Pelajaran Pertama
Pratama berdiam di ekat tugu besar yang menjadi tanda perbatasan desa. "Aku capek," keluhnya.
"Baiklah, kita beristirahat dulu." Wulan kemudian duduk di ruput yang tumbuh liar di pinggir jalan.
"Duduk di sini?" Pratama melihat ke sekeliling dan dia memang tidak melihat adanya bangku atau amben yang bisa dia duduki.
"Kau mau duduk di kursi? Tidak ada. Saat kau berada di luar, belajarlah untuk bisa duduk di mana saja, jika beruntung kita akan mendapati dawet lewat." Wulan menoleh ke kiri dan kanan untuk melihat apakah ada penjual yang lewat.
Pratama akhirnya duduk di samping gadis itu dan bersila. Merasakan rumput itu menusuk-nusuk kulitnya. "Apa kau membawa uang?"
"Bukankah Tuan Muda yang seharusnya membawa banyak uang?" Wulan menoleh dan melihat muka Pratama yang masam. "Aku selalu membawa uang jika sewaktu-waktu memerlukannya" Wulan menunjukkan kampuh yang berisi uangnya yang tak seberapa itu.
"Baguslah, aku tidak membawanya karena tidak pernah tahu akan pergi sejauh ini dari rumah Kakek." Pratama lega gadis itu bisa dia andalkan. "Di mana rumahmu?"
"Rumahku ada di bagian selatan desa. Agak jauh dari rumah Ki Danu."
"Apa kau selalu ulang setiap hari?"
"Ya, karena aku harus mengurus Nenek."
"Orang tuamu?"
"Mereka sudah mati sejak aku masih kecil, kata Nenek ada begal yang membunuh mereka saat mereka akan ke hutan untuk mencari ranting kering untuk dijual." Mata Wulan menerawang, dia sendiri tidak ingat dengan kedua orang tuanya. Mereka pergi saat dia belum bisa mengingat apa pun.
"Maaf." Pratama merasa bersalah.
"Tidak perlu, bukankah manusia memang akan mati juga pada akhirnya? Kita hanya tidak tahu bagaimana kematian itu datang. Dibunuh, kelaparan, atau bagaimana itu terjadi, kita hanya perlu bersiap untuk itu." Wulan berdiri. "Ayo, kurasa tidak akan ada tukang dawet yang lewat."
Pratama berdiri dan mengikuti gadis itu yang menuju jalan yang lebih kecil."Ini jalan ke mana?"
"Ini jalan menuju balai desa, tapi memotong, karena aku tidak suka melewati jalan yang ramai."
Pratama mengangguk dan mulai merasa bahwa ada yang berbeda dari gadis itu. Pemikirannya jauh melampaui gadis desa. Teman-temannya di kota hanya memikirkan bagaimana bersolek, dan terkadang sangat manja di usia yang sebaya dengannya.
"Bagaimana kota itu?"
"Kota itu hanya lebih ramai dari sini dan memiliki bangunan-bangunan yang lebih besar serta lebih tertata. Kau belum pernah ke kota?"
Wulan menggeleng. "Aku hanya pergi ke desa sebelah untuk ikut Mbok Darmi berbelanja, itu yang paling jauh untukku. Aku pernah membayangkan jika aku adalah laki-laki, maka aku akan bisa berkelana dengan bebas ke mana saja dan belajar banyak hal."
"Suatu hari, aku akan mengajakmu untuk melihat kota." Kalimat yang langsung Pratama sesali karena dia tidak yakin bagaimana caranya.
"Benar?" Mata Wulan berbinar.
Pratama mengangguk karena tidak tega dengan harapan yang tumbuh di dalam matanya.
"Aku akan bersikap baik padamu mulai saat ini." Wulan tersenyum lebar.
Dan itu membuat Pratama terkejut, gadis tu manis saat tersenyum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top