CHAPTER 19

Satu jam saya menunggu di pendopo. Sudah banyak warga yang datang. Rata-rata adalah orang bawah. Mereka terbagi jadi beberapa kelompok, dan di setiap kelompok ada aparat desa yang mengayomi. Yang saya maksud mengayomi adalah, mengangguk-angguk mendengarkan cerita warga tentang teror di rumahnya masing-masing. Hanya mendengar, tidak memberi solusi.

Sementara itu, Man Nasih belum ke luar dari kantor desa. Saya tidak tahu apa yang dia diskusikan dengan orang nomor satu di Kampung Bayang. Saya juga tidak mengerti kenapa Man Nasih mengajak saya, kalau akhirnya harus duduk di teras pendopo sambil menonton semut kawin.

"Hadi, kamu ngerokok?" tanya Man Nasih. Tampaknya sudah selesai dengan urusan rahasianya.

"Nggak, Man."

"Kalau gitu, sebaiknya kita pindah ke sana." Man Nasih menunjuk kursi panjang di pinggir pendopo.

"Kenapa, Man?"

"Sebentar lagi, pendopo ini akan ramai sekali."

Benar kata Man Nasih, tak lama kemudian, warga yang lain datang menyusul. Berbeda dengan yang sejak tadi sudah berkumpul di sini, mereka yang baru datang tampak berapi-api dan membawa api. Hampir semuanya juga membawa senjata tajam. Di antara mereka, saya melihat rombongan Kang Mul dan kakek.

Sampai di pendopo, rombongan itu langsung membagi diri menjadi tiga kubu tanpa diperintah. Lalu, kepala desa yang sejak tadi ada di dalam kantor, kini ke luar untuk menemui warga.

Kekaguman saya akan kompaknya warga Kampung Bayang berakhir di sini, di kantor kepala desa. Ada tiga kubu yang berbeda pendapat. Pertama, kubu Kang Mul yang berasumsi bahwa kejadian ini adalah ulah seorang tukang sihir. Bukan kali pertama Kang Mul menyerukan hal itu. Sebelumnya, saat menyebut tukang sihir, saya hanya bisa membayangkan seorang nenek-nenek dengan hidung seperti paruh burung yang melayang dengan sapu terbang di atas Gunung. Namun, sepertinya hal itu lebih serius dari khayalan kocak saya.

"Ini!" Seru Kang Mul, "Ini yang saya takutkan. Sudah sejak lama saya bilang agar kita tidak memelihara tukang sihir. Sekarang lihat akibatnya! Malam ini mungkin hanya penampakan-penampakan saja. Bukan tidak mungkin besok anggota keluarga kalian ada yang jatuh sakit, perutnya buncit, keluar paku, keluar pisau, keluar becak, sampai akhirnya mati," tandasnya berapi-api.

Argumen itu ditanggapi oleh kubu kedua, yakni kubu Harto dan Tanjung yang tinggal di kompleks bagian bawah. Kalau sebelumnya Kang Mul menanggapi kejadian ini sebagai tindak kriminal—ya, itu juga kalau sihir termasuk tindak kriminal—yang intinya adalah perbuatan seseorang, Harto dan Tanjung justru sangat yakin, ini adalah dampak dari hanyutnya kuburan kuno.

"Sampean itu tinggal di atas, Mul. Sampean ndak tahu gimana teror di bawah. Kami yang tinggal dekat kuburan kuno, sebelum malam ini sudah sering mengalami gangguan-gangguan mistis. Kalian tahu sendiri, kan, gimana angkernya kuburan itu. Sekarang, itu isi kuburan sudah kocar-kacir di halaman rumah kami, bahkan ada yang masuk ke teras. Jadi, daripada mencari kambing hitam, lebih baik malam ini kita gotong royong perbaiki itu kuburan."

Saya tidak mau memihak, tapi sejauh ini argumen Suharto lah yang masuk di akal. Mungkin karena saya tidak pernah tahu tentang tukang sihir yang Kang Mul ceritakan. Atau karena saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kuburan kuno itu amblas dihanyut air. Namun, itu sebelum saya mendengar pendapat kubu ketiga yang merupakan perwakilan dari kompleks bagian tengah.

"Pak Kades. Kami tidak mau meminta banyak. Kami hanya ingin menagih solusi yang sejak lama sampean tunda karena terlalu mendengarkan orang di atas dan di bawah," ucap seorang berbadan tinggi, tegap, berambut cepak, berkaus pendek yang memperlihatkan lengan berotot besar.

"Kami ingin mulai besok...."

USIR SEMUA PENGEMIS DI SIMPANG TIGA BAYANG!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top