Part 24 (Tamat)


"Aku akan menyerahkan mataku untuk Malvin," ucap Joe di tempat duduknya dengan frustasi. Ia terpaksa datang ke kantor Reno untuk meminta bantuan pada Reno untuk mengoperasi mata Malvin dan memberikan mata milik Joe.

Reno tertegun di tempatnya, ia begitu senang karena takkan ada lagi penghalang untuk mendapatkan Malvin. Tapi Reno juga masih memiliki nurani, ini adalah masalah nyawa. Reno tidak tega melihat Malvin bersedih lagi, belum lagi ia harus membiarkan satu nyawa melayang untuk menyelamatkan orang lain. "Apa Malvin sudah tahu tentang ini?" tanya Reno.

Joe menggeleng.

"Tapi aku tidak yakin ini keputusan yang benar, Joe. Aku tahu aku sangat membencimu ketika aku tahu Malvin buta. Tapi membiarkan seseorang mati itu bukanlah hal yang mudah untukku." Reno menatap Joe yang putus asa. Ia tak tega melihat Joe yang begitu hancur di depannya saat ini.

Joe datang ke kantor Reno untuk meminta bantuan operasi mata Malvin. Ia harus menelan semua harga dirinya untuk bisa menginjakkan kaki di gedung ini, hanya satu tujuan Joe, untuk kesembuhan Malvin.

"Bagaimana kalau Malvin ikut denganku, aku akan mencari donor mata ke seluruh Amerika untuknya. Kau tak perlu mati," tawar Reno.

"Bagaimana itu bisa terjadi? Aku tak bisa hidup tanpa Malvin, kau tahu? Akulah penyebab semua ini, dan aku juga ingin menyembuhkannya dengan kedua tanganku," perkataan Joe tercekat, "Tapi kau tahu? Aku tak bisa membiarkan Malvin terus seperti ini. Butuh waktu bertahun-tahun untukku mengumpulkan uang dan bisa membawa Malvin operasi." Air mata Joe mengalir seperti sungai yang bercabang. Ia tak dapat menjelaskan semua perasaan yang ia rasakan pada Malvin, terlalu besar untuk dijabarkan.

Reno terpaku di tempatnya. Hatinya tersentuh sesaat melihat ketulusan Joe. Bayangan Malvin yang menangis meratapi Joe seolah mengiris nadinya. Ia juga mencintai Malvin, bahkan meski telah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu. Perasaan yang terkubur itu seolah tumbuh semakin rindang di dada Reno, ia tak pernah bisa menahan semua cintanya ketika melihat Malvin.

"Reno, maukah kau menjaga Malvin? Setidaknya kita pernah menjadi teman dulu. Kalau kau membenciku, maka lakukanlah demi Joe yang dulu sebelum mengenal Malvin."

Reno tercekat. Hatinya begitu gundah untuk memutuskan. "Apa yang harus kukatakan ketika nanti Malvin menanyakanku tentangmu?"

Joe kembali menggeleng. "Bukan kau! Tapi aku yang akan menjelaskan semuanya."

Keduanya dilanda keheningan. Joe yang harus sesegera mungkin meninggalkan dunianya dan melepas genggamannya pada Malvin. Atau pun Reno yang dihadapkan dengan permintaan Joe, ini bukan hanya tentang Joe dan dirinya, ini tentang kekhawatirannya pada Malvin.

"Kumohon Ren, lakukan ini demi Malvin juga." Joe masih mencoba meyakinkan Reno untuk menyetujui semua keputusan berat ini.

Setelah melewati perdebatan panjang dan rangkaian keheningan, akhirnya Joe berhasil membujuk Reno untuk mau membantunya membawa Malvin ke dokter untuk operasi.

Di siang yang terik di sertai angin cukup dingin mengembuskan panasnya mentari, Reno datang ke tempat Malvin.

Malvin mengira ketukan di rumahnya adalah Joe atau William, tapi dugaannya salah.

"Hai," sapa Reno.

Malvin terhenyak, pendengarannya masih begitu normal untuk mengingat dengan jelas suara itu. Ia diam tanpa menjawab sapaan Reno.

Reno sadar dengan keterdiaman Malvin itu, ia tersenyum lembut tanpa mampu di lihat oleh Malvin. "Apa kau sedang sibuk?"

Malvin menggeleng.

"Hmm... kedatanganku untuk mengajakmu berjalan-jalan bersama Jovin. Aku juga membawa hadiah untuk malaikat kecil itu," ucap Reno seraya menenteng sekantong kebutuhan bayi di tangannya.

Malvin tampak berpikir. Hati kecilnya tiba-tiba merasakan kehangatan seorang Reno saat mendengar ucapannya. "Jovin sedang tidur," tukas Malvin mencoba bersikap tak acuh.

Mendengar sedikit saja kata-kata Malvin yang bahkan terkesan ketus itu, masih membuat Reno bahagia. Ia mungkin akan menjadi orang paling bahagia jika mendengar suara ini setiap hari. Reno tersenyum sendiri membayangkannya. "Bawalah dia kesini, aku ingin sekali menciumnya," ujar Reno.

"Bayi kalau terlalu banyak dicium nanti muntah." Malvin masih mempertahankan egonya. Ia tak ingin pergi dari tempat ini, jika tidak bersama Kak Joe.

"Tidak akan kalau dicium olehku, Jovin pasti bisa merasakan ciuman seorang papa dariku," Reno tertawa kecil saat mengatakan itu seraya menepuk dadanya dengan percaya diri. Gurauan yang sangat garing.

Malvin nyengir saja, tidak berniat membalas candaan itu.

"Ayolah, Vin. Lakukan ini untukku. Hari ini kita, aku, kamu, dan Jovin akan bersenang-senang bersama. Tapi sebelum pergi, aku akan membawa Jovin untuk mengecek kesehatannya. Aku tidak mau Jovin sakit karena perjalanan ini." Reno kembali tersenyum simpul. Ada secercah harapan dalam hatinya untuk kembali bersama pria di depannya.

"Tapi, Kak Joe tidak rumah. Maaf Kak Ren, aku tidak bisa pergi tanpa izin dari Kak Joe."

Reno telah menduganya. Sebelum ia datang kesini, Reno terlebih dahulu merekam suara Joe untuk memperdengarkannya pada Malvin. Itu adalah saat-saat yang cukup menyentuh dalam hidup Reno, Joe mengatakan semua kata-kata itu dengan wajah yang berusaha menutupi semua kesedihannya. Karena Joe sadar, waktunya untuk hidup bersama Malvin akan segera habis.

Reno mengeluarkan telepon genggamnya, dan mulai memutar rekaman Joe.

Malvin...

Malvin seketa tersentak. Ia mendengar suara kak Joe. Malvin tahu ini merupakan suara Rekaman yang diputar. Tapi tetap saja, hatinya begitu bahagia meski hanya karena mendengar ini.

Maafkan aku, aku harus meninggalkanmu untuk beberapa hari. Kau tahu? Kaulah orang yang telah menggenggam tanganku setiap malam. Dan aku rasa, kau telah membawa hidupku bersamamu juga saat itu.

Malvin tercekat. Kak Joe memang sangat romantis mulai dari awal pertemuan yang tidak terduga. Kini, entah kemana lelaki itu pergi. Malvin ingin memaksanya untuk tetap di sini. Tapi keras kepala Kak Joe untuk menyembuhkan kedua mata malvin telah membuat Malvin harus patuh. Malvin tidak tahu, bahwa kesembuhan matanya akan segera datang, melalui pengorbanan suaminya.

Selama aku pergi, berjanjilah untuk selalu tersenyum. Karena senyummu yang selalu membuatku bertahan dari semua kehancuranku. Aku sudah tak memiliki apapun, Vin! Tapi hanya mendengar suaramu saja, Aku pada akhirnya bisa melalui segalanya.

Malvin tak mampu lagi. Hatinya begitu sakit begitu mendengar nada sedih dari Kak Joe. Malvin menangis dalam diamnya mendengarkan setiap untaian kata dari Kak Joe. Reno juga sekuat tenaga mencekal tangannya sendiri untuk tidak memeluk Malvin dan menghapus air mata itu. Hatinya juga teriris melihat Malvin bersedih, tapi Reno tak berdaya.

Sekarang yang kuinginkan adalah kau bahagia. Ikutlah bersama Reno, akulah yang memintanya menjagamu selama kepergianku. Kalau ia sampai membuatmu menangis, awas saja. Aku akan buat perhitungan dengannya Hehehe. Tapi kau tak perlu berpikir yang tidak-tidak, kami adalah teman dulu sekali. Dan aku yakin, aku telah menitipkan dirimu pada orang yang tepat.

Malvin tertawa dengan air mata yang juga membanjiri pipinya. Mendengar perkataan Kak Joe seolah itu sebuah ironi yang harus Kak Joe telan sendirian tanpa mau membagi semua kesedihan itu dengan Malvin.

Begitu rekaman telah berakhir, Malvin berusaha mengusap air mata yang mengalir dengan kedua lengannya. Tanpa sadar, ada jemari lembut yang menyeka air mata yang mengalir deras tanpa mampu dibendung.

"Jangan nangis begini, Vin. Di sini nggak ada penjual balon." Seketika keduanya tertawa karena candaan Reno.

Tapi sedetik kemudian, Malvin hanya tertawa datar. "Balon tidak akan merubah apapun, Kak. Fakta di mana aku bahkan tidak mampu melihat balon-balon itu terbang tinggi hanya akan membuatku semakin sadar, Aku buta."

Hati Reno seolah dirajam ketika melihat kesedihan itu. Andai saja Reno mampu, ingin ia rengkuh tubuh itu dan berkata bahwa dirinya selalu siap menjadi mata Malvin. Reno selalu siap menjadi lentera untuk gelapnya dunia Malvin. Reno sudah mencintainya bertahun-tahun, menunggu lebih lama lagi bukanlah sebuah masalah. "Kau tak perlu khawatir, kedua tanganku akan selalu siap menuntunmu. Kedua mataku selalu siap menjadi perantara matamu. Kalau kau tidak bisa melihat semuanya. Aku siap membantumu untuk melihat lagi."

Malvin tersenyum, "Kak Reno yang selalu kalem sepertinya sudah berubah."

"Aku tidak bisa berdiam diri, Vin. Melihat semua kekacauan yang kamu hadapi seorang diri." Reno tahu, dulu ia hanya mampu pasrah untuk segala tentang Malvin. Tapi sekarang? Kalau ia masih mempertahankan semua yang dulu, Malvin tidak akan terselamatkan.

"Baiklah, karena Kak Joe juga telah memintaku untuk ikut bersama Kak Reno. Aku ikut."

Reno begitu bahagia saat itu. Dengan segera ia membantu membawa segala persiapan kepergian dan menggendong Jovin. Anak itu begitu lucu, bahkan tidak terlalu rewel. Hal yang sangat menyedihkan, melihat anak sekecil itu telah dipaksa untuk beradaptasi oleh keadaan kedua orang tuanya yang juga serba kekurangan.

Reno, Malvin, beserta Jovin juga, telah sampai di sebuah rumah sakit. Hal yang pertama harus dilakukan adalah check-up keadaan Jovin. Entah sudah berapa lama anak itu tidak menginjak rumah sakit dan imunisasi. Hal itu menimbulkan simpati Reno pada anak malang itu.

Setelah melalui rangkaian panjang pemeriksaan Jovin, Dokter menyatakan bahwa Jovin sehat, namun tetap harus selalu dijaga setiap makanannya. Selanjutnya adalah pemeriksaan Malvin. Reno belum berkata pada Malvin bahwa dua hari lagi adalah hari operasi kornea matanya. Pemeriksaan ini adalah langkah awal sebelum ke tahap selanjutnya.

Joe juga ada di tempat yang sama. Ia menatap Reno, Malvin, beserta buah hatinya tengah berjalan bersama seperti keluarga bahagia. Dengan begini... aku akan pergi dengan tenang, Vin. Ucap Joe dalam hati.

Reno menatap Joe, ia menunjukkan jempolnya yang berarti hasil tes menyatakan semuanya baik-baik saja. Joe tersenyum lega. Waktunya hanya tersisa dua hari lagi. setelah hari itu datang, ia akan mengucapkan selamat tinggal untuk semua yang ada di dunia. Jantungnya berdetak tidak menentu membayangkan.

Joe lunglai dan bersandar di koridor dengan lemah. Bayangan wajah Malvin menghantuinya. Ia telah bersama lelaki manis itu dalam waktu yang lama, melihat senyumnya setiap hari. Apa yang harus ia katakan pada hatinya sendiri, bila logika lah yang telah memutuskan semuanya. Hatinya ingin tetap bersanding di sampingnya, tapi logika mendominasi, Joe harus pergi demi dia.

Sedangkan di tempat lain, Reno tengah menggendong Jovin bersama Malvin memasuki sebuah rumah spa. Malvin mencium wewangian aromaterapi saat kakinya baruk menginjakkan kaki masuk, terasa begitu rileks saat berada di sana.

"Hari ini, aku ingin kamu rileksin tubuh kamu. Aku akan mejaga Jovin di sini, kau tidak perlu takut."

"Tapi..."

"Tidak ada tapi-tapian, Vin. Ini bukan pilihan."

Malvin pun mengangguk menurut saja. Ia berpikir tidak ada salahnya untuk melakukan spa. Sedangkan tanpa Malvin tahu, ini merupakan salah satu rencana Reno untuk bisa berbicara dengan Malvin tentang operasi mata milik Malvin. Setelah Malvin rileks, Malvin pasti setuju dengan operasi ini.

Setelah beberpa menit berlalu, Malvin merasa dirinya sangat ringan sekali setelah melakukan rangkaian spa yang begitu nyaman sekali di badannya. Saat Malvin keluar, Reno langsung saja menggodanya.

"Bagaimana? Tidak ada terapis yang macam-macam padamu 'kan, Vin?" tanya Reno.

"Ihh Kak Reno, apaan sih. Ini tempat spa, bukan rumah bordil," protes Malvin.

Reno hanya terkekeh saat mendengar jawaban Malvin dan melihat bibir Malvin yang mencebik protes. Jika saja ini tidak di tempat umum, Reno pasti sudah lupa diri dan mengecup bibir itu lembut.

"Selanjutnya kita makan dulu ya... Kamu mau makan apa?" Kali ini Reno memasuki rencana berikutnya. Ia akan membicarakan masalah operasi itu saat makan nanti. Perut kosong tidak akan membuat seseorang berpikir secara sehat.

"Hmm... Aku hanya ikut saja di sini." Malvin merasa pupuk bawang. Jalan-jalan ini merupakan ide Kak Reno, dan malvin hanya tinggal mengekori saja. Ia merasa tidak berhak untuk minta macam-macam, tidak tahu diri namanya.

"Jangan merasa sungkan begitu, Vin. Aku mengajakmu jalan-jalan ini untuk kamu."

"Baiklah aku ingin masakan indonesia sebenernya, Aku ingin sate, nasi goreng, rendang." Malvin terkekeh saat membicarakan keinginannya. Ia merasa bertemu Kak Reno yang dulu, yang selalu menuruti kemauannya, penyembuh luka Malvin, Malvin seolah menemukan sosok lama itu.

Reno mengangguk mantap. Ia segera membawa Malvin beserta Jovin menuju salah satu restoran Indonesian Food yang cukup terkenal. Malvin sudah lapar sekali saat membayangkan makanan dengan bumbu rempah itu memasuki bibirnya saat di perjalanan. Ia selama hampir sebulan hampir setiap hari hanya makan roti panggang, kadang dengan selai, kadang dengan telur. Ia tidak pernah makan daging selama sebulan ini. Hingga sebuah bunyi aneh terdengar.

Krucuk... krucukk...

Malvin sontak memegangi perutnya. Ia malu setengah mati saat perutnya berbunyi. Reno yang tengah fokus mengemudi pun tertawa melihat tingkah Malvin. Ia membelai rambut Malvin lembut.

"Sebentar ya, ini udah deket kok," ucap Kak Reno menggoda.

Malvin yang terlanjur malu pun hanya diam tanpa membalas satu perkataan pun.

Mereka sampai di restoran Indonesia. Terpampang jelas tulisan "Indonesian Cuisine" di atas pintu masuknya. Setelah menemukan tempat duduk yang pas, Reno segera memesan semua makanan yang diinginkan oleh Malvin. Tak butuh lama mereka memasakkan makanan tersebut, Makanan tersebut datang dengan bau yang benar-benar menggugah selera.

"Biar aku suapi ya," tawar Reno.

"Nggak perlu, Kak. Aku bisa sendiri kok."

"Hmm... nggak, Vin! Nanti bajumu kotor." Reno masih senantiasa memaksa. Malvin akan kesulitan melihat piring dan sendok untuk dimasukkan ke dalam mulutnya.

Malvin pun mengalah untuk tidak berdebat. Malvin sadar bahwa Reno pasti tidak bisa berhenti untuk tidak khawatir padanya. Ia pun menerima suapan demi suapan hingga peutnya terasa penuh.

"Sudah habis belum, Kak?" tanya Malvin.

"Sebentar lagi ya, satu suapan lagi." Reno kembali menyuapi Malvin dengan lembut. Ia tersenyum penuh kebahagiaan karena dapat menyuapi orang yang paling ia cintai. Ia juga masih membantu Malvin untuk meminum minuman yang tadi dipesan.

Kehenigan pun menyergap. Reno memikirkan cara untuk menyampaikan tentang operasi itu kepada Malvin, kebingungan itu membuat masing-masing nyaman dalam keterdiaman.

"Malvin ..."

"Kak Ren ..."

Mereka pun saling memanggil secara bersamaaan tanpa sadar. Keduanya terlihat sama-sama bingung dan saling ingin mengucapkan sesuatu.

"Kamu dulu aja Kak Ren," ucap Malvin tersipu.

Reno menggeleng. "Nggak, Vin. Kamu dulu aja. Kamu mau ngomong apa?"

Malvin menghela napasnya seraya tersenyum lembut ke arah Reno. "Terima kasih Kak Ren untuk hari yang sangat menyenangkan ini. Hmm... aku tidak bisa memberikan atau membalas Kak Reno dengan apapun, selain kata terima kasih."

Reno sumringah. Hatinya seolah tengah berada di musim semi dan di hadapkan dengan hamparan bunga yang bermekaran. Melihat senyum Malvin yang mengembang sempurna dengan sipu malunya, semua itu sudah lebih dari cukup bagi Reno sebagai balasannya. "Hmm... boleh aku meminta sesuatu sebagai balasannya?"

Malvin mengangguk tanpa tahu apa yang akan diminta oleh Reno. Ya, Kak Reno memang tidak pernah menjadi orang jahat. Perlahan namun pasti, Malvin juga menyadari bahwa kepergian Reno dulu juga demi dirinya. Reno memang tak pernah bisa untuk berhenti memikirkan Malvin.

Reno senang saat mengetahui Malvin bersedia menerima permintaannya. "Malvin, aku harap kamu mau ikut operasi mata kamu dua hari lagi."

Malvin sontak terperangah. Ia tidak keberatan sama sekali, tapi ada yang mengganjal di hatinya. " Tapi, Kak Joe pasti ..."

Reno langsung saja menyela apa yang Malvin katakan, "Masalah Joe, aku sudah bicara dengannya. Ia akan menemui dirimu setelah operasi selesai dilakukan." Hanya ini yang bisa Reno lakukan untuk Malvin. Ia tak pernah berharap untuk melihat Joe mati dan melihat Malvin yang bersedih sepanjang hidupnya, tapi Joe ada benarnya juga, baik Joe ataupun Reno melakukan ini semata-mata untuk Malvin.

Malvin pun begitu bahagia. Tak akan lama lagi ia akan bisa melihat lagi. Ia sangat ingin melihat wajah malaikat kecilnya, Jovin. Perlahan jemarinya mengelus lembut Jovin yang tengah berada di pelukannya. "Aku akan segera melihat wajahmu malaikat kecilku," bisik Malvin lembut.

***


Udara siang yang dingin menerpa lembut kulit Joe yang tengah duduk di Jendela ruang inapnya. Ia tampak tersenyum dalam kesendiriannya. Ia tak lagi mampu untuk mundur setelah berada sejauh ini menapaki setiap jalan hidupnya. Apalagi setelah membayangkan wajah Malvin yang tersenyum seraya menatap wajah Jovin, semakin membuatnya tak gentar untuk meninggalkan semua di dunia ini.

Tidak pelu disesali, hidup yang terbaik adalah hidup yang berguna bagi sesama manusia.

Joe menuliskan setiap kepingan perasaannya pada sebuah kertas. Ia hanya berharap kertas ini akan sampai pada Malvin setelah operasi nanti. Joe memang pria naif, beribu-ribu kali ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia rela melakukan semua demi Malvin. Tapi sisi hati lain dari dirinya memberontak, kerinduannya pada Malvin telah membunuh separuh jiwanya. Joe kini hanya mampu membayangkan sosok lelaki kecil itu, tawanya, wajahnya, semua tentang Malvin terlintas tanpa mampu sedikitpun ia sentuh.

Joe memukul tembok dengan keras, berharap keraguan itu enyah sejenak. Tapi Malvinlah alasannya lemah, dan di saat yang sama Malvin juga menguatkannya untuk berdiri pada keputusannya kali ini. Langkah kaki Joe memang tengah rapuh, hatinya seolah terantai. Ia letih untuk bersikap ragu. Ia ingin menjadi pria yang bisa diandalkan Malvin.

Dengan menjadi kedua matamu, kuharap aku bisa menatapmu sepanjang hayatku.

Joe tersungkur. Kedua bola matanya tiada henti mengucurkan air mata. Joe memang pengecut, ia tak mampu untuk sekadar pamit atas kepergiannya, Joe tak sanggup untuk tahu nantinya bagaimana respon Malvin saat kepergiannya. Joe memukul dadanya sendiri, berharap rasa sakitnya meninggalkan orang yang begitu ia cintai akan enyah. Joe bersumpah atas nama cinta, ia telah merelakan hidupnya untuk Malvin, sekalipun Malvin tidak meminta itu.

Di saat yang sama, suster memanggil Joe. Suster itu membawa Joe memasuki ruang pemeriksaan terakhirnya. Ia melihat suntik-suntik berjejeran di sana. Dan Joe yakin, salah satunya akan menjadi alasannya untuk tiada. Besok adalah hari yang sangat membahagiakan untuk Joe. Sekalipun ia sudah berada di alam yang berbeda, ia akan bahagia melihat Malvin yang akhirnya bisa melihat lagi.

Sedangkan di saat yang sama, Reno mengantarkan Malvin ke rumah sakit. Malvin memang harus tinggal di rumah sakit untuk persiapan operasi matanya besok. Dokter yang akan mengawasi setiap perkembangan Malvin, dan Reno akan selalu menemaninya setiap Waktu. Reno juga telah siap menjadi tersangka nanti, ia akan dipersalahkan atas kematian Joe. Reno mungkin akan dituduh memaksa Joe untuk memberikan matanya pada Malvin, atau Reno dianggap membiarkan begitu saja Joe untuk mati. Reno hanya tertawa membayangkan semua itu, karena hanya Reno yang tahu bagaimana ia telah menghalangi semua niatan Joe kali ini.

"Kak Ren, aku titip Jovin ya sementara ini. Nggak papa, 'kan?" tanya Malvin.

Reno mengelus lembut rambut Malvin seraya berkata, "Serahin semuanya ke aku, semua kebutuhan kamu dan Jovin biar jadi tanggung jawabku, tugas kamu hanya fokus ke penyembuhan mata kamu, Vin."

Malvin menunduk malu mendengarnya. Jika ini adalah sebuah kejadian di masa lalu, Malvin sudah pasti akan larut dalam perasaannya sendiri. Tapi kali ini berbeda, ada sebuah hati yang senantiasa Malvin jaga siang dan malam. "Bagaimana Kak Reno bisa bicara dengan Kak Joe masalah operasi ini?"

Reno tertegun, pertanyaan itu yang tak ingin ia dengar saat ini. Karena akan sulit menjelaskan pada Malvin situasinya kali ini. "Hmm... untuk masalah itu, Joe datang kepadaku beberapa hari yang lalu. Ia bilang akan bekerja di luar kota, dan saat kembali ia akan membayar kembali semuanya," ucap Reno berdusta.

"Dia memang sangat bertanggung jawab, aku senang memilikinya sebagai suamiku." Malvin tersenyum lembut mengingat semua perlakuan Joe pada Malvin. Joe bahkan rela bekerja hingga keluar kota untuk operasi ini, Malvin sangat terharu.

Iya, Vin. Dia benar-benar mencintaimu, tutur Reno dalam hati. Namun, jauh dalam lubuk hati Reno sendiri, ia menyesali kepergiannya dulu dan meninggalkan Malvin. Malvin tak perlu merasakan sakit bila bersamanya. Reno ingin sekali mengecup pria di depannya, sebentar saja. Namun, itu seolah hal yang mustahil.

Hari esok yang telah dinanti telah tiba. Hari ini Joe tersenyum seraya mengucapkan salam perpisahan pada dunia. Ia tidak takut lagi kali ini, ada seseorang yang menantikan kedua matanya di sana, pasangan hidupnya. Joe terus saja tersenyum seraya merasakan sebuah jarum suntik menusuk kulitnya.

Semuanya terasa hampa untuknya, tapi ia bahagia.

***


1 minggu kemudian

"Sekarang buka mata kamu pelan-pelan," ucap seorang dokter setelah membuka perban di mata Malvin yang telah menutupinya selama seminggu terakhir.

Malvin membuka matanya perlahan. Ada rasa cemas bila operasi itu akan gagal nantinya. Tapi dugaannya kali ini salah.

Sinar yang menembus gorden jendela itu yang pertama kali menyapanya. Malvin serasa tak percaya, ia menangkup bibirnya sendiri, kebahagiaan menyeruak seolah kembang api yang keluar dari tempatnya dan meluncur ke angkasa. Perlahan ia melihat sesosok lelaki yang mengenakan blazer rapi dengan kemeja tengah menggendong anak kecil di tangannya. Malvin menangis haru melihatnya, itu benar-benar Kak Reno yang telah bertransformasi dengan penampilan yang sangat dewasa. Dan yang di tangannya, JOVIN?

Malvin segera mengambil Jovin dari gendongan Reno, Malvin menangis seraya memeluk Jovin dengan sayang. "Anakku, aku sudah bisa melihat wajahmu." Malvin tersenyum dan menangis haru di saat bersamaan.

Reno tahu Malvin sangat bahagia, begitu pun Reno yang sangat bahagia karena melihat sinar mata Malvin lagi di sana. Reno segera memeluk Malvin karena bahagia yang tak mampu untuk ditahan lagi.

"Kak Ren, aku sudah bisa melihat lagi sekarang," ujar Malvin disertai sesenggukan.

Reno mengangguk, mengiyakan. Mulutnya terasa kelu hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Ia terlalu bahagia.

"Kak Joe belum pulang, Kak?"

Perkataan Malvin sontak membuat kebahagiaan Reno berubah menjadi kelam seketika. Ia mundur beberapa langkah dengan tatapan bingung yang sulit diartikan. Ini berat, tapi Reno harus memberikannya. Perlahan sebuah amplop telah ia keluarkan dari saku bajunya, dengan sangat hati-hati Reno memberikannya pada Malvin.

Malvin sadar betul, pasti telah terjadi sesuatu yang tak ia ketahui, dengan segera ia sambar surat itu dan membacanya.

Malvin, bagaimana keadaanmu saat ini? Apakah kedua matamu telah sembuh? Hari ini pasti akan sangat membahagiakan untukmu, kau dulu selalu menyalahkan dirimu karena tidak bisa melihat Jovin saat ia pertama kali hadir di tengah-tengah kita. Apakah sekarang kau bahagia bisa melihat wajahnya yang tampan? Kebahagiaanmu, kebahagiaanku juga.

Setetes air mata sukses meluncur tanpa titah dari Malvin bersama perasaan dan dugaan yang menyelimuti pikiran Malvin kali ini. Hatinya sakit tiba-tiba.

Tolong maafkan aku, aku adalah penyebab kebutaanmu. Seandainya saja kau tidak bertemu orang sepertiku, kehidupanmu akan jauh lebih baik. Tapi akan kuakhiri pula semua penderitaan kita, akan aku tanggung semua pedihmu selama ini dengan kedua tanganku. Akulah yang memulainya, dan aku juga yang akan mengakhirinya.

Dengan surat ini pula aku pamit padamu, maafkan aku yang tak mampu melihat tangismu bila menatap kepergianku. Tapi sekarang berbeda, kapanpun kau menangis, aku juga akan menangis. Apapun yang kau lihat, aku juga melihatnya. Aku yang akan menuntunmu menyusuri dunia ini dengan kedua mata itu. Aku merasa tidak pernah mati, aku selalu hidup bersamamu.

Tolong jangan salahkan siapapun atas kepergianku, ini adalah jalan yang kupilih untuk menyembuhkanmu meski nyawaku gantinya. Reno telah menghalangiku, tapi tekadku telah bulat. Aku harus pergi lebih dulu, Vin. Aku juga telah meninggalkan beberapa uang dibawah kasur kita, gunakan itu sebaik mungkin untuk kehidupanmu ke depannya. Teruslah hidup untukku, jangan takut untuk membuka hati lagi untuk seseorang yang lain, aku akan sangat bersedih melihat hidupmu hampa tanpa seorang pendamping.

Aku pamit untuk pergi terlebih dahulu padamu, Vin. Dan selalu menantimu bersamaku di dunia yang berbeda.

Malvin menjerit seketika. Jovin telah Reno titipkan pada suster. Ia segera menenangkan Malvin sebisa mungkin. Tapi Malvin terlanjur hancur hingga menjadi kepingan-kepingan tanpa nyawa. Ia telah dihempaskan dari awang-awang. Hatinya seolah-olah melompat keluar dari tempatnya, meninggalkan bekas yang teramat sakit dan tanpa ada obat untuk menyembuhkannya.

Reno memeluk Malvin yang tengah membabi buat memukuli dirinya sendiri. Seraya menjerit kesetanan, "AKU TAK MAU MATA INI! AKU MAU KAK JOE!" Hati Reno sakit melihat Malvin yang seperti ini. Ia berusaha memeluk Malvin sekuat tenaga.

"Joe hanya ingin kamu bahagia, kalau kamu seperti ini, Joe pasti ikut sedih melihatnya," ucap Reno menenangkan, "Kamu harus jadi lebih kuat, Vin. Itu yang Joe inginkan."

Malvin terdiam sejenak, matanya menatap nanar dan kosong. "Tapi kenapa? Kenapa Kak Joe harus pergi?" Malvin masih belum percaya tentang apa yang dialaminya saat ini. Ini terlalu sulit dipahami dengan emosi yang tak stabil seperti Malvin saat ini.

"Kamu tahu? Aku sudah menawarkan diri untuk membantunya tanpa perlu ia mengorbankan nyawanya, tapi ia tetap keras kepala dan ingin menyembuhkanmu dengan segala kemampuannya. Ia sangat mencintaimu, Vin. Seharusnya kamu jangan seperti ini, Joe ingin kamu bahagia." Reno mencoba mengusap lembut rambut Malvin.

Malvin perlahan balas memeluk Reno. Malvin menjerit keras-keras disertai tangis yang begitu menyayat. Andai saja, Malvin bisa mendengar suara Kak Joe sebentar saja untuk terakhir kalinya.

"Sebelum Joe pergi, ia menitipkan sebuah rekaman untuk kuperlihatkan padamu. Ia memintaku menunjukkannya padamu saat kau sudah tenang. Apa aku bisa menunjukkannya sekarang?" tanya Reno.

Malvin cepat-cepat mengangguk. Ia ingin melihat Joe. Hatinya diliputi kerinduan tak bertepi, karena tempatnya berlabuh telah pergi selamanya.

Reno memutar rekaman itu pada TV LED yang bertengger di ruangan itu. Dan tak butuh waktu lama, Video Joe bermain gitar dan bernyanyi menggema memenuhi ruangan.

Wise man said (Orang bijak berkata)

Only fools rush in (Hanya orang bodoh yang tergesa-gesa)

But i cant help falling in love with you (Tapi aku tak bisa tahan jatuh cinta padamu)

Shall i stay (Haruskah aku tinggal)

Would it be a sin? (Akankah ini menjadi sebuah dosa?)

If i can't help falling in love with you

Like a river flows (layaknya sungai yang mengalir)

Surely to the sea (dengan pasti ke lautan)

Darling so it goes (Sayang begitulah)

Some things are meant to be (Beberapa hal telah ditakdirkan)

So take my hand (Ambillah tanganku)

Take my whole life too (Ambil juga seluruh hidupku)

For i can't help falling in love with you

***


2 tahun kemudian

Mahkota bunga yang telah dipisahkan dari kelopaknya itu meluncur dari tangan Malvin. Berjatuhan dan terbaring di atas sebuah pusara yang begitu lekat dalam ingatan Malvin. Dalam batu nisannya tertulis nama Joe di sana, Malvin selalu datang ke makam ini setiap sebulan sekali. Ingatannya tak pernah mampu menghapuskan sejenak kenangan tentang pria itu. Dan hanya dengan mengingat saja, hati Malvin terasa hangat seketika. Meski Joe tidak di sampingnya, tapi Malvin selalu merasakan keberadaan Joe.

"Kak Joe, terima kasih untuk semuanya. Aku bahagia pernah menjadi bagian dari kisah Kak Joe yang begitu hebat. Aku juga telah berusaha sebaik mungkin mengabulkan keinginan Kak Joe. Doakan ya Kak, semoga perusahaan start-up yang saat ini telah aku lakukan berjalan dengan lancar seperti keinginanmu dulu."

Malvin selalu datang dengan curahan-curahan hati tentang hidupnya saat ini pada Joe. Ia merasa Joe selalu mendengarnya meski dari alam yang berbeda, ia merasa tenang setiap kali berbicara di sini.

"Selama dua tahun ini, ada satu permintaanmu yang sangat sulit aku wujudkan, membuka hati untuk orang yang baru. Tapi aku akan berusaha mulai saat ini." Perlahan tangan Malvin menggenggam tangan seseorang. Jemari Reno juga balas menggenggam dengan erat. "Doakan juga ya, Kak. Semoga hubungan kami berjalan baik. Mungkin bulan depan kami akan segera melangsungkan pernikahan. Kak Joe, aku selalu berdoa semoga Kak Joe tenang di sana."

Sebelum beranjak, Malvin mengelus lembut batu nisan Joe. Kemudian, Malvin menatap Reno seraya tersenyum lembut. Reno balas mengusap lembut rambut Malvin. Keduanya tersenyum bahagia.

"Aku pamit pulang dulu ya Joe, kami akan selalu kesini setiap bulan." Reno mengikuti Malvin berbicara pada pusara Joe seraya keduanya berdiri untuk pergi dengan bergandengan tangan, keduanya pun beranjak dibalut dengan senyum bahagia yang tersungging di bibir masing-masingnya. Reno dan Malvin siap untuk mulai menuliskan kembali cerita dalam lembaran baru.

TAMAT

tetep stay terus di akun ini ya, beberapa hari lagi bakalan rilis blurb cerita baruku. terima kasih untuk kebersamaannya selama ini. Jangan lupa vote dan comment ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top