Part 21

Joe memijat pelipisnya. Laporan keuangan ditangannya membuat dirinya cukup tertekan.

"Maaf, Pak. keuangan perusahaan kita saat ini sedang terpuruk." ucap Manager Joe padanya. "Produk kita sepertinya perlu inovasi, dan itu memakan biaya yang tak sedikit. Karena Alpha telah meluncurkan produk terbarunya yang lebih modern."

Joe mendengarkan apa yang dikatakan managernya, hanya saja pikirannya saat ini tengah melayang tak tentu arah. Apalagi dengan keadaan Malvin yang memang membutuhkan perhatian darinya lebih. Hampir setiap waktu kerjanya telah ia habiskan untuk melamunkan tangisan Malvin, pikirannya juga bercabang memikirkan pengobatan untuk kesembuhan kedua mata pujaan hatinya. Malvin telah dibawa ke berbagai Dokter di Amerika, dan hasilnya nihil. Itu karena Malvin membutuhkan Donor Kornea, dan untuk mendapatkan pendonornya sangatlah sulit.

"Mr. Joe, do you hear me?" tanya si Manager karena kata-katanya seolah tak diacuhkan oleh Joe.

Joe menoleh pada managernya. "Kau bisa pergi sekarang, kita akan bicarakan ini besok," titah Joe. Kepalanya sangat pusing memikirkan antara rumah tangga dan perusahaan. Semenjak kehadiran pesaing barunya, perusahaan Joe semakin terkikis dan menuju kejatuhan. Apalagi hutang di bank yang sepertinya tak mampu lagi ia lunasi. Keuangannya benar-benar hancur.

Alpha nama perusahaan penyebab keruntuhan Joe. Perusahaan yang masih baru itu begitu pandai, di usianya yang masih seumur jagung mampu membuat perusahaan Joe di ambang kehancuran. Ia tak sempat lagi untuk fokus mencari jalan keluar bagi perusahaannya. Pikirannya tak bisa lagi fokus pada perusahaan, karena Malvin bukan lagi sebuah hal yang bisa dikompromi untuk otak Joe. Malvin adalah prioritas.

Sinar mentari menembus kaca di ruangan Joe, matanya menatap gedung-gedung pencakar langit lainnya. Dalam diam, Joe larut dalam lamunan.

'Apa yang harus aku lakukan?' tanya Joe dalam hati. Ini merupakan pilihan yang sulit untuk memilih salah satu di antara Malvin dan menyelamatkan perusahaan warisan papanya. Joe memejamkan matanya, berharap bisa menemukan jalan keluar untuk masalah ini.

'Drtttt drtt...'

Gawai milik Joe bergetar. Nama Malvin tertera pada layar, ia pasti meminta bantuan Will untuk menelpon Joe. Dengan tersenyum, Joe mengangkat telepon dari Malvin.

"Papa udah makan?" tanya Malvin di sebrang sana. Malvin sama sekali tak mengetahui bagaimana keadaan suaminya. Joe memilih merahasiakan ini agar Malvin tak ikut memikirkan ini semua.

Joe terkekeh, ia begitu bahagia diperhatikan oleh Malvin. Jika waktu menyebabkan seseorang berubah, itu sama sekali tak berarti bagi Malvin. Ia masih tetap setia dan perhatian pada Joe, tak pernah berubah. "Udah, Ma. Barusan aja aku makan siang. Mama udah makan siang belum? Cepet makan siang," balas Joe berdusta. Joe bahkan belum sempat sarapan, banyak sekali urusan kantor yang harus ia selesaikan hari ini, belum lagi ia sudah menginap 2 hari ini di kantor. Malvin pasti khawatir. Joe melakukan ini dikarenakan ia sudah seminggu tak berada di Kantor  untuk menemani Malvin berobat. Itu sebabnya pekerjaannya menumpuk, satu-persatu klien berpindah ke Alpha. Saham perusahaan Joe pun ikut terjun dengan sangat bebas, bahkan tak berharga.

"Hmm... Syukurlah. Kalau begitu, sudah dulu ya. Aku mau menidurkan Jovin dulu, dia lagi rewel banget," ucap Malvin membuat Joe tersenyum kecil. Meski di saat seperti ini, mendengar suara Malvin seperti obat paling manjur mengobati stress yang ia derita.

Joe dapat mendengar tangisan Jovin. Hanya mendengar suara si kecil itu, semangatnya seketika kembali terpacu. Ia harus mencari uang demi anaknya agar dapat merasakan hidup berkecukupan. Joe tersenyum, ada bara api yang kembali membara di dadanya berkat Malvin dan Jovin.

"Kamu jangan lupa istirahat yang cukup, jangan terlalu memaksakan diri," pesan Joe.

"Iya, Pa. Udah dulu ya ..."

"Iya, Ma." sambungan telepon itu terputus. Sekarang Joe harus menyelesaikan semuanya, membangun kembali perusahaannya yang sudah sekarat.

"Malvin, Jovin, tunggu papa," ucap Joe seraya melihat layar gawai miliknya, foto Malvin dan si kecil Jovin menghiasi layar utama.

Setelah menutup telepon itu, gawai Joe berbunyi kembali. Tertulis nama salah satu bank di layar.

***

Jovin sudah terlelap. Malvin tahu dari suara napas Jovin yang mulai berderu. Hatinya sangat bahagia hanya dengan mengelus tubuh Jovin dan menyanyikan lagu tidur hingga ia terlelap.

Jemari Malvin meraba bagian samping tempat tidurnya. Ia mencari tongkat yang ia gunakan sebagai penunjuk jalannya. Dan tongkat itu pun diraihnya. Ia merasa sangat haus dan ingin pergi ke dapur untuk sekadar meneguk segelas air minum. Ia menyisir jalan di depannya menggunakan tongkat itu agar ia tahu berada di mana dan ada sesuatu di sekitarnya. Saat Malvin merasa telah keluar dari kamarnya, ia segera memanggil Selena. Selena adalah salah satu ART di rumah ini, ia bertugas memasak dan mengurus Jovin.

"Ada apa, Vin?" suara itu menjawab. Namun berbeda, yang datang bukan Selena, melainkan William.

"Kenapa kamu yang datang? Di mana Selena?" tanya Malvin pada William.

"Selena sudah berhenti bekerja, Vin." Jawaban itu sontak membuat Malvin terkejut. Masih baru kemarin Grace berhenti bekerja, dan sekarang Selena. Ia bertanya-tanya dalam hati, ada apa dengan Joe?

"Apa Kak Joe yang memecatnya?" tanya Malvin yang ingin tahu.

William terdiam. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana. Joe sudah mewanti-wanti dirinya untuk tidak menceritakan tentang perusahaannya yang hampir bangkrut kepada Malvin. William tahu, itu sebabnya Joe memecat pembantu di rumah ini satu persatu.

"Aku tidak tahu, Vin. Tapi sepertinya Selena memang berniat pulang ke Florida." William harus berdusta lagi kali ini. Ia tak ingin Malvin mengetahui kondisi suaminya yang tengah terpuruk sebagai penyebab dipecatnya Selena. Harus ada salah satu yang menopang keluarga ini meski di saat kedua-duanya sama-sama rapuh. William sadar, ini adalah tanggung jawab Joe.

"Oh begitu, padahal sebelumnya Grace, Ellie, dan Ruth baru saja keluar. Kali ini Selena, ada apa sebenarnya?" Malvin bingung, karena satu persatu orang di rumah ini pergi meninggalkan rumah ini. William selalu beralasan mereka ingin pulang ke kampung halamannya. Tapi, dalam hati kecilnya ia merasa ada yang tidak beres.

"Kau tak perlu memikirkan itu, Vin. Ngomong-ngomong ada yang bisa aku bantu?" tanya William.

"Hmm... Aku haus. Aku ingin mengambil minuman, bisakah kau mengantarku?" pinta Malvin pada William.

"Tidak perlu. Lebih baik kau istirahat di kamar. Biar aku yang mengambilkan untukmu."

Malvin pun menurut dan William mengantarnya kembali ke kamar. Tak berapa lama saat William pergi menuju dapur, Jovin terbangun dan menangis.

Malvin pun meraba tempat tidurnya, mencari keberadaan Jovin tertidur. Tangan Malvin berhasil meraih bayi imut itu. Ia mengangkat Jovin secara perlahan dan berhati-hati. Dengan keterbatasannya saat ini, apapun mungkin saja terjadi. Malvin mengayunkan tangannya secara perlahan, menimang sang buah hati yang tengah menangis seraya bernyanyi.

timang-timang anakku sayang buah hati ayah 'nda seorang
Jangan marah dan jangan merajuk sayang tenanglah
dikau dalam buaian

Malvin begitu bahagia walau sekadar mendengar tangisnya. Ia bahagia dapat mendekap anaknya. Ia sudah bersyukur walaupun hanya bisa meraba bentuk wajahnya, ia hanya mampu mencium wangi tubuhnya. Tanpa tahu bagaimana rupa anak yang begitu dikasihinya. Malvin perlahan merelakan kedua matanya. Setiap hari adalah pelajaran bahwa ia harus berdamai dengan takdirnya sendiri.

Betapakah hati tak 'kan riang bila kau
bergurau dan tertawa
S'mogalah jauh dari mara bahaya
gembira sepanjang masa

Walau usia Jovin baru menginjak 6 bulan. Tapi ia tampak seolah mengerti bahwa Malvin menyanyikan lagu itu untuknya. Tangisnya berubah seperti sesenggukan di telinga Malvin. Dalam ruang imajinasinya, ia membayangkan seperti apa wajah Jovin saat ini. Akankah seperti Kak Joe bila menangis? Atau malah jelek seperti dirinya.

Setiap waktu 'ku berdoa
kepada Tuhan Maha Esa
Jika kau sudah dewasa hidupmu
bahagia sentausa

Bila tuhan masih mengizinkan, ingin sekali rasanya Malvin memohon untuk diberi kesempatan melihat wajah anaknya. Setiap waktu ia hanya mampu bermimpi anaknya, dan saat ia membuka mata, semuanya hanyalah ilusi.

William datang dengan membawa segelas air putih untuk Malvin saat Malvin tengah asik menidurkan si Kecil. William pun membantunya minum perlahan-lahan dengan menempatkan bibir gelas itu pada bibir Malvin, karena kedua tangan miliknya tengah sibuk menimang Jovin.

"Will, tolong setelah ini kamu beri asi yang ada di kulkas juga ya untuk Jovin," pinta Malvin. Sejujurnya Malvin ingin memberikan asi itu tanpa bantuan William. Tapi semenjak insiden Jovin gumoh dan Malvin tak dapat melihatnya, itu membuat Malvin tak berani melakukannya lagi. Dengan terpaksa ia menyerahkan tugas ini pada William, William selalu telaten membantu mengurus Jovin.

William melakukan segalanya dengan gesit meski dia laki-laki. Ia bisa melakukan banyak hal, seperti memasak, mencuci, menyupir, hingga merawat taman, semua dilakukannya. Malvin selalu merasa gaji yang ia berikan sejujurnya tak sebanding dengan dedikasi William untuk keluarga kecilnya, meski gaji William sebenarnya juga tak main-main. Tapi William memang pantas mendapatkan itu, ia begitu loyal, meski tengah malam Malvin membutuhkan bantuan. William selalu bisa diandalkan.

Joe juga sudah dari kemarin tidak pulang ke rumah. Malvin tak pernah merajuk ataupun memaksanya pulang. Ia sadar betul suaminya harus lembur dikarenakan telah mengantarnya berobat ke San Fransisco sekitar satu minggu lamanya. Akibatnya, Joe harus kembali membanting tulang mengerjakan pekerjaan yang sempat terbengkalai.

Malvin juga tak lagi bisa mengurus keuangan di rumah saat ini. Semua harus Joe yang melakukan secara solo, mulai dari membagi uang belanja, gaji ART, hingga pengobatan Malvin, Joe meng-handle  semuanya. Ia bagaikan satu tiang yang menyangga bangunan yang hampir rubuh seorang diri.

Saat William dan Malvin tengah mengobrol seraya memberikan asi pada Jovin. Mereka dikejutkan oleh ketukan di pintu.

"William coba lihat siapa yang datang."

William mengangguk, ia menyudahi untuk memberikan asi pada Jovin. Sedangkan ketukan di pintu seolah mengintimidasi, tanpa sopan santun. Ketukannya begitu kencang. Ketika William telah sampai di pintu, ia melihat kumpulan lelaki berjaket hitam.

"Kalian siapa? Dan ada maksud apa kemari?" tanya William bingung. Wajah mereka tak ramah sama sekali, datar tanpa senyuman.

"Kami harus menyita rumah beserta isinya! Mr. Jonathan sudah menjadikan rumah ini sebagai jaminan. Lebih baik kalian segera keluar dari rumah ini."

William terpaku mendengarnya. Tanda tanya besar seolah menancap pada kepalanya. Dan saat ia membutuhkan jawaban, Joe datang tepat waktu dengan berlari. William bertanya-tanya dalam hati, di mana mobil miliknya?

"Pak, saya mohon beri saya waktu. Saya janji akan melunasi semuanya," pinta Joe. Ia begitu tampak frustasi, kantung matanya sangat tak dapat disembunyikan.

"Maaf, Pak. Kami hanya menjalankan perintah. Kami harus menyita rumah ini."

Joe pada akhirnya hanya mampu menunduk lesu. Ia harus merelakan jerih payahnya selama bertahun-tahun kandas begitu saja hari ini. Kehidupannya dibalik semudah membalikkan telapak tangan. Ia sama sekali tak keberatan kehilangan segalanya, yang ada dipikirannya adalah pengobatan Malvin dan masa depan Jovin. Joe bingung bagaimana menjelaskan pada Malvin tentang ini?

"Papa nggak perlu khawatir, aku mau menjalani kehidupan bagaimanapun asal bersama kamu. Kamu juga harusnya menceritakan ini padaku, aku tak ingin beban seberat ini kamu tanggung seorang diri," itulah yang dikatakan Malvin pada Joe saat ia dan Jovin dibawa keluar secara tiba-tiba. Malvin sudah mendengarkan keributan tadi sebenernya. Ia tahu bahwa perusahaan Joe telah bangkrut.

"Ini semua karena Alpha! Perusahaan itulah yang telah menghancurkan perusahaanku." tutur Joe dengan geram. Malvin pun tak akan pernah melupakan nama perusahaan yang telah menjatuhkan suaminya. Ia tak dendam, hanya saja ia tak akan lupa.

Kini hanya tersisa Joe, Malvin, Jovin, dan juga William. Di antara semua asissten, hanya William yang tetap bersikeras ikut bersama keluara Joe.

"Bagaimana mungkin aku melupakan jasa kalian? Dan aku bukan orang yang tak tahu diri dengan meninggalkan kalian di saat kalian terpuruk. Maaf, aku tulus. Kalian tak perlu membayarku untuk ini." William bersungguh-sungguh. Ia tak akan meninggalkan keluarga yang telah membuat kehidupannya lebih baik. Dari sebatang-kara yang tebuang, Joe dan Malvin telah merubahnya sebagai manusia seutuhnya. Ia merasa dianggap ada dan dibutuhkan.

"Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Tapi, aku sangat menghargai itu semua, William. Hanya saja, kami tak ingin merepotkanmu." Joe merasa tak enak dengan William. Ia sungguh baik mau menemani keluarga ini meski tanpa dibayar sepeser pun.

"Siapa yang merasa direpotkan? Aku sebatang kara, kalian sudah kuanggap keluargaku. Berkat kalian juga aku bisa membeli rumah. Dan sekarang aku ingin kalian tinggal bersamaku. aku mohon, ikutlah tinggal di rumahku. Oh tidak, anggap itu rumah kalian juga," ucap William sedih. Mereka tak perlu memikirkan uang, Tabungan William dari bekerja di rumah Malvin juga cukup untuk sementara waktu menghidupi mereka semua.

Mereka bertiga bersama si kecil Jovin pun ikut dengan William, menyusuri jalanan kota Manhattan menuju rumah William. William berkata rumahnya sudah dekat. Mereka menyusuri gang yang tak terlalu kecil, dan disanalah rumah William yang sederhana berada. Rumah itu berada di kawasan yang berada dekat dengan club malam, kalau di indonesia mungkin disebut dengan warung remang-remang. Wanita berbusana minim dengan riasan menor juga bersliweran.

"Maaf, tapi memang seperti ini keadaan rumahku." William merasa tak enak. Tapi uangnya hanya mampu untuk membeli rumah seperti ini memang.

"Kau tak perlu berkata begitu. Kami sudah berterima kasih kamu mau menampung kami di sini. Itu lebih dari cukup," ucap Joe disertai anggukan dan senyuman Malvin.

Mereka bertiga masuk ke rumah milik William, sekaligus memasuki babak baru kehidupan bagi Joe dan Malvin. Kehidupannya telah berubah 180 derajat. Joe bukan lagi pengusaha kaya raya yang memilik segalanya dalam genggaman, begitu pula dengan Malvin. Mereka hanya orang biasa saat ini.

***

Joe masih sulit untuk menerima kenyataan yang ia hadapi saat ini. Harta dan juga kebahagiaan yang seolah terenggut begitu saja bagaikan kilatan cahaya kamera, semua terjadi begitu cepat untuk mampu ia kendalikan. Ia tak terbiasa dengan ini, kehidupan yang serba sederhana. Seandainya pulang ke Indonesia pun, ia takkan mau. Ini akan menjadi hal yang memalukan baginya pulang tanpa mahkota.

Joe bukan orang yang mampu berpangku tangan tanpa melakukan apapun. Ia akan sangat malu pada Malvin, jika tak mampu membahagiakannya. Ia sudah berjanji dan janji harus ditepati.

Sinar matahari di musim panas menyoroti Joe saat ini. Sudah beberapa hari Joe menjelajahi Kota Manhattan, Ia telah melamar kerja ke berbagai perusahaan, tapi ia masih tak kunjung berhasil dengan itu. Keringat seolah hiasan dari kerja kerasnya, menghiasi hampir seluruh tubuh Joe. Ia lelah sebetulnya, tapi ia harus tetap melakukan ini demi kelangsungan hidup keluarganya.

Ia sudah berkeliling Manhattan, melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Tapi entah kenapa, tak ada satu pun perusahaan menerimanya. Ia ditolak tanpa alasan. Apa hanya karena perusahaan miliknya baru saja bangkrut?

Namun di balik semua kesusahan, pasti ada jalan. Tinggal satu perusahaan yang belum ia kunjungi. Saingan terberatnya dulu. Alpha Inc.

'Aku menjauhkan semua ego, dan keputusan ini kuambil demi Malvin dan Jovin,' pikir Joe.

Ia pun memasuki perusahaan besar itu. Dan saat melamar di perusahaan ini, Joe merasa begitu mudah, baru saja ia menyodorkan surat lamaran beserta CV dan berkas-berkas lainnya sebagai pelengkap. Ia langsung saja interview dengan dewan direksi. Berkas memang tidaklah penting, yang utama adalah kinerja.

Untuk pertama kali dalam hidupnya Joe melamar pekerjaan. Sebelumnya, ia orang yang menunggu orang lain untuk melamar pekerjaan di perusahaannya. Sekali lagi, hidup manusia seperti roda, kadang di atas awang, kadang juga jatuh terpuruk hingga ke jurang kematian. Semuanya adalah rahasia, tak seorangpun tahu mengenai akan seperti apa hari esok baginya.

Baru saja Joe membuka pintu ruang pertemuan, tempat di mana ia akan diinterview. Beberapa dewan direksi memang tampak asing, tapi ada satu orang yang tak akan pernah Joe lupakan tengah duduk di sana. Tangan Joe seketika terkepal penuh amarah.

Joe tak pernah menyangka, perusahaan yang telah menumbangkan perusahaannya adalah milik rival seumur hidupnya. Dan saat ini, pria yang juga Joe sangat benci itu duduk bersama beberapa dewan direksi di perusahaan yang juga tak kalah Joe benci.

"Reno..."

Bersambung

Kak Reno jahat. Pergi aja! Pergi!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top