CHAPTER 4

Esok paginya, saya sudah bersiap ke luar rumah untuk bertemu dengan teman lama. Kami sudah berencana untuk pergi memancing. Kampung Bayang ini memang terkenal dengan tempat memancingnya. Banyak orang dari desa-desa tetangga datang ke sini hanya untuk memancing di danau Bayang yang terkenal. Setidaknya di kalangan orang yang hobi memancing. Termasuk saya.

Saya pun datang ke sini untuk liburan. Tentu saja tidak ingin liburan saya terganggu karena mitos bodoh tentang pengemis itu. Lalu, agar saya juga tidak kelihatan bodoh, saya memutuskan untuk tidak memberi tahu teman saya tentang apa yang saya alami semalam. Begitu teman saya datang menjemput, saya pun pergi dan meninggalkan semua kemuskilan itu di rumah nenek.

Namanya Sobri. Kami sudah berteman sejak SD, sampai sekarang sudah sama-sama SMA. Meskipun bertemunya hanya setahun dua kali, saat liburan saja, tapi kami tak pernah putus komunikasi. Ini tahun 2010. Ponsel sudah masuk desa. Tidak ada lagi alasan silaturahmi terputus.

Bicara soal putus, dalam perjalanan pulang dari tempat memancing, kami sempat melewati jembatan yang katanya sedang dibagun kembali oleh warga. Jembatan itu melintang di atas sungai besar yang airnya deras akibat musim hujan. Kami hanya melihat dari jauh. Dari atas. Sambil duduk di motor. Di bawah sana ada banyak orang dan satu alat berat. Bagaimana pun juga, bekerja dengan kondisi sungai seperti itu tetaplah berisiko.

"Kok nggak nunggu musim hujan selesai aja, ya?" tanya saya.

"Kasihan, Di. Di seberang sana ada rumah Mak Sulas," jawab Sobri.

"Mak Sulas?"

"Iya, tukang pijat. Sudah sepuh juga. Biasanya Mak Sulas pergi ke desa untuk belanja, atau dijemput warga yang butuh jasa pijatnya. Cuma gara-gara jembatan ini amblas, akses ke rumah Mak Sulas jadi terputus. Warga khawatir karena sampai sekarang beliau belum ada kabar."

Kami menghabiskan waktu hampir lima belas menit hanya untuk menonton warga bekerja, sambil sesekali diselingi candaan. Sesaat lupa kalau ingin pergi memancing. Saya melihat kakek. Dia sedang sibuk mengukur papan kayu dibantu beberapa warga. Di sisi yang lain, ada kelompok yang bertugas membuat pondasi. Semuanya baru. Kayu dan bambu bekas jembatan sebelumnya tampak menumpuk di seberang sungai dan tak tersentuh sama sekali.

Dari jalan besar tempat saya dan Sobri nongkrong, saya mendengar teriakan. Seketika kerumunan warga yang sedang bekerja itu bubar. Mereka menghambur ke arah sekelompok orang yang datang dari hulu sambil menggotong sesuatu dibungkus tembikar.

"Ada apa, ya?" gumam Sobri penasaran.

Saya pun demikian. Penasaran saya hampir tak terbendung mana kala tembikar itu diletakkan di tanah, dan dibuka untuk diperlihatkan isinya. Sayang sekali, pandangan saya terhalang kerumunan orang. Yang jelas, ibu-ibu langsung menyingkir dengan jijik. Ada juga yang menjerit histeris.

Seorang warga menaiki lereng sungai dengan tergesa-gesa. Begitu sampai di atas, di samping kami, saya langsung bertanya dengan antusias.

"Ada apa, Man?"

"Bede mayit, cong. Takaek e beto raje."

(Ada mayat, nak. Tersangkut di batu besar.)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top