Part 19B
Kegelapan memang menjadi momok bagi setiap orang. Kegelapan selalu identik dengan hal yang menakutkan. Dan kegelapan itu kini menyergap diriku. Tak ada satupun yang dapat kulihat, tak satupun suara yang dapat kudengar. Kesunyian, Ya sunyi, juga sendirian.
"Bukankah harusnya aku? Kenapa harus dia?"
Sebuah suara kembali tiba-tiba mengisi ruang kosong tempat kuberada sekarang. Aku mengenal suara itu, Ya, suara seperti sebelumnya. tapi suara siapa? Otakku seolah-olah tak mau bekerja, bahkan untuk sekadar memikirkan pemilik suara yang menggema tadi.
"Siapa?" tanyaku seorang diri.
Sunyi, Tak ada jawaban. Aku melihat sekeliling dan masih tak ada siapapun. Rasa takut mulai menyelimutiku.
'Apakah itu hantu? Di mana aku saat ini?' pertanyaan itu mulai melayang di sekitar otakku yang seolah masih malas tuk berpikir. Aku berpikir keras dan itu membuatku semakin tak tahu apa-apa.
Dalam keputusasaanku, sebuah cahaya terang bersinar di depanku. Cahaya itu memanggilku untuk datang ke arahnya. Perlahan kakiku mulai bergerak mendekat, tanganku ingin meraba lebih dekat cahaya itu. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Cahaya itu menarikku bagaikan pusaran air laut yang kuat membawaku ke dalamnya. Tubuhku meronta, tanganku mencoba mencari pegangan, tapi tarikan dari cahaya itu terlalu kuat. Aku pun tertelan ke dalam cahaya berwarna putih menyilaukan tersebut.
***
Mataku mulai terbuka. Namun, tubuhku sama sekali tak dapat digerakkan. Aku melihat sekeliling dan aku tersadar, ruangan gelap tadi telah sirna tergantikan dengan sebuah ruangan yang berinterior serba putih, mataku masih sayu untuk melihat cahaya matahari yang menembus jendela.
Dalam keadaanku yang baru sadar, ada suara sesenggukan yang memanggil namaku tertangkap oleh indra pendengaranku. Apakah itu suara kevin? Kevin adalah nama salah satu boneka kesayanganku yang bertengger di kursi. Tapi boneka takkan mungkin bisa menangis, bukan?
"Mama, aku tak bermaksud membuatmu begini... Mama..." suara itu meraung-raung laksana serigala tanpa malam purnama, tak sempurna. Dan serigala itu tampak menundukkan kepalanya di samping tubuhku yang tergolek lemah seraya memegang erat tanganku.
Otakku mulai sedikit bekerja. Akibatnya, aku mulai merasakan sakit pada kakiku. Sepertinya impuls dari sarafku mulai menyalurkan setiap bagian rasa sakit itu menuju otak. Syukurlah, dengan merasakan rasa sakit ini berarti aku masih normal.
"Papa," ucapku lirih.
Kak Joe yang mendengar panggilanku seketika mengangkat kepalanya. Kedua bola matanya berbinar seolah menemukan mata air di tengah gurun. Ya, dia amat bahagia. Lihat senyumnya yang mengembang, hidungnya yang memerah, oh bukan hanya hidung, tetapi wajahnya memang merah padam memendam kesedihan. "Mama ... Akhirnya kamu sadar. Maafin aku, aku nggak pernah bermaksud buat kamu kayak gini. Aku sayang kamu, kamu harus tahu itu, tapi ini karena kesalahanku, Ma. Aku nggak becus jagain kamu hingga kamu bisa sampai seperti ini." Kak Joe mengusap air matanya mencoba menjadi lelaki tegar di hadapanku, pria bertubuh gorila namun berhati Hello Kitty ini memang selalu melankolis. Aku tak tega, sungguh.
Kalau aku bisa jujur, dia sebenarnya tak salah, meski sebenarnya dia yang memaksa aku bicara. Namun tetap saja, Ini semua kesalahanku. Aku bodoh! Aku ceroboh! Harusnya aku menjaga perasaannya dan dapat memberi alasan yang lebih logis. Bukan malah mengungkit rasa sakit yang selama ini telah lama kami buang ke dasar jurang hitam kehidupan kami.
"Maafin aku juga Pa. Aku nggak seharusnya menceritakan itu. Aku sebagai pasanganmu sudah semestinya tahu bagaimana reaksimu saat mendengar ini, tapi aku malah menceritakan ini dan membuatmu terluka." Aku menatap bola mata miliknya yang penuh dengan sembilu, hatiku tersayat saat mata itu seolah memberikan penghakiman secara tersirat, membuatku menjadi orang paling kejam pemberi kesedihan. Aku bukanlah orang yang sejahat itu, keadaan yang membuatku berdiri di antara dua hati.
Kak Reno. Apakah aku harus pergi pada para Ilussionist? Agar mereka dapat menghapuskan wajahmu! Selamanya dalam hidupku! Kau menyakitiku setengah mati, meremuk-redamkan hatiku hingga tak lagi berwujud hati, membolak-balikkan hatiku bagai bola kristal salju yang kau mainkan sesuka hati. Harusnya kau tahu, keputusanmu meninggalkanku adalah kesalahan terbesar dalam hidup ini.
Kau tahu? Sisi lain batinku memprotes pendapatku, harusnya aku berterima-kasih padamu karena berkat dirimu pula banyak hal mungkin dapat kulalui, termasuk kebimbanganku dulu memilih salah satu di antara kalian.
Lamunanku berubah seketika saat kurasakan springbed tempatku berbaring mulai bergerak, menandakan pergerakan seorang manusia di atasnya. Kak Joe merebahkan dirinya di sampingku. Tangannya yang sebesar bongkahan kayu itu tanpa permisi memelukku, mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Aku seketika menatap wajahnya penuh konsentrasi. Apa yang akan dia lakukan?
'Malvin fokus...'
Kak Joe mengecup keningku dengan khidmat, ia tak mengindahkan perban yang membalut lukaku. Aku masih menatapnya dengan perilaku yang memang sudah seharusnya aku terbiasa, hingga tatapan kami bertemu. Saat aku dan Kak Joe tengah menatap satu sama lain dan menyelami perasaan kami. Deru nafas Kak Joe yang maskulin itu memasuki sisi kewarasanku. Jemarinya menelusuri pipiku, menarik wajahku lebih intim dengan wajahnya.
"Bubur spesial buatan William sudah datang!" teriak William yang sudah ada di ambang pintu yang memang sedari awal terbuka.
Suasana yang telah Kak Joe rajut pun rusak seketika saat William yang tengah membawa nampan dengan semangkuk bubur ayam diatasnya. Wow... Orang amerika juga bisa masak bubur ayam ya. Aku mengira pasti mereka minta bantuan si mbah, iya si mbah boogle (Read=Bugel).
Kak Joe menampakan raut wajah murka, rahangnya mengeram marah karena saat-saat romantis kami tak berjalan sesuai harapan. Aku juga mendengar umpatan kecil dari mulutnya. Sebelum perasaanku mengatakan bahwa Kak Joe tadi hendak menciumku, atau mungkin berbuat lebih, Aku hanya tertawa dalam hati membayangkannya. Sungguh Kak Joe yang malang. Ia pun berdiri mengambil nampan yang tengah dipegang oleh William itu dengan sungutan penuh ancaman di wajahnya, dan ia memerintahkan pada William, "Sudah, sekarang kau keluar dan tutup pintunya. Jangan biarkan siapapun masuk."
William mengangguk dan sedikit bengong melihat wajah Kak Joe yang tampak sedikit menyeramkan kali ini, Ia lebih mirip beruang yang baru terbangun dari hibernasi. William pun mengangguk dan keluar seraya menutup pintu dengan pelan.
Aku berniat bangun dari posisi tidurku untuk memakan bubur buatan William, tapi seketika kepalaku dihinggapi rasa pusing dan tanganku terasa sakit. Saat itu pula aku tersadar bahwa lukaku pastilah cukup serius.
"Sebentar, aku bantu," ujar Kak Joe. Ia meletakkan lengannya pada leher dan kakiku, ia membantuku untuk duduk bersandar.
"Pa, tadi dokter bilang apa? Kok badanku sakit semua begini?" tanyaku pada Kak Joe.
Kak Joe tampak membelalakkan matanya mendengar pertanyaanku seolah terkejut, ia segera memasang wajah sewajar mungkin. "Tidak ada apa-apa, kamu hanya luka sedikit, Ma," jawabnya ringan dengan senyum simpul penuh kepalsuan. Aku curiga.
"Jujur, Pa!"
"Aku serius, Ma!" Kak Joe masih berusaha tampak meyakinkan. Ia membelai lembut rambutku yang tertutup oleh perban. "Selama ada aku, tidak ada yang mampu mengusikmu, rasa sakit sekalipun."
Kata-kata dari bibirnya seolah menampar ulu hatiku. Ada nada kesedihan di dalamnya, namun aku tak mampu memperdalam suasana ini dan memaksanya bicara, Meski Keingintahuanku memang membuncah hingga di ubun-ubun rasanya. Aku sangat yakin bahwa Kak Joe memang sengaja menyembunyikan sesuatu dariku. Baiklah ... Aku yang akan mencari tahu sendiri.
"Mama makan dulu ya, Papa suapin."
Bersambung
Berapa bulan aku hiatus? Ada yang tahu? Yeay akhirnya update.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top