CHAPTER 21
Nenek harus menyajikan kopi satu lagi untuk tamu yang tak diundang ini. Kami menutup semua jendela dan tirai, sebisa mungkin membuat kesan kalau keluarga kakek sudah tidur semua. Meski pun satu-satunya yang disuruh tidur hanya saya.
"Kamu ngapain di sini? Sana tidur! Besok kamu harus pulang," kata kakek.
Benar juga. Kenapa saya malah duduk di sini? Kenapa pula saya merasa perlu ikut dalam konferensi meja tua ini? Semua pesertanya adalah kakek dan nenek. Man Nasih memang bukan kakek, tapi dia sudah cukup keriput untuk disebut bapak-bapak. Secara teknis, sayalah yang paling muda, saya juga yang paling tidak punya urusan.
"Biar saja cucumu di sini. Dia pasti tidak bisa tidur nyenyak," kata Mak Sulas.
Akhirnya, obrolan para orang tua ini dibuka dengan mengulas seluruh kejadian. Pembahasan mulai serius saat Mak Sulas meneguk habis kopi miliknya, berserdawa, lalu mulai memasang mimik seolah hendak menyampaikan wasiat yang panjang.
"Sudah berapa tahun kamu di sini?" tanya Mak Sulas pada kakek.
"Dua puluh. Mungkin dua puluh lima," jawab kakek tidak yakin, "Saya baru pindah ke sini setelah punya anak."
"Kalau kamu?" kali ini Mak Sulas bertanya pada Man Nasih.
"Berapa, ya?" Man Nasih tampak sedang menghitung.
"Seratus tahun?" Tebak Mak Sulas.
"NGAWUR!" sergah Man Nasih. "Mungkin belasan. Saya juga lupa."
"Dulu... Kampung Bayang ini sejahtera," Mak Sulas memulai dongengnya.
SANGAT SEJAHTERA
"Warga di sini kebanyakan petani. Tanahnya luas, panennya melimpah. Memang belum banyak rumah gedung, tapi harta orang kampung tidak bisa diukur dari rumah, toh? Rumah boleh jelek, tapi kandang sapinya lebar, sapinya juga banyak."
"Meskipun begitu, kami tetap hidup rukun. Tidak ada dengki. Semua dianggap saudara sendiri. Sampai akhirnya, kami mulai tergiur oleh sebuah tawaran."
"Ada sekelompok orang yang hendak membeli tanah-tanah kami. Katanya mau dibangun gudang dan berbagai kepentingan lain. Orang-orang ini, entah atas nama pemerintah atau pribadi, yang jelas mereka adalah pengelola kebun karet dan kebun cokelat di dataran tinggi Gambir. Termasuk yang membentang di kawasan Bayang."
"Mereka akan membeli dengan harga tinggi. Tidak hanya itu, mereka juga akan memberi jaminan pekerjaan bagi warga yang tanahnya rela dibeli. Pekerjaan itu dijanjikan gaji yang tinggi, dan bahkan akan dibangun rumah sebagai hadiah jika warga mau bekerja sama."
"Tawaran yang bagus. Sangat bagus untuk kami yang bodoh. Kami berunding, dan tidak satu pun yang menolak, kecuali orang tua saya. Sayangnya, orang tua saya kalah suara. Semua sepakat untuk menerima tawaran itu. Siapa yang tidak terbuai dengan segala janji tadi?"
"Tidak butuh waktu lama, sawah dan ladang kami terkikis pembangunan. Gudang yang dibangun ternyata tidak terlalu besar. Sisa tanah justru dibangun untuk rumah. Namun, rumah itu bukan untuk warga. Sekita 100 tahun—atau mungkin kurang dari itu, saya lupa—rumah-rumah yang baru dibangun itu kosong. Tidak ada yang menghuni. Warga mulai berani menagih, tapi yang mereka dapatkan hanyalah janji."
"Pekerjaan warga di kebun karet dan kebun cokelat awalnya sangat menjanjikan. Upah mereka tinggi. Masih cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai akhirnya, satu persatu warga diberhentikan, dan diganti oleh tenaga kerja pendatang. Kebanyakan dari luar daerah. Hal itu berlanjut sampai akhirnya, tidak satu pun warga Kampung Bayang yang bekerja di kebun-kebun itu lagi. Kalian tahu yang lebih buruk? Rumah-rumah yang dibangun tadi, akhirnya ditempati oleh para pendatang."
"Tidak hanya itu, warga yang tidak punya keahlian lain selain bertani, terpaksa menjual rumahnya untuk kemudian kerja serabutan. Rumah mereka digusur, dan ditempati oleh pendatang yang semakin tahun, semakin bertambah. Warga asli Kampung Bayang terpaksa turun ke bawah. Semakin tahun, semakin ke bawah. Maksud saya, ke dalam tanah."
Saya mengacungkan tangan. Kebiasaan di madrasah saat hendak mengajukan pertanyaan.
"Ke dalam tanah?"
"Ya, banyak dari mereka meninggal karena penyakit. Kelaparan. Bahkan ada yang dibunuh karena mencoba melawan. Mereka dikuburkan sembarangan di kebun pisang yang sekarang kalian sebut kuburan kuno. Sisanya yang masih hidup terpaksa pergi dari kampung ini, dan sampai sekarang tidak tahu ada di mana."
Mak Sulas mengambil sebatang rokok milik Man Nasih, lalu mengepulkan asap di bibir keriputnya. Mantap sekali. Seolah nikotin tak berpengaruh pada paru-paru yang sudah berkarat.
Kami tidak bicara. Sepertinya masih memikirkan kisah Mak Sulas barusan. Meskipun saya belum mengerti, apa hubungannya sejarah Kampung Bayang dengan kejadian malam ini. Saya mulai mengantuk. Barulah saya sadari, di sini hanya saya yang tidak disuguhi kopi.
Kaki mulai terasa sakit sekali karena tersandung batu. Ada darah di sela-sela kuku jempol kaki.
"Mak Sulas," kata kakek, "Kami sudah mendengar tentang Kasmin dan pengemis yang dibunuhnya. Dan malam ini, kami menemukan mayat di belakang rumah sampean."
Kakek mencondongkan badan ke arah Mak Sulas, menatap tajam si nenek tua yang sedang santai memainkan bara api di jarinya.
"Apa jangan-jangan sampean yang sudah--"
"--Kasmin yang membunuhnya," sela Mak Sulas, "Dan saya yang menguburnya," lanjutnya sembari membuang muka.
"Kenapa? Kenapa tidak melapor ke warga! Sampean sudah membantu tindak kriminal!" sergah Man Nasih.
"Apa bedanya? Kalau saya melapor, mayat pengemis itu tetap akan kalian kuburkan di kuburan kuno dengan tidak layak. Toh selama ini kalian juga tidak peduli pada para pengemis itu."
Tampaknya Mak Sulas memenangkan perdebatan. Kakek dan Man Nasih hanya terdiam.
"Tadinya saya ingin merahasiakan semuanya. Tapi sepertinya, cucumu ini bisa melihat arwah pengemis itu. Makanya saya ceritakan semuanya sama dia, meski harus berbohong sedikit."
Kakek bangun, lalu menuju pintu untuk meraih bungkusan plastik di atas. Ia membuka dan mengeluarkan isinya di atas meja.
"Apa Sampean pernah melihat yang seperti ini?" tanya kakek.
Seketika, semua mata tertuju pada Mak Sulas. Walau pun sedikit, saya bisa melihat tatapan menuduh di wajah kakek, Man Nasih, dan bahkan nenek. Tampaknya Mak Sulas tak kalah terkejut. Ia meraih benda itu, mengenggamnya erat, lalu mendekatkannya ke wajah. Seraya terpejam, Mak Sulas merapalkan sesuatu.
Angin bertiup di dalam rumah. Kendati sudah saya tutup semua pintu dan jendela. Lalu, di antara sayup-sayup yang misterius itu, saya mendengar sebuah suara.
PANGAPORA, CONG.
Saya tersentak, lalu berteriak. Ingin rasanya melompat ke pangkuan kakek, tapi saya yakin kakek pasti akan langsung mengirim saya ke lantai. Suara itu masih jadi trauma bagi saya, karena biasanya selalu disusul dengan kemunculan hantu yang tiba-tiba. Namun, sepertinya saat ini semua baik-baik saja. Tidak ada penampakan apa pun di sekeliling saya. Hanya Man Nasih dan nenek saja yang memandang saya dengan heran.
Mak Sulas sudah selesai dengan ... apa pun yang dilakukannya barusan. Ia meletakkan kembali benda berbentuk boneka manusia itu ke meja.
"Ingatkan saya lagi, tahun berapa kalian membangun rumah ini?" tanya Mak Sulas pada kakek dan nenek.
"Kami tidak pernah membangun. Kami membeli rumah ini dan tanahnya dari pemilik sebelumnya."
"Dan siapakah pemilik sebelumnya?"
"Seseorang bernama Kasito. Dia sudah pindah ke kota karena tuntutan pekerjaan," jawab kakek.
"Dia masih kerabat saya, Mak," nenek menambahkan.
Mak Sulas menyandarkan punggungnya. Ia mengisap rokok yang entah sejak kapan sudah semakin pendek saja.
"Kasito, kasito, kasito, saya lupa seperti apa orangnya. Mungkin karena saya sudah jarang keliling desa. Satu-satunya kesempatan saya ketemu kalian, ya, kalau kalian sedang ingin pijat saja," ujar Mak Sulas.
"Memang kenapa dengan Kasito, Mak?" tanya Man Nasih.
"Sepertinya, Kasito tidak jujur sama kalian," jawab Mak Sulas.
"Tidak jujur?" Kakek mengernyit, heran.
Mak Sulas melirik ke arah saya.
"Perempuan itu apa masih sering datang?" tanyanya.
"Terakhir kali datang, kemarin malam, Mak, kenapa?"
"Pantas saja. Sebenarnya, perempuan itu adalah ..."
PEMILIK RUMAH INI YANG SEBENARNYA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top