Part 11
*Malvin POV*
Aku tak dapat menutup mataku. Pikiranku dipenuhi oleh kak Reno yang menyuapiku sebuah mochi. Matanya yang memancarkan kebahagiaan. Ataupun senyum lembutnya yang membuat malam-malamku tak akan tenang sebelum melihatnya.
Malam ini mungkin akan menjadi malam yang panjang bagiku. Aku sibuk memainkan selimut bergambarkan Teddy Bear yang menghangatkan tubuhku di atas sofa panjang ini. Aku tidur di kamar kak Reno. Hanya saja tidak satu ranjang.
Dalam kegelapan kamar tidur ini. Aku melihat wajahnya yang samar-samar disinari cahaya rembulan malam yang menyusup sedikit dari celah gorden. Kak Reno terlelap di atas dipannya, sedangkan aku tidur di atas sofa. Aku hanya melihat tubuh itu dari jauh tanpa bisa menyentuhnya dengan utuh.
Hening. Kesunyian membelah malam tanpa suara jangkrik yang mengerik. Dalam diam aku merasakan lagi sakit hatiku. Sungguh tersiksa jika kita berada dekat dengan seseorang yang kita cinta, namun kita tak dapat menyentuhnya.
Aku masih tak tenang di tempatku berbaring saat ini. Bukanlah sofa yang menjadi alas tidurku tidak empuk, melainkan perasaan dan pikiran yang sama sekali tak dapat dikendalikan itu mengusik tidurku. Aku hanya bergerak tak karuan tanpa merasakan kantuk.
Samar-samar aku mendengar kak Reno bergerak. Selimut yang ia kenakan seperti bergetar. Giginya juga mulai mengeluarkan suara gemeretak yang mengartikan ia sedang menggigil. Aku bangkit dengan segera menghampirinya. Dari dekat, dapat aku lihat mata sayu itu tertutup rapat dan tubuhnya menggigil hebat.
Aku meletakkan punggung tanganku pada keningnya. Panas! Suhu tubuhnya sungguh semakin panas. Keringat bercucuran pada kulit wajah kak Reno. Aku segera berlari menuju dapur untuk membuat kompres agar suhu tubuh kak Reno dapat turun.
Di malam yang sunyi ini, aku berlarian naik dan turun tangga dengan sebaskom air dingin pada tanganku. Setelah itu, aku segera kembali ke kamar untuk mengompres kening kak Reno.
"Mengapa penyakit ini tidak diberikan padaku saja? Aku nggak suka lihat kak Reno sakit." Desisku lirih. Aku menggigit bibirku sendiri untuk menahan air mata yang terasa melesak dan memenuhi ruang mataku.
Lihat wajahnya yang pucat pasi! Bibirnya yang terus bergetar seolah menahan rasa sakit.
"Apa kamu pikir aku selemah itu?" Sahut kak Reno parau, suaranya begitu terdengar serak. Aku menatapnya, ia juga menatap mataku. "Aku ini laki-laki Vin. Aku sungguh kuat kalau hanya demam seperti ini. Apalagi ada kamu disini, rasanya aku enggan untuk sembuh." Lanjutnya sembari melempar senyuman walau dalam keadaan yang tak mengenakkan baginya. Tangannya membelai lembut pipiku, mengusap sisa air mata yang membekas disana.
"Aku selalu disini kak Reno. Tapi Kak reno nggak boleh bicara begitu. Masih banyak orang yang sakit ingin sembuh, Kak Reno malah ingin sakit terus." Celetukku sembari mengompres dahi cowok yang selama ini membuatku terkagum, terpana, dan terpesona.
Kemudian hening menyelinap. Ruangan ini seakan tak bertuan. Aku telah kehabisan kata-kata. Kak Reno juga terlihat demikian.
Mata kak Reno menatap nyalang ke arah jendela. Matanya seolah tengah menggambarkan sebuah rasa dalam hatinya.
Ini yang aku benci dari keheningan. Keheningan hanya membawa kenangan dan kesedihan. Apa seperti ini yang kak Reno rasakan setiap malam? Apa rasa kehilangan ini bukan hanya aku saja yang merasakan? Malam ini aku mendapatkan jawaban atas pertanyaanku. Bahwa kami berdua sama-sama tersakiti oleh sebuah kasih yang tak sampai.
Aku bergerak menuju ranjang kak Reno tanpa izinnya. Aku bergerilya disana, melesak dan menarik selimut yang kak Reno gunakan dan membut dua tubuh kami dalam satu selimut yang sama.
"Kamu jangan deket-deket aku. Aku lagi sakit." Ujar kak Reno tak terima. Aku tak peduli dengan penyakit sialan itu. Semua yang aku tahu adalah aku akan menjaganya, merawat tubuh kokoh yang selama ini membuatku kuat menghadapi kenyataan. Apa jadinya aku tanpanya? Mungkin laksana sebuah pohon yang tak berbuah.
"Baiklah kak. Bagi ke aku rasa sakitnya. Supaya kamu sadar! Kamu nggak pernah sendirian! Aku bahkan masih akan tetap sama untukmu dalam keadaan apapun. Jangan jadikan aku alasan untuk rasa sakit ini. aku sama tak menghendakinya." Aku menatap matanya yang seolah tengah tak berdaya. mengharapkan sebuah ikan dalam jala, namun sampah laut yang didapat. hatinya bagai kaca yang terhempas pada batu.
Perlahan tangan kak Reno bergerak. Mengelus lembut pipiku dan tersenyum. Aku melihat senyuman palsu itu! Senyuman kesedihan yang tak pernah ingin aku lihat. "Dasar bodoh. Sungguh bodoh." Ucap kak Reno sembari melemparkan senyumnya. "Apa dengan berada pada perasaan yang sama membuat dirimu sakit? Maka pergilah dari hal itu. Kamu bukan seonggok pohon Vin."
"Entahlah. Jujur saja aku sangat tersiksa dengan menyimpan perasaan yang sulit tuk terbalaskan ini Kak. Tapi ada satu hal yang membuatku lebih sakit ..." Aku terdiam. Sebuah pilu menyayat logika yang enggan bicara.
"Apa yang membuatmu sakit?" Tanya kak Reno masih dengan jemarinya yang berada pada pipiku.
"Berusaha mencintai seseorang yang tak aku cintai. Dan aku sama sekali tak dapat pergi dari hal ini, karena ini keputusan kamu." Ujarku melankolis. ibarat telur sesangkak, pecah sebiji, pecah semua. Tidak ada satupun hati yang terluka.
Jemari kak Reno terdiam. Seolah memahami perasaanku yang tak terima dengan keadaan seperti ini. Apa aku salah dengan mengharapkan cinta dari insan yang terpilih oleh hati? Aku bisa apa jika hati yang memilih?
"Maaf." Desis kak Reno. Mata kak Reno menyelami mataku yang sudah berkaca-kaca sedari tadi. Aku ini sungguh lemah. Tak dapat menahan untuk melihat matanya yang menatapku lebih lama.
Aku segera berpaling dan membelakangi dirinya. Aku tak ingin terlihat lebih sedih di depannya. Apalagi disaat ia yang juga terpuruk seperti ini. Aku seharusnya menjadi rembulan dalam gelap gulita hatinya. Namun mengapa aku tak dapat menahan kesedihanku sendiri?
Tanpa menunggu izin maupun aba-aba. Sebuah tangan melingkar pada pinggangku. Hangat menjalar pada setiap sentuhannya. Sentuhan yang sangat aku rindukan.
Aku menyentuh kulit tangan itu. Tangan itu memelukku dengan erat, sedang deru nafas yang memburu pada tengkukku.
Aku tak ingin ini berlalu cepat. Aku ingin seperti ini lebih lama. Aku ingin berada dalam pelukan ini selamanya. Namun apakah itu mungkin? Apakah mungkin membangun sebuah harapan tanpa pondasi keyakinan? Dan tak ada jaminan pada esokan hari kak Reno masih sudi untuk memelukku.
Hening kembali tercipta. Bukan karena lelap dalam mimpi yang terjadi, melainkan kami yang sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Tentang perasaan? Iya. Tentang ambisi serta keinginan? Iya.
Entah mengapa canggung begitu terasa saat aku akan berucap. Tak seperti biasanya. Situasi ini begitu membuatku merasa tak nyaman dalam sebuah pelukan tubuhnya yang hangat. Aku hampir setiap malam dipeluk seperti ini. Namun yang ini terasa berbeda.
Pada pukul 2 pagi. Aku dan kak Reno sama-sama terlelap. Tak ada yang berubah. Kak Reno masih memelukku dengan hangat dan lembut. Aku bahkan dapat merasakan dadanya yang bidang itu di punggungku.
Sesuatu mengusikku. Aku mendengar pintu masuk rumah di ketuk dengan cukup keras.
'Tok.. Tokk. TOKK..!' Namun sekian lama suara ketukan itu masih sama karena tak ada yang membuka. Aku terbangun mendengarnya. Siapa yang mengetuk pintu rumah sepagi ini? Di rumah ini juga terdapat bel. Jadi aku rasa tak perlu mengetuk seperti itu.
Aku dengan setengah hati melepaskan diri dari pelukan kak Reno.menaruh lengan itu perlahan agar tetap terlelap. kemudian aku bangun dari dipan itu perlahan-lahan. Mencoba membuat suasana disini teta tenang dan hening.
Saat aku telah keluar kamar. Aku segera menuju pintu utama. Suara gedoran itu masih sama kerasnya namun tak seorangpun yang terjaga karenanya. Aku mendekati pintu itu perlahan dan mencoba mendengar dengan seksama.
Bulu kudukku seolah berdiri mendengar rintihan di luar sana. Bagaimana seseorang bisa memasuki gerbang? Apa yang menggedor ini bukan manusia? Melainkan hantu. Aku percaya hantu itu ada. namun bagaimana jika ternyata yang menggedor adalah seorang manusia? Bagaimana kalau dia butuh bantuan atau mungkin tengah kedinginan?
Aku segera meraih gorden jendela. Mengintip dari jendela itu perlahan. Aku melihat seonggok tubuh yang sempoyongan seolah tak kuat menahan tubuhnya untuk tetap berdiri. Tenang saja, itu bukan hantu. Cowok itu hanya tengah mabuk dan aku sangat mengenalinya. Kak Bara. Dia kakaknya kak Reno.
Aku segera membuka pintu dan begitu pintu terbuka tubuhku disambut seketika dengan pelukan kak Bara.
"Niken? Kenapa kamu ninggalin aku? Aku kurang apa?" Racau kak Bara dengan sesenggukan. Seketika bau alkohol menguar dan membuatku ingin muntah, namun aku harus menahan untuk tidak muntah. Kak Bara tampak hancur. Matanya berair tak karuan dengan wajah kusut yang seolah bukan dari keluarga Alfiansyah saja.
Aku mengelus pundak kak Bara. "Kak Bangun dulu. Aku anterin ke kamar kamu ya." Ujarku pada kak Bara. Namun di luar ekspektasi. Kak Bara yang tengah mabuk itu, mengartikan perkataanku itu dengan salah.
"Oh jadi kamu cuma ingin berduaan di kamar Nik. Ayo!" Kak Bara kemudian menyeretku untuk dibawa ke kamarnya. Aku menggeliat, meronta, dan tak terima ia menganggapku sebagai kekasihnya. Namun percuma
Aku sudah didalam kamarnya. Aku sungguh takut. Kamar ini terpisah dari bangunan utama. Kamar ini seperti rumah kecil paviliun pada halaman belakang dan di kelilingi dengan kolam renang yang indah. Seandainya aku memaksa berteriak juga tak menjamin ada yang mendengar.
"Aku bukan Niken Kak! Aku Malvin!" Aku mencoba bicara pada kak Bara. Namun sia-sia saja, ia malah mengecup paksa bibirku.
"Nikmat sekali Niken. Kenapa aku tidak menciummu dari dulu." Ia masih saja meracau tanpa sadar. Entah bagaimana hal ini bisa terjadi. Kak Bara bukanlah seorang bad boy atau berandalan. Itu bisa dilihat dari entah berapa banyak koleksi piala hasil kompetisi akademik maupun non-akademik, nasional maupun internasional yang telah diikutinya. Namun kak Bara hanya manusia biasa yang memilik nafsu jua, tak ada manusia yang sempurna. "Ciuman pertama memang terasa sungguh nikmat." Lanjutnya.
Hah? Ciuman pertama? Sama aku? Tidak, tidak! Kak Bara hanya sedang mabuk. Ia sama sekali tak akan birahi jika sadar yang di depannya adalah pria. "Aku mau keluar! Tolongggg!" Teriakku histeris. Aku mencoba membuka pintu ini. Namun terkunci. "Kak Bara! Buka! Aku ini bukan Niken!"
"Kamu mau kunci? Nih ambil aja." Kak Bara mengulurkan kunci itu. Namun saat aku hendak mengambil kunci pada jemarinya itu, ia dengan cekatan memasukkan kunci itu pada celananya. Bukan pada saku! Lebih tepatnya pada bagian celana dalamnya. "Nih ambil!" Tantang kak Bara sembari menyodorkan pukangnya padaku.
Jantungku dag-dig-dug. Entah apa yang aku rasakan? Namun apa pantas seorang lelaki untuk takut pada burung sesama lelaki? Oh ayolah! Itu hanya berlaku bagi cowok-cowok straight yang menyukai cewek. Namun setelah semua hal yang terjadi padaku, aku tak dapat mengkategorikan burung lelaki itu biasa saja. Aku sudah berubah.
Aku mencoba mencari akal. Semua ideku telah terpaut pada seonggok teko yang berada meja belajar kak Bara. Aku segera meraih teko itu dan menyiramkan isinya pada wajah kak Bara. Sebab di film-film yang aku pernah tonton akan melakukan hal demikian untuk membuat orang tersadar.
Aku Salah! Aku membuat kak Bara basah kuyup. Mata yang biasanya indah dihiasi kacamata itu, kini menatapku dengan penuh amarah. "Beraninya kamu Nikeeen!" Kak Bara murka.
Kak Bara berjalan ke arahku dan membuatku ketakutan. Tubuhku dipojokkannya pada ruangan ini. "Dari dulu aku ingin menyentuhmu, namun aku sadar! Dimatamu aku hanya cowok oon yang cuma tahu buku. Kamu salah Nik! Kamu cuma belum lihat koleksi film bokrp pada hardisk ku kan? Dan sekarang aku akan menunjukkanmu sisi lain dari Bara Aditya Alfiansyah." Astaga! Aku fikir kak Bara selama ini adalah cowok polos. Ternyata?
Aku semakin dirundung ketakutan. Sedangkan kak Bara telah melucuti pakaiannya satu per satu dan menyisakan celana dalam itu. Mulutku tercekat. Kekuatanku seolah terikat. Kak Bara dengan sekuat tenaganya memaksa dan mengikatku pada dipan miliknya. Ia mengikat kedua lengan dan kakiku pada setiap sudut dipan. Aku meronta dan berteriak sekuat tenaga namun percuma. Aku tak menyangka orang mabuk masih memiliki kekuatan sebesar itu.
"Malam ini kita akan bersenang-senang Niken." Kak Bara mendekati tubuhku yang terikat. Ia merobek paksa kaos dan celanaku. Aku sungguh dipermalukan saat ini. Aku ditelanjangi dengan paksa seperti ini. Tubuhku telah terekspos sempurna. Kak Bara sungguh menunjukkan sisi liar yang selama ini ia sembunyikan.
Aku menangis sembari berteriak sekuat tenaga. "Kak Bara! sadar! Aku bukan Niken!" seolah jeritanku musik ditelinganya. Ia semakin beringas. Ia mencumbu paksa mulutku. Menjilati jengkal tubuhku dengan penuh gairah.
"Ahhh... hentikan kak!" Teriakku. Namun bukannya berhenti, ia malah melepaskan celananya dan menampilkan burungnya yang sedikit basah oleh cairan bening nan lengket. Aku menelan ludahku ketakuan sendiri melihat batang itu telah berdiri menantang langit. Aku menjerit semakin keras. Aku tak terima diperlakukan seperti ini.
Kak Bara kembali bermain dengan tubuhku. Kak Bara memainkan putingku, memilinnya dengan penuh sensual. Seolah ia sangat piawai dalam hal seperti ini. Ia juga menggesekkan burungnya pada dadaku. Seolah aku memiliki dua payudara.
Burung itu mulai mendekati bibirku. Ia hendak membungkam bibirku dan memaksaku untuk menelan sebatang kemaluan dengan nista.
Pintu kamar terbuka sebelum hal itu terjadi. "Kak Reno.." Ucapku. Tapi aku salah. Itu bukan kak Reno. Sosok Om Alfi tengah berdiri disana dengan raut yang sangat sulit digambarkan. Ia tertegun, tak percaya dengan yang dilihatnya.
Om Alfi mendekati kak Bara yang masih bermain dan manaiki tubuhku.
'BUGGKK'
dengan satu kali pukulan dari Om Alfi, kak Bara tak sadarkan diri. Om Alfi kemudian membuka ikatan pada lenganku satu persatu. Ia menarik seprai itu. Dan menyelimuti tubuhku yang menggigil ketakukan.
"Tenang Vin. Om ada disini." Om Alfi mencoba menenangkanku. Namun fikiranku tak karuan. Air mataku bahkan telah mengering untuk kembali menangis. Aku ingin berbicara, namun ketakutan ini mencekikku.
Om Alfi menggendong tubuhku dengan kedua lengannya. Ia membawaku masuk ke dalam rumah utama. Hal ini ternyata baru saja membuat kak Reno terbangun. Dari lantai atas di depan kamarnya, kak Reno melihat Papa nya menggendong tubuhku yang berlilitkan seprai.
Otakku serasa diperas. Rasa pusing menggerayangi kepalaku. Om Alfi terlihat khawatir, matanya berkaca-kaca melihat keadaanku.
"Bentar ya Nak. Malvin bentar lagi bisa istirahat." Om Alfi mencoba menghiburku. Keramahannya sedikit menentramkan hatiku. Papa ku sendiri saja belum pernah memanggilku dengan sebutan 'Nak'.
Om Alfi membaringkan tubuhku di atas tapang yang berada di kamar tamu. Setelah itu ia mengusap rambutku dan menaruh punggung tangannya pada keningku. Ia mengecek suhu tubuhku. suhu tubuhku masih normal.
Om Alfi kemudian membuka almari pada kamar ini, namun almari itu kosong. Ia sepertinya bingung untuk mencarikanku pakaian. Ia hendak keluar namun saat membuka pintu, Kak Reno telah berdiri di depan pintu. "Malvin kenapa Pa?" Aku dapat mendengar pertanyaan kak Reno, namun tubuhku masih menggigil dengan kenangan buruk yang kak Bara berikan malam ini.
Om Alfi hanya diam saja. Kepalanya menunduk. "Bara hampir saja memperkosa Malvin." Jelas Om Alfi. Kak Reno membelalakkan matanya ke arah tubuhku yang terkapar menggigil. Kak Reno menggenggam tanganku meremasnya dengan kalut.
"Malvin, jelasin apa yang terjadi!" Pinta kak Reno.
Airmataku ternyata belum mengering. Saat aku mencoba mengatakan sesuatu. Namun aku seperti anak bisu yang hanya mampu menggerakkan mulutku, dan tak dapat berbicara jelas. Aku seperti orang gila yang meracau tanpa berkata dengan jelas. Ada yang salah dengan diriku.
Kak Reno menangis menatapku. Sedangkan aku membalas genggaman tangannya yang sedari tadi berada pada tanganku. Aku mengelus lembut tangan itu dan melemparkan senyuman ke arahnya. Kak Reno mengecup tanganku. Namun kesedihan karena diriku sungguh membuatnya pilu.
***
Kemarin malam aku tertidur begitu saja dalam dekapan kak Reno. Bahkan saat pagi kembali menyambutku. Aku berbantalkan lengan kanan kak Reno. Aku menatap wajahnya yang pagi ini begitu terlihat suram. Mata yang kelelahan sungguh tak terbantahkan, ia sepertinya tidak tidur semalaman.
"Selamat pagi." Sapanya dengan senyuman yang terukir pada wajahnya yang tampan.
Aku mencoba membalas sapaan itu. Namun suaraku masih belum kembali. Jadi aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku juga meraba tubuhku, syukurlah aku telah memakai baju meskipun yang aku kenakan adalah sweater dan celana dengan ukuran kak Reno yang membuat aku lebih tampak seperti orang-orangan sawah.
"Itu baju aku, buat kamu. kamu pakai dulu aja, nanti kita beli baju baru buat kamu." Bisiknya pada telingaku. Hembusan nafasnya begitu menggelitikku dan membuatku merasa geli. Untung saja kak Reno tidak mempunyai kumis.
Aku membuat gerakan mulut tanpa suara yang ingin mengatakan 'Terima kasih atas bajunya.' Kak Reno faham dan mengangguk.
"Aku minta maaf Malvin. Gara-gara merawat aku. Kamu jadi seperti ini." Ucap Kak Reno sendu.
Aku menggeleng. Ini semua bukan kesalahan kak Reno sama sekali. Aku sungguh takkan menyesali bila berada didekatnya. Hariku mungkin telah terberkati oleh kehadirannya. Aku mengelus lembut dagunya dan menyunggingkan senyum terbaik yang aku miliki. Kak Reno tidak boleh menyesal berada di dekatku.
"Sejauh mana kak Bara telah menyentuhmu?" Kak Reno yang tadinya tersenyum, kali ini berubah jadi berapi-api lagi. Pertanyaan itu mengusik kejadian tadi malam.
Aku menggeleng lagi. Bibirku hanya terbuka tanpa mengeluarkan suara yang jelas lagi. Ayolah suara! Kemana kau beranjak dari tenggorokanku? Aku hendak mengatakan pada kak Reno untuk tidak khawatir.
"Ini." Kak Reno mengulurkan sebuah kertas dan juga bolpoin. Aku mengambil itu dan mulai menulis pada kertas itu.
'Aku nggak diapa-apain kok. Kak Reno jangan khawatir.' Tulisku penuh dusta. Aku bahkan masih ingat setiap detik suram yang aku jalani semalam. Aku masih sangat ingat caranya memperlakukanku dan menganggap aku sebagai Niken.
"Kamu bohong. Kalau tidak ada apa-apa, jadi kenapa sejak semalam suara kamu jadi gaguk seperti ini?" Introgasi kak Reno. Namun aku tak menjawab pertanyaan itu. Aku menatap matanya. Emosi dan amarah itu meluap dalam matanya. Aku gusar dalam pikiranku sendiri.
Aku memeluknya. Mengusap lengannya penuh kelembutan. Aku berharap ia akan tenang dan emosi itu segera menguap termakan waktu. Aku sama sekali tak menginginkan kak Reno akan beradu pukul dengan kak Bara. Membayangkannya saja tak terbesit dalam otakku. Aku menyukai kak Reno yang setenang air dan sesegar udara pagi.
Kak Reno mengecup pelan rambutku. Ini sungguh menenangkan. Aku menikmati setiap pelukan yang ia beri, kasih yang ia curahkan, dan cinta setiap detiknya.
"Kamu lapar? Aku akan buatkan kamu makanan. Tunggu sebentar ya." Kak Reno mengelus pipiku sebelum beranjak dari ranjang kami, kemudian ia berlalu menuju dapur.
Detik demi detik bergulir. Aku menatap jendela besar didepanku. Sinar mentari pagi menembus kaca yang bening itu dan menerangi kamar ini dengan cahaya yang terasa hangat. Aku menatap jam dinding, jarum pendek menunjukkan pukul tujuh pagi. 'aku harusnya sekolah hari ini.' Ucapku dalam hati.
'Tok.. tokk..' Seseorang mengetuk pintu. Sebelum aku mempersilahkannya masuk, ia telah membuka pintu itu dan memasuki ruangan ini.
Matanya kebingungan, salah tingkah. Rambutnya yang keriting panjang bahkan terlihat berantakan. Ia kemudian berdiri dengan gugup disamping ranjangku. Aku ingin tersenyum ke arahnya, namun terasa canggung.
"Kak Bara.. Duduk aja, sini." Tulisku. mempersilahkan ia duduk disamping tubuhku yang tengah nyaman berselonjor pada dipanku. Jujur saja, aku sebetulnya masih takut untuk melihatnya. Aku masih mengingat bagaimana ia menelanjangiku, memperlakukanku dengan murahan. Aku sungguh ingin menamparnya. Tapi aku masih dapat berpikir logis, jika kak Bara kemarin melakukan itu semua bukan disengaja.
Kak Bara mengangguk. Kemudian ia duduk pada tepi ranjangku. "Ma-Malvin..." Kak Bara sibuk menatap lantai. Bola matanya berpendar kebingungan. Tangannya sibuk membenahi kacamata yang sebenarnya aku rasa tidak ada masalah. "Aku minta maaf." Desisnya pelan.
Aku masih terpaku menatapnya. Wajah kak Bara yang selalu pendiam itu kini berubah muram. Alis tebalnya sungguh mirip dengan tante Dewi, begitu pula rambut keriting gelombang itu. Pipinya berkedut menunjukkan bahwa ia menyesal. Bibir merah ranum yang tak pernah merokok itu juga bergetar. "Aku menyesal. Aku telah dijebak oleh Niken dan teman-temannya. Aku sungguh menyesal. Dan sekarang kamu jadi kehilangan suara kamu." Ucap kak Bara dengan mata menyipit dan mulai menangis. Aku segera mengambil kertas dan menulis.
"Kak Bara jangan nangis. Malu sama nama ah! Bara itukan panas, berapi-api gitu. Masak nangis kayak gini." Hiburku pada kak Bara. Aku mengelus pundaknya, mencoba menyalurkan aura positif padanya.
"Kakak nggak malu. Kakak udah biasa dipermaluin." Kak Bara menangis kembali. Jika melihat wajah kak Bara, aku akan teringat cowok-cowok culun di sinetron. Hanya saja karena ia memiliki garis keturunan Alfiansyah, maka tak perlu diragukan bagaimana fisiknya. He is totally handsome.
Kak Bara hanya memiliki rasa kurang percaya diri. Itu yang membuat dirinya susah dalam hal pergaulan. Ia jadi korban bully terus-menerus. Namun meski menjadi korban bully, kak Bara merupakan cowok berprestasi dalam segala bidang. Andai saja dia cukup percaya diri dalam hal penampilan, Kak Reno mungkin akan iri setengah mati.
"Hmm. Aku baik-baik aja Kak. Kak Bara nggak perlu cemas. Aku cuma berharap hal yang seperti ini takkan terulang lagi. Kak Bara harus jadi Bara yang kuat dan berapi-api. Hehehe." Tulisku sembari menunjukkan ekspresi cengengesan seperti biasa.
Disaat aku sibuk cengengesan. Sepasang lengan meraih tubuhku dan memelukku penuh takzim. Kak Bara memelukku tanpa izin.
Waktu berhenti. Seolah-olah aku tengah terhipnotis dan tak dapat berkutik untuk menggerakkan tanganku. Oh tuhan! Cobaan apa ini?
"Kamu.. Cantik.." Desis kak Bara disela-sela pelukan kami.
Aku segera melepaskan pelukannya. Entah kenapa kak Bara menjadi binal seperti ini? Padahal sedari dulu saat kami berjumpa ia selalu seolah tak mengacuhkan keberadaanku. Aku mundur, semakin mundur. Mencoba menjauh dari jangkauan tangannya yang mematikan.
Namun ia tak berhenti disana. Kak Bara menaiki ranjang ini. Wajah itu mendekat ke arahku membuat aku ingin menjerit sekuat tenaga. Namun suara telah hilang. Wajah itu berada sepersekian sentimeter dari wajahku. Ia memejamkan mata, bibirnya seolah ingin mendekat untuk mengecupuku. Secara reflek, aku medorong tubuhnya hingga terjatuh.
Tubuhnya berbenturan dengan lantai. Ia mengelus kepalanya yang sepertinya sakit. Kemudian ia kembali bangkit. "Tunggu aku. Aku akan datang lagi." Ucapnya dengan tersenyum penuh kejahatan. Aku merasa bahwa ia akan menjadikanku bahan pelampiasan dari sakit hatinya. Ia kemudian berlalu dan keluar dari kamar ini.
Aku masih terpaku di tempatku berada. Debaran jantungku menggila tanpa dapat dikendalikan. Deru napasku berlarian seolah aku baru saja melakukan lari 100 putaran. Peluh memenuhi setiap jengkal kulitku. Aku trauma untuk mengingat kak Bara yang benar-benar mengincarku dan sama sekali tidak kapok atas perlakuannya padaku.
Bersambung.
Part 11 akhirnya update ya. penuh perjuangan banget. belajar literasi sambil benerin kata per kata di kbbi. pengen bisa nulis bener. bisa pake majas ini itu, peribahasa ini itu.
btw, tokoh Bara gimana? greget ya? wkwkwk.. aku ada cast buat Bara. kira-kira cocok nggak ya?
Lee Jong Suk :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top