CHAPTER 8
Kami berangkat membawa pertanyaan, tapi jawaban yang kami dapatkan tidak seperti yang kami kira. Mak Sulas sehat sentosa—yang mana sangat kami syukuri—tapi sehatnya itu justru memunculkan pertanyaan baru. Siapa nenek yang digendong almarhum Kasmin? Kenapa pula seolah-olah nenek itu hanya menampakkan wujudnya pada saya? Kakek dan nenek tidak tahu. Man Nasih tidak tahu. Tidak ada yang tahu kecuali saya. Apakah saya sespesial itu?
Malam ini hujan lagi. Tidak terlalu deras, tapi cukup menahan Sobri di rumah sampai lewat jam sepuluh malam. Sobri datang selepas isya. Usai menyiapkan umpan untuk besok, kami duduk di ruang tamu. Saling berbagi hal yang tidak kami ketahui. Ingin rasanya memberi tahu Sobri tentang nenek pengemis itu, tapi kalau dia tahu, dia pasti akan pulang walau harus menerobos hujan. Ya, saya yakin itu. Kami memang sahabat yang jauh. Satu-satunya yang mendekatkan kami adalah sifat penakut.
"Saya nggak bisa pulang ini, Di?"
"Ya sudah, nginap di sini aja, Bri," bujuk saya. Sangat berharap Sobri berkata iya. "Lagian sepertinya kakek belum bisa pulang juga."
"Emang Mbah Majid kemana?" tanya Sobri.
"Kakek ada di rumah Pak Hasan, di dekat sungai. Sedang persiapan bikin jembatan darurat, biar Mak Sulas bisa turun buat lihat makam cucunya."
"Oke, cukup. Jangan ngomongin Kasmin."
"Kenapa, Bri?"
"Dia hidupnya akan bikin saya takut, apalagi matinya."
"Kamu pernah didatangi Kasmin?"
"Sering. Dia itu sebenarnya bukan pengemis, tapi belakangan ini jadi sering minta-minta ke rumah orang. Malam hari lagi. Pengemis-pengemis di simpang tiga Bayang saja nggak ada yang sampai begitu."
Saya teringat sesuatu. Dalam perjalanan ke sini beberapa hari yang lalu, saya melewati persimpangan yang Sobri maksud. Di sana memang banyak sekali pengemis. Mereka duduk berjajar di sepanjang jalan, di gapura Kampung Bayang. Saat itu tidak sedikit pun terlintas pikiran yang aneh-aneh, sampai akhirnya saya dihadapkan pada masalah ini.
"Apa Kasmin selalu datang sendiri? Maksud saya, dia nggak pernah bawa teman, gitu?" tanya saya.
"Nggak. Dia memang selalu sendiri. Lagian dia juga dimusuhi sama pengemis-pengemis di simpang tiga Bayang. Mungkin dirasa mengambil jatah mereka."
"Begitu, ya," ucap saya.
Sebagai warga, Sobri tentu tahu banyak tentang kampungnya. Di saat yang bersamaan, saya merasa di tidak tahu apa-apa.
Kami fokus menonton televisi sampai lima belas menit berikutnya. Sobri sudah habis dua batang rokok. Saya sudah habis satu toples keciput. Saya kenyang, Sobri penyakitan.
"Ini hujan kapan redanya, ya?" Keluh Sobri.
"Sudah, nginep aja, Bri!"
"Nggak bisa, Di. Saya belum ngidupin lampu di kandang sapi. Bapak saya juga ikut bantu bikin jembatan. Pastinya dia juga belum pulang."
"Ibumu?"
"Kerja di luar negeri. Jadi pengusaha kerajinan tangan."
"Alhamdulillah," ucap saya.
"Sekarang sudah punya dua anak sama suaminya yang baru," lanjut sobri.
"Innalillah," ucap saya lagi.
Setengah jam setelah bilang begitu, Sobri tidur pulas di kursi ruang tamu. Dengkurnya membuat film aksi yang saya tonton jadi terasa lucu. Saya mematikan televisi. Sepertinya tidak lama lagi akan menyusul Sobri. Hujan sudah tidak terlalu deras, tapi sebaiknya saya biarkan Sobri tidur saja. Jahat, sih, tapi lebih jahat lagi membangunkan orang yang tidur pulas.
Saya menggelar selimut di lantai ruang tamu. Tak lupa juga membawa bantal dari kamar. Kali ini, pintu dan tirai jendela saya tutup rapat. Kakek bawa kunci sendiri, jadi tidak perlu repot-repot membangunkan saya untuk buka pintu. Akhirnya, setelah mematikan lampu, saya merebahkan badan. Dengkuran Sobri memang menyebalkan, tapi setidaknya memberi sedikit rasa aman. Mengingatkan saya bahwa saya tidak sendirian.
Tengah malam saya terbangun. Sobri masih konsisten dengan dengkurnya, dan sepertinya kakek dan nenek belum pulang. Pandangan saya masih buram, kepala juga masih pusing. Saya bahkan tidak tahu kenapa saya terbangun. Tidak ada petir, tidak mati listrik, hujan juga sudah reda. Satu-satunya yang menganggu hanyalah rasa ingin pipis.
Saya beranjak. Jalan sempoyongan menuju kamar mandi yang ada di dapur. Setelah melewati kamar kakek dan nenek, lalu melewati ruangan terbuka tempat mesin jahit, langkah saya terhenti saat hendak melewati lorong menuju dapur.
Lampu di dapur mati. Gelap dan terang bertemu di tengah lorong. Entah perasaan saya saja, atau memang ada seseorang yang sedang duduk di lantai dapur. Saklar lampu dapur ada di samping meja makan. Saya harus melewati gelap dulu sebelum membuat ruangan itu terang.
Demi kesehatan sang burung hantu, saya tetap harus ke kamar mandi untuk pipis. Saya terobos lorong yang gelap dengan langkah cepat. Begitu jempol kaki saya mencium kaki meja, tangan saya langsung meraba dinding mencari saklar.
"Ketemu!"
Dapur pun jadi terang benderang.
PANGAPORA, CONG.
Nenek itu nyaris menggenggam pergelangan kaki saya. Menengadah dengan wajah pucat yang belum saya hapus dari ruang trauma di kepala. Entah perasaan saya saja, atau kali ini wujudnya lebih menyeramkan. Pucatnya tidak hanya di wajah, tapi nyaris di sekujur tubuh. Di setiap sisi yang tidak tertutup kain cokelat itu.
Terpaksa saya melompati sisi nenek. Persetan dengan kesopanan. Kemudian saya berlari kembali ke ruang tamu, sambil tetap membaca ayat suci yang diharap bisa mengusir hantu.
PS. Maaf kalau update di Wattpad agak telat satu sampai dua chapter dibanding twitter. Ini cerita kalau dicopas ke wattpad paragrafnya berantakan, jadi harus saya rapikan dulu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top