Part 16

Kemeriahan pesta masih belum usai. Tampak beberapa orang menikmati pesta ini. Kak Joe juga mengundang beberapa penyanyi amerika untuk memeriahkan acara pernikahan kami. Aku berkeliling ruangan gedung yang begitu luas ini, dan mendapat banyak ucapan selamat yang ditujukan untuk pernikahan kami. Kak Joe tampak bahagia sekali,senyum manisnya tiada hanti menyungging. Kak Joe menggandengku dengan bangga, memperkenalkanku pada beberapa rekan kerjanya.

Dari sekian banyak hadirin pesta, mata kami menangkap dua orang Indonesia yang baru saja memasuki aula ini dengan terengah-engah.

"Malvin ... Joe ...," panggil mereka pada kami. Aku membelalakkan mataku melihat kedua lelaki yang tengah berjalan ke arahku dan Kak Joe. Kemudian mereka sampai di depan kami, memeluk kami untuk memberi ucapan selamat.

"Selamat untuk pernikahan kalian, pesawat kami delay. Jadi, beginiliah ... kami baru sampai dan langsung datang kemari," ucap Deny menjelaskan.

"Kami turut bahagia untuk pernikahan kalian," timpal Wildan.

"bagaimana dengan kalian? Kapan kalian akan menyusul kami ke jenjang pernikahan? Atau hanya ingin bersenang-senang?" tanya Kak Joe pada mereka.

Hening. Mereka menunduk dan diam saja tak menjawab pertanyaan Kak Joe. Sejenak, Deny tampak akan berbicara. Namun, segera disergah oleh Wildan.

"Tentu kami akan menikah, bahkan kami telah pindah ke San Fransisco. Kalian bisa datang ke apartemen kami di sana, jika kalian bermain-main ke San Fransisco," ujar Wildan. Dilihat sekilas, ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang mengganggu mereka akibat pertanyaan Kak Joe.

"Jadi, kalian sudah mendapat restu orang tua kalian? Selamat ya," ucapku bahagia untuk mereka.

Namun, hening kembali menyergap. Mereka seperti menyembunyikan sesuatu, hingga gelengan dari Deny memberikan jawaban. Mereka tak direstui.

Aku dan Kak Joe paham dengan yang terjadi pada kedua pasangan itu. Aku tak ingin menambah beban mereka. Jadi, aku segera merubah topik pembicaraan.

"Kalian sudah mendapat penginapan? Kalau belum, kalian bisa tinggal di tempat kami malam ini. Menikmati suasana kota New York, itu pasti menyenangkan," ujar Kak Joe pada mereka, "jangan terburu-buru untuk kembali ke San Fransisco," lanjut Kak Joe.

"Itu tidak mungkin Kak, jika aku dan Wildan tinggal di tempat kalian, kami akan mengganggu malam pertama kalian. Kami tak ingin menjadi perusak suasana," jelas Deny tersenyum ringan. ia mengatakannya tanpa beban, membuat pipiku memerah seketika.

"Itu benar sekali, kami juga telah mendapatkan penginapan di dekat Central Park. Jadi, kalian tenang saja," tambah Wildan.

Baru satu tahun yang lalu, Deny berkata akan berpikir dua kali apabila Wildan mengajaknya kawin lari. Namun, saat ini mereka benar-benar melakukannya. Dilihat dari raut wajah mereka, pasti orang tua Wildan marah besar.

Kakiku kesemutan. Sudah hampir tiga jam lamanya aku dan Kak Joe berkeliling gedung super besar ini. Kami menyapa rekan bisnis, klien, dan banyak lagi orang yang berhubungan dengan bisnis keluarga Hendra, tapi tamu undangan kami seperti tiada habisnya. Mati satu tumbuh seribu, itulah peribahasa yang tepat dalam situasi yang seperti ini.

"Kapan tamu ini akan pulang semua?" geram Kak Joe melihat tamu yang tampak seperti kawanan semut memenuhi pintu masuk.

"Salah sendiri, punya perusahaan banyak banget," ejekku. Entah itu hal yang harus disyukuri atau ditangisi. Namun, jika dampaknya seperti ini, aku memilih untuk memiliki satu perusahaan saja. berbeda dengan Om Hendra yang memiliki cabang di sebagian kecil kawasan Asia, Australia, Eropa, dan Amerika.

"Udah, Ma. Kita kabur aja," ujar Kak Joe seraya menatapku dengan raut putus asa.

"Jangan mikir aneh-aneh, kita selesaikan ini dulu, baru pulang. Ini juga baru jam 3 sore," jawabku menatap jam besar pada dinding.

"Persetan dengan acara ini, pokoknya aku mau kita pulang," ucap Kak Joe dan tak dapat diganggu gugat. Ia segera menarik lenganku tanpa permisi sebelum aku dapat bicara. Ia membawaku ke arah orangtua kami.

"Pa, aku sama Malvin udah capek. Aku serahin sisanya ke Papa, ya?" sahut Kak Joe pada Om Hendra. Satu hal yang membuatku semakin bingung, Om Hendra menyetujui permintaan itu begitu saja. mengangguk setuju pada ide bodoh Kak Joe.

"Oke, selamat bersenang-senang," jawab Om Hendra dengan seringaian sarat akan makna pada bibirnya.

Aku diam saja. tak berniat untuk protes atau semacamnya. Itu percuma! Siapa yang akan mendengarku? Kedua ayah dan anak itu memiliki pemikiran yang sama saja.

Kak Joe menarikku ke tempat parkir. Kami pun masuk pada salah satu mobil yang terbingkai indah oleh hiasan bunga pada bagian depan mobil.Kak Joe melesatkan mobil itu menyusuri jalanan kota New York bagai petir. Entah mengapa, aku merasa semua lampu lalu lintas selalu berwarna hijau setiap mobil kami melewati traffic. Tapi memang benar, entah keberuntungan macam apa yang berpihak pada Kak Joe.

Saat sampai pada basement pun hal buru-buru kembali terulang. Meski kami telah sampai dengan selamat, Kak Joe masih menarik lenganku dan sedikit berlari. Hingga kami sampai di ruang tamu kondominium kami.

Senyap terasa menyelimuti setiapjengkalkondominium ini. Kami berdiri berhadapan, saling memandang satu sama lain. Kak Joe tampak masih menghirup oksigen dengan terengah-engah akibat berlarian, pipinya memerah, bibirnya sedikit terbuka untuk mengambil dan mengembuskan napasnya.

Darahku berdesir. Sapuan napas pada wajahku berasal dari hudung yang berada diatas kepalaku. Kami masih diam saling menatap, sulit dipercaya bahwa saat ini, kami telah saling memiliki. Tak ada halangan untuk melakukan yang lebih dari sekadar berciuman.

"Kenapa kita buru-buru pulang?" Aku bertanya polos. Aku memang bingung dengan pemikiran Kak Joe, apalagi seringaian Om Hendra tadi? Pertanyaan demi pertanyaan seakan berputar di otakku.

Kak Joe tersenyum seolah persoalanku tadi begitu lucu. Aku sedang marah, kenapa ia malah menertawaiku? Aku semakin cemberut, karena tak dihiraukan.

Kak Joe menyentuh pelan bibirku yang sudah maju sekian senti, akibat kekesalanku. "Apa pertanyaanmu sangat butuh jawaban?" tanya Kak Joe. Ayolah! Apa pertanyaanku terdengar begitu retorik baginya?

"Tentu, sewa gedung itu pasti nggak murah, belum lagi makanan berlimpah ruah di setiap sudutnya. Kenapa tidak dimanfaatkan? Kesannya malah buang-buang uang," cecarku masih saja betah dengan bibir manyun.

''Kenapa kamu jadi mikirin uang? Toh, aku bisa cari uang lagi. Harusnya kamu mikirin aku, Ma!" sesal Kak Joe. Tapi ada betulnya juga, yang cari uang Kak Joe, kenapa aku malah yang repot? Oh, tunggu. Sekarang aku adalah pendamping hidup Kak Joe, sudah kewajibanku untuk mengingatkannya.

"Aku juga mikirin Papa kok. Papa ngajak pulang cepet pasti kecapekan, kan?" jawabku dengan jujur, mengatakan hal yang ada di dalam otakku.

Kak Joe yang seolah tidak terima dengan jawabanku hanya mampu mengusap wajahnya dengan kasar. "Bukan itu Ma, yang peka dikit dong," seru Kak Joe padaku. Aku kembali berpikir alasan Kak Joe membawaku untuk segera pergi dari sana. Namun, semakin aku berpikir, semakin aku tidak tahu pula.

"Ngomong aja, Pa. Ada apa sih?" tanyaku ingin tahu. Aku memang tidak peka. Aku tidak tahu kemauan Kak Joe dengan meninggalkan ruang pesta secara tiba-tiba.

Kak Joe menyipitkan matanya, menatapku penuh ancaman. Aku kikuk tanpa mampu berulah. Wajahnya kian mendekat ke arahku, bibirnya mendekati telingaku seolah hendak menggigitnya. Saat aku sudah terpejam, sebuah bisikan menyentakku, "Aku sudah menahan ini terlalu lama, aku ingin menyentuhmu."

Bisikan itu menyebar bagai impuls yang mampu menggetarkan duniaku. Ya! Itulah jawaban yang tak terlintas dalam benakku. Aku bukan lagi anak TK yang tak memahami makna harfiah dari kata 'menyentuh' yang baru saja diucapkan oleh Kak Joe. Aku sangat memahaminya.

"Aku sekarang suamimu, Pa! Jadi sen-sentuh saja," desisku gugup yang terdengar bagai lampu hijau untuk Kak Joe. Kak Joe tersenyum mendengar jawabanku.

Bibir itu perlahan memangut dalam taut. Membawa getaran nafsu dan asmara yang membaur jadi satu. Menyelami makna akan kama yang tesembunyi di balik sebuah rasa. Mengilhami cinta sebagai anugerah terbesar dari Sang Maha Kuasa.

Bibir itu masih bermain disana, sedangkan tangan Kak Joe mulai bergerilya menyentuh setiap jengkal tubuhku yang masih tertutup kelambu suci. Setiap sentuhannya bagaikan listrik yang mengejutkan kulitku, menyisakan getaran yang takkan mudah dilupakan. Tangan itu meraba tanpa aba-aba, membuka bajuku satu persatu.

Aku menurut saja. Apa lagi yang harus aku katakan? Kak Joe sekarang adalah suamiku. Kami memiliki hak yang sama untuk menggunakan tubuh pasangan kami sebagai pelengkap kebutuhan jasmani. Bukanlah suatu hal yang baik bila ajakan seperti ini aku tolak. Aku akan disebut durhaka.

Jas dan kemejaku telah terbang ke tempat antah-berantah. Menyisakan celana yang masih aku kenakan dengan underwear di dalamnya. Tangan kiri Kak Joe menyentuh bagian padat nan kenyal yang dinamakan pantat. Tangannya mulai meremas dengan gemas, menepuk pantatku ganas, Sedangkan tangan kanan Kak Joe memberikan pelukan padaku dengan melingkar pada pinggangku.

Kami masih sibuk dengan beradu pangutan. Kedua tanganku melingkar, memeluk leher Kak Joe yang lebih tinggi dariku. Kak Joe melepas duel panas kami sejenak dan berucap, "Jangan disini, kita bisa melakukan ini di kamar saja."

Tangan kiri Kak Joe meraih lekukan pada tumitku, sedangkan tangan kanannya telah berada pada punggungku. Ia menggendongku bagai bayi kecil, meletakkan kepalaku pada dada bidangnya. Kemudian, menidurkanku pada ranjang berukuran double yang  dipenuh oleh mahkota bunga mawar berwarna-warni. Keringat Kak Joe mengucur deras, membasahi kemejanya bagai air hujan. Dada bidang itu bagaikan ukiran paling indah dunia. Wajah Kak Joe memerah, deru napasnya terlihat seperti seekor banteng pada arena gladiator.

Kak Joe terlihat seperti orang mabuk. kemeja yang masih terpakai pada tubuhnya robek dalam satu kali tarikan. Aku yang masih memiliki akal sehat hanya mampu meneguk ludahku sendiri. Aku kagum, sekaligus takut. Bagaimana kalau ranjang ini nanti ambruk?

Tanpa aku pinta, Kak Joe menghambur pada tubuhku yang telah terlentang tak berdaya. Menindihku dengan gigih, mencumbuku penuh gairah. Bibir itu kembali mencari tautannya, menaut tiada takut. Jemari tangan Kak Joe bermain pada puting merah mudaku yang mulai mengeras. Mencubit gemas tanpa ampun. Aku menggelinjang, tak mampu lagi memberontak.

Kak Joe berdiri, melepaskan sabuk dan celana katun yangiakenakan,  sedangkan celana dalam berwarna merah yang masih membalut kulit selangkangan itu tak ia tanggalkan terlebih dahulu. kak Joe membuang sabuk dan sabuk ke belakang tanpa peduli, menyisakan celana pendek yang menyembunyikan pusaka di dalamnya. Aku pun ingin melepaskan celanaku, tapi rasa malu mulai menjangkitiku. Kenapa rasa malu harus datang di saat yang tidak tepat?

"Lepas, Ma. Celana kamu," titah Kak Joe. Aku mulai melepaskannya dengan tangan yang gemetar.

Kak Joe terkekeh melihatku yang begitu tak tahu apa-apa tentang hal-hal beginian. Bagaimana tidak? Aku belum pernah menonton video pergumulan antar dua manusia sebelumnya, aku masih polos.

Kak Joe yang mengerti tentang kerisauanku pun akhirnya menghampiriku, mengelus pipiku lembut. "Biar aku yang lepasin," ujar Kak Joe.

Aku mengangguk saja daripada malu karena ketahuan gemetar melepas celana sendiri. Pipiku memerah. Karung, mana karung? Aku malu, aku ingin sembunyi. Namun, tidak lagi. Celanaku telah hilang dari tempatnya dalam hitungan detik. Tiada sehelai benang pun yang menutupiku kali ini.

Aku dengan segera menutupi adik mungilku. Kepalaku tertunduk penuh ragu. Aku tak lagi berbusana. Sejenak, hening terasa. Aku bingung mengapa Kak Joe diam saja. Aku pun memberanikan diri untuk mendongak dan menatap wajah Kak Joe. Kak Joe terpaku di tempatnya, bibirnya telah melongo membentuk huruf 'o' dengan binar mata penuh makna.

Aku merasa pipiku semakin merah, tatapan itu membuatku semakin malu.

Kak Joe mendekat, meraba paha putihku dengan jemarinya. Ada rasa tak tertahankan, seolah aliran listrik menyengatku saat itu. "Aku selalu kagum dengan tubuhmu, Ma. Sekarang aku bisa memiliki tubuh ini untukku sendiri. aku bahagia," ucap Kak Joe dengan matanya yang menatap lekat permukaan kulitku.

Sesuatu dibalik celana dalam itu terlihat mengeras dan mengembung cukup besar, membuat celana dalam itu seolah sesak pada pinggang Kak Joe. Aku menatap tubuhnya yang tengah mendekat kepadaku, kulit putihnya mengkilat dibalut oleh keringat. Wajahnya tetap memerah dikarenakan suhu pergumulan ini yang semakin meningkat. Tangannya meraih tanganku yang tengah melindungi burung kenari yang bersembunyi pada belahan pahaku.

Tanganku terlepas begitu saja saat lengan itu menarik dengan cerdik. Menampilkan kenari putih yang masih tertidur. Kak Joe kembali tersenyum. Tangannya memegang bahuku, sedikit mendorong tubuhku untuk berbaring pada dipan kami. seketika aroma mawar menyeruak, membuat nafsuku membumbung semakin tinggi.

Kak Joe melepaskan celana dalamnya sendiri. Kini aku sangat terkejut,  melongo membentuk huruf o. Jika aku mengibaratkan burungku sendiri dengan kenari, maka milik Kak Joe adalah rajawali. Lagi-lagi aku dibuat terkagum oleh ukiran sempurna pada tubuh pasanganku ini.

Rajawali itu memiliki batang bagai pemukul kriket. Panjangnya bagaikan bambu di hutan, dengan kepala merah merekah bagai jamur beracun. Kini, bukan tanganku saja yang bergetar. Namun, bulu romaku seakan meremang seketika.

Rajawali itu mendekati bibirku, menyentuh kulit bibirku seolah meminta untuk terbuka. Dengan sedikit gemetar, aku membukanya, membiarkan rajawali itu menikmati sarang barunya. Rajawali itu mengaduk bibirku dengan keluar masuk tanpa permisi. Ada rasa penuh dalam bibirku, aku mulai menggerakkan lidahku, bergulat melawan rajawali raksasa itu.

Kak Joe menggelinjang hebat akibat ulahku, "Ahh ...." Begitulah pekiknya saat lidahku ikut berpartisipasi dalam permainannya. Aku mulai sedikit tenang, memberanikan tangan kananku untuk memegang batang rajawali itu. Aku tak tahu harus berbuat apa setelahnya.

"Gerakin tangan kamu, Ma," pinta Kak Joe lembut. Aku pun mulai menggerakkan tanganku pula, mencengkram batang rajawali berkepala plontos milik Kak Joe. Kak Joe makin kesatanan, wajahnya seperti seorang pasrah saat aku bermain dengan rajawali bernama kontol itu.

Kak Joe masih berdiri pada ranjang, sedangkan aku duduk. Rajawali itu masih hebat menyerang, bergulat dengan lidahku yang semakin lihai. Namun, rahangku semakin kelu bila terus saja dicoblos seperti itu.

Aku menarik kontol itu keluar sejenak, mengambil napas sebanyak mungkin sebelum kembali melumat penuh nikmat kontol agung yang tak terima saat aku berhenti mengulumnya. Namun, Kak Joe tidak egois. Kak Joe beranjak mendekati selangkanku kali ini, aku mencoba untuk biasa saja saat ia mulai menyentuh burung kecil di sana, mengocok kenariku yang sedari tadi telah tegak berdiri. Perlahan, bibir Kak mendekat ke arah batangku.

"Kontol kamu unyuk, aku telen abis ini," gurau Kak Joe, membuatku membuang muka, karena pipiku yang terasa sudah tak karuan. Aku seperti tomat rebus pasti.

Kak Joe mulai mengisap batang kenariku. Kini, aku tahu alasan Kak Joe menggelinjang, dan tiada henti menerjang mulutku. Astaga! Duniaku seakan berubah menjadi surga. Lidah Kak Joe bermain disana, membuatku semakin tidak karuan. Kenariku berkicau indah.

"Geli ...." desisku. Memang benar, rasanya geli. Namun, geli itu seolah menggelitik dasar sanubari kenikmatan dalam diri. Menggugah nafsu duniawi yang terpenjara dalam kepolosan. Duniaku seolah gonjang-ganjing seketika.

Kak Joe memaju-mundurkan kepalanya dengan cepat. Kegelian itu seolah membuncah tiba-tiba. Kenikmatan tiada tara membuatku seolah mengigau dalam surga. Aku melengguh, meracau seperti Kak Joe tadi. Tak butuh lama, sesuatu dalam kenariku seolah bergerak untuk keluar. Aku menjerit merasakan nikmatnya, hingga jeritan Kenari itu mengenai bibir Kak Joe.

Aku bingung, melihat Kak Joe yang malah tersenyum dengan noda putih pada bibirnya. Aku segera mengambil tisu dan mengusapnya. Mata kami saling bertemu, senyap dalam tatap. Aku pun ikut tersenyum.

"Sekarang giliran Papa, ya?" pinta Kak Joe.

Aku mengangguk mengiyakan.

Kak Joe memintaku untuk menungging seperti kambing. Iya, memang seperti kambing yang memiliki empat kaki. Tanpa aku duga, Kak Joe memberikan cairan seperti gel pada jemarinya, kemudian jemari itu meraba bagian lubangku. Membuatku kembali bergetar hebat. Jari telunjuk terasa mulai masuk di sana. Sakit luar biasa saat benda asing berbentuk jari mencoba membobol pintu belakangku.

Jari telunjuk itu menari-nari di dalam sana. Aku masih merasakan sakit pada duburku tanpa mampu menikmati gerakan jari Kak Joe. Namun, perlahan aku mulai melemaskan otot pada duburku, agar jemari itu leluasa mengeksplor lubang yang belum terjamah oleh siapapun itu.

"Ma, ini pantat bayi, ya?" tanya Kak Joe retorik.

"Sakit Kak Joe, udahan aja ya," pintaku.

Kak Joe menggeleng. "Belum, nanti juga enakan, kamu yang rileks," saran Kak Joe.

Aku mengikuti arahannya. Aku menarik napas dan menghela perlahan, mencoba se-rileks mungkin. Tak butuh waktu lama, gerakan itu kini mampu membuatku nyaman. Hingga sebuah titik tersentuh oleh Kak Joe. Membuatku bergetar dengan sadar bahwa titik itu begitu nikmat saat terjamah jemarinya, rasa nyaman yang sebelumnya kurasa berubah lebih besar lagi menjadi nirwana.

Kak Joe yang menyadari aku begitu menikmatinya, menambah jumlah jarinya menjadi dua, jari telunjuk dan jari tengah itu menggagahi lubangku. Rasa nikmat membuatku melayang bak tengah berada di atas awang. Hingga empat jari pada akhirnya bergerak disana. Aku masih menikmatinya.

"Karena batang Papa besar, jadi bareback-nya pakai empat jari," jawab Kak Joe saat aku bertanya alasannya bermain dengan empat jari disana. Lubangku terasa semakin penuh, jari itu berdesakan seolah sedang mengantri sembako.

Kak Joe melepaskan jemarinya. Ada rasa yang hilang saat keempat jari itu menghentikan aksinya. Namun, Kak Joe jauh lebih pengertian. Ia menjilat, sarat akan kenikmatan bagiku. Aku merasa geli, sekaligus menikmati gerakan lidah itu disana.

"Papa mulai ya, penetrasinya?" tanya Kak Joe penuh keinginan.

Aku yang sempat ragu, pada akhirnya hanya mampu mengiyakan saja saat suamiku meminta hal itu.

Aku yang masih menungging, melihat tubuh Kak Joe yang mengkilat dipenuhi keringat hangat. Batang rajawali itu masih tegap berdiri menantang langit. Kak Joe menggerakkan kepala jamur rajawali itu, melongok ke dalam lubangku. Astaga! Meski lubangku tadi telah dimainkan dengan jari. Tapi, saat kontol bersimbol Rajawali itu melesak dalam desak, rasanya masih menyakitkan. Nyeri luar biasa pada lubangku.

Kak Joe meringis, berusaha keras membobol lubangku. "Ma, tahan ya. Lubang kamu masih sempit aja ternyata. Padahal aku udah ngikutin semua langkah di internet. Maaf kalau masih sakit," jelas Kak Joe. Pantas saja dia seolah lihai. Jadi, Kak Joe searching di internet. Dalam hujaman kesakitan itu, ucapan polos Kak Joe membuatku dapat tersenyum.

"Nggak apa-apa. Aku pasti bisa tahan kok. Papa terusin aja," ujarku. Ya! Itu adalah lampu hijau. Kak joe yang memahaminya, memulai kembali penetrasi yang sempat tertunda tadi. Bila sebelumnya hanya kepala rajawali itu yang melongok, seluruh batang rajawali itu kini telah tertanam di dalam lubangku. Rajawali itu menemukan sarang barunya, tempatnya mengadu lelah.

Batang itu melesak dalam desak. Mendesak lubangku yang sedari tadi sudah sesak. Batang rajawali berkepala jamur itu kembali bergerak, menggesek kulit dalam duburku, menyapa titik prostat disana. Hingga sakit yang sebelumya menderaku, telah sirna tanpa jejak kini.

Aku yang tengah menungging, diminta Kak Joe untuk terlentang. Aku pun menurut saja tanpa protes, niat suamiku baik adanya, membagi kenikmatan bersama. Kini, posisi kami saling berhadapan. Kak Joe berada di atasku, sedangkan Kakiku telah tersampir pada bahunya, membuat penetrasi kami berjalan lebih baik. sensasi baru dalam hal gaya bercinta.

Dengan posisi yang seperti ini, Kak Joe begitu leluasa untuk menciumku. Bibir kami bertabrakan dengan sengaja. Namun, tak sakit, malah tak mau lepas dan malah saling menempel. Kak Joe yang menyadari aku tengah berada pada titik nyamanku, mulai menggoyang lebih keras. Ranjang kami seolah hendak ambruk karenanya. Jangan lupa bahwa Kak Joe memiliki kekuatan manusia hijau. hahaha.

Penetrasi kami memiliki tempo yang semakin cepat. Goyangan kontol besar tanpa alunan musik itu membuat percintaan kami semakin meriah saja. erangan dan racauan seolah simfoni terbaik di dunia. Penetrasi itu berjalan dengan Kak Joe yang seperti orang tengah melakukan push-up. Dan itu benar saja, tubuhku benar-benar ia push dibawah dada bidangnya. Lengan bisepnya mengeras bagaikan tiang-tiang penyangga Menara Eiffel. Sedangkan bau keringat kami seolah parfum yang membuat candu para penikmatnya.

Batang itu senantiasa bergerak tanpa lelah, menggesek prostatku, membuat rasa yang aneh pada batang kenariku yang kembali berdiri. Namun, kenariku tak sekuat rajawali. Kenari milikku kembali menjerit dalam nikmat yang tak sedikit. Aku kembali merasakan sesuatu yang hendak melesak dari kenariku akibat gesekan prostat maha dahsyat. Aku mengeluarkan spermaku kembali tanpa disentuh sedikitpun. Semua ini ulah rajawali yang bertenaga kuda itu. Meski aku begitu lelah, Kak Joe masih betah untuk push-up di atas tubuhku, menindih atas nama kasih.

4 jam berlalu. Namun, tanda-tanda Kak Joe akan mengakhiri permainan ini masih belum tampak. Aku telah melayani suamiku dengan berbagai gaya, uke on the top, dan istilah lain yang aku lupa namanya. Kak Joe yang memberi tahuku. Entah, berapa banyak blog yang telah ia baca.

Aku kini masih terbaring dengan memiringkan badanku, sedangkan Kak Joe masih bergoyang pada belahan pantatku yang menjepit rajawali miliknya. Tubuh Kak Joe bergetar, otot seluruh tubuhnya tampak berkontraksi. Binaraga itu benar-benar muncul didepanku, seluruh otot tubuhnya menegang. Kak Joe meringis seraya mendesis penuh kenikmatan.

"Kita akan segera punya anak ...," erang Kak Joe. Aku merasakan luapan air mani yang begitu hangat menyentuh bagian dalam pantatku. Aku begitu puas dan lemas di saat yang sama.

Kak Joe yang baru saja menembakkan spermanya padaku, tiba-tiba ambruk ke arah tubuhku. aku terjepit, sedangkan Kak Joe terkulai tak berdaya menindihku. Napasnya berlarian, sedangkan ototnya kembali ke bentuk semula.

***

Sang surya tak lagi tampak dari bingkai jendela. Malam telah menjelang, sedangkan Kak Joe masih terkulai lemas di tempatnya. Sejak selesai bercinta tadi, Kak Joe tidur dengan pulas. Entah sudah berapa jam, aku menatap jam tanganku. Jam 10 malam? Itu artinya, Kak Joe telah tidur selama 3 jam. Tapi, aku memakluminya. Ia pasti kelelahan. Kak Joe telah bekerja keras untukku bisa sampai disini, bahkan sampai pernikahan ini. Ia tak mengizinkanku untuk ikut mengambil andil tanpa sepeserpun uang. Semuanya Kak Joe yang melakukan, aku hanya menerima dari Kak Joe.

Perutku telah menjerit mulai pukul 8 tadi. Aku kelaparan. Tak ada bahan makanan apapun di sini, aku belum sempat berbelanja bahan makanan. Aku pun menghampiri Kak Joe, mencoba membangunkannya yang seolah tengah berhibernasi.

"Papa, bangun!" teriakku seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya yang masih telanjang, hanya dari bagian perut hingga ke bawah yang tertutupi selimut.

Kak Joe tak bergeming. Ia bahkan menarik selimut menutupi wajahnya. Aku yang merasa tak dihiraukan menarik selimutnya segera. "Pa, anterin beli makan. Aku nggak tahu penjual makanan disini," pintaku.

Kak Joe masih memejamkan matanya dengan mulut terbuka khas orang tidur. Astaga! Mengapa membangunkan Kak joe terasa lebih sulit dibandingkan membangunkan beruang. Aku mendengus kesal, karena merasa tak dihiraukan. Aku pun memberanikan diri untuk keluar dari bangunan ini untuk mencari makan seorang diri. Aku laki-laki, apa yang aku takutkan? Aku akan diperkosa atau diculik?

Dan benar saja, baru melangkah selama lima menit, tubuhku telah dikunci oleh 5 pemuda tak dikenal. Aku tak mengetahui mereka tengah meracau apa. Tapi, kedua tangan dan kakiku telah dikunci oleh tangan keempat lainnya. Tubuhku dibawa pada gang sempit yang gelap.

"Let's have fun!" ucap salah seorang dari mereka, kemudian terdengar tawa dari lainnya.

"Let me go, Bastard!" umpatku. Namun, malah dibalas dengan tawa mereka yang semakin kencang. Keringat dingin mulai bercucuran. Aku melihat si ketua geng tengah melucuti satu persatu pakaiannya. Aku mengira ia ketua geng, karena ia yang menyuruh keempat lainnya untuk memegang tangan dan kakiku agar tak berkutik.

Ini semua salah Kak Joe! Aku benci Kak Joe. Bagaimana mungkin hal ini terjadi di hari pertama pernikahanku.

Sebelum celana pria itu terlepas, seorang manusia hijau yang baru saja digunjingkan dalam hati telah datang. Ia memukul Si Ketua Geng itu hingga terpelanting terbentur tembok. Keempat lainnya melihat penampakan manusia itu dengan wajah tak percaya. Namun, saat mereka terpaku. Kak Joe memukul mereka hingga mereka berlari tunggang langgang.

Kak Joe hendak mengejar mereka. Namun, teriakanku menghentikannya, "Papa, berhenti!"

Kak Joe pun menghentikan langkahnya, menoleh ke arahku. Akal sehatnya mulai bekerja. Ia berlari ke arahku dengan segera. "Kamu nggak apa-apa, Ma?" tanya Kak Joe dengan cemas seraya melihat kulitku yang nyatanya baik-baik saja.

Aku tak menjawab pertanyaanku. Rasa kesalku masih mendekam di sini, di dalam hatiku. "Aku nggak mau ketemu kamu," teriakku seraya berlari kembali ke kondominium kami.

Kak Joe mengejar. Namun, tak dapat menggapaiku. Aku segera berlari masuk ke dalam salah satu kamar, mengunci diriku disana. Kak Joe kembali kesetanan. Ia menggedor-gedor pintu kamar ini dengan keras bagaikan dentuman bom atom. Aku meringkuk dibalik selimut pada ranjang, tak ingin menghiraukannya.

"Aku salah apa, Ma? Kenapa kamu nggak mau ketemu aku?" teriak Kak Joe dari luar. Dia tidak peka. Ah, sudahlah! Aku tak ingin bertemu dengannya. Pokoknya, TIDAK!

Teriakan itu berhenti. Aku mulai bisa bernapas lega.

Booommmmm.

Aku bagaikan dihantam dengan gajah. Tubuhku ditindih tanpa ampun. Leherku didekap, hingga tercekik. Aku seolah tawanan yang terbungkus kain selimut.

"Kamu kenapa, Ma? Kenapa kamu marah?" tanya pria itu dengan sesenggukan.

Aku yang seolah tengah disiksa, meronta dibalik selimut yang tengah didekap Kak joe, meminta lepas, " Lepasin, kamu mau bunuh aku?" AKu bahkan hampir kehabisan napas.

Kak Joe melepas pelukannya. Aku segera membuka selimut yang hampir saja membuatku kehabisan oksigen. Aku segera menghirup oksigen sebanyak mungkin, hingga keadaanku kembali normal. Kak Joe masih duduk di depanku. Matanya sembab, pipinya basah, kepalanya tertunduk seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri permen. Tubuhnya kini memakai singlet dengan celana pendek selutut.

Kekesalanku kini berlipat ganda, mataku seolah memancarkan bola api yang siap sedia untuk ditembakkan. Aku menghela napas, mencoba menetralisasi emosiku. Saat aku mulai agak tenang, aku mulai berucap, "Aku kesal sama Papa, aku benci."

Kak Joe yang tak tahu meneahu, menatapku bingung, Melongo di tempatnya. "Ta-tapi kenapa?" tanya Kak Joe yang bingung pada kemarahanku. Tapi, kejadian tadi juga karena Kak Joe! Meski seandainya jika dipikir-pikir lebih mendalam, Kak Joe sebenarnya tidak bersalah. Namun, diriku terlanjur menyalahkannya atas apa yang terjadi.

"Pokoknya benci," jawabku ketus seraya membuang muka. Wajahku terasa memanas. Aku tengah kesal setengah mati.

"Iya, kamu kesal. Tapi, jelasin ke Papa, kenapa Mama kesal ke Papa? Papa yang udah nyelametin Mama, 'kan?" tanya Kak Joe dengan gigih. Ia mengusap matanya yang sembab. Namun, tak dapat dicegah, air matanya kembali mengalir deras.

Aku yang melihat itu, menjadi sedikit tersentuh. Namun, aku tepis jauh-jauh rasa peduliku. "Kamu yang bikin aku hampir diperkosa, padahal kita baru menikah, kamu malah biarin aku keluar sendirian," gerutuku dengan kesal. Aku melipat kedua lenganku angkuh.

"Apa kamu serius? Aku nggak akan biarin kamu keluar sendirian. Kamu istriku!" pekik Kak Joe.

Sejujurnya, Kak Joe memang secara tidak sengaja membuatku keluar sendirian. Dilihat dari kacamata manapun, kesalahan ada padaku. Kenapa aku begitu lemah? Kenapa aku begitu tak berdaya melawan sesama lelaki? Kenapa aku tak bisa membunuh binatang kecil? Kenapa Tuhan? Kenapa?

Aku menunduk, sedikit sukar untuk menjelaskan hal ini pada Kak Joe. "Tadi, aku laper. Karena disini nggak ada apapun untuk dimasak, aku mau bangunin kamu buat nemenin aku makan diluar, aku nggak tahu apa-apa tentang Manhattan dan New York. Tapi, kamu kayak nggak denger waktu aku bangunin. Kamu adem ayem di dalam dunia mimpi," jelasku pada Kak Joe.

Kak Joe terkejut mendengar pernyataanku. Matanya kembali berkaca-kaca, kemudian ia dengan keras dan membabi-buta memukul dadanya sendiri. "Ini semua salahku! aku emang nggak becus jadi suami! Aku hampir bikin kamu celaka!" Kak Joe merutuki dirinya sendiri. Ia tampak begitu bersalah atas kejadian tadi. Dadanya begitu lebam akibat pukulannya sendiri.

Aku terpaku ditempatku saat ini. Aku tak menyangka akan terjadi seperti ini. Aku tak menyangka Kak Joe akan menerimatuduhanku begitu saja, kenapaia tidak menegelak? Aku yang merasa begitu bersalah atas kejadian yang seperti ini. Aku membisu, hati nuraniku tersentuh. Meski, ini bukan sepenuhnya kesalahan KakJoe. Tapi, ia tak berdebat, dan menganggap semua ini akibat kelalaiannya.

Aku tak kuasa melihat dada yang semakin berwarna keunguan itu. Kulitnya begitu memar. Mulut Kak Joe mencecar dirinya sendiri. Aku semakin kalut. Sebuah rasa yang mengatasnamakan iba menghunjam ulu hatiku, menebarkan kasih sayang di dalamnya. Aku dengan segera menggenggam kedua tangan Kak Joe. Hatiku juga ikut sakit apabila ia menyakiti dirinya. Apa ini kasih sayang?

"Cukup, jangan sakiti diri sendiri, Pa," ucapku pada Kak Joe, menatap matanya yang telah sembab sedari tadi.

Kak Joe menghentikan aksinya. Mata sembab nan sayu miliknya menatapku penuh sesal. "Tapi, semua ini karena aku, Ma. Aku udah bikin kamu hampir diperkosa. Suami macam apa aku ini?" cecar Kak Joe pada dirinya sendiri. Bibir itu masih bergetar, sedangkan air matanya seolah mata air duka bagiku, berlinang tanpa terbendung membuat hatiku ikut dibanjiri oleh kesedihan.

"Ini salahku juga, aku keluar tanpa ijin dari kamu, aku juga bersalah, pukul aku!" hardikku pada diri sendiri. Kak Joe begitu polos. Entah cinta semacam apa yang ada dalam dirinya? Kemana akal sehatnya? Apa cinta segelap itu hingga membuat mata hatinya menjadi buta?

Kak Joe menggeleng. Jemarinya mengusap helaian rambutku dengan lembut. Kesedihannya perlahan sirna, senyum pada bibirnya merekah terarah padaku. "Nggak, aku nggak akan bisa mukul kamu, Ma. Jika hal itu terjadi, aku akan menyesal seumur hidupku," ujarnya melankolis.

Kami berpelukan setelahnya. Terdapat sebuah ketenangan saat tubuh kami berimpitan. Sebuah rasa tersalurkan, menghapus kesedihan. Kak Joe juga mulai dapat tertawa lagi. Aku menyesal telah berani menyalahkannya. Dia terlalu penyayang untuk saling mempersalahkan. Ia mau menanggung segalanya untukku. Demi aku.

"Jangan pergi tanpa aku lagi ya, Ma. Aku nggak ingin kejadian seperti ini terulang," nasihat Kak Joe yang terdengar seperti sebuah titah di telingaku.

Aku mengangguk patuh. "Iya, aku akan selalu sama kamu,Pa."

Malam itu terasa begitu melelahkan. Setelah semua yang terjadi, seolah membuatku tersadar tentang kepolosan dibalik tubuh manusia hijaunya. Kak Joe begitu keras dari luar, namun lumer bagai coklat cair yang begitu manis di dalamnya.

Aku tersentak sejenak akan tingkah lakuku selama ini. Aku menyakitinya tanpa sengaja, aku sering membuatnya sakit hati. Aku merasa sakit saat membayangkan hal itu. Namun, yang lalu biarlah berlalu. Akan kubuka lembaran baru untuk menulis ceritaku bersamanya lagi, bersama biduk rumah tangga yang akan segera aku jalani.

Krucuk, krucuk.

Keroncong perut itu kembali mengusik. Bukan! Bukan cuma aku. Suara itu muncul dari perut kami berdua. Perutku malah telah meraung sedari tadi, sebelum Kak Joe terbangun. Dalam kesunyian kamar ini, kami saling menatap satu sama lain, kemudian tertawa bersama.

"Hahaha, kamu lapar juga, Ma?" tanya Kak Joe mencibir.

"Ih, kamu juga, Pa," ujarku.

"Yuk, ikut aku. Aku ada restoran favorit disini. kamu pasti suka," ajak Kak Joe seraya meraih lenganku.

"Kemana?" tanyaku ingin tahu.

"Udah, ikut aja."

Aku kembali patuh. Kami menyusuri jalanan malam kota New York yang seolah tidak tidur, keramaian di sekeliling bagaikan pasar malam. Mobil Kak Joe melaju sedang pada jalanan, matanya begitu fokus dengan jalanan seraya sesekali tersenyum kepadaku.

Mobil itu berhenti pada sebuah bangunan berbentuk kotak, berdinding batu, dan berhiaskan jendela berbentuk kotak pula dengan tambahan bentuk setengah lingkaran di atasnya, tak ada tulisan yang menandakan nama kafe tersebut. Meskipun demikian, kafe ini tampak ramai sekali. Itu bisa dilihat dari banyaknya mobil yang terparkir di depan kafe tersebut.

Aku dan Kak Joe masuk ke dalam kafe tersebut. Suasana di dalam tampak menenangkan dengan meja dan kursi yang tertata agak berjauhan dan tak sistematis. Namun, pengunjung tampak menikmati santapannya. Kak joe mendatangi meja resepionis, memesan untukku dan dirinya.

"Kamu mau makan apa?" tawar Kak Joe padaku.

"Coba pilihin yang enak disini, Kak Joe pasti lebih tahu," pintaku.

Kak Joe tersenyum, kemudian memesan pada mbak berambut pirang itu menggunakan bahasa inggris. Setelah itu, Kak Joe membawaku ke sebuah tempat yang tak aku duga. Restoran ini juga memiliki tempat outdoor rupanya. Di tempat ini, hampir dipenuhi banyak orang. Mungkin bagian ini begitu dipilih karena menghadap langsung dengan Sungai Hudson. Pemandangan dari sini sungguh mengagumkan, tampak air beriak berhiaskan beberapa boat yang bergoyang oleh gerakan air.

"kita duduk disini aja," Kak Joe mendudukkanku di salah satu tempat yang masih kosong. Aku begitu terpukau, melihat kota New York yang begitu indah di malam hari. Di sini, tak ada bintang yang menghiasi langit. Mungkin dikarenakan kota ini dipenuhi oleh cahaya, membuat sang bintang pun malu untuk melawan gemerlapnya kota New York.

Kak Joe perlahan menelusupkan jemarinya pada jemariku. Tatapannya tertuju padaku yang tengah terpaku dengan kilauan air sungai yang memantulkan cahaya bulan, begitu indah. Aku perlahan menyadari bahwa Kak Joe menatapku dengan lekat, membuatku balas menatapnya.

"Ma," panggil Kak Joe.

"Ada apa, Pa?"

Kak Joe tersenyum, kemudian kembali berucap, "Apa kamu sudah siap untuk punya anak? Kita bisa segera mengunjungi dokter kenalan papaku, itu pun kalau kamu sudah benar-benar siap."

Ah, buah hati? Pertanyaan itu mengusikku, membuatku galau setengah mati. Bagaimana kami akan mendapatkan anak tanpa mengadopsi? Anak biologis kami sendiri?

Malam itu, aku tak membicarakan tentang anak. Aku menyibukkan diri, bertanya tentang Manhattan dan sebagainya. Kak Joe sepertinya memahamiku, ia paham bahwa aku menghindari pembicaraan tentang anak. Namun, dengan pengertian, ia tak membahas hal itu lagi saat ini.

Setidaknya untuk saat ini saja, biarkan aku tenang terlebih dahulu.

Bersambung

Halo ... Halo ...

Apa kabar? gimana ceritanya? berasa kayak baca cerita esek-esek atau gimana? bagaimana pun itu, aku harap kalian suka.

Selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top