CHAPTER 17
Kakek pasti bangga punya cucu dan istri yang patuh. Alih-alih jadi anak kecil yang ketika dilarang justru dilakukan, saya dan nenek langsung lari menghampiri kakek tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Kami tidak tahu ada apa di sana. Yang jelas, air muka kakek barusan—walau hanya sebagian disorot remang lampu halaman—Sudah cukup menjadi cambuk agar kami bergerak menjauh.
Selanjutnya, kakek menggiring kami ke rumah orang bernama Kang Mul. Rumahnya bersebelahan dengan rumah kakek. Hanya berbatas dinding setinggi kepala orang dewasa. Di balik dinding itu, kami menemukan suasana yang sama. Sama-sama getir.
Satu keluarga sedang berkumpul di halaman. Istri dan anaknya tampak sangat ketakutan, dan kalau tebakan saya benar, maka orang yang sedang mengasah golok ini adalah Kang Mul. Di sana juga sudah ada Man Nasih.
"Mul, kamu nggak apa—"
"Ada hantu, lek," sahut istri Kang Mul, "Tiba-tiba saja muncul di pojokan kamar, pas kami selesai salat."
"Wujudnya seram, Lek. Muncul dan hilang juga tiba-tiba," kali ini Kang Mul sendiri yang menjelaskan. "Tamu saya yang kebetulan melihat langsung kabur,"
"Ya, barusan saya berpapasan dengannya," ucap kakek, "Terus golok itu buat apa, toh?"
"Sudah jelas, kan? Teror ini pasti kiriman. Ada orang jahat yang sedang main-main dengan kita."
"Saya juga dengar teriakan di seberang sana." Kakek menanggapi, tapi seolah menghindari topik tentang orang jahat yang Kang Mul maksud.
Sejenak kami diam dan sama-sama menajamkan pendengaran. Kegaduhan nyaris mengelilingi desa. Saya hanya bisa menerka kalau semua itu disebabkan oleh hal yang sama. Tak lama kemudian, satu persatu tetangga ke luar dari rumah. Sebagian menghampiri rumah Kang Mul dengan membawa senjata tajam. Sebagian lagi datang dengan wajah yang seolah membawa berita seram.
Kang Mul berusaha menenangkan warga. Dari situ juga saya tahu kalau dia adalah ketua RT. Kami mendengarkan satu persatu cerita singkat warga.
"Saya lagi mau mandi, terus ngelihat ada orang kulitnya hitam sekali sedang berdiri di depan pintu kamar mandi."
"Anak saya lagi belajar ngaji sama ibunya, tiba-tiba saja nangis ketakutan. Katanya ada orang matanya besar sekali sedang mengintip dari balik gorden."
"Saya lagi menjahit, Kang. Tiba-tiba dari cermin, saya lihat ayunan bayi saya gerak sendiri. Pas saya noleh, ternyata didorong sama perempuan, rambutnya panjang sampai kaki."
Semua warga bercerita pengalamannya masing-masing, sampai tiba giliran kakek. Mulanya ia enggan bercerita, tapi sepertinya kakek tidak ingin membuat orang-orang merasa bahwa keluarga kakek tidak termasuk bagian dari teror ini.
"Kalau saya, saya melihat sosok mirip pocong sedang melayang di belakang cucu dan istri saya barusan."
Kaki saya langsung lemas. Percuma tidak melihat, kalau akhirnya harus mendengar. Membayangkan sosok itu sempat berada dekat dengan saya barusan, rasanya saya ingin lari sekarang.
Terdengar bunyi kentungan bertalu-talu. Kendati warga yang sedang berkumpul melihat hal yang berbeda, reaksi mereka atas bunyi kentungan itu cenderung sama. Kecuali saya. Saya tidak mengerti maksudnya, sampai Kang Mul memerintahkan warga untuk keluar dari rumah.
"Semuanya kumpul di musala. Jangan ada yang tinggal di rumah!"
Pesan Kang Mul diteruskan oleh para kepala keluarga ke anggota keluarganya masing-masing yang sebenarnya sudah mendengar sendiri karena sejak tadi memerhatikan dari teras rumah mereka.
"Anak-anak ikut ibunya. Yang muda mendampingi yang sepuh!" kakek menambahkan.
"Jangan lupa bawa obor!" seru Man Nasih.
Ada sekitar tujuh kepala keluarga di kompleks ini. Semuanya sudah berjalan beriringan menuju ke Musala. Nenek juga ikut bergabung. Bapak-bapak menyalakan obor. Senjata tajam terselip di pinggang. Hanya dua orang yang berpenampilan seperti seorang ustaz yang tidak dilengkapi senjata. Namun, mulut mereka tak henti-hentinya membaca sesuatu. Ternyata benar. Meskipun sedang dilanda musibah yang sama, manusia cenderung bereaksi sesuai tingkat ilmu dan imannya masing-masing.
"Bapak-bapak ikut saya pergi ke bawah!" Kang Mul memberi komando.
"Kang Mul, biarkan saya tetap di sini," ujar salah seorang bersarung, berbaju koko, dan berkopiah putih.
"Tapi ustaz, kami butuh—"
"—Saya mengerti, saya pun ingin ikut kalian pergi ke bawah, tapi di saat seperti ini, harus ada yang pergi ke atas," ustaz menunjuk langit.
Kang Mul tidak banyak berkata. Ia mengangguk mengiyakan usulan sang ustaz. Setelah itu, ustaz pergi ke arah musala tempat saya dan Sobri tertidur kemarin. Bersama dengan para tetangga yang terdiri dari perempuan, orang tua, dan anak-anak.
"Hadi, kamu dampingi nenekmu ke Musala," perintah kakek.
"Kakek mau ke mana?"
"Kakek dan yang lain punya urusan tersendiri."
"Biar Hadi sama saya saja, Lek," kata Man Nasih. Ia yang sejak tadi diam, tampak semangat sekali mengajak saya ke dalam timnya.
Kakek menarik tangan Man Nasih menjauh dari kerumunan. Selagi Kang Mul dan yang lain sibuk berdiskusi, kakek membuat diskusi kecilnya sendiri. Entah saya bagian dari diskusi itu atau bukan, yang jelas saya bisa mendengar semuanya.
"Kamu langsung ke rumah Pak Kades saja. Kalau nggak ada, langsung ke balai desa. Intinya, kamu harus ketemu Pak Kades lebih dulu daripada orang-orang ini."
Man Nasih mengangguk. Saya juga mengangguk. Saya mengerti perintah kakek, tapi sepertinya Man Nasih mengerti lebih dari itu.
Saya dan Man Nasih bergegas ke tempat tujuan. Kami berjalan cepat tapi tetap siaga, melewati jalan menurun yang masih becek karena hujan.
Saat melintas di depan rumah kakek, saya sengaja menoleh dan langsung menyesal. Sosok yang diceritakan kakek tadi masih di sana. Berdiri kaku dengan leher sedikit lunglai. Tubuhnya dibalut kain putih yang penuh noda tanah.
"Hadi!" tegur Man Nasih. "Saya nggak tahu apa yang kamu lihat, tapi sebaiknya jangan!"
"Maaf, Man."
Tampaknya sosok itu hanya kasat di mata saya. Orang-orang ini sama sekali tidak melihat walau ada sebagian yang menoleh ke arah yang sama.
Perjalanan kami yang dilatari bunyi kentungan dan diterangi nyala obor, terasa lebih cerah saat terdengar lantunan ayat suci dari pengeras suara di musala. Sepertinya ustaz tadi sedang melakukan tugasnya. Saat kami berbondong-bondong mencari selamat ke bawah, ustaz sedang mencari pertolongan ke atas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top