Part 23
Angin malam berembus dingin membalut cerita malam itu. Lampu-lampu rumah bordil masih saja berkedip menjadi saksi kebisuan bagi ketiga insan manusia yang dipertemukan untuk kesekian kalinya. Detak jantung Malvin tak pernah berdusta tentang setiap hal yang ia rasakan, termasuk saat ini. Jantungnya berpacu dengan deru napas, rasa takut, bingung, tak percaya, semua menyeruak bersamaan.
"Kak Reno... Apa ... itu ... kamu?" Logika Malvin seolah terjungkal semena-mena. Ia berharap orang itu akan berkata tidak dan Malvin akan mengatakan dengan mudah pada dirinya sendiri bahwa mungkin suara ini hanya mirip. Namun, orang yang memiliki suara mirip Kak Reno itu malah diam dan menempatkan Malvin di punggungnya seolah melindungi Malvin dari Bara.
Reno bingung, tak tahu harus menjawab apa? Ia sendiri yang berkata untuk pergi dan tak akan mengusik kehidupan Malvin, tapi apa buktinya? Ia tak dapat berdiam diri melihat semua yang telah Malvin alami, tidak! Reno tak mau pergi lagi. Sudah cukup keadaan Malvin sebagai bukti, Cuma Reno yang mampu menjaga Malvin, bukan Joe! Atau siapapun.
"Iya, Malvin! Itu pahlawanmu! Reno Dwiky Alfiansyah," ucap Bara seraya mengusap sudut bibirnya yang tampak mengeluarkan darah. Ia seolah tak menyesali perbuatannya, dan malah tertawa tengil menantang Reno.
Reno menggengam tangan pria di belakangnya dengan erat, ia risau hanya untuk mendengar penghakiman Malvin setelah mendengar ucapan Bara. Ia tak mampu untuk menjelaskan semua yang terjadi saat ini, alasan Reno berada disini, mengawasi setiap hal yang dilakukan keluarga kecil yang sedang Malvin bina. Reno ingin tahu, ia tak mampu untuk sekadar berpangku tangan. Malvin telah menjadi alasan baginya untuk hidup, bahkan hingga saat ini.
Malvin pun terdiam, canggung terasa kini walau hanya sekadar memanggil dan menyebut nama pria yang melindunginya ini. Reno pernah menjadi satu-satunya pemilik hati Malvin, dan untuk saat ini? Ia tak mampu mendeskripsikan posisi Reno secara gamblang. Malvin bimbang dengan perasaannya sendiri, apa yang harus ia lakukan jika Reno kembali? Oh Malvin salah, karena saai ini Reno memang telah kembali.
"Kenapa kau diam? Apa kau terlalu pengecut untuk mengakui dirimu sendiri? Kau mencampakkan Malvin, bukan? Untuk apa kau kembali?" Bara masih saja berusaha untuk menaburkan garam diatas luka-luka masa lalu. Reno yang sudah tak memiliki kesabaran itu tak mampu mengendalikan kesabarannya. Amarah dalam dirinya lepas begitu saja tanpa kendali. Reno mengayunkan sebuah kepalan tangan tepat di pipi Bara. Tubuh bara yang tak siap dengan pukulan itu pun membentur dinding dan pingsan seketika.
Untuk sekejap, semua dendam itu sirna. Reno berbalik ke arah Malvin, emosi yang telah meluap-luap berubah dingin seketika saat melihat lelaki pujaan itu tertunduk diam, tampak kebingunan dari raut wajahnya.
Tangis Reno pecah seketika, "Ini semua salahku," ucap Reno lirih seraya kedua tangannya menangkup pipi Malvin. Saat Reno menatap Malvin, ia seolah kehilangan detak jantungnya. Sebuah binar mata Malvin setiap menatap Reno dahulu, kini telah hilang dari pandangan mata Reno, mata itu kini telah redup dan hanya kekosongan di dalamnya. Kini, tatapan Malvin yang dulu adalah satu-satunya hal yang ia rindukan.
Bukan hanya Reno, Malvin pun sama.Tembok yang telah Malvin bangun sekian lama itu pun runtuh dan hancur seketika oleh suara Reno. Ia seolah mengguncang akal sehat, mengambil sejenak kewarasan. Malvin melangkah mundur perlahan mencoba menepis kegundahan hatinya. Bagi Malvin yang telah merasakan sendiri sakitnya mencintai dalam diam, Reno tak lebih dari seorang monster. Malvin sangat ingat bagaimana lelaki itu pergi dari hidupnya bersama pesawat yang tak pernah mampu Malvin raih, hal itu pula yang telah menghancurkan hatinya. Dan sangat sulit bagi Malvin untuk mengerti garis takdirnya sendiri dari dulu, kenapa ia dipertemukan dengan Reno? Lagi?
Malvin menggelengkan kepalanya, "Tidak, Kak Reno sudah mati."
Ucapan Malvin yang lirih itu terasa getir di telinga Reno, Malvin berhasil menghancurkan hati Reno ketiga kalinya. Kini Reno merasa dunianya hanya kelabu tanpa sinar lentera. Reno pernah merasakan rasa sakit ini sebelumnya, rasa sakit layaknya dihunjam ribuan pedang itu pernah ia rasakan saat merelakan Malvin pergi bersama Joe, dan tidak berhenti di situ itu, Rasa sakit ini juga mendiami hatinya saat ia memilih pergi dari Malvin. Rasa sakit yang begitu menyiksa siang dan malam.
Dan kini kegetiran itu seperti pil pahit yang harus Reno telan, kenyataan bahwa tak ada tempat lagi bagi Reno di hati Malvin. Reno mengeram marah, menjambak rambutnya dengan penuh amarah. Ia ingin memperbaiki semuanya. Tapi apa yang harus ia lakukan? Jika tempat bernaungnya sendirilah yang mengusirnya secara langsung.
"Kamu salah, Kak Reno ada di sini, untuk kamu! Untuk kamu, Vin!" ujar Reno mencoba meyakinkan Malvin.
Malvin masih tetap menggeleng. Ia berjalan perlahan seraya membelakangi Reno. Ia meraba tembok rumah mencoba menemukan pintu rumahnya. Berlindung dari nasibnya sendiri yang begitu rumit. Namun sebelum Malvin menemukan kenop pintu, genggaman tangan Reno segera menarik tubuh Malvin ke dalam pelukannya. Tubuh yang sangat ia rindukan itu kini berada dalam pelukannya, Malvin obat dari semua keputusasaan Reno, dan Reno tak mau obat lain, Reno hanya mau Malvin.
Malvin juga tak kuasa untuk menahan gejolak di dalam dadanya, salah satu ruang hatinya membenarkan Reno, sedangkan salah satu sisi lainnya menyalahkan. Malvin sampai ingin mati rasanya karena dilema, ia tak mampu walau sekadar 'tuk memilih Reno dan membiarkan lelaki itu menapakkan kaki lagi di hati Malvin. Sekali lagi ia dihadapkan pilihan dengan kedatangan Reno kembali dalam hidupnya.
"Nggak seharusnya Kak Reno kembali, Apa mau Kak Reno sebenernya? Apa salahku sama kamu? Kenapa kamu perlakukan aku kayak gini?" Ucap Malvin lirih. Ada rasa sakit, kesal, dan bahagia bersemayam di hatinya saat ini. Ia bukan mainan yang bisa dipermainkan seenaknya. Malvin punya hati, ia juga bisa merasa sakit. Ditambah dengan kehadiran Kak Reno kembali dalam hidupnya, seakan badai kembali menerpa dan memporak-porandakan semua yang telah Malvin jaga.
"Kak Reno tahu kalau dulu semua yang kakak lakuin salah, Kak Reno bisa perbaiki semuanya. Kak Reno Janji, nggak akan nyakitin kamu lagi," ucap Reno meyakinkan, "perasaan Kak Reno masih sama, nggak ada satu pun yang berubah. Semua masih tentang kamu, tentang kita." Reno masih setia mendekap tubuh Malvin. Ia tak ingin melepaskan tubuh yang lemah itu meski untuk sedetik, ia ingin menjaganya dengan semua daya dan sisa usia yang ia miliki.
Malvin terdiam sejenak, ia tak mau dipermainkan. Sudah cukup kebodohan itu berlalu, sekarang ia harus cukup pintar jika harus kembali dibodohi. "Yang lalu adalah masa lalu, dan sekarang aku sudah milik Kak Joe. Kak Reno bukan siapa-siapa selain hanya ... orang asing." Malvin sedikit berat mengatakan kata-kata sarkas itu, ini pertama kali bagi dirinya untuk mengatakan hal sekejam itu. Tapi ia terlanjur marah, bagaimana bisa Reno mengatakan akan memperbaiki semuanya tanpa tahu semua rasa sakit yang telah Malvin alami.
Hati Reno kembali diremukkan tanpa ampun, matanya mencoba sekuat tenaga menahan aliran air mata yang telah siap untuk menetes. Ia tahu semua kesalahannya, dan ia harus sadar diri bahwa semua kesalahan yang telah ia lakukan tidak pantas mendapat maaf dengan mudah. Ia telah menyakiti makhluk berjiwa rapuh itu, dan Reno berjanji bahwa ia juga yang akan menjadi penyembuh luka lama Malvin.
"Kak Reno tahu ini masih berat untuk Malvin menerima kedatangan Kak Reno, tapi percaya sama kakak, Vin. Kak Reno akan berusaha sebaik yang Kak Reno bisa untuk buat kamu Bahagia." Reno masih senantiasa mendekap Malvin, rasa ingin memiliki di dadanya kian membesar. Reno tidak bisa berdiam diri, Reno akan berusaha sebisa mungkin untuk merawat Malvin.
"Kak Reno tidak perlu melakukan itu, Kakak sudah bukan siapa-siapa lagi dalam hidup aku. Sekarang aku sudah memiliki Kak Joe, Kak Reno lebih baik pergi sebelum Kak Joe datang dan salah paham dengan kita," ucap Malvin mencoba mengusir lelaki tampan itu dengan halus.
Tapi semua sudah terlambat, seseorang yang tengah membawa sebungkus makanan di tangannya, sedari tadi telah menyaksikan semua yang terjadi di antara Malvin dan Reno, Joe hanya mampu berdiri dari jauh tanpa tahu harus berbuat apa. Pandangannya hanya menatap dengan tatapan putus asa. Ia takut kehilangan tambatan hatinya, takut bila ada tangis lagi menghantui Malvin. Joe hanya ingin Malvin bahagia, itu saja.
Tadi Joe hanya keluar sebentar untuk membeli makanan, dan hatinya teramat sakit melihat pemandangan yang tersuguh di depannya. Untuk sejenak, Joe menganggap Reno benar karena semua harta yang ia miliki dan hanya Reno jalan keluar untuk kebutaan Malvin. Ia punya segalanya untuk membawa Malvin ke dokter, dan membayar dokter paling mahal pun bukan masalah bagi Reno, sedangkan Joe? apa yang bisa Joe perbuat untuk Malvin sekarang? Malvin hanya dipenuhi derita bila masih bersama Joe. Namun, sisi posesif dalam diri Joe juga tak sanggup melihat Malvin bahagia bersama pria lain, Malvin adalah anugerah untuk hidup Joe, harus dengan apa lagi Joe tersenyum jika anugerah itu dicabut dari dirinya.
Dalam keputusasaan itu Joe berjalan mendekat ke arah Malvin tanpa menghiraukan Reno di sana, seolah Reno tak lebih dari embusan angin. Joe hanya ingin menghabiskan setiap detik berharga dengan Malvin, ia tak tahu, apakah hari esok Joe masih dapat melihat wajah Malvin yang tersenyum lembut, ataukah suaranya yang bagaikan nyanyian burung surga.
"Ayo Malvin, Kita masuk," ajak Joe seraya menarik lengan Malvin dengan penuh kelembutan.
"Tidak, Joe. Kau harus membiarkanku membawa Malvin ke dokter. Apa kau tidak peduli dengan keadaannya?" ucap Reno.
Ucapan itu menyinggung Joe sebetulnya. Tapi apa yang harus ia katakan? Ia sudah tak mampu lagi membawa Malvin berobat. Hatinya sakit tiba-tiba, ia ingin Malvin sembuh, tapi kenapa harus Reno?
Joe menatap wajah Malvin yang begitu temaram, mengusap pipinya lembut. Dan Malvin tersenyum lembut ke arahnya, "Aku bahagia seperti ini, Pa. Papa gak perlu khawatir, asal ada Papa di sampingku semua akan baik-baik saja, bukan?" Perkataan Malvin itu sukses membuat semua rasa salah Joe semakin menyeruak. Bagaimana Joe mampu menyakiti hati pria manis dan baik hati ini? Joe memeluk Malvin setelah itu, ia berharap selalu ada untuk Malvin, bukan saat ini saja, tapi selamanya.
"Kau dengar Ren? Aku rasa ini bukan saat yang tepat kita membicarakan ini, kau bisa pulang sekarang." Joe mengucapkannya dengan tenang. Ia tak ingin marah di depan Malvin yang saat ini juga sedang kalut. Perlahan dan penuh kelembutan, Joe membawa masuk Malvin ke rumah kecil mereka.
Reno terpaku di tempatnya. Ia berdiri tanpa tahu harus berbuat apa. Menatap lorong gang dengan putus asa. Ia tahu bahwa ini akan terjadi, ini merupakan imbalan yang pantas ia dapatkan untuk semua hal kejam yang telah ia lakukan pada Malvin. Namun, Reno tak akan pernah berhenti sampai ia melihat sendiri Malvin berbahagia.
***
Pagi itu, matahari bersinar cerah tanpa ada awan untuk datang menyelimuti sinarnya. Reno terpaku di ruang kerjanya menatap pemandangan di luar yang menampakkan pemandangan Manhattan dengan sangat indah. Hatinya terasa diremukkan bila mengingat bahwa Malvin tak lagi bisa melihat indahnya dunia ini dengan kedua bola matanya. Ia rela mengorbankan segalanya dan menukarkan itu dengan penglihatan Malvin, termasuk nyawanya bila perlu.
Semua orang keluar masuk ruangan Reno, menyerahkan tumpukkan berkas untuk ditinjau oleh Reno. Namun, semua kesadaran Reno tidak sedang di kantor ini. Ia tengah memikirkan nasib pria yang terdampar di gang sempit kota Manhattan, siapa lagi kalau bukan Malvin? Reno menyesali semua keputusannya di masa lalu. Tak seharusnya ia membiarkan mutiara itu dibawa oleh orang lain, karena hanya Reno yang sangat memahami Malvin. Bukan Joe! Bukan siapapun.
Sedangkan di tempat lain, Joe tengah duduk bersama Malvin di ruang tamu rumah kecilnya. Ia merasa bahwa setiap detik saat ini lebih berharga dibanding sebelumnya, karena ada sesuatu yang harus ia sembunyikan dari Malvin. Ia menyuapi Malvin pagi ini, menyiapkan semua keperluan Malvin.
"Papa mau ke mana?" tanya Malvin. Matanya yang kosong tak bernyawa itu mengerjap seperti Malvin biasanya, Kadar manis dalam dirinya tak pernah berkurang.
Joe tersenyum penuh kelembutan, matanya berkaca-kaca. Dengan penuh rasa sayang, telapak tangannya mengelus rambut Malvin yang halus seraya berkata, "Aku ada urusan dalam beberapa hari, Ma. Tolong kamu jaga diri baik-baik ya. Kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong pada William."
"Berapa hari?" Malvin cemberut manja pada Joe, membuatnya gemas setengah mati. Hatinya semakin terombang-ambing, tapi melihat Malvin yang bisa melihat lagi adalah bayaran yang setimpal untuk pengorbanannya kali ini.
"Papa nggak tahu berapa hari, tapi yang pasti papa akan kembali." Joe siap untuk mengorbankan segala yang ia miliki demi kebahagiaan Malvin. Dan kali ini keputusan sudah bulat, dan tak ada satu hal pun yang dapat menghalangi niat Joe kali ini.
Joe pun berlalu dari kediaman kecilnya. Sebelum pergi, Joe mengecup kening Malvin lembut. Ia mengucapkan selamat tinggal untuk rumah kecil ini, pada semua kenangan yang tersisa. Tapi ia tak mampu untuk mengucapakan kata-kata perpisahan itu pada Malvin. Akan ada saatnya ia akan memberi tahu semua pada Malvin, tapi nanti, tidak sekarang.
Malvin mencoba tegar di sana. Ia menahan tangisnya sendiri setengah mati agar tidak membuat Joe khawatir. Ia hanya mampu mendengar langkah kaki itu berlalu tanpa mampu menghentikannya. Dalam lubuk hati terdalam, Malvin tak ingin Joe pergi.
Dan setelah berjalan sekitar setengah jam lamanya, Joe sampai di sebuah gedung pencakar langit di mana kacanya berkilauan di terpa sinar mentari. Joe melangkah yakin tanpa ragu ke gedung itu, ia siap menyambut segalanya. Demi Malvin.
Bersambung
yeayyyy.... tinggal satu part lagi dan tamat. maaf udah nunggu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top