CHAPTER 14
Setelah hampir lima menit menunggu di bawa pohon mangga, kakek datang membawa cangkul. Rambutnya yang putih dan jarang tampak basah karena tudung jas hujannya dibiarkan terbuka. Sepertinya penemuan ini membuat kakek tidak peduli lagi pada hujan.
Kakek menghujamkan cangkulnya dengan keras, berasumsi sedang menggali lubang yang cukup dalam, tapi ternyata, cangkul itu menghantam dan menghancurkan sesuatu seperti logam.
Tidak ingin diam saja, saya menggali dan mengambil benda yang sudah berbalur tanah dan karat itu.
"Ini kaleng bekas susu, kek," kata saya, sambil mengangkat kaleng yang sudah penyok akibat cangkul.
Kakek meletakkan cangkulnya, lalu mengambil kaleng tersebut. Di dalam kaleng itu ada sesuatu yang dibungkus kantong plastik berwarna hitam. Kami memutuskan untuk berteduh di bawah pohon mangga, lalu memeriksa isinya di sana.
"Ini apa-apaan, ya?" gumam kakek, seraya mengeluarkan isi kaleng tersebut dengan wajah heran campur jijik.
Ini masih dini hari. Mungkin sekitar pukul setengah lima pagi. Masih lumayan gelap. Satu-satunya penerangan adalah lampu kecil yang memang dipasang untuk menerangi halaman belakang.
"Itu uang lima puluh ribu, kan, kek?"
"Iya, kalau uangnya kakek tahu, tapi ini apa?"
Kakek mengenggam sebuah benda yang terbuat dari kain, dirakit seperti boneka. Tidak jelas apa isinya, yang jelas, boneka itu dibuat menyerupai manusia. Di dalam kantong plastik itu juga banyak remahan daun dan bunga yang sudah rapuh dan menghitam.
Kami tidak ingin berlama-lama diguyur hujan dengan perasaan tak keruan. Setelah memastikan gundukan tanah itu tidak memendam apa pun selain benda-benda barusan, kami menutupnya lagi, lalu kembali ke rumah sambil membawah kayu yang kakek butuhkan.
"Kayu ini buat apa, kek?" tanya saya yang bahunya sudah mulai nyeri karena memikul kayu yang lumayan berat.
"Mau buat sekat di pintu, biar kalau air naik, nggak masuk ke rumah," tutur kakek.
Kami meletakkan kayu sepanjang tiang lampu jalan di halaman rumah kakek dengan hati-hati.
"Hadi, kamu cepat mandi. Setelah itu kakek antar ke simpang tiga Bayang."
"Eh ngapain, kek?"
"Kamu pulang hari ini! Kakek sudah tanya sama orang-orang, jembatan ke kota sudah bisa dilewati."
Saya ingin pulang. Sangat ingin pulang. Namun, entah kenapa cara kakek menyuruh saya, terkesan seperti mengusir. Bukan mengusir karena benci, tapi seolah tidak ingin saya ada di sini lebih lama lagi.
"Hujan deras, kek," sahut saya.
"Nggak apa-apa, kamu naik angkutan umum, kan?"
"Kalau di sini banjir gimana, kek? Saya kasihan sama kakek dan nenek."
"Kampung ini di dataran tinggi, Hadi. Kalaupun air menggenang karena hujan, nggak mungkin bertahan lama. Pasti cepat surut. Kamu nggak usah khawatir."
Kakek menanggalkan jas hujannya, menggantungnya di tempat menjemur sarung yang terbuat dari bambu. Tak lupa kakek mengeluarkan benda hasil temuan kami tadi dari kantong jas hujannya, lalu membawanya masuk tanpa sepatah kata.
Datanglah empat orang datang dengan wajah panik dan badan basah kuyup. Salah satu dari orang itu adalah Harto. Dia yang memimpin rombongan kebakaran jenggot itu.
"Bede apa, To?" (Ada apa, To?)" tanya kakek yang sudah terpaksa ke luar lagi. kakek menyembunyikan benda temuan kami di kantong celananya.
"Anu, Kang, kuburan kuno dihanyut banjir!"kata Harto sambil mengusap mukanya yang basah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top