Part 22

Reno tertegun.

Namun, pria di ambang pintu yang tak lain adalah Joe itu juga tak kalah membeku menatapnya. Ada banyak sekali spekulasi di kepala Reno tentang Joe saat ini. Bagaimana bisa dia melamar pekerjaan? Bukankah dia sudah kaya dengan semua harta dari orang tuanya?

Beberapa pemegang saham Alpha tengah berkumpul di sini. Mereka tengah mengadakan walk in interview bagi siapapun yang ingin melamar untuk bekerja di perusahaan itu. Dan di saat yang sama, takdir mempertemukan Reno dengan Joe.

Joe mencoba kembali fokus, tapi percuma. Ia sudah muak dengan mengingat Alpha dan kehancuran perusahaannya. Ia melangkahkan kakinya perlahan menuju meja para direksi, dan berhenti tepat di depan Reno.

Reno yang juga tak mengerti hanya menatap Joe dengan bingung, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Joe. Bukankah Reno telah pergi sejauh ini demi menghindari mereka? Jika takdir mempertemukan kembali Malvin dengannya, mungkin Reno tak akan berkutik. Reno akan ikuti semua yang takdir mau.

"Sudah puas?" Itulah pertanyaan yang keluar dari mulut Joe sebagai prolog. Sorot mata tajamnya menghunjam seperti sebilah pedang. Ia murka, tak menyangka Reno ternyata bisa melakukan hal yang sangat picik. Menghancurkan hidup yang telah lama ia tata dengan sekejap mata. Reno sungguh licik.

Joe melanjutkan, "Permainanmu sangat epic, aku bahkan tak pernah tahu kau adalah dalang dibalik semua ini. Kau sendiri yang berkata telah rela menyerahkan Malvin padaku, tapi aku tak menyangka kau menyimpan dendam itu, bahkan hingga hari ini." Joe menghujat. Dengan sekejap ia membanting berkas lamaran itu tepat di depan Reno. Ia tak peduli dengan tatapan dewan direksi yang seolah merendahkan, ataupun namanya yang segera tercoreng. Joe sama sekali tak peduli. Untuk apa? Semua sudah tak ada artinya bagi Joe.

Sedangkan Reno, ia tak kalah tersinggung. Ia tak tahu-menahu asal dari kemarahan Joe yang semena-mena dan tiba-tiba mencecarnya. Reno tak terima. Ia juga menggebrak meja di depannya, kebencian sudah tak mampu ia tahan. "Kau sudah gila!" Reno menghina.

"Selama ini aku memang mencoba bersabar melihat kelakuanmu, itu demi orang yang aku cintai. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang aku tak akan tinggal diam melihat kelakuanmu yang semena-mena ini," lanjutnya. Reno tersulut amarahnya. Ingin sekali tangannya memukul wajah orang itu. Joe datang tak diundang. Kemudian mencecarnya tak masuk akal. Reno memang telah merelakan Malvin, ia bahkan rela untuk pergi ke Amerika demi menjauh dari hubungan mereka. Bagaimana Joe bisa berkata bahwa Reno dendam padanya? Ini tak masuk akal bagi Reno.

"Bangsat, Aktingmu sangat bagus. Berapa banyak piala oscar di rumahmu? Kau yang telah menghancurkan perusahaanku! Jangan pernah berpura-pura bodoh!" Bentak Joe. Emosi itu telah menutupi akal sehatnya, kemarahan telah mengambil tubuhnya, ditambah lagi semua rasa tertekan akhir-akhir ini. Joe luapkan kali ini, tanpa ada yang ia tahan.

Reno tak mengerti apa yang dikatakan Joe. Ia sama sekali tak tahu perusahaan Joe atau apapun itu tentang Joe dan Malvin. Reno yang masih memiliki akal sehat, Bagaimanapun juga akan sangat memalukan bertengkar di depan semua direksi. "Kita bicara di ruanganku." Reno mengisyaratkan pada Joe untuk ikut dengannya. Namun, Joe merasa dihinakan. Ia tak suka diperintah oleh mulut seseorang yang kotor seperti Reno.

"Aku tidak sudi!" ucap Joe seraya melangkahkan kaki keluar dari ruangan itu. Hatinya diliputi ketakutan, kedatangan Reno dalam hidupnya saat ini sungguh di saat yang sangat tidak tepat.

Reno membiarkan si perusuh itu pergi. Namun, satu pernyataan menyentak pikirannya. Joe sudah bangkrut? Bagaimana keadaan Malvin sekarang? Reno ingin tahu. Ia segera membuntuti Joe. Ada banyak hal yang ingin ia ungkap saat ini. Terlebih lagi sejak insiden di mana ia bertemu dengan Malvin beberapa bulan yang lalu di supermarket. Hatinya mendamba, rindunya begitu membuncah. Masih mampukah ia melepaskan lelaki manis itu? Entahlah... Yang terpenting ialah kebahagiaan Malvin, itu sudah cukup untuk Reno.

'Malvin, apakah kau masih menyimpan sapu tangan dariku?'

Andai saja Malvin tahu, Reno begitu sulit untuk berpaling. Bahkan hingga saat ini, tak seorang pun yang dapat menggantikan tempat Malvin di hatinya. Ia seolah menanti sesuatu yang tak pasti, merindu sesuatu yang semu. Ia tak peduli semua jeritan hatinya, Reno memang tak mampu menghindar dari segala hal tentang Malvin. Karena semua bergerak oleh kata hatinya, dan ia selalu mendengar nama Malvin di sebut di sana setiap detiknya.

Joe sama sekali tak mengetahui bahwa saat ini ia tengah diikuti oleh Reno. Joe hanya memikirkan Malvin, ia ingin melindungi lelaki itu dengan segenap jiwa dan raganya. Apa yang terjadi jika Malvin bertemu Reno? Ia sangat kalut seketika bila membayangkan semua itu terjadi. Ia ingin segera mengetuk pintu rumah di sudut gang itu, dan pujaan hatinya akan membukakan pintu. Hanya itu obat untuk semua rasa sakit ini, senyuman lelaki polos itu.

"Papa, apa itu kamu?" Malvin membuka pintu saat seseorang mengetuknya. Sedangkan yang mengetuk sudah bersimbah dengan air mata. Malvin selalu berharga, bahkan hingga detik ini baginya.

Joe tersenyum. Seketika menerjang Malvin,

Malvin, sadarkah kau tentang siapa aku?
Sang Rahwana yang tak memiliki daya di hadapanmu.
Kaulah Sinta, sebuah elegi yang tak sempat kubaca.
Termaktub indah di dalam kisah cinta Ramayana.

Joe seketika memeluk Malvin dengan erat. Air matanya menetes tanpa pernah diperintah. Ia berani mempertaruhkan segalanya demi dia yang selalu menanti di rumah kecilnya, Ia yang selalu saja mengguncang hati Joe dengan cinta. Joe tak mampu! Sedetikpun ia tak mampu untuk berlalu dari cinta, jiwa, dan seluruh nyawanya yang mana semua itu telah melebur dalam diri manusia yang tengah mengerjap dengan tatapan kosong, Malvin.

Malvin tertegun merasakan Kak Joe yang sedang dalam keadaan tidak baik, entah apa yang baru saja terjadi. Ia segera melingkarkan pelukannya, menautkan jemarinya pada punggung kokoh yang senantiasa menjadi sandarannya. Ah, Malvin sangat nyaman bersama pria hebat di pelukannya. Kak Joe yang selalu diam ketika marah, tak pernah sekalipun ia berbuat kasar. Cinta Kak Joe seperti buih di lautan, atau sebanyak atom di dunia ini. Malvin tahu, cinta Kak Joe adalah sebuah keabadian.

Aku bukan Sinta, karena sinta tak mungkin mampu berpaling dari Rama.
Aku tak sesuci Sinta, yang mampu menanti pujaan hati entah kapan 'kan tiba.
Tapi jika kau tetap menganggapku Sinta, kisah kita akan berbeda.
Karena Sinta kali ini, jatuh cinta pada Rahwana.

Reno yang bersembunyi di belakang tembok yang ada di gang itu hanya bisa mematung di tempat. Hatinya seolah dihunjam oleh ribuan pedang. Raga seolah dicabut seketika. Hatinya sangat sakit melihat lelaki pujaannya yang tak berdaya di sana dengan tangan membawa tongkat penunjuk jalan yang berarti ia kehilangan penglihatannya. Perasaannya sangat teriris melihat Malvin yang juga memeluk pria lain, bukankah Reno berkata sudah rela? Oh, Reno kini tahu jawabannya. Ia sama sekali tak pernah rela. Seandainya ia rela sekalipun, ia seharusnya mampu untuk tetap di Jakarta tanpa perlu pergi ke Amerika. Sekarang semua hanya masa lalu, ia ingin Malvin bahagia. Dan, sesuatu kembali bergejolak di dalam hatinya. Cintanya yang telah lama ia bunuh, kini kembali membara.

Aku berdarah, meski kau tak pernah sekalipun dapat melihat darahnya.
Akulah Rama yang telah mendustai hatiku sendiri, dan kusadari semua hanya alibi.
Kau tetap Sinta yang selalu jadi dongeng sebelum tidurku.
Dan aku akan menjemputmu, karena aku yang seharusnya kau tunggu.

"Kak Joe kenapa sedih?" Malvin melepaskan pelukan seraya jemarinya perlahan meraba wajah suaminya. Mencari aliran air mata, Malvin mencoba membendung itu.

"Aku cinta kamu ..." Joe tak mampu mrnjawab pertanyaan itu, ia hanya mampu mrngalihkan jawabannya. Hatinya begitu luka membayangkan seseorang merenggut satu-satunya  alasan untuknya tetap hidup. Joe ingin mengatakan cinta padanya setiap hari jika perlu, supaya Malvin tahu bahwa ia begitu berharga.

Malvin sadar, sesuatu yang buruk baru saja menimpa suaminya. Tapi biasanya Kak Joe akan selalu bercerita sambil duduk di pangkuan Malvin. Tapi ini berbeda, baru di depan pintu saja dia sudah kalut tidak karuan.

"Pa, masuk yuk." Malvin menggenggam tangan Joe yang seolah tak bernyawa itu. Seandainya ia dapat melihat, maka Malvin akan ikut sedih melihat keadaan suaminya yang begitu hancur saat ini.

Joe menurut. Ia dan Malvin menuju ke kamarnya yang tak lagi semewah dulu. Kali ini hanya ada dipan dan lemari, tak ada yang lain lagi. Joe kali ini tak ingin bercerita bahwa ia baru saja bertemu Reno. Ia tak mau Malvin ingat pada lelaki itu. Joe tak siap dan tak pernah mau untuk kehilangan Malvin.

Malvin yang sedari tadi telah mencoba berbicara dengan Joe pun akhirnya menyerah. Jika Kak Joe memang tak ingin bercerita, itu bukan masalah. Malvin membelai rambut milik suaminya yang tengah berada di pangkuannya. Hingga dapat ia rasakan gemuruh napas yang menandakan suaminya tengah tertidur. Malvin bahagia, ia selalu ingin menjadi obat untuk setiap rasa sakit Kak Joe.

***

Reno menggaruk kepalanya dengan gusar. Ia kini berada di dalam mobilnya yang berhenti di dekat gang rumah Malvin berada. Jalanan di sekitar sini memang sepi, hanya beberapa pria hidung belang yang keluar masuk di sana menuju cafe remang-remang yang tak jauh dari rumah Malvin.

Reno tahu bahwa Joe sedang tidak ada di rumah. Ia sepertinya kembali mencari pekerjaan, terlihat dari berkas-berkas di tangannya saat ia pergi tadi. Reno sebetulnya tak keberatan jika Joe bergabung dengan Alpha, karena secara tidak langsung Reno bisa membantu Malvin dengan alasan gaji atau bonus yang ia berikan pada Joe. Tapi apa Joe mau? Ia sangat mengedepankan harga diri.

Reno pun masih tak terima dengan cercaan yang dialamatkan oleh Joe padanya tadi siang. Ia tak pernah tahu jika perusahaan Joe akan terkena dampak dari kemajuan Alpha. Reno sama sekali tak memiliki pemikiran picik untuk dapat melakukan suatu hal yang sangat memalukan seperti itu. Bagaimana pun juga, bila Joe bangkrut, itu akan sangat mempengaruhi kehidupan Malvin. Reno tak mau Malvin hidup susah seperti ini.

Reno ingin Malvin berkecukupan. Reno tak ingin melihatnya yang lemah dan tak berdaya seperti saat ini. Sejenak pikirannya kembali berkecamuk.

'Apa keputusanku untuk pergi darimu adalah kesalahan? Harusnya aku membahagiakanmu. Harusnya aku yang ada di sampingmu saat ini.'

Reno tak pernah menginginkan semua ini terjadi. Ia hanya berharap Malvin mendapatkan orang yang cukup pantas. Tapi itu salah, tak seorangpun yang bisa membahagiakan Malvin kecuali Reno. Ya, hanya Reno.

Tiba-tiba Reno terkesiap di tempatnya, Reno terpaku menatap sosok yang tengah berjalan keluar dari rumah kecil itu. Malvin dengan tongkatnya menyusuri gang seraya memegang plastik hitam yang pasti itu berisi sampah. Reno ingin sekali membantunya, tapi ia bingung harus bagaimana. Bagaimana jika Malvin mengenali suaranya, bukankah Reno telan berjanji untuk pergi?

Reno keluar dari Mobilnya. Tapi ia masih tak tahu harus berbuat apa lagi. Sedangkan Malvin telah membuang sampah pada Bak sampah yang berada di gang itu.

Malvin sangat kuat menghadapi seluruh hidupnya. Reno masih terpesona dengan kulit Malvin yang tampak semakin putih pucat itu, senyumannya, bahkan caranya bernapas juga masih jadi dambaan bagi Reno. Ya, semua tentang Malvin adalah candu.

Reno tersenyum melihat lelaki kecilnya itu berjalan dengan menggerakkan tongkatnya di tanah. Hatinya menghangat meski hanya melihat tubuhnya. Tapi luka dalam hati Reno tetap menganga melihat realita, Malvin buta. Reno tak terima.

Dalam sedetik lamunan Reno. Tiba-tiba tubuh Malvin telah ditarik oleh seseorang. Tubuh kecil itu meronta saat lelaki yang tak dikenal mencoba membawanya pergi. Malvin bukan tandingan bagi penculik yang memiliki postur tubuh yang lebih besar dibanding Malvin. Tongkat Malvin terjatuh di tanah, sedangkan pemiliknya telah dibawa oleh penculik itu di pundaknya. Malvin menjerit, menangis, seraya memukul punggung pria itu sekuat tenaganya. Tapi semuanya sia-sia.

Reno murka melihat pemandangan di depannya. Tak boleh ada yang melakukan hal buruk pada lelaki pujaannya itu. Reno mengepalkan tangannya dan segera berlari mengejar Malvin yang tengah dibawa oleh penculik itu ke salah satu cafe yang berada di dekat sana.

Penculik itu memegang salah satu knop pintu rumah bordil yang tak jauh dari rumah Malvin. Namun sebelum pintu terbuka, seseorang telah melayangkan tinju yang mendarat sempurna di wajah penculik itu.

Malvin terjatuh, ia menangis ketakutan. Ia meraba-raba sekitarnya dengan kalut, mencoba mencari tembok salah satu bangunan untuk berlindung. Malvin tak tahu harus berbuat apa.

"Keparat! Beraninya kau menyentuh dia!" umpat Reno dengan keras. Melihat Malvin menangis ketakutan semakin membuat logikanya tumpul, amarah telah membumbung tinggi menembus akal sehat. Reno kalap seketika, lelaki pujaannya diusik.

Dunia seakan berhenti untuk Malvin. Telinganya sangat peka, hatinya seakan pergi dari tempatnya ketika mendengar suara pahlawan yang menyelamatkannya. Malvin ingat suara itu, ia mengenalnya. Hatinya kembali dipermainkan.

"Kau lagi!" kata penculik yang kini tengah terbaring di tanah itu, mengusap sudut bibirnya yang telah berdarah.

Reno menatap lelaki itu tak percaya. Melihat wajah penculik itu seolah menyiramkan minyak tanah pada api yang membara. Dendam lamanya bangkit, ia siap menghancurkan lelaki di depannya saat ini.

"Aku kira kau sudah mati, tapi aku tak menyangka kau kembali lagi, Bara."

Bersambung.

Penggemar Rahasia akan update setiap hari Rabu. Aku nggak mau update cepet, karena sepi banget. Kalau masih sepi vote, update juga makin lama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top