Part 15
*Satu tahun kemudian*
Di tengah keramaian kota itu, kedua langkah kami berjalan beriringan. Kedua tangan saling menggenggam, mengabaikan stigma akan kama yang tertanam pada masyarakat umum. Apa ada kesalahan dalam jatuh cinta? Aku mengibaratkan cinta itu selera, dan setiap orang memiliki selera yang berbeda. Kita tidak bisa memaksakan selera orang lain, begitu pula dengan orang lain.
Jalanan kota masih sibuk seperti biasanya. Kak Joe dan aku berjalan-jalan pada trotoar di pusat kota, hingga langkah kaki kami mengantarkan pada sebuah taman kecil yang cukup teduh, karena pepohonan yang begitu rindang menghalangi sinar matahari. Aku dan Kak Joe duduk pada salah satu bangku di sana, di bawah pohon yang tak kuketahui namanya.
"Kamu haus? Mau beli minum, Ma?" tanya Kak Joe padaku.
"Boleh, Pa."
Kak Joe pun berjalan menuju penjual minuman. Ia membelikanku sebotol air mineral dari sana.
"Ini, Ma." Kak Joe menyodorkan botol berisi air mineral itu padaku. Dengan senang hati, aku menerimanya.
"Mama lapar juga?" tanya Kak Joe lagi.
Aku menggeleng. kami sudah makan sebelum keluar tadi. Jadi, tidak mungkin untukku lapar lagi begitu cepat.
Krucuk, krucuk
Sebuah suara perut keroncongan itu keluar dari Kak Joe. Ia segera menutupi perutnya yang berbunyi dan tersenyum simpul padaku. Padahal baru sekitar satu jam yang lalu kami sarapan. Namun, Kak Joe sudah kelaparan lagi.
"Mau minum?" Aku menyodorkan botol yang baru aku minum sedikit itu pada Kak Joe. Ia langsung meraih sebotol air mineral di tanganku dengan senyum manis di wajahnya. Tanpa aku duga, ia meminumnya hingga tandas dalam beberapa detik.
Aku hanya terpaku melihat pemandangan tak lazim ini. Pantas saja, tubuh Kak Joe begitu besar. Nafsunya dalam hal makan dan minum pun begitu besar.
"Papa mau makan?" tawarku.
Kak Joe menggeleng, "Nggak, Ma," jawabnya.
Dusta! Perutnya yang berbunyi tadi itu tak akan mendustaiku. Aku tahu nafsu makan Kak Joe memang amat banyak, ditambah lagi gym yang sering dilakukannya. Lemak ditubuhnya disulap menjadi otot yang bertonjolan laksana binaraga dunia.
"Bohong, bilang aja kalau lapar, Pa."
Kak Joe terdiam. Ia menatapku ragu, kemudian tersenyum, " Iya sih, Ma. Dikit kok," jawabnya.
Sedikit bagiku mungkin setengah piring. Namun, sedikit bagi Kak Joe? Jangan pernah membayangkannya. "Ya udah, makan dulu aja, Pa," bujukku.
"Nggak." Lagi-lagi ia menggeleng.
"Kenapa enggak?"
Kak Joe menatapku lekat, wajahnya juga semakin mendekati wajahku, "Karena aku nggak mau makan sendiri, aku mau makan sama kamu. Tapi, kamu kan makannya dikit, pasti kamu masih kenyang," bisiknya tepat di depan wajahku. Jantungku sudah seperti ditabuh dengan keras saat paras tampan Kak Joe mendekat, sensasi mendebarkan itu membuatku menelan ludah sendiri. Ini sering terjadi, jantung menggila adalah biasa bagiku, bila Kak Joe mulai mendekat secara tiba-tiba.
"A-anu ... kalau gitu ... kita makan sama-sama aja," jawabku terbata-bata. Kak Joe tersenyum simpul. Wajah kami begitu dekat, membuat darahku berdesir tidak karuan. Mata itu bisa menyihirku dalam sekejap. Hidung mancung miliknya mencuat, hampir bersentuhan dengan pipiku. Begitu pula saat bibir merah jambu itu tersungging, tersenyum tanpa permisi. Aku ingin terbang rasanya.
Tiba-tiba, Kak Joe menarik lenganku. Ia membawaku menyusuri trotoar kota lagi, menyebrangi jalanan sibuk kota Jakarta, hingga kami sampai di sebuah rumah makan bergaya jepang. Kak Joe menggenggam jemariku memasuki rumah makan Jepang itu, duduk pada salah satu kursi, berhadapan dengan Kak Joe, dan hanya dihalangi oleh meja di antara kami.
"Mama, Kamu mau pesan apa?" tanya Kak Joe padaku saat seorang waiter menyodorkan buku menu. Waiter itu tampak terkejut mendengar panggilan Kak Joe yang alay itu.
Aku hanya membuka buku menu tanpa ada nafsu makan sama sekali. Aku serasa melihat berbagai macam makanan yang biasa dibuat oleh Mama. Padahal saat ini, aku ingin makan Soto Betawi, Rawon, atau Bakso Malang yang banyak di pinggir jalan. Kalau yang berbau Jepang gini, Mama sering membuatkan untukku di rumah.
"Terserah kamu aja, Pa," jawabku malas sembari menutup buku menu.
Kak Joe tampak memilih. Aku tak memerhatikan apa yang tengah di pesannya. Aku malah menatap nyalang ke arah jalanan yang tampak ramai dari jendela di samping mejaku.
"Ma, kamu nggak pengen nemenin aku makan?" tanya Kak Joe padaku saat pelayan tadi telah pergi dari meja kami, membuatku memandang ke arah Kak Joe seketika. Aku menatap wajahnya yang tampak bersalah mengajakku kemari.
Aku menggeleng, "Bukan gitu, Pa. Aku cuma bingung mau pesan apa," jawabku apa adanya.
Kak Joe mengangguk, "Tapi, kamu temenin aku makan, kan?" tanya Kak Joe memastikan.
"Iya dong, pasti."
Tak berselang lama, seorang waiter mendatangi kami dan membawakan pesanan Kak Joe. Aku melotot. Terkejut. Aku melihat berbagai macam makanan disini, mencoba menghitungnya, terdapat 15 piring makanan terdiri dari : Maki, Nigiri, Sashimi,Chirasi, Fusion Sushi, dan 2 gelas Ocha.
"Kenapa pesen yang ginian, Pa? Kenapa nggak Ramen atau apa gitu? Malah pesen yang mentah-mentah," protesku. Entah apa yang ada di dalam pikiran cowok itu? Memesan olahan ikan-ikan mentah. Aku tidak begitu menyukai sea food sebenarnya. Namun, makanan itu terlanjur terhidang.
"Kamu bilang tadi terserah, Ma? Kenapa protes?" sergah Kak Joe. Betul sekali! Aku sudah tak punya hak untuk berkomentar.
"Maksudku, kenapa pesannya yang ikan-ikan?"
"Soalnya Ma, ikan salmon itu bagus buat otot aku, Ma! Lihat nih." Jawab Kak Joe sambil memamerkan ototnya yang begitu besar.
Aku mengembuskan napas tak berdaya. Tak mungkin aku akan membiarkan Kak Joe memakan semua ini sendirian, sangat berbahaya!
"Kenapa banyak banget?" tanyaku lagi.
"Aku mana cukup makan seporsi atau dua porsi? Seporsi cuma berisi potongan kecil-kecil. Nggak bikin kenyang, Ma."
Aku memilih diam pada akhirnya. Terserah apa yang ingin dilakukan Kak Joe, biarkan saja. Dia itu lain daripada yang lain, tahu?
Aku pun memilih untuk mengambil salah satu piring berisi Fusion Sushi, mengambil makanan bulat itu dengan sumpitku. Terdapat rasa berbeda untuk sushi satu ini. Seperti penambahan alpukat, foie grass dan bahan-bahan lain yang sedikit bergaya makanan western.
"Ma," Kak Joe memanggilku saat aku tengah sibuk menikmati sushi.
Aku menelan makanan di mulutku, kemudian menjawab, "Apa?"
"Suapin, aku nggak bisa pakai sumpit," pinta Kak Joe dengan manja.
"Kan bisa pakai tangan," sanggahku.
Kak Joe menggeleng. "Aku maunya makan pakai sumpit, biar ada jepang-jepangnya gitu," ujarnya berbisik.
Aku kembali mendengus kesal. Tak ingin berdebat lebih lama, aku memilih untuk menyuapinya. Aku mengambil sebuah sushi dan menyuapkannya pada Kak Joe. Kak Joe dengan antusias memakan sushi dari sumpitku. Ia tersenyum bahagia setelahnya. Tanganku juga merasakan sensasi yang aneh.
Acara makan-makan itu pada akhirnya berlangsung sekitar 45 menit. Aku hanya mampu menghabiskan 3 piring, namun Kak Joe dengan penuh nafsu, menghabiskan semua olahan ikan itu hingga tak tersisa barang secuil.
Aku tak berkomentar apapun, aku melihatnya yang tersenyum bahagia saat sudah merasa kenyang.
"Kamu nggak lupa, kan? Besok hari apa, Ma?" tanya Kak Joe padaku di sela-sela rasa kenyang yang tengah dirasakannya.
"Tau kok, besok hari senin," jawabku jujur. Aku tahu maksud perkataan Kak Joe, itu pula alasan kami berjalan-jalan saat ini. Mungkin saja kami akan merindukan Jakarta.
"Aku serius, Ma," seru Kak Joe.
"Iya, aku tahu, Pa. Berapa kali lagi kamu mengingatkan aku kalau kita besok akan berangkat ke Amerika?" tanyaku balik dengan retorik.
Kak Joe tersenyum, kemudian jemarinya merengkuh jemariku pula yang berada di atas meja, menautkan jemari kami. Saling menggenggam dan menguatkan.
"Terima kasih sudah menerima lamaran aku, Ma. Tak berapa lama lagi, kita akan meninggalkan negara Indonesia lagi. Tapi, bukan untuk mengurusi dokumen lagi," ucap Kak Joe. Memang sangat disesalkan, namun itu pilihan kami. Pernikahan kami diakui dan dilindungi secara hukum di sana, sedangkan di Indonesia ... kalian tahu sendiri.
Tepat satu bulan yang lalu, Kak Joe bersama Om Hendra datang ke rumahku. Kak Joe melamarku, dan kedua orang tuaku begitu percaya kepada Kak Joe. Sedikit demi sedikit, gletser di hatiku mencair. Menampilkan sebuah hati yang kembali bersemi oleh tangkai-tangkai asmara.
Dan hal itu tak pernah terasa telah satu bulan berlalu, hingga kami memutuskan untuk besok meninggalkan tanah air kami sendiri demi perasaan dalam hati kami. Aku tak kuasa untuk pergi sebenarnya, terlalu banyak kenangan disini, terlalu banyak kisah masa kecil hingga remajaku bersama handai taulanku yang terukir laksana urat nadi.
Aku akan merindukan ceritaku sendiri, di sini.
**
Aku, Mama dan Papa tengah sibuk mempersiapkan keperluan yang harus dibawa saat aku berada di Amerika besok. Pernikahanku tinggal beberapa hari lagi, aku sendiri adalah warga negara Amerika sekarang ini. Aku dan Kak Joe menyadari cukup lamanya pengurusan perpindahan warga negara. Jadi, kami telah mengurusnya jauh-jauh hari. Selama satu tahun ini, kami sering pulang pergi Indonesia-Amerika. Meski, yang paling sering adalah Kak Joe.
Malam semakin larut saja, menampilkan lembaran hitam langit bertabur gemerlap cahaya bintang yang berkedip. Aku menatap setiap sudut kamarku. Aku menyentuh meja belajarku yang dingin, aku menatap dipan yang menemaniku setiap malam, entah mengapa semua menjadi tampak begitu berharga saat ini. Aku mengusap jendelaku, aku mengingat setiap saat yang terjadi, dimana Kak Joe melempar kerikil melalui jendela ini? Lalu ia berteriak kencang di depan rumah. Aku tak menyangka lelaki gila itu yang akan menjadi pendamping hidupku sebentar lagi.
Aku tak akan membawa barang-barang di kamar ini ke Amerika, kecuali beberapa helai pakaian. Aku akan membiarkan semua tetap sama, agar saat aku kembali nanti, semua kenangan takkan berubah.
Aku duduk pada tepi dipanku, mengusap tepiannya dengan lembut. Aku sungguh ingin tetap di Indonesia. Namun, realita berkhianat. Aku merebahkan tubuhku diatas ranjangku lagi, hingga tanpa sadar mataku terasa berat dan aku sampai di alam bawah sadarku.
Aku merasakan sesuatu yang aneh, aku merasa geli pada wajah, pipi, hidung, mata, hingga bibirku. Saat aku membuka mata, sesosok tubuh manusia tengah menindihku dengan bibir kami saling berpangutan.
"Hwaaaa!" teriakku seraya bangun tiba-tiba dan membuat kepala kami terantuk.
"Aduuh!" kami mengaduh bersamaan. Meskipun melihatku telah sadar, Kak Joe masih saja menindihku dengan tubuhnya. Sungguh berat! Aku mencoba mendorong tubuhnya. Namun, malah tanganku yang serasa hampir patah.
"Kamu pagi-pagi udah histeris aja, Ma," ejek Kak Joe dengan wajahnya yang tepat berada di atas wajahku. Aku merasakan deru napasnya pada bibirku. Senyumnya yang mengembang kembali menghantui hidupku. Aku tak kuat. Aku ingin bibir kenyal itu! Tapi, aku gengsi!
"Kak Joe minggir! Kamu berat!" jeritku di bawah tubuhnya. Tak berdaya.
"Sun pagi dulu," pintanya manja. Pipiku merah seketika, ia seperti dapat membaca isi hatiku. Aku mau! Aku sungguh mau merasakan bibir merah jambu itu menempel pula pada bibirku.
Aku tak menjawabnya. Aku ini Jaim istilahnya. Aku tak akan menerkam lebih dulu! Aku ingin Kak Joe yang menerkamku.
Aku menutup mataku, ini tanda semacam lampu hijau untuk Kak Joe. Seharusnya Kak Joe memahami kode dariku, dan benar saja, ia sangat paham seolah pikiran kami saling menyatu tentang kehausan antara satu sama lain.
Bibir itu bergerak membasahi bibirku. Aku dapat merasakan lidah Kak Joe bergerak masuk ke dalam mulutku, mencari lidahku yang bersembunyi bagai mutiara di dalam kerang.
Aku tak gentar; Kak Joe makin gencar. Aku mengisap lidah penyusup itu, hingga sang empu menggelinjang. Bibir kami kembali saling mengisap, juga menggigit kecil pada bibir lawannya. Cairan saliva telah membanjiri pergumulan erotis tersebut, hingga meluap pada pipiku.
"Hah, hah, hah." Napas kami terengah-engah di tengah pertempuran, dengan bibir yang terasa berdenyut karena isapan demi isapan Kak Joe yang begitu kuat. Setelah bibir itu terlepas, Terdapat kepuasan tersendiri saat melihat Kak Joe yang tersenyum puas dengan pergulatan akbar antara dua bibir tadi.
"Bagaimana kamu bisa? ... maksudku, kamu begitu ahli, Ma," puji Kak Joe yang tampak kagum dengan permainan tadi.
"Tanya, siapa yang biasa nyiumin aku kayak orang kesetanan? Terima kasih pelajarannya," sindirku. Insting Kak Joe begitu kuat, ia bisa menemukan titik lemahku saat kami tengah berdua. Meski dia bisa saja dengan mudah merogolku tanpa paksaan. Nyatanya, dia tak pernah melakukan itu.
"Hehehe, kamu belajar dari aku?" tanyanya polos.
"Udah puas? Sekarang lepasin aku, aku mau mandi," kataku dengan sok ketus.
Kak Joe menurut. Ia berdiri dan melepasku untuk pergi ke kamar mandi.
"Aku juga mau mandi lagi," ujarnya seraya tersenyum mesum padaku saat aku hampir memasuki kamar mandi. Baru saja Kak Joe hendak melepaskan kemejanya, aku segera menutup pintu kamar mandi. Kak Joe jahil, senang sekali menggodaku.
Dilihat darimanapun, Kak Joe sudah rapi, dan tak perlu mandi lagi. Aku malu! Aku belum pernah telanjang di depan Kak Joe.
Seusai mandi, aku mendapati Kak Joe tertidur di atas dipanku. Aku yang hanya ditutupi oleh selembar kain handuk mendekat ke arahnya. Aku mendekatkan wajahku padanya, menyusuri setiap lekukan indah ciptaan tuhan yang tengah diam itu dan mengaguminya.
"Pantas saja, aku dulu dimusuhi cewek satu sekolah. Ternyata, yang ngejar aku benar-benar seorang pangeran," ujarku bermonolog. Sedangkan orang yang dibicarakan masih terpejam. Aku pikir Kak Joe pasti tengah tidur, mungkin saja tadi malam, ia terlalu memikirkan keberangkatan hari ini, dan membuatnya sulit tuk terlelap.
Oh, aku salah! Dia tidak tidur! Matanya terbuka tiba-tiba. Lengannya yang kokoh menarikku ke atas dipan, dan sesuatu yang memalukan terjadi. Kak Joe memelukku erat seketika, menyembunyikan wajahnya pada bahuku.
"Aku takut nggak bisa nahan lebih jauh, Ma," ucap Kak Joe saat melihat handukku yang terlepas karena tarikannya tadi. Pipiku kembali bersemu karena malu. "Tenang, Ma. Papa belum lihat kok," bisik Kak Joe yang mana kepalanya berada pada bahuku.
Aku segera menarik handukku yang tergeletak di dekat tubuhku dan memakainya tanpa dilihat Kak Joe yang masih menyembunyikan kepalanya pada bahuku. Apa pantas sesama lelaki malu melihat tubuh lelaki lainnya? Oh kami beda kaum, kami calon pasutri malah. Ndak ilok, kalau istilah jawa, calon pasangan yang melihat tubuh telanjang pasangan sebelum menikah. Tunggu selesai ijab kabul.
"Udah, Ma?" tanya Kak Joe memastikan.
"Udah," jawabku. Kak Joe melepaskan pelukan kami dan berdiri untuk keluar kamarku.
"Hampir saja mataku nggak perjaka," ujar Kak Joe.
"Lah, emang masih perjaka?" tanyaku bercanda. Tubuhku berjalan ke arah lemari untuk mencari pakaian yang hendak aku kenakan.
"Masih kok, Ma. Kan buat kamu ... mmm, aku keluar dulu aja deh, aku takut ngga kuat disini lama-lama," sahut Kak Joe seraya keluar dengan pipi yang juga bersemu merah. Kak Joe sangat lucu.
Aku segera memakai pakaianku saat Kak Joe telah keluar. Kemudian aku mengambil koperku yang telah aku persiapkan sedari tadi malam. Aku menatap sejenak kamarku sebelum aku menutup pintu dan menguncinya. Terasa begitu berat, namun aku berusaha kuat.
Aku menuruni tangga yang langsung berhadapan dengan ruang tamu. Ternyata, semua orang telah menungguku, tinggal aku saja yang baru siap.
"Okay, dua jam lagi pesawat kita akan berangkat, lebih baik kita ke bandara sekarang juga," ucap Om Hendra dan disetujui oleh semua anggota keluarga. Belum menikah pun, keluarga kami sudah begitu harmonis.
Semua orang telah keluar. Saat aku juga hendak keluar, aku melihat Kak Joe yang mematung di belakangku, ia tampak ... gugup?
"Pa, ada apa?" tanyaku melihat kegugupan pada raut wajahnya.
"Eh-mmm, nggak ada apa-apa kok," dusta Kak Joe.
"Jangan bohong! Tapi, udahlah kita bicarain nanti aja, kita sekarang berangkat dulu." Aku menarik lengan Kak Joe dan membawanya menuju mobil Om Hendra.
Saat dalam perjalanan, Kak Joe masih terdiam. Terkadang aku mendapatinya melirikku perlahan, kemudian terpejam setelah melihatku. Dan saat ini, aku mendapatinya melirikku lagi.
"Pa, kenapa nggak langsung lihat? Kenapa lirik-lirik?" tanyaku yang bingung akan tingkahnya.
"A-anu, a-aku itu ... masih, kebayang tubuh kamu," jawabnya terbata-bata. Aku tersenyum dalam hati dan merasa ingin menjahilinya.
Aku mendekat ke tempat duduknya, aku ingin melihat reaksi Kak Joe apabila aku menjadi binal. Aku menggeser dudukku, mengimpit Kak Joe yang terlihat mulai kembali bersemu kemerahan dengan napas yang tak karuan.
"Ma, kamu ... jangan dekat-dekat," ujar Kak Joe yang sudah gugup di tempatnya, memeganggi ganggang pintu mobil itu dengan wajah yang menegang seolah menahan sesuatu. Aku semakin bersemangat mengimpitnya, ekspresi wajah itu sungguh membuatku ingin tertawa.
"Kenapa, Pa? Ayolah Pa, kenapa malu-malu?" godaku. Kak Joe mengembuskan napasnya dengan gusar. Rasakan Kak Joe! Bagaimana kamu biasanya menggodaku? Sekarang berganti dengan aku yang menggodamu.
Saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, Kak Joe menerjang tubuhku tanpa permisi. Ia berhasil mengunci tubuhku di bawah tubuhnya dalam sekali gerakan. Tubuhku terkunci tanpa mampu melawan, aku lupa akan resiko seperti ini! Aku terlalu asik menjahili.
"Sebetulnya, aku sekuat tenaga menahan keinginanku. Tapi, baiklah, Ma! Karena aku sangat mencintai kamu, aku menuruti permintaan kamu, walau di dalam mobil sekalipun," ujar Kak Joe dengan tubuhnya yang telah menindih tubuhku. Ia tersenyum bangga, aku seakan tak berdaya. Bagaimana situasinya bisa berubah dengan cepat? Baru saja aku yang menggoda, sekarang malah aku yang harus menuai hasil dari ulahku. Tidak! Tidak!
"Aku bercanda, Pa. Ampuuunnnn," teriakku yang tak digubris oleh Kak Joe. Sekarang aku yang terpojok oleh tubuhnya, ini akibat dari ulahku yang berani bermain api. Tapi terlambat sudah, Kak Joe mulai melepaskan kancing bajunya satu persatu, sedangkan bibirnya sibuk menyusuri setiap jengkal kulit wajahku. Aku meronta sia-sia di bawah tubuh besar Kak Joe.
Baju itu terlepas sempurna. Kulit berbukit-bukit pada setiap jengkalnya membuatku membisu. "Pa, kita diliatin Om Hendra. Malu ah," ujarku masih mencoba membujuknya untuk berhenti.
"Sabarlah Joe, beberapa hari lagi kalian akan jadi suami-istri. Tahan dulu," nasihat Om Hendra. Kak Joe yang penurut itu pada akhirnya melepaskan tubuhku yang sudah gemetaran. Aku sungguh tak membayangkan akan dirogol di dalam mobil.
Kak Joe tersenyum melihatku yang tengah gemetar. Rasa malu terlalu menjangkitiku. Ia segera mengenakan kembali kemeja yang sempat terlepas tadi, dan mengenakannya kembali. Lengannya merengkuh tubuhku yang tak berkutik, menidurkan kepalaku pada bahu kokohnya. Tangan kirinya melingkar sempurna pada pinggangku, sedangkan tangan kanannya telah menggenggam jemariku.
"Udah tahu, kan? Akibat kalau kamu ngegodain aku? Jangan berani menantang aku lagi, Ma," ucap Kak Joe.
Aku menggeleng seketika, "Nggak, aku nggak akan ngelakuin itu lagi," jawabku yang sudah diselimuti rasa aneh dalam hatiku.
Tak berselang lama, kami sampai di bandara. Kami segera melakukan check-in. setelahnya, menunggu pada gate, hingga terbang.
Dudukku dengan Kak Joe berdampingan, sedangkan para orang tua kami telah duduk entah dimana. Tak banyak hal yang terjadi saat penerbangan, aku tidur dengan tangan kami saling menggenggam. Kehangatan dan rasa nyaman dapat tersalurkan dalam sekejap. Aku benci naik pesawat! Aku sering terserang Jet Lag. Namun, jika bepergian bersama Kak Joe, sindrom aneh itu tak pernah terjadi padaku.
Kami sampai di New York tepat pukul 7 malam. Om Hendra beserta orang tuaku segera mencari hotel didekat kondominium yang disewa Kak Joe. Ya, kami telah menyewa kondominium jauh-jauh hari sebelumnya. Karena rumah yang dibeli Kak Joe masih dalam proses pemindahan kepemilikan dari pemilik lama menjadi atas nama Kak Joe.
"Sabar ya, Ma. Untuk sementara waktu kita disini dulu," ujar Kak Joe. Jangan mengira Kak Joe menyewa apartemen yang biasa, itu mustahil! Dengan uang yang dimilikinya, ia dengan mudah memilih kondominium mewah di pusat Manhattan. Ia gemar sekali membuang-buang uang hasil jerih payahnya sendiri.
"Ini lebih dari cukup, terima kasih, Pa."
Kami yang terlalu lelah pada akhirnya tertidur tanpa mandi terlebih dahulu.
***
"Ma ... udah cakep belum?" tanyaku pada Mama. Saat ini, beliau tengah berada di belakangku. Beliau tersenyum padaku.
"Kamu sempurna, Malvin," puji Mama padaku, "Joe pasti akan terpesona," tambah Mama menggodaku.
"Ah, Mama ... apa sih?" seruku malu. Aku merasa sedikit tidak nyaman memakai setelan tuksedo seperti ini, aku memang belum pernah memakai pakaian jenis ini. Namun, karena ini adalah Amerika, aku harus mengikuti aturan mainnya.
"Kamu sangat manis, Malvin," ucap Papa yang tiba-tiba masuk. Aku segera menghambur pada pelukan papaku, memeluk beliau.
"Papa, aku sampai saat ini sulit percaya pria gila itu benar-benar akan menikahiku, ini bukan mimpi?" tanyaku pada Papa. Beliau tersenyum padaku.
"Ya, pria itu telah tergila-gila padamu Malvin, berbaktilah! Dan jadi pasangan yang terbaik untuknya meski kamu seorang laki-laki," nasihat beliau padaku.
Aku seakan ingin menangis saja. beberapa hari setelah pernikahan nanti, orangtuaku akan kembali pulang ke Indonesia. Dan aku akan mulai mengabdikan separuh perjalanan hidupku mengarungi samudra asmara bersama bahtera rumah tanggaku sendiri.
"Maafin aku ya, Mama, Papa. Mungkin selama ini Malvin pernah buat salah. Aku meminta maaf juga restu kalian, doakan agar rumah tanggaku akan bahagia selamanya," pintaku pada kedua orangtuaku.
Mereka memelukku. Kami berpelukan dalam tangis penuh haru, juga jurang perpisahan yang berada di depan kami, menanti sebuah perpisahan. "Kami tidak ada keluhan Malvin, tuhan telah menganugerahkan anak manis yang baik pada kami. Kami tak mengaharapkan imbalan, cukup dengan kebahagiaan kamu imbalannya," ucap Mama padaku.
Aku merasa air mataku sudah tak tertahankan. Aku akan berpisah dengan kedua orang yang selalu menyayangiku, kemudian menempuh hidup baru bersama calon suamiku.
"Jangan tangisi kami, Malvin. Hadiahkan cucu manis setelah ini, kemudian orang tua ini akan tenang dalam seumur hidupnya," ujar Papa padaku. Tangisku semakin pecah, ucapan itu begitu menyayat perasaanku.
"Malvin akan berusaha, Ma, Pa. Doakan semuanya semoga lancar," kataku.
Setelah itu, aku keluar dari kondominium mewah milik Kak Joe, ditemani Mama dan Papa. Diluar gedung, seonggok mobil limosin telah menanti keberangkatanku. Aku beserta orangtuaku, menaiki limosin tersebut menuju sebuah Hall tempat dimana pernikahanku akan berlangsung.
Aku menatap waktu pada jam tanganku dengan gelisah, beberapa menit lagi janji suci kami akan terikrar. Sebentar lagi, seseorang akan berjanji untuk menemaniku dalam suka maupun duka. Aku takkan pernah sendirian lagi, karena seseorang akan hadir dan mengisi kekosongan separuh hidupku.
Tak butuh waktu lama, limosin yang aku naiki telah sampai di depan sebuah hall yang sangat besar. Terdapat beberapa ucapan selamat berupa karangan bunga yang berjejer pada bagian depan hall, tertulis namaku dan Kak Joe disana. Tak lupa tertera nama beberapa owner, serta beberapa founder perusahaan internasional disana.
Kakiku mulai melangkah keluar. Orangtuaku telah turun lebih dulu tadi, mereka menungguku di dalam aula itu. Beberapa pria dan gadis kecil berkumpul di sekelilingku, mereka memintaku untuk membawa seikat bunga berwarna putih dengan pita yang menjalar ke bawah. Aku pun mulai berjalan masuk ke dalam bangunan itu diiringi gadis dan pria kecil yang berkumpul di depan tadi. Jadi, mereka pengiringku? Ini sangat manis.
Aku mulai menaiki tangga berlapis karpet merah itu satu persatu. Beberapa kamerawan dan wartawan sibuk mengabadikan gambarku. Lampu flash yang bersinar itu membuat ini semua terasa seperti mimpi. Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya. Rasa gugup itu masih ada, apalagi saat kakiku mulai memasuki pintu masuk aula.
Semua pasang mata berdiri dan menatapku begitu aku memasuki pintu aula. Aku menjadi pusat perhatian saat ini. Langkah kakiku perlahan melangkah diantara banyak orang, sebelah kiri dan kanan karpet ini terdapat banyak orang yang berbisik, serta orang yang menatapku dengan khidmat. Aku membasahi bibirku yang terasa begitu kering. Karena kegugupanku dipandang oleh banyak orang amat menderaku saat ini. Sedangkan seseorang telah berdiri didepan sana, menatapku dengan senyum kebahagiaan. Dan kegugupan yang tadi aku rasakan seakan mencair perlahan.
Saat aku hampir menaiki tangga pada bagian depan ruangan tempat ini, dimana Kak Joe dan seorang penghulu berdiri disana. Aku menatap salah satu meja di samping kananku, orangtuaku dan Kak Joe tengah duduk disana menatapku penuh haru. Aku kembali menaiki beberapa anak tangga dengan yakin setelahnya, hingga sebuah tangan terulur kepadaku, aku meraihnya dan berjalan mendekat padanya.
Aku mendongakkan kepalaku, melihat wajah pria yang dengan berani mempersuntingku di depan dunia, anak dari seorang owner sekaligus founder dari Hendra Jaya inc. Berkelas dunia. Pipiku bersemu merah saat melihat Kak Joe melemparkan senyumnya padaku, duniaku seakan gonjang-ganjing.
"Are you ready?" bisik Penghulu itu pada kami.
Aku dan Kak Joe mengangguk secara bersamaan.
"Baiklah semua hadirin, saat ini kita semua hadir disini untuk menyaksikan pernikahan antara Jonathan Achiviera Hendra dengan pasangannya, Malvin Akahiko. Sebelum janji suci terikrar, apa ada yang keberatan dengan pernikahan ini?" ucap penghulu itu dalam bahasa inggris sebagai pembukaan.
Kesunyian mulai terasa. Hanya jepretan kamera yang terdengar.
"Jika ada yang keberatan katakanlah sekarang, atau jika tidak, maka diam selamanya," lanjut sang penghulu. Dan saat sang penghulu akan mengikrarkan janji suci kami, seluruh dunia seakan berhenti. Tidak ada suara kamera, tak ada suara apapun kecuali suara sang penghulu.
"Saudara Jonathan Achiviera Hendra, bersediakah Anda menerima Malvin Akahiko sebagai pendamping hidup anda seumur hidup?"Janji Suci diantara kami segera terikrarkan.
"Iya, saya bersedia," ucap Kak Joe tanpa keraguan. Suaranya bagai alunan musik penuh kebahagiaan di telingaku.
"Saudara Malvin Akahiko, bersediakah pula Anda menerima Jonathan Achiviera Hendra sebagai pendamping hidup anda seumur hidup?" tanya Sang Penghulu itu lagi padaku.
Aku menatap wajah Kak Joe, terdapat keteduhan di wajahnya. Terdapat sandaran amat kuat pada bahunya untuk seumur hidupku. Tak ada jawaban lain selain, "Ya, saya bersedia."
Setelah itu aku tak tahu lagi penghulu itu bicara apa, seluruh duniaku seakan be-revolusi pada Kak Joe. Matanya yang begitu indah menatapku dengan pancar kebahagiaan. Aku seperti hilang dalam halusinasi dan fatamorgana. Tapi, aku mulai tersadar bahwa ini nyata saat Kak Joe seketika memelukku.
"Congratulations," ucap penghulu itu lagi. Aku dan Kak Joe balas tersenyum ke arahnya.
"Aku bahagia, terima kasih sekali lagi untuk telah bersedia untuk menerimaku. Aku janji, Ma. Aku nggak akan ngecewain kamu," ujar Kak Joe seraya menangis haru.
"Tentu, kamu lelaki terbaik di dunia ini. Aku bisa menghabiskan hidupku dengan tersenyum jika bersamamu, Pa," jawabku.
Oh kebahagiaan, rengkuhlah aku sebagai pasangan hidup yang selalu ada bersamaku. Jangan ada air mata diantara kita, Karena aku hanya ingin memilih satu orang dalam hidupku, jangan ada yang kedua.
Tepuk tangan bergemuruh mengisi setiap jengkal ruangan ini. Lampu flash kembali menyala pada kami. Kami masih berpelukan di depan semua hadirin. Kami berpelukan semakin erat, mempersatukan perasaan yang telah lama menjadi tanda tanya. Namun, hanyalah ada kepastian saat ini. Karena bukan cinta namanya bila bukan Kak Joe yang bersamaku.
Tangis haru menghiasi wajah orangtuaku dan juga Om Hendra. Mereka masih bertepuk tangan, tiada hentinya tisu di tangan mereka diusapkan pada pipi.
Suatu hari, bila aku merasa sepi, aku akan mengingat saat-saat ini. Kebahagiaan tiada tara yang telah Kak Joe hadirkan dalam hidupku. Seketika, ilusi akan wajah seseorang melintas dalam benakku.
Kamu akan bahagia bersamanya. Ucapan lelaki itu kembali terngiang, mengisi sebagian otakku. Sekarang, aku percaya bahwa kepergiaannya adalah jalan untukku meraih kebahagiaanku.
Terima kasih Kak Reno. Kataku dalam hati.
Bersambung
Aku merasa campur aduk nulis part ini. Sedih senang di saat yang sama.
Aku kagum buat yang ikut baper, imajinasi kalian begitu tinggi bisa membayangkan setiap kejadian dalam kisah ini. Terima kasih akan aku ucapkan tanpa bosan.
Yogi minta maaf. Part selanjutnya akan di private. Karena separuh part berisi adegan malam pertama. 😉
Ada sekitar 2000 lebih words cuma buat nyritain adegan ranjang. Karena adegan ranjang mereka penuh perasaan, bukan cuma sekedar cerita esek-esek.
Aku update setiap selasa, aku kok merasa kelamaan ya? Wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top