Part 13 (Special Part)


86.400 Detik

***

Ujian Nasional yang konon adalah momok bagi para siswa yang menuntut ilmu benar-benar berlangsung di sekolahku. Hari-hari terasa begitu cepat, hari-hari terasa begitu berat bagiku yang terus menghitung waktu. Aku tak pernah menyangka menjalani kisahku sendiri akan seberat ini. Aku tak menyangka cintaku akan berakhir tragis tak lama lagi.

Tak ada yang istimewa. Aku sangat kalut, aku sungguh takut untuk mengingat ini tanggal berapa. Aku benci wisuda sekolah, aku benci kisahku yang berakhir sekejam ini. Aku tak ingin kehilangan Kak Reno, meski itu pilihannya.

Semilir angin berembus menabrak dahan-dahan kering pepohonan yang meranggas diterpa kemarau. Aku duduk di salah satu bangku taman sekolah. Akhir-akhir ini aku lebih senang menyendiri, aku senang menghabiskan waktu untuk sesuatu yang akan aku ingat di taman ini.

Dulu, saat aku baru mengetahui bahwa Kak reno adalah dalang dari mawar merah yang selalu tersimpan indah di lokerku. Ia membuatku cemburu dengan menarik lengan cewek untuk duduk bersamanya di bangku ini, ia melakukan itu karena aku malah dekat dengan Kak Joe. Aku juga masih mengingat bahu kokohnya yang senantiasa menopang setiap masalahku.

"Dia nolak aku Kak," seperti itulah keluhku dulu setiap duduk di bangku ini. Dulu aku ingin sekali memiliki seorang pacar.

"Jangan sedih, tuhan punya yang lebih baik," kalimat itu selalu membangunkan rasa optimis dalam diriku. Kalimat itu selalu membuat hariku kembali berwarna. "bersandarlah di bahu Kak Reno, Vin!" kata-kata itu kembali terngiang-ngiang, bagaikan melodi kenangan yang tak lekang oleh zaman.

Kini, semuanya seolah dirampas paksa dariku. Sekarang seolah itu semua hanyalah hal yang akan mengolokku dan menertawakan keterpurukanku. Entah apa yang akan terjadi padaku? Masih bisakah aku bangkit tanpanya nanti?

Orang dulu selalu berkata, angin adalah pertanda akan datang hujan. Dedaunan di taman ini tiba-tiba dihempas oleh angin yang perlahan datang. Suara petir meraung-raung tuk tampil di hadapan hujan. Rintik itu membasahi dahan yang telah lama merindukan sentuhan dari air. Dari setetes air itu munculah kehidupan baru.

Namun, sebelum hujan itu berhasil mengenai tubuhku. seseorang telah memayungiku.

"Ini hujan asam. Nggak seharusnya kamu hujan-hujanan seperti ini," tuturnya. Wajah yang telah aku nanti berhari-hari menatapku. Aku telah mencarinya beberapa hari ini, namun nihil, hingga aku barkali-kali mencoba menyerah. Sekarang tanpa perlu aku mencarinya, ia datang padaku.

Aku terdiam di bawah payung berwarna biru yang tengah dipegang Kak Reno saat ini. Aku sibuk menatap wajahnya yang teduh. Mata sayu nan melankolis itu sungguh tak kusangka akan meninggalkanku tak lama lagi, hingga seolah aku dapat menghitung setiap detiknya dengan kesepuluh jariku.

"Apa kamu marah? Kak Reno minta maaf, maaf kalau kedatangan Kak Reno cuma bikin kamu sedih," tutur Kak Reno. Ia hendak berlalu lagi dari hadapanku, kakinya mulai berbalik tuk meninggalkanku. Takkan aku biarkan itu, tanganku seketika meraih bahunya, mengisyaratkan padanya untuk tak pergi dariku.

"Yang buat aku sedih itu adalah aku yang nggak punya banyak waktu lagi buat lihat wajah Kak Reno," ujarku sedih. Kak Reno mematung pada tempatnya. kami masih dalam posisi yang sama.

"Mungkin tak banyak waktu lagi untuk itu. Aku lusa akan ...."

"Diam Kak! aku nggak mau dengar," aku menutup kedua telingaku, berharap suaranya yang mengatakan hal semenyedihkan itu teredam oleh hujan dan tak terdengar oleh gendang telingaku. Aku berharap ia tak usah mengingatkan aku hari keberangkatannya. Aku tahu hari itu, hanya saja aku tak ingin mengingatnya.

Kak Reno menoleh ke arahku. Tubuhnya bebalik dan memeluk tubuhku dengan payung yang masih erat pada genggaman tangannya. Udara begitu dingin, namun pelukan itu bagaikan api unggun yang menghangatkan malam yang beku.

"Apa kamu masih belum rela? Kamu tidak rela membiarkan aku pergi?" tanya Kak Reno.

"Pernahkah aku mengatakan rela? Aku nggak akan rela kalau kebahagiaanku pergi gitu aja. Aku nggak rela Kak!" teriakku dalam pelukannya yang masih menghangatkan tubuhku.

Kak Reno menghela napas. Aku dapat merasakannya pada rambutku. "Lupakan aku Vin, aku hanya bagian dari masa lalu kamu," desis Kak Reno lirih

Dadaku makin sakit, aku segera melepas pelukan Kak Reno. "Nggak! Kamu adalah masa depan aku! Kak Reno cuma buat aku! Aku milik Kak Reno," teriakku penuh emosi. Kesedihan yang aku rasakan menyeruak dari relung dadaku. Kak Reno masih tak memahami perasaanku yang sungguh tergila-gila padanya.

"Betul, Kak Reno milik kamu. Kamu betul," desis Kak Reno. Ia mengelus kepalaku lembut. Aku terdiam, setiap sentuhannya begitu menghipnotis akal sehatku.

Aku merengut. Kak Reno seolah tak memahami kerisauan hatiku yang memanggil namanya laksana kokok ayam di pagi hari. "Kalau sudah tahu, kenapa masih pergi?" ucapku lirih. Kepalaku menunduk. Ada rasa tak terima, juga rasa sakit di dadaku. Merelakannya pergi begitu saja? aku tak sekuat itu.

Jemari Kak Reno kembali membelai rambutku, ia mencium rambutku perlahan, kemudian menatap mataku dengan pancar kelembutan dari bola matanya. Aku terdiam, menatap mata hitam yang begitu memabukkan.

"Kak Reno nggak mau jadi halangan untuk hubungan kalian berdua. Kamu berhak untuk bahagia," tutur Kak Reno yang dilematis.

Aku menggeleng, apa yang ia ucapkan sama sekali tak dapat dibenarkan! "Kamu salah Kak, kebahagiaanku adalah saat kamu disini. kumohon, pikirkan perasaanku juga!"

"Apa setelah itu kamu akan membiarkan Joe membunuh dirinya sendiri? Kak Reno jauh lebih memikirkan tentang ini sebelumnya, Kak Reno juga lebih mengenal kamu lebih dari siapapun. Kamu pemikir, kamu traumatik. menurut Kak Reno, ini jalan terbaik untuk kamu," ucapnya dengan senyum yang begitu terasa pahit. Aku tak pernah berpikir bahwa aku begitu diperhatikan, aku begitu disayangi, dan aku begitu dijaga.

Perlahan bibirku bergetar. Terdapat perasaan aneh yang mendesak keluar melalui pelupuk mataku. Aku menahannya sekuat tenaga, namun satu hal merobohkan tembok pertahanan itu, pelukan Kak Reno.

Pelukan hangat itu kembali kurasa, menyelimutiku bagai syal musim dingin.

Hujan masih saja deras, membasahi setiap jengkal kehidupan yang dilaluinya. Rintikkan air itu meredam isak tangis yang tercekat dari tenggorokkanku.

"Buat tiga permintaan. Kak Reno akan mengabulkan tiga permintaan kamu, kecuali kepergianku," ujar Kak Reno padaku.

"Jangan pergi," pintaku lirih. Mataku semakin pedih, menangisi keadaanku sendiri yang begitu menyedihkan. Hatiku amat nyeri, menahan perasan yang tak kunjung tersampaikan.

"Jangan halangi Kak Reno untuk itu!" seru Kak Reno.

Aku melihat tak adanya jalan keluar untuk menahan Kak Reno. Dalam benakku saat ini, terbesit untuk memanfaatkan ketiga permintaan yang bisa aku ajukan kepada kak reno. Jika aku bisa memanfaatkannya sebaik mungkin, kepergian itu mungkin bisa aku cegah.

"Baiklah," aku mengusap kedua mataku yang sedari tadi menangis. Dengan berat hati aku melepaskan pelukan kami dan mengajukan permintaan pertamaku, "permintaan pertamaku adalah ... Kak Reno bersamaku terus selama satu hari."

Kak Reno tersenyum bahagia, "kamu memilih pilihan yang benar Vin."

***

Kak Reno masih sibuk di lantai atas. Aku menunggunya di ruang tamu. Kak Reno sedang mengemasi beberapa pakaian untuk digunakan ke rumahku. Aku akan memanfaatkan setiap detiknya, berusaha keras untuk bisa bahagia bersama.

"Malvin," panggil Om Alfi yang berjalan dari lantai atas dengan secangkir kopi di tangannya.

"Selamat siang, Om," sapaku seraya tersenyum ramah.

"Selamat siang juga. Ada apa? Tumben kamu kesini?" Om Alfi bertanya, kemudian ia duduk bersamaku di ruang tamu.

"Kak Reno mau nginep di rumah Malvin, Om. Nggak apa-apa, kan?"

Om Alfi menyeruput kopi yang masih tampak hangat di tangannya. Setelah itu ia tersenyum dan berkata, "oh, tentu saja boleh. Dia mungkin akan rindu dengan teman-temannya di Indonesia nanti, saat ia di Amerika," jawab Om Alfi.

"Amerika?" desisku penuh tanda tanya. Aku terkejut mendengar kata Amerika.

"Iya, bukankah itu jauh sekali, Vin? Mungkin ... tak berapa lama lagi, rumah ini akan sepi," ujar Om Alfi sembari menatap setiap sudut rumah dengan tatapan kosong. Bagaimana Kak Reno bisa mengambil keputusan ini? Bagaimana semua kenangan disini dapat ia buang dalam sekejap? Bagaimana semua hal yang telah terjadi tak mampu menghentikan kepergiannya?

Kenangan bukanlah angin yang berhembus begitu saja. Aku tak rela sampai kapanpun, apabila Kak Reno melupakan diriku semudah hembusan angin.

"Meski begitu, nggak ada yang bisa kita lakukan ya Om? untuk merubah pendirian Kak Reno?"

Om Alfi terdiam. Aku yakin, dalam diam itu ia juga tengah berpikir. Bukanlah hal yang mudah bagi orangtua melepas anak semata wayangnya pergi secepat ini.

"Om sudah mencoba membujuknya, tapi nihil. Dia tetap bersikeras untuk ke Amerika," ujar Om Alfi. Raut wajahnya sedari tadi muram, aku ingin sekali merangkul dan mencoba menguatkan beliau bahwa perasaanku juga begitu kehilangan.

Keheningan yang diliputi keputusasaan mulai menyelimuti ruang tamu ini. Aku sibuk dengan memikirkan tiga permintaanku, sedangkan Om Alfi? Entah apa yang tengah mengganggu benaknya.

"Malvin, ayo!" ajak Kak Reno yang tiba-tiba telah sampai di ruang tamu. Raut wajah Om Alfi juga berubah seketika, Ia tersenyum dengan terpaksa.

Aku berdiri dan berpamitan pada Om Alfi.

"Jaga diri baik-baik. Bahagiakan Reno, ya!" ucap Om Alfi saat aku mencium punggung tangannya untuk bersalaman.

Aku mengangguk, tanpa perlu Om Alfi memintanya. Aku akan melakukan semua itu.

Selanjutnya kami berjalan bersama menuju rumahku. Jalanan kompleks tampak selalu sepi karena para penghuninya yang kebanyakan sibuk. Tak ada deru kendaraan bermotor, hanya ada kami yang berjalan berdua pada trotoar.

Sepanjang perjalanan aku tak tahu harus bicara apa, jadi kuputuskan untuk menatap wajah Kak Reno. Aku tahu akan satu hal bahwa dalam hitungan jam, wajah yang teduh itu akan pergi.

"Aku ingin ikut ke Amerika," rajukku tiba-tiba.

Kak Reno menoleh terkejut, kemudian kembali tersenyum. "tentu kamu bisa ke Amerika, Kak Reno nggak akan melarang kamu untuk kesana," jawab Kak Reno dengan santai.

"Aku mau tinggal bersama Kak Reno di Amerika."

"Terus Joe?"

" .... " Aku terdiam. bayangan Kak Joe melintas dalam benakku. Apa meninggalkan Kak Joe adalah hal yang tepat bagiku? Apa tindak bunuh diri yang bisa saja ia lakukan hanya pura-pura bagiku? Lalu bagaimana dengan perasaan hangat yang menyapa relung hatiku saat Kak Joe membelaiku? Apa semua itu rekayasa? Aku tidak semunafik itu untuk menyangkal bahwa hatiku juga mulai menghangat bersama Kak Joe.

"Kamu boleh menyusulku apabila kamu sudah menemukan jawabannya," jawab Kak Reno membuyarkan lamunanku.

"Kalau itu yang Kak Reno mau, baiklah ...," aku mengehentikan langkahku, diikuti juga dengan langkah kaki Kak Reno yang berhenti di depanku. ia berbalik menghadapku. "Kak Reno telah memilih untuk melepaskan aku. Aku nggak akan keras kepala lagi untuk memaksa kak Reno bersamaku. Aku minta maaf."

Desau angin terdengar sayup pada indraku. Suara jangkrik mengalun bagai melodi orkestra. Kaki kami masih berhenti pada tepi jalan yang sedari tadi memang telah sepi, dengan hanya terdapat beberapa lampu jalan yang menyinari jalanan ini.

Aku menatap wajah Kak Reno, ia menatapku dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Kulit wajahnya yang disinari lampu jalanan itu masih bercahaya seperti sebelumnya, kemudian ia tersenyum lagi.

"Iya ... Kak Reno sudah rela melepaskanmu."

"Apa aku sudah lama dilupakan?"

Kak Reno kembali senyap.

"Apa aku juga sudah lama tak dianggap?"

Kak Reno masih tak menjawab.

"Maafkan ... aku ... ternyata selama ini ... aku terlalu berharap lebih." Aku merasakan mataku yang menghangat. Terdapat bulir yang jatuh kemudian tanpa mampu aku bendung. Aku segera berlari meninggalkan Kak Reno yang masih berdiri. Hatiku begitu remuk redam melihat kebungkamannya.

Aku tak menyangka, selama ini siapa yang aku perjuangkan? Apa yang aku perjuangkan? Semua itu menjadi asing dalam benakku seketika. Air mataku masih menetes bagai air hujan, hingga sebuah polisi tidur yang tengah berbaring di jalanan luput dari pandangan. Kakiku tersandung, tubuhku seketika jatuh ke atas aspal jalanan.

Sayup-sayup aku mendengar langkah kaki yang berlari ke arahku. Aku ingin menjerit! Aku ingin mengatakan aku tengah sakit! Bukan luka pada tubuhku, melainkan hatiku yang tengah hancur berkeping-keping, namun kesedihan membungkam semua kata-kata, hingga hanya air mata yang mampu aku tunjukkan.

"Malvin, kamu nggak apa-apa?" Kak Reno panik. Napasnya ia hembuskan pada luka di lututku. Meski yang sebetulnya yang terasa sakit bukanlah lututku, namun sesuatu dalam dadaku begitu mengimpit perasaan bagai sesak, itulah sakit sebenarnya yang aku rasakan.

"Lepas! Jangan buat aku semakin berharap lebih. Berhenti menjadi pemberi harapan palsu!" bentakku tepat di wajahnya. Aku menjerit kesakitan! Aku berteriak tuk meredam rasa sesal akan kebodohanku yang selama ini sudi berharap.

"Kita harus segera obati ini," Kak Reno masih panik tanpa mau mendengar ocehanku. Ia mengelus lututku yang berdarah, juga dahiku yang tadi terantuk jalanan.

Aku sekuat tenaga menepis tangan durjana milik Kak Reno. Aku tak menyangka, sebentar lagi kami akan berpisah, namun kami malah bertengkar di pinggir jalan. Aku sebetulnya ingin bahagia, namun sepertinya kebahagiaan begitu membenciku.

"Lepas! Kamu pergi! Aku nggak mau lihat kamu lagi! Kamu pergi!" aku masih berteriak dengan sesenggukan ke arahnya. Kak Reno dengan keras kepala malah menggendongku dengan kedua lengannya. Aku meronta-ronta, namun kali ini kekuatan Kak Reno berlipat ganda.

Aku mencakar kesetanan! Kak Reno diam.

Aku meracau gelisah! Kak Reno menciumku.

Seketika sunyi menyusup pada keadaan ini. Aku membelalakkan mataku, tak percaya. Tubuhku juga tak menolak perlakuannya. Akal sehatku seolah berhenti sejenak. Apa waktu masih berjalan?

Kak Reno melumat bibirku, menggigit kecil penuh gemas. Lidah kami beradu seolah keduanya ditakdirkan bertemu.

Saat aku mulai tenang, Kak Reno melepas ciuman kami. Aku menatap wajahnya yang begitu memesona malam ini. Kemudian sebuah air menetes pada pipiku karena aku masih dalam gendongannya, itu adalah air mata Kak Reno.

Kak Reno menangis. "Kak Reno nggak pantas untuk kamu, maafkan Kak Reno yang mencoba membahagiakan kamu, tapi tak pernah tahu apa yang kamu mau. Maafkan Kak Reno yang cuma bisa buat kamu nangis," Kak Reno terisak dalam ucapannya, "tapi ijinin Kak Reno untuk membahagiakan kamu untuk terakhir kalinya. Setelah itu, kamu nggak perlu lihat wajah memuakkan ini."

Tidak! Aku tidak pernah bosan atau muak pada wajah itu. Wajah itu adalah sumber anugerah bagiku untuk bangkit dipagi hari, wajah itu pula yang membuatku bermimpi indah di malam hari, bahkan aku takkan tahu apa yang harus aku lakukan apabila tak lagi melihat wajah itu.

Perlahan tanganku mengusap wajahnya yang sendu dan telah basah oleh air mata. Tak ada kata yang terucap, namun dalam kesenyapan masing-masing kami saling memahami.

Kak Reno menggendong tubuhku menuju rumahku.

***

"Permintaan keduaku adalah kita camping di pekarangan," ujarku pada Kak Reno. Kak Reno tak protes dan hanya mengangguk setuju.

Setelah itu, kami segera mempersiapkan segala keperluan untuk berkemah kali ini. Aku harus mencari dan mengubrak-abrik gudang rumahku, hingga tak berapa lama, kami sudah berada di halaman belakang rumah dengan keperluan lainnya yang telah tersedia.

Kak Reno masih sibuk mengusung barang-barang camping yang ada di dalam rumah, sedangkan aku mulai menyiapkan tenda.

"Ini sudah semua Vin," tunjuk Kak Reno ke arah tumpukan barang-barang persiapan camping yang kebanyakan adalah kudapan. Apapun situasinya, mulutku tak akan berhenti untuk nyemil.

"Kak Ren, bisa buat api unggun?" tanyaku pada Kak Reno.

"Bisa, kita bikin api unggun juga?"

"Iya dong, nanti kita juga bernyanyi, bercerita, banyak deh pokoknya. Aku juga udah nyiapin cemilan banyak." Aku terkekeh sendiri membayangkan bagaimana malam ini akan berlalu. Aku ingin bahagia walau kebahagiaan ini laksana ilusi, karena saat aku tersadar nanti, semuanya hanya akan menjadi kenangan.

Kak Reno tersenyum dan kembali bertanya, "Kita harus cari kayu dimana untuk buat api unggun?"

Aku ingat, di halaman belakang ada beberapa arang yang tak terpakai.

"Pak Naryo!" aku segera memanggil Pak Naryo yang tengah sibuk menonton TV bersama Bi Jum.

"Ada apa Den?" Pak Naryo terkejut mendengar panggilanku.

"Pak, bisa tolong bawain arang yang di belakang kesini? Malvin mau bikin api unggun," pintaku pada Pak Naryo.

Beliau mengangguk dan segera berlalu.

Beberapa menit kemudian, semuanya telah selesai. Aku menghela napasku dengan lega melihat tenda yang telah berdiri kokoh, api unggun yang menyala, dan tak lupa berbagai macam camilan yang telah terhidang.

Aku dan Kak Reno duduk berdua di depan api unggun yang begitu menghangatkan malam ini.

"Sekarang kita mau apa?" tanya Kak Reno.

"Kita buat tantangan aja, siapa yang ceritanya nakutin, dia yang menang," tantangku dengan percaya diri. Kak Reno mengangguk, ia selalu menyetujui apa yang aku katakan.

"Yang menang dapat apa?"Kak Reno kembali memberikan pertanyaan.

"Yang menang boleh minta apa aja ke yang kalah ... asalkan masuk akal," kalimat terakhir itu adalah peringatan. jangan sampai aku yang kalah dan Kak Reno malah minta rumah, itu nggak logis.

"Okee, siapa duluan?"

"Aku dulu," ucapku. Kak Reno pun sekali lagi mengangguk mengiyakan. Ia tak pernah berkata 'tidak' padaku, kecuali kepergiannya.

"Dulu saat aku masih kecil ada pohon jambu yang tumbuh tepat di depan jendelaku. Setiap malam, aku pasti mendengar kaca jendelaku diketuk ...," tuturku dengan wajah horor dibuat-buat. Aku memperhatikan wajah Kak Reno yang mendengar ceritaku dengan seksama dan sama sekali tidak takut. bagaimana jika aku yang kalah? Tenang, ini baru awal.

"Suatu malam, aku pulang larut setelah kerja kelompok dan menemukan kejanggalan disana, beberapa buah jatuh dengan bekas gigitan yang aneh, bukan gigitan manusia. Dan saat aku melihat ke atas pohon ... aku lihat kuntilanak!" jeritku nyaring.

'Hiiiii hiiii hiii' suara kuntilanak tiba-tiba muncul dan aku secara reflek memeluk tubuh Kak Reno. Kak Reno dengan santainya membalas pelukanku.

"Aku tadi bohong, tapi kok kuntilanaknya muncul betulan?" tanyaku pada diriku sendiri. aku masih bersembunyi pada dada Kak Reno.

"Maaf ya, vin. Tadi alarmku tiba-tiba bunyi," sahut Kak Reno seraya terkikik puas. Aku melepaskan pelukan itu, namun Kak Reno mencegahnya, ia malah memelukku erat dan hangat. "Kamu di pelukan Kak Reno aja. nanti kalau takut, kamu bisa langsung sembunyi. Kan kamu sebenernya juga udah kalah, Vin hehehe," kekeh Kak Reno.

Aku ketakutan dengan ceritaku sendiri, itu sungguh konyol.

Kak Reno akan memulai ceritanya. suasana begitu mendukung tiba-tiba, suara jangkrik yang terdiam begitu hening, angin malam berembus menebarkan teror, pepohonan bergerak pelan, dan bulan tertutup mendung pekat.

"Dulu sekali, aku pernah berkunjung ke sebuah vila di lereng Gunung Panderman. Saat itu suasana sangat tak mendukung untuk berlibur, tapi Kak Reno tetap ingin kesana. Ternyata setelah Kak Reno sampai disana, di daerah itu tengah dihantui oleh sosok hantu yang disebut 'Begeringan' ... " Kak Reno begitu mendalami cerita itu, bulu kudukku meremang perlahan mendengar ceritanya.

"Begeringan adalah sosok hantu pembawa sial, dia akan mendatangi rumah dan mengetuk pintunya. Saat pemilik rumah membuka pintu, dia takkan menemukan siapa-siapa di depan pintu, namun beberapa orang berkata ada yang melihat hantu tanpa kepala, dan sebagainya sebagai sosok begeringan. Setelah membuka pintu, pemilik rumah akan sakit dalam beberapa hari atau bahkan meninggal dunia," Kak Reno masih menceritakan siapa itu sosok begeringan, aku meringkuk di pelukan Kak Reno.

"Suatu malam, pintu vila Kak Reno diketuk oleh seseorang. Kemudian, begitu terkejutnya saat yang ada di depan pintu itu adalah sosok ...."

"CUKUP!" teriakku. Aku sudah memeluk Kak Reno dengan erat, mencoba menetralisasi ketakutan yang begitu aku rasakan. Aku begitu pengecut dengan hantu, bagaimana bisa aku memilih tantangan yang membuatku kalah? Bagaimana bisa senjata makan tuan?

"Berarti, Kak Reno yang menang, ya?" tanya Kak Reno meyakinkan. Aku segera melepas pelukan Kak Reno. Kak Reno terkikik bahagia melihatku ketakutan.

"Baiklah, Kak Reno menang. Sekarang saatnya buat permintaan," ucapku malas.

"Kak Reno ada tiga permintaan," ujarnya dengan polos.

Aku mendongak seketika mendengar tiga permintaan, "kenapa jadi berlipat tiga permintaan?" sergahku tak terima.

"Sebelumnya nggak ada perjanjian mau buat berapa permintaan, kan?"

Betul juga, perjanjiannya hanya meminta apapun. Aku bodoh sekali, kenapa tidak aku persempit saja makna kalimatnya? Lihat sekarang, melebar jadi tiga permintaan.

"Baiklah, sekarang Kak Reno minta ... kamu nyanyiin sebuah lagu untuk Kak Reno," pintanya.

Hanya bernyanyi? Hah, itu mudah sekali. Suaraku yang merdu laksana buluh perindu ini akan membuat malam menjadi gegap-gempita dan angkasa terbelah.

"Itu saja? mudah sekali."

Suasana begitu hening, tak ada bulan atau bintang, hanya ada gemerisik pepohonan yang saling bergerak tertiup angin. Tiba-tiba terbesit sebuah lagu dalam benakku. Lagu tentang kak Reno,lagu tentang kepergiannya. Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai bernyanyi.

https://youtu.be/mv0HHyZPHrc

Aku berjalan di dalam kesendirian

Aku mencoba tak mengingatmu, tak mengenangmu

Alunan suaraku mengalir begitu saja, aku menyanyikan lagu itu dari segenap perasaan yang aku miliki. Aku mencoba meraihnya walau ia mencoba terbang setinggi langit.

aku telah hancur lebih dari berkeping-keping

karena cintaku, karena rasaku yang tulus padamu

Aku bersenandung untuk kekasih hati yang aku dambakan, aku bernyanyi untuk setiap detik yang telah terbuang, dan aku menangis untuk setiap sesal dari perasaan yang tak berdosa ini.

Begitu dalamnya aku terjatuh

Dalam kesalahan rasa ini.

Jika air mata adalah jalan terakhir untukku mengibarkan bendera putih, kan kulepaskan dirimu, rengkuhlah kebahagiaan bila yang kau cari memang di negeri seberang.

Jujur, aku tak sanggup, aku tak bisa

Aku tak mampu dan aku tertatih

Akan aku hitung setiap detik yang kita habiskan berdua, aku tak mengira bila mengejarmu begitu melelahkan hingga buta mata batinku.

Semua yang pernah kita lewati

Tak mungkin dapat ku dustai

Meskipun harus tertatih

Pada akhirnya tiada guna sesal bila telah berjuang. Aku telah menghentikanmu sebisaku dengan kedua tangan ini, hingga tertatih aku bangkit dari ketidakberdayaanku. Kau telah jauh, kau meninggalkan aku.

Lagu itu selesai begitu saja dengan perih yang mendera hatiku. Kak Reno menatapku sendu, ia mengusap matanya yang sedari tadi telah berkaca-kaca seolah ia tak ingin terlihat bersedih. Namun, aku tak lagi kuasa untuk menyembunyikan kesedihan ini seorang diri. Aku tak tahu, masih bisakah aku bangkit setelah kepergiannya?

Malam itu tak satupun dari kami yang tidur, kami berdua di depan api unggun yang menyala penuh kehangatan, menghabiskan waktu yang berlari begitu cepat tanpa mampu dihentikan dengan obrolan dan hal yang bisa kami lakukan lainnya. Hingga kami tidur pada pukul 4 pagi.

Pada pukul 6 pagi, Kak Reno dan aku terbangun. Suasana pagi yang asri menyambut kami dengan begitu ramah. Beberapa burung terbang kesana kemari dengan bahagia dari satu dahan ke dahan lainnya. Embun menghiasi dedaunan hijau yang masih terdiam.

Aku dan Kak Reno mengemasi peralatan camping kami dan kembali menyimpannya di gudang.

"Kak Reno mandi dulu gih. Kamar mandinya disana," ucapku menunjukkan sebuah kamar mandi di dekat kamar tamu. Kak Reno paham dan mengangguk.

Kemudian aku berjalan ke kamarku sendiri untuk mandi pada kamar mandi di dalam kamarku.

Seusai mandi, aku melilitkan handuk pada pinggangku dan melangkah keluar. Saat aku keluar kamar mandi, aku dikejutkan dengan Kak Joe yang telah duduk pada dipan kamarku.

"Kak Joe?" sapaku terkejut melihat penampakannya.

"Malvin," balas Kak Joe seraya melemparkan sebuah senyuman.

"Ada apa Kak Joe kemari?" telisikku. Bagaimana jika ia tahu kedekatanku yang semakin dekat dengan Kak Reno? Tak bisa dibiarkan.

Kak Joe merengut, ia seolah menyembunyikan sesuatu. "Aku semalam kesini ... kamu lagi camping di luar," ucap Kak Joe dengan datar.

"Ini hari terakhir Kak Reno di Indonesia," sergahku tegas.

"Aku tahu itu, Malvin. Sebelumnya Reno sudah bilang ke aku ... Kak Joe mu ini sayang kamu, juga janji akan buat kamu bahagia, dan aku paham betapa sedihnya kamu setelah kepergian Reno nanti. Jadi, habiskan harimu bersamanya kalau itu yang Malvin mau."

Apa cowok di depanku ini sungguh Kak Joe? Apa yang baru saja ia makan? Hingga menjadi sedewasa ini. Apa alien baru saja mencuci otak manusia? Dan Kak Joe salah satu yang tercuci otaknya? Aku pasti akan sangat berterima kasih pada alien.

Aku memeluk Kak Joe erat, Kak Joe juga membalas pelukanku dengan lembut. Aku tak menyangka, waktu bisa mendewasakan manusia. Aku sungguh bahagia.

"Terima kasih Kak Joe," ucapku pada Kak Joe.

"Sama-sama, jangan sedih. Kalau nanti berasa mau nangis, panggil Kak Joe. Akan Kak Joe belikan pabrik tissue kalau perlu," seloroh Kak Joe menghiburku.

Setelah itu Kak Joe berbesar hati untuk pulang dan membiarkan aku bahagia. sekali lagi, aku tak menyangka darimana ia bisa mendapatkan kedewasaan yang teramat instan itu?

Aku turun dari lantai atas, dan menuju meja makan. Kak Reno telah duduk disana sendirian menungguku.

"Ayo Kak, kita makan dulu," ajakku pada Kak Reno.

Aku menuju dapur dan membawa beberapa macam makanan dari dapur yang baru saja dimasak oleh Bi Jum.

"Ayo kita makan sate udang saus kacang, sayur rebus, sambal, dan ... nasi. Maaf ya Kak Ren, sarapannya cuma begini doang," ujarku merendah. Aku sangat menyukai sayur rebus dan sambal Bi Jum katanya khas pedesaan. ia berkata di kampung halamannya terdapat berbagai macam sayuran, termasuk rumput di sawah yang konon bergizi.

"Ini udah enak banget Vin, makasih ya atas hidangannya," jawab Kak Reno dengan tak lupa senyuman hangat dan ramahnya.

"Makan yang banyak, habis ini aku mau kita ke Taman Mini. Itu permintaan keduaku," ucapku pada Kak Reno.

"Aku juga ada permintaan kedua, permintaanku adalah cium aku 1000 kali."

Apa? Mencium? Itu mudah. Seribu kali? Yang benar saja.

"Banyak banget?" tanyaku. Aku agak ragu dengan seribu kali ciuman, ini seperti dongeng Roro Jonggrang!

Beda! Itu candi woy!

"Sebenarnya 1000 itu masih sangat kurang," ujar Kak Reno.

Aku mengangguk setuju, "itu masih sangat kurang," timpalku.

"Cium aku sepuas kamu?" Kak Reno kembali bertanya.

"Itu baru cukup."

Kami segera menikmati makanan yang terhidang. Rasanya sungguh enak masakan Bi Jum. Kak Reno juga makan dengan lahap hingga tak tersisa barang sebiji nasi di piringnya.

Setelah sarapan, kami berangkat ke TMII. Sebelum masuk mobil, aku mencium Kak Reno. Di perjalanan, aku menciumnya hampir 20 kali. Dan saat membeli tiket, aku tak lagi berani menciumnya. Kenapa aku menciumnya begitu banyak? Alasannya sungguh klise, aku mungkin saja takkan mendapat kesempatan menciumnya saat ia telah pergi.

Setelah mendapatkan tiket masuk, aku dan Kak Reno segera memasuki TMII.

"Kita main apa dulu Vin?" tanya Kak Reno.

"Kita ke snowbay dulu aja, Main air," ajakku pada Kak Reno. Aku segera menarik tangannya ke arah wahana Snowbay.

Kami mulai menikmati setiap percikan air dari permainan yang membuatku ngeri sendiri seperti: Hurricane, Flush Bow, Cool Running dan lainnya. Kengerian itu bahkan sama sekali bukan apa-apa saat aku melihat tawa bahagia Kak reno. Seolah kengerian itu bukan lagi penghalang untuk nyaliku yang begitu ciut.

Puas dengan bermain Snowbay, kami masih melakukan banyak hal dengan menikmati wahana ini dan itu. Sungguh tak terasa waktu kebersamaan ini akan segera habis.

Kak Reno bahkan cukup berani hari ini, di beberapa wahana ia bahkan menuntut ciuman permintaan dariku, dengan malu-malu aku menciumnya. Entah sudah berapa kali kami berciuman.

Pada akhirnya, kami berada di dalam sebuah Aeromovel.

"Terima kasih untuk hari ini, terima kasih untuk semua kenangan yang kamu berikan," ujar Kak Reno. Tubuhnya duduk di sampingku dengan khidmat, hingga tangannya menangkup pipiku. Ia menempelkan bibir kenyal itu untuk kesekian kalinya, melumat lembut bibirku.

Saat aku mulai mengambil napas, bibir itu kembali menghunjam. Mengisap bibirku dengan penuh gairah. Aku dapat merasakan cintanya dari setiap perlakuan, perkataan, dan ciuman darinya. Cinta yang tak terbatas. Cinta yang tulus bagaikan Majnun yang tergila-gila.

"Aku bisa saja menghabiskan setiap masa hidupku hanya untuk mengenang betapa indahnya kebersamaan kita, tapi saat kamu memilih pergi, pupus sudah apa yang telah aku harapkan," tuturku sendu.

Kedua tangan kami saling merangkul, mendekap tubuh masing-masing yang memang seolah ditakdirkan satu sama lain.

"Hanya cukup dengan kenangan indah ini, Kak Reno bisa saja hidup 100 tahun," bisik Kak Reno lirih.

"Jika saja aku diizinkan untuk memasuki hidup kamu, kita bisa hidup bersama 1000 tahun," balasku yang mulai bermelodramatis.

"Kak Reno sudah cukup dengan anugerah yang seperti ini, dan setelah ini berbahagialah bersama orang lain. Kamu tak perlu memikirkan Kak Reno yang selalu membuat kamu bimbang."

Bulir air mata seketika menganak sungai pada pipiku, kenapa ia harus mengingatkan hal itu lagi? Saat itu aku rasakan dadaku tak kuat lagi untuk menahan rasa sakit yang terhunjam oleh keadaan. Aku terisak di pelukan itu untuk kesekian kalinya, aku begitu emosional saat mengingat hari keberangkatan Kak Reno. Waktuku akan segera habis.

"Kak, jangan pergi ...."

"Kak Reno harus pergi Vin."

"Jika bukan untukku, setidaknya pikirkan Om Alfi dan Tante Dewi. Setega itu kamu tinggalkan mereka sendiri di Indonesia?" aku masih berusaha, menahan takdir yang begitu sukar tuk dihentikan.

"Aku tentu nggak akan bisa meninggalkan mereka. Papa masih memikirkan ini lagi, tinggal disini juga hanya mengingatkan kami pada sosok Bara. Papa juga berencana untuk pindah ke Amerika,"

Seketika tangisku makin pecah. Takkan ada lagi yang bisa aku tanya atau bicarakan tentang Kak Reno, mereka sekeluarga akan pindah ke Amerika. Mereka membawa semua kenangan itu pergi, merampas kebahagiaanku.

Kenapa tak kau bawa kenangan ini sekalian bersamamu?

Kenapa tak kau biarkan aku tersenyum lagi? Kenapa kau harus pergi?

Hatiku semakin sakit. Bayangan akan kehilangan itu begitu menghantuiku. Angan akan kebahagiaan telah pupus sudah bersama dengan kepergiannya esok. Otakku yang terlalu bodoh ini lupa cara untuk tetap tegar, hingga aku seketika tak sadarkan diri.

***

Keesokan harinya, aku tersadar saat hari telah pagi. Sinar mentari begitu kuat menyorot melalui jendelaku. Aku tak menemukan Kak Reno, namun seonggok tubuh lelaki tengah tertidur pada sofa.

"Kak Joe, Kak Reno kemana?" tanyaku pada Kak Joe saat kesadaranku baru saja kembali. Kak Joe seketika terbangun saat aku memanggilnya. Ia berjalan ke arahku dan memelukku erat.

"Akhirnya kamu sadar juga, Kak Joe khawatir banget, Vin!" ujar Kak Joe bahagia. Namun, yang aku pedulikan saat ini adalah Kak Reno.

"Kak Joe ... dimana Kak Reno?" aku kembali bertanya. Saat itulah raut Kak Joe mulai bersedih. Ia tak menjawab pertanyaanku dan mengulurkan secarik kertas.

Aku seketika meraih kertas itu dan membacanya.

Malvin,

Salam dariku yang selalu menyayangimu. Aku ingin sekali menunggumu disana, menunggumu hingga membuka mata. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa dan meninggalkanmu. Kau tidak sendirian? Joe pasti tengah di sampingmu saat ini, dia pasti bisa memberikan kasih sayang lebih dari yang pernah aku beri.

Aku mengusap sebulir air mata yang mulai mengalir dari mataku dan disusul oleh air mata yang semakin mengucur deras. Aku meremas dadaku sendiri, nyeri saat membayangkan bagaimana ia menulis surat ini, memikirkan wajahnya yang senantiasa di benakku.

Ribuan kata maaf takkan berarti, aku yang penuh dusta! Aku yang tak bisa menepati janjiku! Namun perasaanku mengikat lidahku hingga kelu hanya untuk mengatakan 'aku cinta padamu', hingga sampai saat ini, perasaan itu belum tersampaikan sepenuhnya.

Dalam 86.400 detik yang kita habiskan ini membuatku tersadar kembali. Betapa indahnya cinta kami, betapa berharganya perasaan sederhana yang mendekam di hati selama ini. Semuanya telah pergi! Perasaan yang tersampaikan itu hanya menjadi misteri.

Bukankah aku pernah berkata bahwa aku akan menjagamu? Bukankah pada akhirnya aku hanya menjadi penipu yang tak mampu mewujudkan ucapanku? Aku memang penipu! Maafkan aku yang telah menipumu, air matamu begitu membuatku muak dengan penipuan ini. aku ingin lepas! Tapi wajahmu membuatku kembali kuat untuk teguh pendirian, tangismu membuatku yakin bahwa melepasmu akan membuatmu bahagia.

Tetesan air mata mulai membasahi kertas di tanganku ini. Surat perpisahan yang begitu membuatku tak berdaya dengan kedaan. Surat yang membuatku kecewa terhadap takdir yang diberikan.

Sekarang, takkan lagi ada yang mengusik duniamu. Kau tak perlu repot untuk membawa ramen ke rumahku atau menjagaku saat aku sakit. Kau tak perlu bersusah payah lagi. Karena pengganggu itu telah memilih pergi dari hidupmu. Pengacau itu takkan lagi membuatmu menangis.

Berbahagialah Malvin, aku akan bahagia untukmu juga. Jangan kejar aku lagi, karena saat kau membaca surat ini, pesawatku mungkin telah membawaku ke Amerika. Lanjutkan hidupmu dan jadilah pria manis yang aku cintai.

Salam,

Reno.

Aku meraung kesakitan seketika. Aku menggenggam erat surat itu di tanganku. Aku takkan membiarkan surat ini menjadi kisah terakhirku bersamanya. jika kisahku tamat hingga disini, maka aku yang akan melanjutkannya, memberikan kisah bahagia penuh tawa pada epilog.

"Kak Joe antar aku ke bandara." Pintaku pada Kak Joe.

Kak Joe menggelengkan kepalanya, tak setuju, "kamu masih belum baikan, apa kita sungguh akan ke bandara? Aku tidak akan membiarkanmu kesana, Malvin," ujar Kak Joe.

"Dengan atau tanpa Kak Joe, aku akan tetap ke Bandara," sahutku keras kepala. Aku sudah tak tahu lagi mana yang benar atau salah, satu hal yang pasti bahwa aku akan mencoba membujuk Kak reno. Aku segera berpaling dan berjalan keluar, namun sebelum kakiku melangkah melewati ambang pintu, jemari Kak Joe lebih dulu menggenggam tanganku.

"Baiklah, akan aku antar. Pakai baju hangat dulu," tutur kak Joe. Aku segera meraih jaketku dan berlari cepat menuju motor Kak Joe yang terparkir di depan rumahku.

https://youtu.be/2OQW88-yPys

Dalam perjalanan pikiranku sudah tak tenang, pandanganku telah menatap langit dengan nyalang, menyalahkan nasib yang tak berpihak padaku. Kak Joe terdiam, entah apa yang tengah ia pikirkan.

Saat sampai di bandara, aku segera melihat jadwal penerbangan dan syukurlah, hanya terdapat satu penerbangan menuju Amerika, itu pasti Kak Reno. Namun tak lama panggilan pada sound mengumumkan bahwa pesawat itu akan segera berangkat. Aku segera berlari menuju gate dan ternyata seluruh penumpang telah memasuki pesawat.

Seketika kakiku terhuyung, jika saja Kak Joe tidak segera menopang tubuhku, aku mungkin telah duduk terpaku di lantai. mataku menangkap pemandangan pesawat yang tengah bergerak untuk melakukan take off  pada jendela kaca bandara. Aku melihat pesawat yang tengah Kak Reno tumpangi.

Batinku terguncang, hati dan akal sehatku gonjang-ganjing menatap pemandangan yang menyakitkan ini, aku telah kehilangan! Aku telah kalah!

"Kak Reno ..., "desisku parau. Seketika aku menangis sedu-sedan melihat kepergiannya. Perasaan tenggelam begitu memenuhi ruang hati dan pikiranku, seolah aku tak lagi mengenal kelembutan yang selama ini aku kagumi.

Beginilah mencintai dengan cara terburuk, beginilah jatuh cinta dengan jarak yang memisahkan kami. Aku tetap mengharapkannya disini, hingga hatiku remuk-redam, karena bukan keadilan namanya jika bukan Kak Reno yang bersamaku.

"Kembali ... tetaplah disini."

Bersambung

salam hangat untuk para readers, ucapan terima kasih untuk para voters, dan pelukan hangat untuk para comenters dan followers.

kenapa cerita ini nggak diprivate?

ini beberapa hari menuju hari spesial untukku. aku juga ingin memberikan sesuatu yang spesial juga untuk para wattpaders.  terima kasih untuk semua dukungan kalian yang membuatku bangkit dan tersenyum saat membuka notif. semoga diusiaku yang semakin menua ini, aku bisa tetap belajar dan melakukan hal yang terbaik.

Judul part ini diganti, 86.400 Detik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top