CHAPTER 16
Saya kagum dengan solidaritas warga Kampung Bayang. Setelah bergotong royong, mereka berkumpul di rumah salah seorang warga untuk makan bersama. Benar dugaan saya, nasi, lauk, kopi, rokok dan minuman sudah tersedia. Hanya kakek saja yang memilih makan masakan nenek.
"Barang-barangmu sudah siap, Di?" tanya kakek, sambil mengunyah nasi dengan lahap.
"Kek, kayanya saya pulang besok saja."
"Loh, kenapa?"
"Saya nggak tega ninggalin kakek sama nenek di situasi seperti ini."
"Situasi apa, Di? Semua sudah teratasi, kan?"
"Iya, sekarang. Bagaimana kalau nanti hujan lagi?"
"Di, ini dataran tinggi, mustahil ada banjir—"
"--Mau dataran tinggi, rendah, kalau warganya suka buang sampah sembarangan, banjir tetap saja bisa datang, kek. Buktinya di pemakaman kuno tadi. Lihat!" saya menunjuk genangan air di halaman rumah warga. "Bukan nggak mungkin ini air sudah bercampur sama abu tulang mayat-mayat—"
HUEK!
Kakek mual. Setelah menutup mulutnya, kakek menampar mulut saya.
"Colokna!" (Mulutmu!) sergah kakek.
Terlepas dari perdebatan kami barusan, kakek mengizinkan saya untuk menginap semalam. Sesuai perkiraan, malam harinya, hujan kembali turun meskipun tidak terlalu deras. Sampai magrib tadi, warga masih membersihkan kuburan kuno dari sisa-sisa sampah dan lumpur. Hanya saja, mereka memaksa kakek untuk pulang karena mereka tahu, beberapa hari ini kakek terlalu keras bekerja.
Malam ini kakek dan nenek tidak ke mana-mana. Mereka tampak asyik menonton acara siaran langsung dangdut di televisi nasional. Saling bersenda gurau, dan sesekali ikut bersenandung. Ada saya saja, mereka bisa seperti ini, bagaimana jika besok saya pulang?
Saya tidak mau kalah. Saya juga menyibukkan diri dengan ponsel. SMS-an walau cuma dengan Sobri. Saling berbagi template SMS anekdot yang didapat dari tabloid mingguan, atau saling pamer koleksi pesan gambar.
Satu jam berlalu. Tepat pukul 10 malam, tiba-tiba kakek mengecilkan volume televisi. Nenek juga beranjak dari rebahannya.
"Kenapa, kek?" tanya saya.
"Kamu dengar suara, nggak?" tanya kakek.
"Suara apa?" tanya saya.
Ponsel saya bergetar. Ada sebuah pesan dari Sobri berbunyi, "Di, bentar dulu, ya. Kayanya ada tamu."
Begitu suara televisi bisu sepenuhnya, barulah telinga saya menangkap suara yang kakek maksud. Gila, telinga tua kakek lebih peka dari telinga saya.
AAAH!
Saya mendengar suara teriakan dari jauh. Kami bertiga langsung berdiri dan bergegas ke luar rumah. Dari teras luar, suara itu lebih jelas terdengar. Tidak hanya satu, tapi dua, atau tiga orang yang berteriak sekaligus.
"Ada apa, ya, kek?"
"Mungkin maling," jawab nenek, sementara kakek masih sibuk mencari asal suara.
TOLONG!
Suara yang serupa terdengar kembali. Kakek langsung yakin dari arah mana suara itu datang.
"Sepertinya dari pemukiman di bawah," gumam kakek, "Kalian cepat masuk! Kunci pintu, dan jangan ke luar sebelum kakek datang."
AAAAH!
Suara ketiga menghentikan langkah kakek yang sudah hendak berlari jauh. Suara kali ini terdengar dekat sekali. Sepertinya berasal dari rumah tetangga.
"Kayanya dari rumah, Kang Mul, kek," kata nenek.
Kakek berbalik haluan ke rumah tetangga. Saat itulah, ia berpapasan dengan seorang warga yang lari tunggang-langgang bak dikejar anjing.
"Woi, bede apa? Maleng, tah?" (Hei, ada apa? Ada maling, kah?) tanya kakek pada warga tersebut. Kakek sampai harus menarik tangan orang itu agar mau berhenti.
"Di rumah Kang Mul ada hantunya, Mbah," jawab orang itu terbata-bata.
"Hantu?" tanya kakek.
Alih-alih menjawab, orang itu melanjutkan kaburnya yang tertunda, meninggalkan kakek sendirian di tengah jalan. Saya dan nenek hanya menyaksikan dengan tegang, berlatar suara teriakan orang-orang yang kian merata nyaris di seluruh penjuru desa. Itu membuat kakek bingung harus pergi ke mana.
Kakek melihat ke arah kami, lalu matanya membelalak. Kakek mengangkat tangannya yang gemetar.
"Hadi, Nenek...." katanya dengan suara bergetar.
JANGAN LIHAT KE BELAKANG!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top