yang begitu aku sayangi ini begitu terlihat gusar. Meskipun pada faktanya aku tidak berpacaran dengan siapapun saat ini. Segala kerumitan itu mengikatkan simpulnya di otakku, Menyesakkan perasaan, dan membubuhi mata ini dengan air mata. Aku sangat ingin menangis.
"Malvin, jangan nangis. Mama nggak akan marah kok." Mama mendekapku dengan erat. Aku tahu dalam senyumnya terdapat hati yang terluka. "Malvin anak baik, kan? Malvin juga udah dewasa. Malvin pasti tahu batasan dalam sebuah hubungan. Apapun batasan yang Malvin ambil saat ini ataupun nantinya. Pelukan mama tetap sama." Ucapan mama benar-benar mengahancurkan bendungan mataku. Tangisan ini meluap tanpa titah. Aku dan mama menangis di lorong rumah sakit yang memilih untuk bisu.
"Malvin minta maaf ma. Belum bisa bahagiain mama. Malah udah bikin nangis kayak gini." Ucapku. Jika aku melihat lagi ke dalam hatiku, aku sendiri tidak dapat menafsirkan perasaan deg-deg an yang aku berikan pada Kak Joe, atau perasaan deg-degan saat kak Reno menyatakan cinta padaku. Semua ini masih tabu. "Mama, aku ini lemah, naif, dan bodoh. Tak pernah mengerti apa yang cinta telah katakan." Lanjutku. "Malvin harap, mama satu-satunya orang yang mau ngertiin aku, Mau dengerin cerita aku, Malvin butuh tempat bicara ma.. tapi nggak tau harus kemana."
"Malvin, ini mama kamu. Kamu nggak seharusnya takut untuk bicarain masalah cowok ke Mama. Mama ini lebih pengalaman lho. Hehehe" Canda Mama. Mama selalu saja tahu saat-saat dimana harus mulai mencairkan suasana. AKU SAYANG MAMAAAAA!!!!!!
"Sepengalaman apa sih Ma?" Candaku balik.
"Kamu kenal om Dika? Om Bima? Om hendra? Mereka mantan mama lho." Ujar mama. Hah? Seriusan? Oke-oke, buat yang pingin tahu siapa om-om yang disebutin mama tadi, mereka adalah CEO dari beberapa perusahaan ternama. Ada beberapa sih om yang suka maen ke rumah, tapi mereka bawa istri masing-masing kalau main ke rumah, kecuali om Hendra, beliau bilang istrinya meninggal. Eh, tanpa diduga. Ternyata oh ternyata. Mereka mantan mama.
"Mama hebat banget ya." Pujiku.
"Hehehe. Kalo Malvin? Ada yang mau di ceritain ke Mama?" Pertanyaan mama itu sangat membuatku tersipu, apa ini ide yang bagus untuk menceritakan pria pada mama? Tapi ada benarnya perkataan mama, karena tak ada yang bisa lebih mengerti pria selain mama yang bisa aku mintai saran serta nasihat.
Aku menceritakan pada mama, tentang kak Joe, kak Reno, juga beberapa gadis-gadis di sekolah yang sebagian besar membenciku. Tak ada lagi yang aku tutupi pada mama, bersama mama aku tumpahkan semua cerita yang selama ini aku pendam sendiri.
"Mama bingung Vin, disisi lain mama bahagia karena kamu bisa mewarisi kecantikan mama. Dan disisi lain lagi, Mama sedih kamu ngalamin penderitaan kayak gini." Mama terlihat kembali gusar. Kemudian aku memegang pundak mama.
"Malvin kuat kok ma. Malvin nggak selemah yang mama kira." Ucapku menenangkan mama.
"Ini udah pukul 1 pagi, malvin nggak ngantuk?" Tanya mama. Sejujurnya semua hal yang terjadi hari ini membuatku sulit merasakan kantuk. Sekali lagi, semua kantukku seolah sirna karena hal-hal yang tak pernah dapat aku duga. Kecelakaan kak Joe, ciuman kak Joe, dan pengakuanku pada Mama. Entah apalagi fakta yang akan terjadi? Hidup memang penuh dengan kejutan.
Aku menggelengkan kepalaku, pertanda aku masih belum mengantuk. Namun mama menarikku dan menidurkan kepalaku dalam pangkuannya. Hingga aku lupa, kak Joe memintaku untuk menemaninya tidur.
Tidurlah...
Selamat Malam, lupakan sajalah aku.
Mimpilah dalam tidurmu,
Bersama bintang.
(Lagu oleh : Drive)
**
Pagi hari menyingsing, dunia baru menanti. Adakah kejutan baru? Ahhhhhhh. Aku dan mama terlelap di kursi ruang tunggu.
"Tiara.." seseorang menyebut nama mama. Aku dan mama mulai membuka mata secara bersamaan. Apa jangan-jangan mantan mama juga? Mantan mama ada yang dokter juga? Ah, enak kali ya jadi mama. Hehehe.
"Hendra!" Teriakan mama itu sontak membuatku membelalak dan bangun dari tidur.
"Selamat pagi om. Hoaaamm.." Sapaku pada om di depanku, sembari menguap nista di depannya tanpa rasa malu, tapi lihat! Om hendra malah cuma tersenyum.
"Kalian ngapain tidur sini?" tanya om Hendra pada kami.
"Ini ndra, temennya Malvin ada yang sakit. Malvin juga minta aku buat nemenin. Kasihan, orang tuanya di luar negeri." Jawab mama apa adanya, ditambah anggukan setuju dariku.
"Jangan-jangan temen Malvin itu Joe ya?" Tanya om Hendra.
"Kok tau om?" Aku kembali bertanya.
"Joe itu anak om." Ucap om Hendra.
Kejutan apa lagi ini?
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top