CHAPTER 5
Kami pergi tanpa sempat menyaksikan sendiri mayat siapa yang warga temukan. Ini karena Sobri takut dan memaksa saya untuk pulang. Andai tidak menumpang, pastilah saya suruh dia pulang sendiri. Bukan karena saya berani, tapi saya tidak bisa tidur kalau tidak melihat sendiri. Kadang saya benci sifat yang mudah penasaran ini.
"Assalamualaikum," ucap kakek sambil membuka pintu.
"Waalaikumsalam," jawab saya.
Kakek datang membawa beban berat. Lebih berat dari kayu-kayu yang sering ia angkat setiap harinya. Kakek langsung duduk, menyandarkan bahunya, melepas kopiah, lalu memejam ke langit-langit rumah.
"Sudah selesai jembatannya, kek?" tanya saya.
"Belum, lah. Dengan kondisi sungai dan cuaca seperti ini, mungkin bisa sampai satu minggu. Apalagi barusan ada kejutan di sungai."
"Kejutan?" tanya saya, berpura tidak tahu.
"Warga menemukan mayat laki-laki tersangkut di batu sungai. Sepertinya mati terseret arus deras," tutur kakek.
"Innalillahi. Terus gimana, kek?"
"Sudah dibawa aparat. Di sana juga masih banyak polisi. Kerjaan warga terganggu, kakek malas, makanya pulang. Lah, bukannya kamu mau pergi mancing?"
"Sudah pulang juga, kek. Mendung. Takut hujan. Ikan juga cuma dapat sedikit," jawab saya seraya menggerutu.
***
Malam harinya, hujan yang saya takutkan datang juga. Semakin larut, semakin deras. Kabupaten Gambir memang terkenal dengan curah hujan yang lumayan tinggi. Apalagi desa Bayang ini berada di dataran tinggi. Tanpa hujan pun, malam hari sudah sangat dingin.
Saya yang di rumah biasa tidur telanjang dada, di sini harus tidur berselimut ganda. Itu juga masih dilapisi sarung. Namun, setidaknya malam ini saya bisa sedikit tenang. Nenek ada di rumah. Meskipun ia sudah berisitirahat sejak selesai salat isya tadi, meninggalkan saya menonton televisi sendiri.
Ibarat menabur gula di minuman bergaram. Tontonan yang saya pilih adalah acara lawak, agar bisa menjadi penawar kesepian. Pukul sebelas malam, kanal televisi jadi semakin tidak bersahabat. Iklan rokok mulai mendominasi, dan bisa-bisanya mereka menayangkan film horor pada saya yang nyaris takut setengah mati. Jadilah saya menjelajah acara demi acara, hingga akhirnya berhenti pada sebuah kanal tembang kenangan. Lagu-lagu lawas yang sudah ada sebelum saya lahir, terdengar indah juga di malam ini.
Saat saya mulai menikmati setiap lirik dan nada-nada lawas, sebuah petir menampar kesunyian dan membuat gelapnya malam jadi terang sekilas. Sedetik kemudian, gelap kembali, membawa serta cahaya lampu dan padamnya televisi.
Sudah kaget karena petir, kaget juga karena mati listrik. Ponsel saya beralih fungsi jadi senter. Lingkaran sinar menyorot ruang tamu dari sudut ke sudut, lantai ke langit-langit, kemudian ke lemari di samping televisi, berharap menemukan lilin dan korek api.
"Alhamdulillah, ketemu," gumam saya girang. "Nek, padam, nek!" Nenek tidak menjawab. Gelap seperti ini mungkin membuat orang susah tidur, tapi untuk yang sudah terlanjur tidur, biasanya tambah susah bangun.
Akhirnya saya nyalakan sendiri lilin di atas asbak. Memberi pelita kecil di kegelapan ruang yang kosong. "Apa saya sekalian ngepet aja, ya?" kelakar saya dalam hati.
Pendar lilin di jendela berpadu dengan butiran air hujan yang terempas angin. Romantis. Ada ketenangan yang aneh yang saya rasakan saat ini. Saya beranjak untuk menutup tirai. Biarlah romantis itu ada di luar, yang penting saya tetap aman di dalam.
PANGAPORA, CONG
Saya nyaris terjungkal. Suara nenek itu terdengar sangat dekat. Saya perhatikan jendela kaca yang sudah separuh tertutup tirai, tapi tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada laki-laki bermata satu yang sedang menggendong nenek-nenek. Tidak ada siapapun kecuali pantulan diri sendiri
Merasa itu hanya ilusi, saya berniat menyelesaikan tirai yang tinggal separuh. Tangan saya meraih ujung tirai. Celingak-celinguk melihat ke luar.
Halaman rumah digempur hujan habis-habisan. Lumpur bercipratan ke teras. Ada jejak manusia di sana, tapi bukan jejak kaki. Lumpur itu membentuk jejak tangan yang terus mengular ke jendela, ke bawah lantai, dan ....
ASTAGHFIRULLAH
Persetan dengan tirai. Saya memilih lari ke kamar dan menutup pintu. Saya melompat ke atas kasur, menarik selimut lalu bergeming. Hanya degup jantung saja yang aktif beregerak. Selebihnya, tubuh saya kaku serupa mati.
Pangapora, cong. Pangapora, cong. Pangapora, cong.
Suara itu terus terdengar. Mengalun dilatari suara hujan. Makin lama makin memelas, hingga berakhir menjadi tangisan. Tangisan yang pilu dari seorang nenek renta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top