CHAPTER 18

Melewati kompleks bagian tengah, kami berpapasan dengan warga yang juga sedang berbondong-bondong ke bawah. Bedanya, ada beberapa yang masih di rumah, dan hanya duduk santai menyaksikan kegaduhan. Di sini juga ada musala, tapi tidak ada orang. Tidak ada yang mengungsi seperti di atas.

Bisik-bisik yang saya dengar, mayoritas warga bagian tengah enggan mengungsi karena tidak mengalami apa yang para tetangganya alami. Di antara orang-orang itu ada yang skeptis, ada yang katanya memang berpengalaman menangani masalah seperti ini. Bahkan saya sempat melihat seorang bapak-bapak mengolok-ngolok kami. Seolah kami adalah rombongan pengecut yang kabur dari khayalannya sendiri.

Semakin ke bawah, suasana jadi semakin gawat. Air masih menggenang di beberapa permukaan, meninggalkan banyak sampah yang hanyut terbawa arus. Rumah-rumah di kompleks bawah sudah banyak yang kosong. Hanya sebagian kecil saja yang masih bertahan. Mungkin mereka adalah golongan yang sama dengan yang mengolok-olok kami tadi. Golongan sok pemberani.

"Orang-orang di sini pada ke mana, Man?" tanya saya.

"Biasanya kalau ada musibah, warga kumpul di balai desa, di simpang tiga Bayang."

"Biasanya? Berarti yang seperti ini bukan pertama kali?"

"Kalau yang kamu maksud adalah evakuasinya, ya. Orang-orang di sini selalu kompak menyelamatkan diri kalau desa sedang status siaga. Terakhir kali kami mengungsi seperti ini, saat ada longsor. Kalau nggak salah, tujuh tahun yang lalu."

"Oh, iya, saya dengar dari bapak. Waktu itu kami sampai nggak jadi liburan ke Bayang. Terus, teror hantu semacam ini apa pernah terjadi sebelumnya?"

Man Nasih mengambil jeda untuk bercerita.

"Hal mistis semacam ini lumrah terjadi. Saya juga pernah mengalami. Dari cerita-cerita warga juga banyak yang mengaku bertemu dengan hantu saat perjalanan pulang, atau saat bekerja di sawah pada malam hari. Meskipun begitu, kejadiannya nggak pernah sampai keroyokan begini."

Ada sesuatu yang menganggu saya sejak tadi, yakni ucapan Kang Mul yang dengan sangat yakinnya berkata bahwa ada seseorang yang sedang berniat jahat padanya. Pada warga Kampung Bayang.

"Menurut Man Nasih, apa benar semua ini disebabkan oleh seseorang?" tanya saya.

"Seseorang?"

"Ya, seperti yang dibilang Kang Mul. Ada orang yang berniat jahat sama warga. Semacam penganut ilmu hitam."

Langkah demi langkah Man Nasih masih diam. Barulah ia menggeleng, itu pun masih diam. Man Nasih tidak mau menjawab. Sepertinya bukan karena tidak tahu, tapi karena tidak mau.

Sampailah kami di simpang tiga Bayang. Hal pertama yang jadi perhatian saya adalah para pengemis. Mereka masih di sana. Kalau ingatan saya benar, mereka masih orang yang sama. Dari banyaknya warga yang lewat, tidak satu pun yang memberi pengemis-pengemis itu uang. Maklum, Kami sedang memikirkan diri sendiri. Hanya saja, sikap mereka terlalu dingin.

PANGAPORA

Saya menoleh seketika. Suara itu berasal dari salah seorang pengemis yang masih anak-anak. Mungkin seusia anak sekolah dasar. Tangan kosongnya yang sedang menadah tampak bergetar. Lalu, di antara riuh derap langkah orang-orang, saya mendengar anak itu merintih.

LAPAR... SAYA LAPAR...

Tanpa saya sadari, saya sudah terpisah dari Man Nasih. Ia sudah jauh entah di mana. Saya sedang berdiri berhadapan dengan pengemis itu. Ada rasa iba yang tak mungkin saya tepis. Sayangnya, saya tidak membawa uang atau pun makanan yang bisa saya bagi.

Tiba-tiba seseorang menarik saya.

"Jangan!" kata orang itu, sambil menahan saya dengan tangannya.

Dia seorang pria berbadan gempal. Mungkin masih seumuran dengan kakak sepupu saya yang masih 27 tahun. Kemeja dan kacamatanya itu seolah memberi kesan bahwa ia orang terpelajar. Entah dia seorang guru, atau hanya pria dengan penglihatan yang kurang baik, yang jelas ia tetap menyeret saya yang tersaruk-saruk mengimbangi kecepatan jalannya. Samar-samar, saya mendengar para pengemis menggumam. Kendati suara dan rintihannya berbeda, kata yang mereka ucapkan ternyata sama.

LAPAR

"Kamu bukan orang sini?" tanya pria berkacamata.

"Bukan, saya cuma sedang liburan," jawab saya.

"Liburan di Kampung ini?"

"Anu, saya cucu dari Pak Majid."

"Oh, yang dulu sering dibawa ke kebun cokelat itu? Ya, saya ingat. Saya Najib, anak penjual ote-ote di pasar. Ah, ya, kamu pasti nggak ingat. Dulu kamu masih kecil."

Ya, kamu juga nggak terlalu besar untuk bilang seperti itu, gerutu saya dalam hati.

"Lain kali, jangan sembarangan ngasih sama pengemis di sini, ya!"

"Memangnya kenapa?" tanya saya penuh semangat.

Pertanyaan ini sudah lama ingin saya tanyakan, dan sepertinya kali ini saya menemukan orang yang tepat.

"Memang sudah aturannya begitu. Sekali dikasih uang, atau sekadar berbaik hati pada mereka, maka kamu akan dianggap tuannya. Pengemis itu akan terus datang ke rumah kamu."

Jawaban orang bernama Najib ini sama sekali tidak membantu. Saya sudah mendengarnya dari kakek dan nenek. Sejujurnya, saat ini saya justu merasa yakin kalau pengemis-pengemis ini ada sangkut pautnya dengan Kasmin, Nenek yang dibunuh Kasmin, Mak Sulas, uang lima puluh ribu, dan teror malam ini. Tidak ingin sok jadi detektif, tapi sulit untuk tidak berpikir kalau semua itu saling berhubungan.

Sampai di gapura, saya langsung memisahkan diri dari Najib. Man Nasih sudah menunggu di pinggir jalan. Ia menggeleng kesal karena saya lamban.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top