CHAPTER 7
Sekarang saya tahu kenapa jembatan itu penting sekali. Jalan alternatif untuk sampai ke rumah Mak Sulas benar-benar sulit, dan nyaris mustahil untuk dilewati orang tua. Dari enam orang yang ikut, dua di antaranya sudah menyerah sebelum memasuki kawasan bambu. Dua-duanya adalah warga yang sudah berusia lanjut. Semua memaklumi para kakek itu, karena setelah ini perjalanan akan berubah jadi pendakian.
Sisanya tinggal empat orang, yaitu Harto, Tanjung, Man Nasih, dan ...
"Kamu yakin mau lanjut ke atas, Hadi?" tanya Man Nasih.
"Yakin, Man."
"Duh, saya nggak ngerti kenapa Lek Majid menyuruh kamu ikut. Kami yang asli penduduk sini saja banyak yang belum pernah ke rumah Mak Sulas lewat jalan ini," gerutu Man Nasih, mengeluhkan keputusan kakek.
DUA JAM SEBELUMNYA
"Kamu ngelihat Kasmin menggendong perempuan?" Kakek memastikan. Suara beratnya agak melengking karena efek kejut.
"Nenek-nenek, bukan perempuan!"
"Buat kakek, nenek-nenek adalah perempuan, Di!"
"Terserah!"
"Kok kamu ndak bilang dari kemarin, Di?" kali ini nenek ikut bertanya.
"Saya pikir nenek sudah tahu, soalnya nenek bilang Kasmin sering ke sini, kan?"
"Memang, Di. Tapi dia selalu datang sendirian. Minta-minta juga sendirian sambil menyodorkan kaleng bekas susu STM. Kalau pun nggak datang untuk mengemis, biasanya kasmin ngorek-ngorek sampah di halaman belakang rumah ini. Itu juga sendirian," kata kakek.
"Ya, terus yang saya lihat kemarin dan tadi malam itu siapa?"
Sampai di sini darah saya berdesir. Fakta bahwa kakek dan nenek tidak tahu apa-apa, membuat saya merasa sendirian dalam teror ini.
"Apa jangan-jangan ...." spekulasi nenek terhenti. Ia melirik kakek, seolah yakin kakek sedang memikirkan hal yang sama.
Kakek berpikir sejenak. Ia menyeruput kopi hitamnya, kemudian berserdawa ringan.
"Kalau hari ini kamu nggak jadi mancing, gimana kalau kamu ikut Nasihin saja ke rumah Mak Sulas."
"Hah?" Saya tercengang.
Betapa tidak? Tawaran kakek itu seolah menyiramkan minyak tanah ke bara api di kepala saya yang masih berasap. Sudah jelas-jelas cucunya ketakutan, kakek malah memberi saran yang mustahil saya kerjakan.
TAPI, DI SINILAH SAYA SEKARANG.
Bersama Man Nasih, Harto dan Tanjung, akhirnya saya berhasil juga sampai di puncak bukit, disambut oleh lebatnya bambu-bambu hijau nan segar.
"Dulu saya sering ke sini, Di," kata Man Nasih. "Di ujung bukit sana ada danau kecil, lebih kecil dari Danau Bayang, dan merupakan tempat memancing yang ndak banyak diketahui orang."
"Saya tahu, lek, makanya saya ikut."
"Oh, pasti Lek Majid yang kasih tahu, ya? Saya dan kakekmu memang sering mancing berdua dulu."
Kami berempat ke luar dari kawasan bambu. Lebatnya batang-batang kurus hijau itu sudah layak disebut hutan. Dari tempat kami keluar, sudah tidak bisa lagi melihat arah datang. Bambu itu menutup rapat jangkauan pandang, seolah kami tidak punya pilihan untuk pulang.
Sekarang, kami berada di puncak bukit yang hampir seluas lapangan sepak bola. Tanahnya ditumbuhi tanaman rambat yang berkilauan diterpa sinar matahari pukul sembilan pagi. Dari bukit ini juga kami bisa melihat hampir seluruh desa. Bahkan rumah kakek pun tampak seperti kardus sepatu anak-anak.
"Hadi, jangan bengong!" tegur Man Nasih.
Kami melanjutkan perjalanan menyeberangi tanah lapang. Berpindah dari sisi satu ke sisi lainnya, di mana sebuah pohon beringin tumbuh tinggi dan rindang, dan jadi satu-satunya tanaman tertinggi di bukit ini. Bahkan lebih dari atap rumah yang tengah dinaungi daun lebat di bawahnya.
"Itu rumahnya, Man?" tanya Harto.
Man Nasih mengangguk.
Kami mendekati sebuah rumah kecil dengan dinding dan tiang terbuat dari kayu bercat putih yang mulai luntur di sana-sini. Di depan ada teras dikelilingi pagar bambu yang dicat biru langit. Di sana ada sebuah kursi dan bangku bambu memanjang. Orang-orang sini menyebutnya lincak. Mungkin tempat Mak Sulas memijat pasien atau menerima tamu yang datang.
Pintu rumah itu sedikit terbuka. Dari celah itu, yang tampak hanya kegelapan.
"Harto, Tanjung, kalian tunggu di bawah pohon beringin saja!" Perintah Man Nasih, "Hadi ikut saya. Jangan lupa bawakan kainnya."
Saya baru tahu kalau isi dari gulungan plastik yang saya bawa adalah kain. Mungkin kafan. Setelah mayat Kasmin ditemukan kemarin, dan mengacu pada cerita saya tentang nenek pengemis yang digendong Kasmin, kakek berasumsi akan menemukan mayat di rumah ini. Kakek tidak sembarangan menceritakannya pada orang lain. Selain saya dan nenek, hanya Man Nasih yang tahu tentang hantu pengemis itu.
Man Nasih tidak mengucapkan salam, dan langsung saja naik ke teras tanpa melepas sandal.
Semakin dekat, semakin saya mencium aroma apak. Hanya saja, meskipun samar, saya juga mencium aroma yang lezat, seperti ikan goreng atau tempe goreng.
Man Nasih membuka pintu perlahan, tapi pintu itu terpelanting ke dalam dengan cepat, menampakkan sosok nenek tua sedang menggigit ikan goreng.
"APA?" sergah nenek itu.
Man Nasih mendadak kikuk. Ia langsung melepas alas kaki dan melemparnya ke halaman. Tentu saja saya melakukan hal yang sama.
"Mak Sulas, sampean masih hidup?" tanya Man Nasih, dengan wajah yang tidak percaya.
Segera ikan goreng di mulut Mak Sulas berpindah ke mulut Man Nasih.
Nenek yang dipanggil Mak Sulas itu kemudian mengunyah daun sirih. Bibirnya keriput dan menghitam. Rambutnya putih dan jarang. Pundaknya ringkih, lebih mirip pundak anak kecil. Tubuhnya hanya dibalut kain putih lusuh, dan meskipun rumahnya tidak memiliki lantai, kaki nenek itu tidak mengenakan alas.
Tapi tunggu dulu! Kalau benar nenek ini adalah Mak Sulas, lantas ....
SIAPA YANG DIGENDONG OLEH KASMIN?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top