Part 12
Suara itu menggebrak keheningan malam yang sedari tadi terpejam penuh takzim. Suara lelaki yang membahana membuat para jangkrik merasa tersaingi. Suara lelaki itu membangunkanku paksa. Suara lelaki itu membahana seantero kota. Aku terjaga dibuatnya.
"MALVIIIINN!!!! AKU DISINI!!" Suara itu mulai membawa-bawa namaku. Aku kikuk, meringkuk dibalik selimut.
Aku sengaja untuk menjauhinya. Aku sengaja mematikan ponselku agar ia melupakanku. Aku ingin membuatnya jengah, namun aku telah salah.
"Cepat buka pintu nya!" Ia laksana pangeran berkuda yang hendak mengambil putri yang tertawan oleh penyihir jahat.
Kemudian sejenak suara itu tak terdengar lagi. Aku menghela nafasku lega dengan kepergiannya. 'Syukurlah bila dia menyerah.' Ucapku dalam hati.
Namun aku telah salah mengira. Pintu kamarku terbuka. Aku tak dapat melihat siapa yang telah membuka pintu, karena sedari tadi aku berada dibalik selimut. Dan seketika selimut itu ditarik paksa dari tubuhku, selimut itu melayang terbang menjauh dari tubuhku.
Saat selimut itu sirna dari pandangan, seorang lelaki bertubuh atletis tampak menjadi tokoh yang telah mengusik ketenanganku. Kak Joe berdiri disini. Matanya meminta kepastian. Matanya meminta keadilan.
"Malvin." Bibir itu menyebut namaku. Seketika tubuh kokoh itu menghambur pada dipanku. Aku sesak! Tubuh sebesar kingkong ini menindih tubuhku.
"Aku nggak bisa napas Kak Joe, enyah dari tubuhku!" protesku. Jangan terkejut mendengar suaraku. Ini berkat Kak Reno. Ia bahkan dengan sabar mengajariku bicara tadi siang. Hingga suaraku kembali sepenuhnya. Rasa traumaku juga mulai mereda.
"Nggak mau vin. Kak Joe nggak mau lagi kamu tinggalin. Kak Joe terlalu rindu." Keluhnya manja. Pelukan Kak Joe masih saja hangat seperti biasanya, setidaknya itu yang selalu aku rasakan. Hingga terkadang aku seolah memahami maksud Kak Reno untuk tetap berada di sisi Kak Joe.
"Kita baru ketemu kemarin pagi Kak." Kilahku.
"Tapi aku kangen. Kamu juga dihubungi susah banget." Kak Joe masih saja mengeluh padaku. Baru kemarin kami bertemu, namun tingkahnya sudah seperti ini. Bagaimana jika satu minggu? aku tak dapat membayangkannya.
"Kita bisa bicarain itu, tapi Kak Joe lepasin aku. Aku nggak mau mati dalam posisi kayak gini." Teriakku setengah mati. Perlahan tubuh kak Joe mulai bangkit dari tubuhku. Ia duduk di sampingku, menatapku tanpa berkedip.
"Kak Joe kenapa nggak ganti baju dulu?" tanyaku. Saat ini bahkan ia masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Padahal ini sudah malam.
"Kak Joe nggak sempet Vin. Aku udah kelimpungan nyariin kamu. Kamu malah disini? Kamu suka ya nyiksa Kak Joe?" Kak Joe balik menghakimi. meski begitu, tatapan Kak Joe lembut walau sedari tadi ia marah-marah dan tanpa malu bersorak gembira di depan gerbang rumah Kak Reno.
"Maaf.." Aku menunduk. Sungguh aku sangat menyesal. Bukan karena perlakuanku pada Kak Joe, melainkan apa yang telah Kak Joe perbuat. Bagaimana aku akan menjelaskan pada Om Alfi?
"Tapi sudahlah. Lupain aja. Sekarang kita nggak perlu disini terlalu lama. Kamu bisa dirawat di rumah Kak Joe aja. Nggak perlu disini lama-lama." Kak Joe bersiap menggendongku pada punggungnya. Ia bersiap membawaku pergi, Namun aku menginterupsi.
"Aku nggak bisa pergi Kak." Ucapku lirih. Aku tak kuasa untuk melihat reaksi kak Joe nantinya. Ia terlalu gegabah. Ia biasa melakukan tindakan bodoh.
"Kenapa nggak bisa?" Kak Joe merengut tak terima.
"Aku udah janji sama .. Mama." Jawabku apa adanya. Aku menunduk dan bersandar pada punggung Kak Joe yang kokoh. Sedangkan ia mulai bungkam.
"Boleh aku tahu kamu janji apa?" Kak Joe kembali bertanya.
"Aku akan ngerawat Kak Reno sampai sembuh." Ujarku lirih penuh ragu.
"Kenapa harus janji semacam itu, hah?" bentak Kak Joe terdengar sengau di telingaku.
"Sebab.. Kak reno sakit... gara-gara.." Ucapanku menggantung di tengah jalan. Aku sungguh gugup untuk mengatakan yang sejujurnya. "gara-gara aku."
"Bagaimana bisa?"
"Aku nggak bisa .... jelasin!" aku menunduk tanpa tahu apa yang harus aku katakan pada Kak Joe. Dia mungkin saja akan marah apabila mendengar hal ini.
"Aku ingin dengar, jadi jelasin semua masalah ini ke aku!" Kak Joe terlihat mulai berapi-api, namun aku tak tahu harus berkata apa saat ia sudah menuntut begini.
Aku terdiam dan sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Kamu tahu, aku ini pemaksa. Aku bahkan nggak menerima kata nggak bisa." Ucap Kak Joe tegas. Tatapannya mengintimidasiku kali ini. hanya dengan tatapan itu bisa memaksaku untuk bicara sejujurnya.
"Baik, aku akan jujur," aku mencoba untuk mulai bercerita, meskipun ketakutan itu sungguh menyergapku. Aku juga tidak seharusnya menutupi semua perihal tentang kami, maksudku tentang perasaanku. "malam itu, dimana aku mengerjakan tugas. Aku bertemu dengan Kak Reno."
"Sudah kuduga, kamu nggak setia." Kalimat itu merendahkan perasaanku, beserta semua cinta yang tertanam di dalamnya. Kalimat itu terngiang pada telingaku, membuat akal sehatku seolah hilang. Tak seorangpun yang berhak menghina cintaku! karena cintaku tulus tanpa pamrih.
"Siapa Kak Joe berhak menghakimi perasaan seseorang?" Pertanyaan itu sukses membuat mata Kak Joe terbelalak. Aku sendiri bahkan bingung, setan apa yang tengah merasuki diriku hingga dapat mengatakan kalimat seberani itu.
"A-apa?" Kak Joe terlihat mulai merasa bersalah.
"Siapa Kak Joe berhak menghinaku tanpa tahu hal yang terjadi sesungguhnya?" oh Tuhan, aku sungguh tak kuasa lagi. Air mataku mulai sesak. Aku ingin menangis untuk yang kesekian kalinya. Terkadang cengeng ini tak mengenal situasi dan tempat.
"Ma-maaf," ucap Kak Joe lirih. Aku terlanjur sesenggukkan dan air mata menguasaiku tanpa dapat dibendung. Kak Joe memelukku perlahan, ia mulai melunak. "aku sadar, nggak seharusnya aku ngucapin kalimat sekasar itu. Aku minta maaf. Aku juga nggak seharusnya menghakimi kamu tanpa mendengarkan kamu terlebih dahulu. Untuk itu semua aku minta maaf." Lanjutnya.
Aku membalas pelukan lelaki itu. Wajahku bahkan sudah terbenam pada dada bidangnya, tak lupa air mata yang terukir pada bajunya laksana ukiran karya seni tingkat tinggi.
"Malvin, maafin Kak Joe-mu ini udah bikin kamu nagis. Sekarang kita duduk, kemudian kamu bisa cerita ke Kak Joe semuanya. Kak Joe janji nggak akan terbawa suasana lagi." Seru Kak Joe. Ia mendudukkan tubuhku pada sisi dipan, hingga kami saling berhadapan.
Aku mulai bercerita dari awal kerja kelompok itu, bertemu Kak Reno di Cafe, hal yang terjadi pada Deny, hingga Kak Reno yang sakit.
"Terus gimana ceritanya kamu bisa sakit?" tanya Kak Joe dengan tatapan menuntut jawaban. Sejak aku menceritakan pertemuan antara Kak Reno denganku di Cafe, ekspresi wajah Kak Joe kembali berapi-api.
Tenggorokanku tercekat. Apa itu hal yang dibenarkan bila aku menceritakan Kak Bara? Aku bahkan sedikit tidak siap jika terjadi konfrontasi di antara mereka. "Malam itu...." Aku melanjutkan ceritaku. Aku juga menceritakan insiden Kak Bara.
Kak Joe seketika berdiri. Rahang yang begitu tegas itu berkontraksi, dengan mata yang mulai menyipit menahan amarah. Otot tubuhnya mengembang seperti film manusia berkulit hijau yang pernah aku tonton sebelumnya.
"Dimana dia sekarang?" pertanyaan itu begitu terdengar mematikan. "cepat katakan!" tuntut Kak Joe. Bahuku bergetar hebat, tak siap menghadapi kenyataan.
"Dia ada di......."
"KATAKAN!"
"Paviliun belakang." Ucapku reflek.
Kak Joe membuka pintu kamar ini penuh amarah hingga knop yang dipegangnya putus dari pintu itu. Aku merinding hebat. Mungkin akan lebih baik jika tadi saat aku bercerita aku memberi bumbu pada ceritaku, agar cerita kelam itu dapat tersampaikan dengan lezat di telinga Kak Joe.
Aku berlari menyusul Kak Joe yang mulai berjalan cepat menuju paviliun belakang, tempat Kak Bara berada.
"Kak Joe udah. Jangan cari masalah. Aku udah baik-baik aja kok." Bujukku agar Kak Joe tidak sampai nekad menghajar anak orang. Lebih baik menghajarku di ranjang saja, dasar aku masochist!
"Ingat ini Malvin! Kamu punya aku! Aku nggak akan biarin siapapun nyentuh kamu! Kamu harga diriku!" Kak Joe begitu kesetanan. mendengar ucapannya tadi, membuat sebuah ruang dalam hatiku menghangat. Aku sangat dicintai, aku juga begitu dihargai.
Seketika itu aku mematung, saat melihat Kak Joe dengan kekuatan manusia hijau menendang pintu paviliun itu dengan satu tendangan. Aku mendengar geraman dan cek-cok sesudahnya, konfrontasi itu benar-benar terjadi.
Tak berselang lama, Om Alfi dan Kak Reno datang.
"Kak Reno, Om Alfi, Kak Joe marah-marah di sana." Aku menunjuk paviliun itu dengan raut khawatir, Namun mereka berdua malah terlihat santai saja.
"Biarkan saja Malvin. Biar Bara tahu rasa."Ucap Om Alfi dengan penuh ketenangan.
Kak Reno hanya terdiam sembari melihat Paviliun itu yang dipenuhi suara tonjokan dan barang-barang yang pecah. Sedangkan Om Alfi mengelus bahuku.
"Sepertinya, dia sangat menyayangi kamu?" tebak Om Alfi. Tebakan macam apa itu yang begitu tepat sasaran?
"Ah, biasa saja Om." Sergahku.
"Tadi Om yang buka gerbang buat dia. Katanya dia mau jemput kamu. Jadi Om biarkan aja dia masuk." Papar Om Alfi.
Sebelum aku menjawab pernyataan Om Alfi. Suara mengaduh pada paviliun itu membuyarkan obrolan kami.
Tubuh Kak Bara terpelanting dengan nista hingga keluar pada pintu itu dengan bibirnya yang mencium tanah pekarangan dengan sempurna. Wajahnya sudah babak belur.
Kak Bara bangkit. Ia berlari hendak memukul Kak Joe. Kak Joe dengan mudahnya menepis serangan itu dan balik menonjok perut Kak Bara. Kak Bara kembali terkapar di atas tanah itu kesakitan.
Aku hendak menghampiri mereka, namun Om Alfi mencekal lenganku. "Biar Om aja," ucapnya.
"Kerja bagus Joe," Ucap Om Alfi seraya menepuk bahu Kak Joe. Napas Kak Joe memburu melihat ke arah Kak Bara. Sedangkan Om Alfi menatap jengah ke arah Kak Bara. "kalau kau mau, bunuh saja. Dia bukan lagi keluarga Alfiansyah." Lanjut Om Alfi.
Aku menghampiri kak Joe seraya mencoba mengingatkan akal sehatnya, "cukup Kak Joe. Ini sudah lebih dari cukup." Ujarku pada Kak Joe.
Kak Bara bangkit dari dekapan tanah. Ia mencoba menyeimbangkan tubuhnya, namun aku yakin bahwa Kak Joe benar-benar menghukum Kak Bara tanpa ampun. Begitu melihat Kak Bara masih berdiri, jiwa liar Kak Joe kembali mengganas. Ia hendak menghantamkan pukulan dengan kekuatan manusia hijau ke arah Kak Bara yang sudah terlihat mengenaskan.
Aku segera mendekap Kak Joe. Memegang tangannya yang sudah melayang di udara, "aku mohon Kak, cukup! jangan lagi menghajarnya lebih dari ini." Bujukku lirih sembari menempeli erat tubuhnya. Dari kejauhan, Kak Reno masih terdiam. Ia hanya melihat kami dengan seksama, dengan sorot tegas matanya.
Kak Bara masih berdiri sebisa mungkin, meski sempoyongan. Ruam berwarna kebiruan begitu kontras dengan kulitnya yang putih. Darah juga mengucur dari sudut bibirnya yang ranum, namun matanya masih menyuguhkan kebencian.
"Heh, apa itu saja? Sekarang biarkan aku yang bicara!" sahut Kak Bara, "silahkan buang aku Alfiansyah! Silahkan! Kau bisa lakukan apapun semaumu." Kak Bara mengacungkan telunjuknya pada Om Alfiansyah. "Kau tidak pantas menyebut dirimu Ayah! Kau hanya memperhatikan Reno! Reno! Dan Reno! Aku hanya bualan. Aku hanya ilusi dibalik cahaya terang seorang Reno." Lanjut Kak Bara.
Om Alfi masih menunjukkan tatapan datar pada Kak Bara.
"Aku tak ingin lagi disini! Aku akan pergi! dan kau tak perlu melihat wajahku. Anakmu hanya ada satu, anakmu hanya Reno yang kau sayangi. Aku anak yang terbuang! Aku bukan anak kandungmu!" Kak Bara berteriak kalut. Ia menjambak rambutnya sendiri. Tangisnya pecah pada malam yang hening seperti ini.
Kak Reno terlihat seperti hendak menghampiri Kakak yang ia sayangi. aku yakin sisi kemanusiaan Kak Reno jauh lebih besar dibanding ego yang dimilikinya. Namun sepertinya kali ini aku salah, Kak Reno hanya diam disana dengan tatapan terkejut ke arah saudaranya.
"Apa itu benar? Ini nggak mungkin, kan Pa?" akhirnya Kak Reno bersuara. Semua tatapan teralihkan padanya. "bagaimana pun Kak Bara saudaraku. Dia kakak ku." Bela Kak Reno..
Om Alfi mendekat ke arah Kak Reno. Om Alfi menepuk pundak Kak Reno seraya berkata, "lupakan dia Ren, dari awal dia memang bukan dari keturunan Alfiansyah. Ayah tidak akan terkejut jika ia melakukan hal sebejat ini," seru Om Alfi.
Aku dan Kak Joe terpaku melihat suasana keluarga Alfiansyah yang begitu tak kondusif. Aku ingin menenangkan keadaan ini, namun aku tak dapat melangkah lebih jauh. Aku hanya orang lain.
Kak Reno menggeleng tegas, "untuk semua yang telah dilalui Kak Bara. Papa hanya akan buat dia terpuruk. Kita sebagai keluarga seharusnya merangkul dia dalam segala keadaan."
Aku kembali kagum pada sosok itu. Peduli dan selalu memaafkan orang lain.
"DIA BUKAN KELUARGA ALFIANSYAH!" bentak Om Alfi pada wajah Kak Reno.
"Kau diam saja Reno. Aku tak butuh belas kasihan darimu," Sergah Kak Bara yang masih tampak menyeramkan.
"Jangan Kak! Jangan buang kami! Kami keluargamu," Kak reno berjalan ke arah kakaknya yang telah kesetanan.
"Persetan dengan keluarga! Keluargaku telah mati! Aku hanya sebatang kara yang ditampung di rumah besar nan mewah ini, meski kenyataan bahwa aku tak memiliki apapun selain diriku sendiri," Kak Bara mendorong tubuh Kak Reno.
Kali ini, aku semakin mengenali sosok Kak Reno. Ia yang selalu bijaksana dan mementingkan orang lain itu tengah mendapati cobaan hidup. Ia tak sepertiku yang menjalani hidup dengan ego dan logika, namun Kak Reno menggunakan akal dan perasaannya secara bersamaan. Aku belajar memaafkan Deny darinya, aku belajar memaafkan gadis yang menyakitiku dulu, itu juga karena Kak Reno. Sifatnya selalu statis dan bersahaja. Ia pria yang tegar dengan caranya sendiri.
Kak Reno tidak roboh. Ia menatap kakaknya dengan sendu. Aku tahu kakaknya begitu berharga baginya. Kak Reno itu kuat dan tak pernah menangis dalam hal apapun, tetapi Kak reno juga manusia biasa yang juga butuh air mata untuk menunjukkan dukanya.
"Kak, sadar! Aku adikmu!" Kak Reno masih meyakinkan, hingga...
'Tess...' Kak reno menangis.
Sejujurnya aku tak pernah melihat Kak Reno menangis, kecuali perihal diriku. Aku bahkan masih mengingat saat dimana kucing peliharaan Kak Reno mati. Kak Reno adem ayem saja kucingnya mati, malah aku yang menangis meratapi kepergian kucing itu selama 7 hari. Bahkan aku berniat mengadakan tahlilan.
"Aku takkan berlama-lama lagi. Aku akan pergi," Kak Bara beranjak dari tempatnya.
Kak Reno menggeleng dan menggenggam lengan Kak Bara. Ia masih mencoba meyakinkan kakaknya, namun apa mau dikata. Nasi sudah jadi kerupuk. Kak Bara menghempaskan tangan Kak Reno begitu saja.
"Ingat wajah ini, Malvin! Aku akan datang untukmu. Malam itu kau belum memuaskan aku." Seloroh Kak Bara disela kepergiannya. Aku bergidik disko hanya mendengar ucapannya.
Kak Joe seketika bereaksi. Ia hendak menghajar Kak Bara, namun Kak Bara sudah berlari pergi. Kak Joe berniat menyusulnya, namun aku berkata, "sudahlah, Kak! Biarkan saja dia pergi."
"Dia masih belum kapok Vin. Seharusnya aku membunuhnya saja." Ujar Kak Joe.
"Sudah malam, kamu istirahat aja Kak," ucapku pada Kak Joe. Namun Kak Reno masih disana, ia juga sebaiknya segera istirahat. "Kak Reno juga, istirahat gih!"
"Aku udah sembuh. Kamu pulang aja Vin."
***
Keesokan harinya, keseharianku berjalan seperti biasanya. Kak Joe menjemputku di pagi hari untuk berangkat ke sekolah. Bukankah memang selalu begitu? Tapi hari ini berbeda, ia sedikit lebih protektif.
"Kak Joe balik ke kelas Kak Joe aja. Aku nggak nyaman Kak Joe ada disini." Bisikku pada Kak Joe, namun Kak Joe malah tak acuh dengan kekhawatiranku. Beberapa cewek berdiri di luar kelasku sembari menatapku yang tengah bersama pangeran sekolah. Aku sudah mencoba untuk tak peduli, tapi tak berhasil.
"Kak Joe ingin disini." Jawabnya dengan tenang. Ia tersenyum padaku, namun aku sedang tidak ingin moodku yang indah di pagi hari rusak hanya karena kelakuan Kak Joe.
"Kamu mau aku diteror sama cewek di sekolah ini?" Ancamku padanya.
Kak Joe mengerjap, "jangan takut! Kan ada aku," Ujarnya tersenyum. Senyuman itu membuat para cewek di luar sana heboh, hingga kayang.
"Kalau yang neror aku gerombolan cewek gimana? Kak Joe aja melarikan diri." Ucapku konkret. Faktanya yang memusuhiku adalah para cewek.
"itu gampang," Kak Joe menyentikkan jemarinya seolah baru saja menemukan ide bagus. Aku mengerjap, dan menatap seksama wajahnya. "Aku bakal cium bibir lembut kamu di depan mereka. Dengan begitu mereka akan sadar," itu adalah ide terburuk yang pernah aku dengar.
"Sadar apanya?" kulikku.
"Sadar kalau Joe cuma milik Malvin seorang." Jawab Kak Joe bahagia.
"Dan keesokan harinya mayatku akan jadi sesajen untuk acara penolak bala. Kak Joe mau kayak gitu?" ucapku ketus.
"Nggak! Biar Kak Joe yang mati dulu. Kak Joe nggak bisa hidup tanpa kamu," rayu Kak Joe. Entah gombal receh apa lagi ini? Padahal aku serius.
"Sayangnya hal kayak gitu cuma ada di film Kak. Nggak ada orang beneran mau mati karena cinta," sergahku apa adanya.
"Kak Joe nggak akan main-main dengan apa yang udah Kak Joe ucapkan. Hidup Kak Joe cuma buat kamu."
Aku hanya tersenyum mendengar itu. Seandainya saja memang begitu, mungkin aku akan menjadi manusia paling bahagia di dunia ini, memiliki pasangan seperti di film-film.
Namun sebelum obrolan itu berlanjut ke ranah yang lebih serius. Suara seorang cowok chinese menginterupsi.
"Malvin...," panggilnya saat ia baru saja memasuki ambang pintu. Napasnya berlarian seperti dikejar-kejar banci jalanan. Keringat dingin mengucur hingga menganak sungai. Wajahnya merah padam menahan ketakutan.
Aku masih sedikit canggung. Apalagi setelah kejadian malam itu, dimana ia telah dirogol secara paksa oleh Wildan. "A...ada apa Den?" tanyaku.
"Aku mau bicara." Ucap Deny.
Deny menarik lenganku menuju toilet dan Kak Joe memaksa untuk ikut bersama kami. Di dalam toilet ini, Deny menangis sesenggukan. Ia memberikan sebuah pengakuan padaku.
"Wildan kembali berulah. Dia mengancam akan menafkahiku secara batin lagi jika aku tidak menuruti kemauannya." Keluh Deny dengan risau. Aku hampir saja ingin berguling-guling saat mendengar Deny mengatakan hal itu. Menafkahi batin? Lah dia istrinya apa kok dinafkahi segala!
Kak Joe disampingku terlihat menahan tawa mendengar ucapan Deny.
"Memangnya dia minta apa?" selidikku. Setahuku yang ada di otak Wildan hanya pantat dan selangkangan. Apa lagi? Uang! Dia dari keluarga kaya raya yang tidak usah ditanya betapa tebal dompet yang ia punya.
"Dia... itu Vin... dia minta aku jadi pacarnya!"
Aku melongo. Keterkejutanku sungguh menghantam otakku dengan telak. Aku tidak terkejut dengan kelakuan Wildan yang kurang senonoh itu, tapi yang membuatku terkejut adalah fakta bahwa ia masih mau berhubungan dengan orang yang telah ia tiduri. Ini pasti konspirasi! Seantero sekolah tahu bahwa Wildan adalah cowok one night stand, kemudian buang jauh-jauh.
"Bukankah itu lebih baik? Berarti Wildan masih mengakui bayi itu sebagai anaknya," celetukku asal saja. Deny menunduk, wajahnya merah padam. "hahaha" kekehku penuh kegelian melihatnya.
"A... aku tidak hamil," tanpa perlu mengatakannya pun aku tahu bahwa cowok memang tidak bisa hamil.
"Itu terserah padamu Deny. Wildan memang cowok brengsek. Tapi siapa yang tahu bahwa ia telah menemukan belahan jiwanya. Setiap orang bisa berubah untuk orang yang ia cintai," Kak Joe bersuara.
"Kalau ada apa-apa tanya aja sama Kak Joe. Wildan satu kelas sama kamu, kan Kak?" tanyaku pada Kak Joe.
Kak Joe mengangguk setuju.
"Kenapa kalian semua disini?" sebuah suara mengagetkan kami. Sosok Wildan tengah berdiri di ambang pintu toilet. "terutama kamu, kenapa melarikan diri saat aku menjemputmu tadi pagi?" telunjuk wildan mengacung pada Deny.
"Kau... tak perlu menjemputku, a-aku bisa berangkat sendiri!" jawab Deny gugup.
"Tidak bisa. Mulai besok kau harus mau aku jemput, pulangnya juga aku yang mengantar! Jadi, jangan coba-coba melarikan diri," Wildan memaksa. Tangannya melingkar pada pinggang Deny; Deny meronta sia-sia.
Pipi Deny bersemu merah diperlakukan seperti itu. Mereka sungguh manis, jika saling menggoda seperti itu. Kali ini mungkin aku setuju dengan Kak Joe bahwa Wildan mungkin saja menemukan belahan jiwanya.
"Aku juga ingin seperti itu Vin." Keluh Kak Joe. Aku menoleh ke arahnya, namun ternyata wajah itu telah disamping tubuhku. Perlahan Kak Joe juga memeluk pinggangku penuh kasih sayang.
"Kak, nanti aja kalau sudah di rumah," janjiku palsu. "Disini diliatin Deny sama Wildan, malu," Lanjutku masih mengeluh.
"Jadi, apa kamu mau jadi pacarku?" Wildan menawarkan sebuah hubungan itu pada Deny. Aku tersenyum miris, aku juga pernah merasakan kebahagiaan berpacaran, walaupun pada akhirnya kandas dalam waktu yang cukup singkat.
Deny menatapku dan Kak Joe bergantian, kemudian pandangan itu berakhir di wajah Wildan. Pipi Deny masih menampilkan rona merah, Deny mengangguk.
Wildan sungguh bahagia. Dengan segera ia menggendong tubuh Deny menuju salah satu bilik toilet. Deny tak mampu lagi menahan tubuh Wildan yang telah menyelimutinya bagai atmosfer bumi. Mereka beradu lagi di bilik toilet sekolah. Mendesah karena pasrah, mencinta karena ingin setia.
Aku dan Kak Joe yang melihat itu hanya bisa melongo. Perlahan aku menatap wajah Kak Joe.
"Jangan berani-berani ngelakuin hal itu ke aku." Ancamku dengan wajah menyeramkan yang dipaksa-paksakan. Kak Joe tersenyum dengan tenang.
"Sekarang mungkin belum, tapi suatu hari."
Entah suatu hari itu seperti apa?
Hari ini berjalan begitu saja tanpa diduga. Siapa sangka cowok playboy tengil itu pada akhirnya menemukan sayapnya yang akan menemaninya terbang ke angkasa cinta? Siapa juga yang menyangka bahwa hari ini terdapat ulangan matematika? Siapa sangka hari ini uang sakuku ketinggalan di rumah? Begitu banyak hal yang tak disangka-sangka terjadi. Termasuk yang satu ini.
Aku berdiri seorang diri pada mading sekolah. Papan mading dipenuhi dengan pengumuman wisuda bagi kelas XII. Sekali lagi, siapa sangka waktu 2 tahun bersama Kak Reno dan Kak Joe begitu cepat? Mereka akan segera lulus dari sekolah ini.
Sedikit banyak, terdapat ruang hatiku yang menangis. Aku menuntut lebih dari waktu yang seharusnya. Aku ingin lebih lama bersama mereka. Pengalaman 2 tahun yang takkan pernah aku lupakan.
"Perpisahan bukanlah akhir segalanya," suara khas terdengar. Aku berbalik dan melihat tubuh mantan ketua osis itu berdiri di belakangku. "Aku tahu, kamu pasti akan menangis disini. tangismu itu kadang tidak tahu tempat Malvin," Kak Reno tersenyum disana.
Aku segera mengusap kasar wajahku. Menyeka air mata yang hendak keluar melalui mataku.
"Sepertinya... aku tidak perlu terlalu khawatir lagi." Ucap Kak Reno sendu.
"Kak Ren...."
"Seseorang telah menjagamu dengan baik. Dia buktikan itu di depan mataku."
"kak Ren...."
"Dia pasti bisa membahagiakanmu Malvin. Tidak peduli nyawanya sendiri."
"Kak reno...."
"Sekarang aku bisa pergi dengan perasaan tenang."
"Apa maksud kamu?" teriakku pada Kak Reno. Aku tak suka mendengar ucapan seperti itu. Itu seperti sebuah kalimat pamit.
"Maafkan aku, setelah wisuda nanti..." Kak Reno berhenti. Bibirnya tercekat.
"Aku nggak mau denger!" Aku menutup rapat telingaku. Aku tak ingin mendengar apapun yang keluar dari mulutnya! Aku belum siap!
"Aku harus pergi." Kalimat itu sukses membuatku terjungkal. Kakiku sungguh terkena imbasnya. Aku berlutut setelah mendengar kalimat itu.
"Jangan pergi," pintaku. Air mataku sudah mengalir deras tanpa mampu aku bendung. Ada rasa tak ingin kehilangan.
"Setelah wisuda, mungkin kita nggak akan ketemu lagi."
Aku menggeleng kencang. Aku tak terima! Takdir macam apa ini Tuhan! Kenapa tak kau biarkan aku bersamanya lebih lama?
Kak Reno menghampiriku. Ia meraih tubuhku, memelukku. Tangisku semakin pecah.
"Jangan cari aku setelah itu. Lanjutkan hidupmu, Berbahagialah!"
Ucapan itu sukses membuatku sekarat tanpa ia tahu. Kebahagaiaan macam apa? Apa kebahagiaan hanya sandiwara?
"Nggak! Ini nggak mungkin!" Rutukku pada diriku sendiri. dadaku sakit sekali rasanya, terdapat sesuatu yang hangat saat ia memelukku, walau situasi ini tak ubahnya laksana bunga tidur.
"Jangan sedih, aku takkan mati. Aku hanya ingin pamit. Aku pamit untuk menjagamu dari jauh. Jika ia menyakitimu, Jika ia tak lagi mencintaimu, Aku berjanji! Aku akan membawamu bersamaku." Ucapnya penuh teka-teki.
"Kak Reno mau kemana?"
"Aku nggak bisa bilang," Jawab Kak Reno. Matanya juga tak kalah dengan mataku. Air mata menguasai mata kami.
Lorong sekolah telah sepi. Menyisakan gemerisik dedaunan yang sibuk berterbangan mengikuti alunan angin. Kak Reno masih dalam posisi sama. Ia memelukku dengan khidmat.
Hingga jemari seseorang menarikku. Merampas kebersamaan kami.
"Jangan berani menyentuh Malvin!" Bentak Kak Joe pada Kak Reno.
Kak Reno mengusap air matanya dan tersenyum. "Jaga dia baik-baik." Ucapan itu sungguh menyayat, Menyayat jiwa-jiwa yang haus akan cintanya. Menyayat hati yang tandus tanpa hujan darinya yang turun bagai anugerah.
Kak Reno berjalan menjauh. Berlalu dari hadapanku dan Kak Joe.
"Kak Reno!" panggilku sekuat tenaga. Aku meronta dalam pelukan Kak Joe hendak mengejar tubuh yang semakin menjauh itu, Namun lengan Kak Joe terlalu kuat.
Kak Reno menoleh sebentar ke arahku dengan tersenyum. Senyuman itu sungguh menyakitkan di mataku.
"Ayo kita pergi!" Kak Joe menarikku dari sini, meski aku meronta ingin mengejar Kak reno. Aku ingin berbalik dan berlari padanya. Meyakinkan ia bahwa ia pasti juga bisa membahagiakanku. Aku ingin kami bahagia! Aku ingin kami bersama!
Bersambung
jangan pernah sungkan untuk mengoreksi. penulis masih dalam fase belajar.
jangan sampai ketinggalan part 13. itu part spesial! judulnya 'A Day with You'.
Alay? biarkan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top