CHAPTER 23
"Nenek itu datang lagi," kata saya pada kakek.
Kakek meletakkan cangkir kopinya. Ia batal menyentuh pisang goreng di atas piring. Suasana sarapan pagi ini harusnya hangat dan nikmat, kini jadi dingin karena ucapan saya.
"Saya tidak minta uang. Saya cuma ingin kembali ke rumah. Anak saya mati di sungai. Cucu saya mati di gunung. Teman saya jadi korban ketamakan. Hidup susah, mati pun susah. Orang sendiri tidur di tanah, orang baru tidur di kasur. Sampai tulang-tulang saya jadi tanah, di neraka pun, saya tidak akan ikhlas, begitu kata si nenek semalam."
Kakek dan nenek mengambil waktu untuk merenung. Kalimat barusan tentu sangat seram, sekaligus menyedihkan.
"Apa sebaiknya kita adakan selamatan lagi, kek?" tanya nenek.
"Sepertinya begitu, nek. Oh, ya, Hadi. Kamu jadi pulang hari ini."
"Nanti sore, kek. Saya ada janji dengan Sobri."
Nenek meraih jas kain berwarna hijau tua yang digantungnya di pintu dapur. Ia merogoh kantongnya, mencari sesuatu yang tidak ada.
"Cari apa, nek?" tanya kakek.
"Uang, kek. Seingat nenek, ditaruh di kantong ini. Apa kakek ambil buat beli rokok?"
"Ndak, lah!" jawab kakek, "Mungkin kemarin nenek pakai buat belanja."
"Nggak mungkin. Terakhir kali nenek pakai jas ini waktu belanja ke pasar, kalau ndak salah lebih seminggu yang lalu. Duh, sayangnya, padahal pengin buat sangunya Hadi," gerutu nenek.
***
Pukul 9 pagi, saya ikut Sobri. Kami pergi ke danau memancing untuk terakhir kalinya sebelum saya pulang. Begitu lewat simpang tiga bayang, saya melihat para pengemis sudah tidak ada di sana lagi.
"Ke mana pengemis-pengemis di sini?" tanya saya.
"Semalam diangkut truk, katanya dibawa ke kota."
"Kamu lihat waktu mereka diusir?"
"ya, mereka nggak ngelawan, sih, cuma nggak berhenti bilang lapar."
"Syukurlah kalau nggak ada bentrok," kata saya.
"Tapi beberapa pengemis sempat dipukuli warga," lanjut Sobri.
"Kenapa?"
"Soalnya mereka teriak-teriak sambil bilang..."
INI TANAH KAMI. INI RUMAH KAMI. HARUSNYA KALIAN YANG PERGI!
"Mereka bilang gitu?" tanya saya tak percaya.
Kepala saya seperti dialiri listrik. Ada sesuatu yang rasanya tersambung lagi. Mendengar cerita Sobri tentang para pengemis, dan pengakuan mereka yang aneh itu membuat saya berpikir, apakah para pengemis itu sebenarnya adalah warga asli Kampung Bayang yang menurut Mak Sulas sebagian pergi dari desa? Kalau benar, tidakkah ini sangat meyedihkan?
MEREKA MENGEMIS DI RUMAH SENDIRI
Rupanya, yang pergi dari Kampung Bayang tidak hanya para pengemis. Mak Sulas pun tidak terlihat lagi sejak pagi ini. Man Nasih terpaksa ikut rombongan Kang Mul lagi yang tidak puas. Ia mengajak warga atas untuk menyeberangi jembatan darurat, demi menemui Mak Sulas. Namun, lagi-lagi mereka harus kecewa.
Saat Man Nasih mengusulkan agar warga pulang, warga langsung setuju. Namun, mereka tidak mau pulang tanpa berbuat sesuatu. Terutama sebelum polisi datang. Akhirnya, rumah Mak Sulas pun dibakar. Jembatan darurat yang dibangun susah payah pun dirombak. Bahkan ada yang mendatangi kakek ke rumah, agar pembangunan jembatan utama juga dihentikan, karena tidak lagi ada gunanya.
***
Tibalah waktu kepulangan saya. Dari gapura simpang tiga, saya melihat jalan menanjak menuju kampung Bayang. Tidak ada lagi pengemis. Hanya warga yang hilir mudik berbelanja. Entah untuk menyiapkan makanan, atau memperbaiki kerusakan akibat hujan tempo hari. Mobil pikap dengan pengeras suara pun masih keliling kampung sejak subuh, menyiarkan acara doa bersama yang akan digelar di lapangan nanti malam, guna mencegah gangguan mistis terjadi lagi.
"Kamu mau bengong sampai kapan?" tanya kakek sambil memberikan satu keranjang rambutan.
"Kapan kakek mau ke rumah?" tanya saya.
"Kapan-kapan, kalau ada waktu. Nenekmu juga sudah nggak terlalu kuat untuk perjalanan jauh."
Saya pegang janji itu. Berdoa semoga kakek benar-benar ada waktu. Sekarang, saya tidak bisa lagi melihat kampung ini sebagai tempat liburan. Kelak kalau ke sini lagi, saya pastikan hanya sehari. Mungkin sekadar memancing bersama Sobri, atau mengajak kakek dan nenek jalan-jalan ke kota.
Angkutan umum sudah siap berangkat. Saya sudah duduk di dekat jendela. Kakek juga sudah berpaling pergi dari gapura. Dengan ini, secara resmi saya mengatakan, sampai jumpa lagi kampung Bayang.
***
Kernet menagih uang. Begitu saya kasih selembar lima puluh ribu, ia menggerutu karena tidak ada kembalian. Sedangkan di dompet saya hanya ada empat lembar seratus ribuan. Uang lima puluh ribu ini adalah pemberian nenek tadi pagi. Katanya sebagai uang saku perjalanan pulang. Bicara tentang uang, kakek membakar uang lima puluh ribu yang ia temukan bersama boneka sihir itu. Meski merasa sayang karena harus membakar uang, kakek bilang, ia hanya berniat membakar kesialan.
"Nggak ada lagi, Mas," ucap saya pada si kernet.
"Waduh, gimana, ya?" kata si kernet sambil garuk kepala.
"Ini, satukan sama punya saya saja, Pak. Nggak apa-apa," ucap seorang bapak-bapak sambil menyodorkan uang sepuluh ribu.
"Eh, makasih banyak, Pak. Waduh, tapi saya nggak bisa ganti," kata saya sungkan.
"Nggak apa-apa, mas. Daripada sampean diturunkan di sini."
Benar. Daripada saya diturunkan di sini. Di jalan menuruni gunung yang sepi, dan hanya tampak kebun karet di kanan, dan kebun cokelat di kiri. Melihat keduanya, saya jadi teringat cerita Mak Sulas tadi malam. Tentang hidup yang kejam, tentang sejarah yang kelam. Pembangunan yang merata, katanya. Ya, merata. Meratakan rumah warga.
PENGEMIS KAMPUNG BAYANG.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top