CHAPTER 13

Akhirnya kembali lagi ke kamar ini, setelah kepulangan saya batal gara-gara ada halangan. Menurut sopir tadi, ada tiang listrik yang rubuh karena kabelnya tertimpa pohon besar, akibat hujan dan angin kencang beberapa hari ini. Tiang itu menghalangi jembatan utama untuk sampai ke kota, sedangkan satu-satunya jalur alternatif yang bisa dilalui kendaraan roda empat sedang dilanda banjir. Lihat, bagaimana takdir memaksa saya untuk tetap di sini? Sangat kompak sekali.

Menurut sopir tadi, semua baru bisa normal nanti sore, itu artinya, saya akan sampai di terminal Patokan tengah malam. Tidak ada angkutan umum yang akan membawa saya ke rumah. Tidak pula ada orang yang mau menjemput saya ke terminal. Setelah mempertimbangkan semuanya, saya memilih menginap semalam lagi di rumah kakek.

Siang hari, saya memutuskan untuk menceritakan semua yang saya tahu pada kakek dan nenek. Semua tentang Mak Sulas, Kasmin, dan pengemis tua yang dibunuhnya.

"Masa, sih, Mak Sulas cerita begitu?" tanya nenek, sangsi.

"Yang sedang kita bicarakan ini Kasmin. Orang seperti dia nggak bisa ditebak," sahut kakek. "Cuma kakek menyayangkan bungkamnya Mak Sulas. Harusnya dia melaporkan hal ini sama aparat. Bagaimana pun juga, ini tindak kriminal. Pembunuhan," tegasnya.

"Terus, Mak Sulas ndak bilang, Di, di mana mayat pengemis itu di kubur?" tanya nenek.

"Mak Sulas nggak tahu, nek. Kasmin nggak bilang. Mak Sulas cuma nyuruh Kasmin buat mindahin mayat itu ke kuburan kuno, tapi Kasmin keburu tewas."

Kadang, karma bisa datang lebih cepat dari sambaran petir. Lebih tenang. Lebih mematikan. Saya sering melihat ada yang terpaksa bermusuhan karena harta warisan. Namun, peristiwa ini mengajarkan saya bahwa, ada yang rela membunuh hanya karena uang lima puluh ribu.

"Kapan terakhir kali kamu melihat perempuan itu?" tanya kakek.

"Tadi pagi, di pemakaman."

"Hantu? Pagi-pagi?"

"Ya, mana saya tahu, kek!"

"Sepertinya kakek harus bicara dengan Mak Sulas," ujar kakek.

Setelah itu, kakek mengambil barang-barangnya. Ia sudah terlambat pergi ke sungai gara-gara harus ke pemakaman, dan harus bolak-balik mengantarkan saya. Mula-mula saya merasa keberatan kalau kakek bicara sama Mak Sulas, tapi setelah dipikir-pikir, Mak Sulas tidak pernah bilang kalau ini rahasia. Jadi siapa pun boleh mengetahuinya, kan? Kan?

MALAM PUN DATANG

Saya belajar dari kesalahan. Jadi, malam ini saya sambut dengan persiapan. Pertama, tayangan televisi saya sambungkan ke saluran islami. Sebuah siaran ulang ceramah salah seorang dai yang sedang naik daun.

Kedua, di meja ada Alquran dan tasbih. Memang hanya dipajang saja, tapi katanya hantu takut melihat kitab suci.

Ketiga, wudhu. Entah benar atau tidak, hantu tidak akan menganggu orang yang punya wudu. Karena itu, dalam tiga jam ini, saya sudah berwudu tiga kali, gara-gara kentut dua kali.

Keempat, Sobri dan nenek. Mereka berdua ada di ruang tamu. Nenek sedang duduk lesehan sambil melipat baju. Sobri sedang sibuk SMS-an, sedangkan saya hanya diam memastikan keduanya tidak ada yang tidur, atau salah satunya ada yang pulang. Ya, saya penakut, karena itu saya harus egois.

Setelah semua persiapan ini, masihkah pengemis itu berani menampakkan diri?

Pukul sembilan malam, hujan turun. Kali ini langsung deras tanpa gerimis basa-basi. Sobri langsung melompat dari kursi untuk menaikkan motornya ke teras. Sambil menggerutu, "Hujan lagi, hujan lagi, masa saya harus menginap lagi?"

Pukul sepuluh malam, nenek mulai mengantuk. Posisi duduknya berubah dari sila, selonjoran, rebahan, dan lelap. Doa berjamaah di televisi dijawabnya dengan dengkuran.

Sobri sudah mengabaikan ponselnya. Ia sedang merokok sambil memandangi hujan di luar.

"Hujan-hujan begini, yang terbayang adalah wajah kekasih," gumam Sobri.

Saya tersenyum geli. Wajah kekasih katanya. Lantas, itu wajah siapa yang mengintip dari lorong dapur? Kenapa putih sekali? Matanya hitam sekali. Lalu, saat dia membuka mulut untuk mengucap sesuatu, yang terlihat hanyalah noda merah gelap.

"ASTAGHFIRULLAH!"

Saya melompat ke sisi lain kursi. Tepat di samping Sobri. Duh, saya akan melompat ke sisi mana pun asal tidak melihat wajah mengerikan itu.

"Kenapa, Di?" tanya Sobri.

"Di dapur, Bri. Di dapur ada nenek itu lagi."

Sobri berdiri. Dia siap-siap melarikan diri.

"Jangan bercanda, Di!" kata Sobri meragukan, tapi dengan wajah seolah sudah percaya.

Nenek terbangun karena keributan kami.

"Ada apa?" tanyanya.

"Ini, Nek, Hadi ngelihat hantu di dapur."

"Hantu nenek itu lagi, tah, Di?"

"Iya, nek," jawab saya, masih menggigil.

Suasana mulai tidak terkendali. Pengajian di televisi berganti ceramah tentang menikah. Sungguh sangat membantu sekali. Saya pun tidak terpikir untuk menjamah Alquran dan tasbih.

Nenek berdiri dengan susah payah. Setelah memijat-mijat pinggangnya, ia langsung menuju dapur. Perasaan macam apa ini? Bagaimana bisa kami yang lebih muda justru berlindung di belakang nenek-nenek, dari ancaman nenek-nenek?

Baik saya dan Sobri tidak ada yang berani mengikuti. Kami hanya bisa mendukung dengan membaca ayat kursi, mengiringi derap langkah kaki nenek yang pelan-pelan menjauh menuju dapur.

"Ndak ada siapa-siapa, Di!" ucap nenek, samar-samar terdengar.

Merasa sudah aman, kami pun beranikan diri mengintip, dan ternyata benar. Tidak ada siapa-siapa.

Nenek menoleh pada kami sambil menggeleng kecewa, seolah kami benar-benar menyedihkan. Setelah itu, nenek lanjut pergi ke kamar mandi.

"Kamu percaya sama saya, kan, Bri?"

"Ngelihat muka kamu barusan, sepertinya kamu nggak bohong, Di."

Sepertinya, mulai sekarang saya tidak berani lagi pipis di kamar mandi kalau malam hari. Lorong itu terasa menyeramkan, dan akan terus membayang-bayangi saya entah sampai kapan. Saya dan Sobri hendak kembali ke kursi ruang tamu, saat kemudian ....

PANGAPORA, CONG.

Pengemis itu ada di lantai, di tempat nenek melipat pakaian. Ia mengangkat tangannya yang pucat, mengiba dengan wajah yang nyaris tidak seperti manusia, dan kali ini, saya bisa melihat dengan jelas noda darah di perut nenek yang merembes di pakaiannya.

ASTAGHFIRULLAH

Sobri menutup wajahnya lebih dulu. Ia mengulangi istighfar berkali-kali sambil terisak. Saya pun melakukan hal yang sama.

Saya berlari ke luar. Tidak. Kami berlari ke luar. Kali ini Sobri melihatnya juga. Setidaknya saya punya teman untuk sama-sama berteriak, berlarian di tengah derasnya hujan.

***

Dini hari, kakek membangunkan saya. Barulah saya sadar kalau saya dan Sobri tidur di serambi musala. Jaraknya tiga rumah dari rumah nenek. Saat saya membuka mata, Kakek dan tiga orang warga sudah berdiri di halaman musala, mereka mengenakan jas hujan, karena hujan masih belum juga reda. Malah sepertinya tambah deras.

"Kenapa kalian tidur di sini?" tanya kakek.

Saya dan Sobri menggeliat. Kami masih enggan menjawab.

"Nenekmu nyari kamu semalaman, katanya hilang dibawa hantu," omel kakek.

Akhirnya, kami pun digiring pulang. Sepanjang jalan, kakek bertanya ini dan itu, tapi baik saya dan Sobri tidak menjawab apa pun. Sesampainya di rumah, Sobri langsung mengambil motornya, lalu pulang menerobos hujan tanpa salam, tanpa sepatah kata. Sepertinya Sobri masih trauma.

"Sebelum kamu masuk, bantu kakek ambil kayu di halaman belakang."

"Buat apa, kek?" tanya saya.

"Rumah warga yang ada di bawah sudah hampir tenggelam. Air sudah setinggi mata kaki. Kita harus waspada banjir."

Kurang malang apa nasib saya? Tidak bisa pulang ke rumah, tidak bisa tidur nyenyak karena diteror hantu, bangun-bangun langsung dihadapkan pada banjir. Liburan macam apa ini?

Saya mengambil jas hujan di motor kakek, lalu mengikutinya pergi ke tempat yang kakek maksud. Halaman belakang tampak kotor sekali. Banyak sampah. Banyak tumpukan kayu dan batu, serta empat pohon mangga yang sudah berbuah lebat. Tanahnya dilapisi rumput hijau yang subur karena hujan. Namun, bukan itu yang sedang saya perhatikan.

"Di, jangan bengong! Ayo bantu angkut kayu ini!"

"Kek, kakek bilang, Kasmin sering pergi ke sini buat nyari sampah, kan?"

"Iya, kenapa?" tanya kakek.

"Apa itu juga ulah Kasmin, kek?"

Saya menunjuk sebuah gundukan tanah yang mulai sedikit longsor karena hujan deras.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top