CHAPTER 3
Untuk pertama kalinya sejak saya berlibur di rumah kakek, saya bisa menikmati malam yang tenang tanpa suara berisiknya hujan. Nyanyian jangkrik-jangkrik girang mengentalkan suasana pedesaan. Namun, bukan berarti saya bisa tidur dengan lelap. Peringatan nenek tadi pagi masih saya bawa di pikiran ini sampai pukul sepuluh malam. Lebih buruknya lagi, malam ini saya sedang sendirian.
Kakek sedang rapat dengan warga mengenai pembangunan jembatan. Nenek saya dan nenek-nenek lainnya juga terlibat dalam proyek sebagai penyedia konsumsi. Sepertinya besok akan jadi hari yang sibuk buat warga Desa Bayang. Sebagai tamu, saya hanya bisa rebahan dan menyumbang doa. Tapi sebelum mendoakan mereka, alangkah baiknya kalau saya mendoakan diri sendiri.
Saya liburan ke sini karena ingin memancing. Sampai bawa alat pancing sendiri dari rumah. Tapi sudah tiga hari si Sobri sibuk terus, sementara liburan pesantren hanya tinggal dua minggu.
Sejak kakek dan nenek pergi, sudah berkali-kali saya menoleh pintu. Tidak berharap, hanya bersiap-siap kabur kalau ada seseorang yang mengetuk. Volume televisi juga sengaja saya maksimalkan. Bersaing dengan suara radio tetangga. Saya harus tetap siaga sampai kakek dan nenek datang.
Saya tertidur di kursi dengan televisi menyala, kemudian terbangun karena suara pintu. Saya melompat. Ini rekor bangun tidur tercepat yang pernah saya lakukan. Biasanya saya butuh jeda lima menit baru bisa bergerak. Kali ini hanya satu detik setelah bangun, dan saya sudah berlari menuju kamar.
"Hadi! Buka pintunya, Di!"
"Kakek?" gumam saya yang hampir menutup pintu kamar.
Setelah saya perhatikan lagi, yang datang memang kakek dan nenek. Ini sudah pukul satu malam. Saya tertidur sekitar dua jam.
"Ya, kek, tunggu."
Saya membuka pintu, membiarkan kakek, nenek, dan omelannya masuk.
"Disuruh buka pintu malah lari ke kamar!" omel kakek.
Hanya nenek saja yang diam. Nenek justru mengangkat kedua alisnya, mengisyaratkan sebuah tanya yang langsung saya pahami maksudnya. Saya balas tanya itu dengan gelengan. Melaporkan pada nenek bahwa pengemis itu tidak datang.
"Di, masukin motor kakek, ya!" pinta kakek seraya memberikan kunci motor.
Saya ke luar. Terasa sekali perbedaan suhunya. Di luar dingin sekali. Apalagi saya mengenakan baju dan celana pendek. Betis dan paha saya merinding, dan sesuatu di antaranya mengerut.
Saat kedua tangan saya sudah bersiap mendorong motor merah berlampu bundar, saya terpekik karena melihat seseorang sedang melintas.
Pengemis itu lewat di depan rumah kakek. Masih menggendong si nenek. Saya berniat secepat mungkin memasukkan motor ke dalam, tapi dongkrak ganda ini terasa sangat berat. Atau kaki saya saja yang mendadak lemas? Dalam hati saya berharap agar pengemis itu tidak berbelok dan menghampiri saya, seraya meyakinkan diri bahwa mereka hanya pengemis biasa. Mereka tidak meminta nyawa, hanya meminta rupiah. Apa yang kamu takutkan, Hadi? Saya membatin.
PANGAPORA
"Astaga!"
Cepat-cepat saya dorong motor kakek masuk ke ruang tamu. Roda-rodanya membekaskan lumpur di lantai. Setelahnya, saya menutup pintu. Pengemis yang tiba-tiba saja menoleh dan menengadahkan tangan itu masih mematung di halaman rumah. Tidak beranjak walau sudah saya beri isyarat sedang pelit.
Saya masuk ke kamar. Setidaknya, malam ini saya mematuhi perintah nenek untuk tidak memberi mereka uang. Sumpah. Ada yang salah dengan pengemis itu. Barusan untuk pertama kalinya saya melihat wajah si nenek yang digendong. Kebetulan dia menengadahkan wajahnya. Wajahnya pucat sekali. Setelah malam ini, saya tidak bisa menganggap mereka sebagai manusia lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top