Part 20

"Ma, si kecil sudah lahir!" teriak Kak Joe yang baru saja pulang dari kerja, seraya tergopoh-gopoh berlari ke arahku yang tengah sibuk menyirami tanaman. Kak Joe memelukku dengan erat, mengangkat tubuhku dan berputar-putar seperti artis di film bollywood. Tawanya begitu membahana hingga orang seantero rumah mendengarnya. Para pembantu pun berdatangan ke taman, begitu pula dengan William.

"We are very pleased to hear the arrival of the newest member in your family. Hopefully, with the coming of the tiny little baby can complement and give the more happiness to you," ucap William disertai anggukan dan senyuman dari pembantu di rumah kami lainnya.

"Papa serius? Anak kita sudah lahir?" tanyaku tak percaya. Oh? Apa ini sungguh terjadi? Hatiku sungguh terasa penuh oleh kebahagiaan, meledak bagaikan kembang api di malam tahun baru. Si kecil yang kami nanti akhirnya hadir di tengah-tengah kami, meski awalnya aku sempat ragu dengan metode 'in vitro gamet'. Namun, aku salah. Ternyata pasangan sesama laki-laki seperti kami juga pantas mendapat momongan.

Kak Joe pun dengan segera menarik lenganku menuju mobil untuk menemui anakku yang berada di rumah sakit. Mobil kami berderum, berjalan menembus jalanan yang seolah mengucapkan selamat atas kelahiran anak kami. Dedaunan berguguran bagai confetti, sebagai tanda untuk kami yang telah berhasil mewujudkan impian. Aku tersenyum bahagia sepanjang perjalanan. Hatiku berdebar membayangkan sosok mungil yang akan terlelap dalam dekapanku, tangisnya akan bergema di telingaku, dan tawanya akan menjadi lagu pelipur dukaku.

"Anak kita akan kamu beri nama siapa?" tanyaku pada Kak Joe.

Kak Joe yang sedari tadi tersenyum sendiri bagai orang gila pun menoleh. "Hmm... Aku tadi mendapat kabar bahwa anak kita laki-laki, jadi aku akan memberinya nama ..." Kak Joe bergumam, ia tampak memikirkan nama untuk anaknya, "Jovin Achiviera Hendra?" tanyanya padaku.

"Jovin?"

"Joe dan Malvin."

Aku rasa tidak buruk, tapi nama keduanya kenapa harus Achiviera? Aku tidak akan masalah dengan marga Hendra milik Kak Joe, tapi aku juga ingin ada namaku. "Aku rasa akan lebih bagus, Jovin Akahiko Hendra," tuturku.

"Tidak, namanya nanti akan tumpang tindih antara Indonesia dan Jepang," debat Kak Joe. Kak Joe memang keras kepala. Sulit sekali berkompromi dengan apa yang sudah ia tetapkan sebagai keinginannya.

Diskusi di mobil ini berjalan alot dan lama. Meski demikian, kami pada akhirnya memutuskan nama Jovin Hachiko Hendra. Jika kalian belum memahaminya, maka akan aku beri tahu. Hachiko adalah gabungan dari nama Achiviera dan Akahiko. Namun bukan itu saja, Ada alasan lain lagi. Hachiko juga merupakan lambang kesetiaan dan pengabdian. Arti nama Hachiko berasal dari hachi berarti delapan, dan ko adalah akhiran yang berarti kasih sayang.

"Jovin... Papa nggak sabar ketemu kamu," gumam Kak Joe yang tengah fokus menyetir mobil. Matanya nampak sembab menahan tangis haru yang ingin sekali tertumpah. Aku yakin ia sangat terharu dan bahagia sama sepertiku.

Aku sendiri saat ini tengah merajut bayangan indah di dalam imajinasiku, membayangkan akan ada buah hati di tengah-tengah kami. Tentu kisah ini akan sempurna. Kebahagiaan kami akan lengkap, ini sudah melebihi harapan dan mimpiku. Terima kasih tuhan.

Setelah beberapa menit perjalanan, Kami sampai di Manhattan Hospital. Gedung yang tak terlalu tinggi itu akan menjadi saksi bisu pertemuanku dengan si kecil. Setelah mobil kami terparkir dengan benar, aku dan Kak Joe bergegas menuju ruangan anak kami berada.

Aku masuk ke dalam gedung itu dengan tergesa-gesa ingin segera bertemu dengan anakku. Hal itu membuatku tak mengindahkan peringatan lantai basah yang terpasang pada lantai, ditambah lagi dengan pandangan mataku yang kadang terasa tampak buram akhir-akhir ini, semenjak kejadian aku terjatuh dari tangga.

"Slashhh... Brak..."

Tubuhku jatuh secara dramatis, mencium lantai yang masih baru saja dipel. kepala bagian depanku membentur lantai yang basah. Kepalaku sakit, dan aku tak dapat merasakan apapun. Mataku yang sebelumnya tampak kabur, kini hanya warna hitam yang tampak. Kesadaranku pun menguap dan hilang. Aku pingsan.

***

"Papa..." Aku memanggil suamiku saat kesadaranku mulai pulih. Aku tak tahu berapa lama waktu yang aku habisakan saat pingsan, karena saat kesadaranku pulih, sudah begitu gelap.

"Ma, kamu sudah sadar?" Aku mendengar suara itu, suara suamiku. Tapi dimana dia?

"Ini di mana? Kenapa gelap sekali?" tanyaku. Aku tak dapat melihat satu cahaya pun di sini. Entah, berada di mana aku.

Aku mendengar Kak Joe berlari, langkah kakinya terdengar begitu dekat. Ia memanggil dokter dengan parau, teriakannya seperti auman singa. Aku juga mendengar percakapan mereka.

"Dokter tolong, kenapa dia berkata di sini gelap? Apa yang terjadi?" Kak Joe memberondong dokter itu dengan pertanyaan. Ia terdengar begitu kesetanan. Sedangakan aku, aku dihadang oleh sebuah tanda tanya besar mengenai keadaanku.

'Ada apa dengan mataku?'

Aku merasakan tangan dokter itu menyentuh mataku. Tapi aku tak dapat melihatnya. Apa aku buta?

"Maaf, boleh saya bertanya? Apa sebelumnya Malvin pernah terbentur sesuatu kepalanya?" Pertanyaan dokter itu membuatku gugup. Aku seperti seorang tersangka yang menjadi tokoh utama di meja hijau. Aku sangat takut mendengar vonis yang akan ia berikan kepadaku. Aku tak siap, aku ingin menutup telingaku.

"Sebelumnya Malvin memang jatuh dari tangga." Kak Joe menjelaskan.

"Malvin, apa setelah itu kamu merasa pandanganmu sering kabur?" Dokter itu kembali bertanya kepadaku.

"I-iya, Dok." ucapku terbata. Ada semacam tali yang terasa mengikat dadaku, sesak rasanya untuk mendengar apa yang akan Dokter katakan.

"Saya rasa kejadian Malvin terjatuh itu penyebabnya. Syarafnya rusak, dan terdapat lensa yang robek pada Mata Malvin. Seharusnya setelah kejadian itu, Malvin tidak boleh terbentur apapun pada kepalanya dan mengikuti proses pengobatan. Namun, dikarenakan ia terpeleset dan kepalanya berbenturan dengan lantai... Dengan berat hati, saya harus katakan... Malvin mengalami kebutaan."

Setetes air yang begitu hangat terasa mengalir di mataku. Vonis itu bagaikan akhir kisahku, harus dengan apa lagi aku menjalani hidupku? Apa yang dokter katakan bagaikan pisau yang mengoyak dadaku. Perasaan yang begitu perih menghunjam pikiranku. Aku tak bisa melihat ... melihat buah hatiku yang baru saja hadir ke dunia ini.

Kak Joe seketika memelukku yang terdiam di atas pembaringan. Tangisnya pecah, mengiris nadi kebahagiaan bagi yang mendengarnya. Apa yang harus kusampaikan pada Tuhan? Kenapa Ia tak membiarkanku melihat anakku barang sedetik? Apa diriku ini memang tak pantas?

'Tuhan ... Engkau kembali membawaku ke ambang batas kewarasanku.'

"Kamu pasti bisa melihat, aku memiliki banyak uang. Aku siap membawamu berobat kemanapun. Kamu tenang saja. GAK BOLEH ADA HAL YANG BIKIN KAMU GAK BAHAGIA!" Kak Joe meyakinkanku. Aku tak tahu harus bagaimana menggambarkan dirinya, mataku sudah tidak bisa melihat wajah muramnya, aku tak bisa lagi melihat senyumnya, dan mungkin aku tak lagi bisa menjadi pendamping terbaik untuknya.

Hatiku sangat sakit dan juga pedih. Ini bagaikan siksaan yang tak mampu untuk aku jelaskan. Aku tak mampu walau hanya sekadar berteriak, Hendak memaki nasibku yang memuakkan. Aku sudah pada batas ketabahanku. Air mata yang membisu hanya mampu kurasakan, ia tak terbendung mengaliri pipiku. Tanganku hanya tergolek tak menepis alirannya, biarkan saja mengalir seperti takdir.

"Aku ingin bertemu Jovin," ucapku lirih. Hanya itu keinginanku, meski sakit rasanya untuk menyebut nama anak itu. Bagaimana aku bisa merawatmu dengan keterbatasanku ini, Nak?

Kak Joe segera mengangkat tubuhku yang ringkih ini. Entah kemana perginya semangat hidup, aku tak peduli. Aku hanya ingin bertemu anakku. Aku ingin mendengar tangisnya, aku ingin memeluknya. Meski di hatiku yang terdalam, aku ingin melihatnya tumbuh dalam dekapanku. Tapi apa lagi yang harus kutuliskan dalam kisahku? Takdir telah merampas semua kebahagiaan, kenapa ia tega menghempaskan aku dari atas awan, dan membiarkanku terjebak dalam dunia kesedihan?

"Ini, Ma ... anak kita ..." ucap Kak Joe parau seraya menurunkan tubuhku dari gendongannya. Aku tak menyadari aku telah sampai di ruangan berbeda. Aku merasakan jari-jemari Kak Joe menyentuh tanganku. Ia menuntun tanganku menyentuh sebuah kotak yang aku rasa adalah sebuah incubator.

Ada rasa bahagia menyeruak seperti mawar yang merekah di dalam hatiku, dan pilu memotong dahannya tanpa menyisakan satu pun kesempatan baginya mekar. "Nak, kamu adalah hal yang paling Mama tunggu sembilan bulan ini. Mama ingin melihat tawamu, melihat kamu tumbuh dalam pelukan mama. Maafkan Mama, sayang. Mama rasa itu hanya akan menjadi mimpi terindah yang takkan pernah jadi nyata..." Tubuhku lunglai, kakiku yang begitu lemah tak kuat menopang tubuhku yang seperti tak lagi berjiwa, aku terduduk di lantai dengan tangisan penuh duka. Kedua tanganku dengan setia memegang penyangga incubator itu, tangisku pecah di sana. Hati dan jiwaku telah hancur di sana.

Aku tak mampu melihat wajah anakku, Tuhan! sakit sekali rasanya. Seharusnya hari ini akan menjadi hari terindah dalam hidupku. Aku akan tersenyum saat melihatnya tertawa oleh gurauanku! Aku seharusnya bisa!

"Mata! Bekerjalah semestinya!" Teriakku kesetanan. Aku mengucek mataku, kemudian mencoba membuka mata. Aku berharap ini akan membuatku dapat melihat lagi. Namun, nihil. Ini tidak mungkin sesederhana itu.

Kak Joe mencegahku melakukan hal buruk pada mataku. Tangannya melingkar pada tubuhku, mengunci tubuhku yang sudah seperti dirasuki oleh iblis, menjerit, menangis, memukul diri sendiri, semua itu aku lampiaskan untuk rasa sakitku selama ini! Aku semestinya juga pantas bahagia!

"Mama, sudahlah... Kamu tenang... Kamu pasti bisa melihat lagi, kamu pasti bisa melihat anak kita." Kak Joe mencoba menenangkanku. Ia menarik tubuhku keluar hingga tak lagi dapat kurasa incubator itu pada indra perabaku.

"Melihat anak kita? Hahahaha! Mataku sudah buta! Aku takkan bisa melihatnya! Aku tak bisa, Pa! Aku ingin mati saja! Tuhan memang tak pernah ingin aku bahagia! Tuhan selalu merampas segalanya di saat kebahagiaan itu sudah di depan mataku! Cukup, aku sudah muak!" teriakku pada Kak Joe. Aku tahu ia sama terpukulnya denganku, ia tak menginginkan aku seperti ini. Tapi ini sudah terjadi! Sekarang apa gunanya hidup jika tidak bahagia! Untuk apa?

Aku tak tahu dan tak peduli berada di mana aku dan Kak Joe berdebat saat ini. Yang aku tahu, kesabaranku telah habis. Aku tak peduli bisikan orang yang masih bisa kudengar itu membicarakanku, beserta langkah kaki di sekitarku seolah mengolok ketidakberdayaanku. Aku tak mau tahu apa yang orang pikirkan! Yang aku tahu hanya, aku ingin mencaci maki nasibku! Aku ingin melawan semua keadaan ini!

Kak Joe memelukku, sedangkan aku meronta, memukuli dadanya. "Lepas! Lepaskan aku! Aku ingin mati saja! Untuk apa aku hidup jika tidak bisa melihatnya? Untuk apa?" ratapku. Aku bagaikan pohon di tengah kekeringan, daunku tak lagi ada, buahku telah lama sirna. aku begitu lemah dan tak berguna. Keberadaanku tak akan mengubah apapun, aku akan tetap tak berguna.

Kak Joe memegang kedua pipiku, memaksa mataku untuk menatap matanya seandainya aku bisa melihat. Disitu aku merasakan kesedihan dan rasa sakit yang Kak Joe rasakan, tak kalah hebatnya dibanding diriku. Deru napasnya berat dan berlarian, tapi keyakinan masih terpancar jelas dalam genggamannya. "Jangan pernah berkata begitu, Ma. Aku nggak akan siap untuk berada di sini tanpa kamu. Aku akan lakukan apapun demi penglihatanmu bisa kembali. Aku janji, tak peduli apapun resikonya. Aku siap."

Kata-kata itu seolah angin sejuk yang membelai lembut relung hatiku. Kak Joe selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik. Aku segera memeluknya, Tanganku saling mengait di punggung kokohnya. Tempatku bersandar di saat terpurukku. Aku yakin, Kak Joe pasti bisa menyembuhkanku. Karena dia adalah keajaiban yang tuhan anugerahkan dalam kehidupanku.

Bersambung

Halo pembaca semuanya. Mulai dari part 21, sudut pandang akan berubah menjadi sudut pandang orang ketiga. (Author's POV).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top