CHAPTER 10

Saat mendengar tentang pemakaman, yang ada di bayangan saya adalah deretan batu nisan tertata rapi dengan pohon cempaka menaungi, serta tanah pemakaman yang selalu disapu bersih dari daun-daun kering. Namun, ini benar-benar gila. Pemakaman macam apa yang dibangun di atas permukaan tanah yang tidak rata?

Pemakaman umum desa ini naik turun seperti ombak. Peletakan nisannya juga terkesan asal-asalan. Bahkan ada yang pakai kayu bekas sandaran kursi. Semuanya tanpa nama. 

Ada kuburan di atas bukit kecil, ada juga yang di bawah lubang dan nyaris tertutup daun-daun kering. Saya memang bukan ahli agama, tapi ini sudah melewati batas maklum saya untuk penduduk Kampung Bayang yang cenderung awam. Lalu, yang membuat saya sampai mengumpat nyaring adalah, beberapa kuburan justru diletakkan serampangan. Ada yang nisannya menghadap ke timur dan barat, ada yang miring dan tidak jelas mana kepalanya. Benar-benar goblok masal.

"Ini kuburan hewan apa manusia, kek?" tanya saya.

Sepertinya kakek mengerti maksud pertayaan saya. Ia memberi isyarat untuk memelankan suara.

"Tempat ini disebut koburen konah. Dalam bahasa indonesia, artinya pemakaman kuno. Dibilang kuno, soalnya sudah lama tidak dipakai. Sudah ada sebelum kakek dan nenekmu pindah ke sini. Warga desa yang meninggal biasanya dimakamkan di pemakaman umum desa yang baru. Di dekat gapura masuk desa itu."

"Lama nggak dipakai, ya? Terus kenapa jenazah Kasmin dimakamkan di sini?"

Kakek tidak menjawab. Ia meninggalkan saya, lalu bergabung dengan orang-orang sepuh yang sudah berkumpul di depan kuburan Kasmin. Di sana sudah ada Mak Sulas sedang duduk di atas batu hitam. Mak Sulas berpakaian rapi. Rambutnya dibalut kerudung merah tipis, sedikit transparan. Ia tampak khidmat berdoa seraya memangku tongkatnya.

Selain saya, kakek, dan Mak Sulas, di pemakaman hanya ada Man Nasih, Harto, Tanjung, dan seorang perangkat desa. Mereka sepakat menjauh, berkumpul di bawah pohon cempaka, Membiarkan Mak Sulas berdoa sendiri.

Saya yang datang sambil menggendong ransel jadi bingung. Mau bergabung dengan kakek, Mak Sulas, atau tetap diam di sini sambil pura-pura jadi batu nisan? 

Menurut saya, Mak Sulas tidak sesedih yang saya bayangkan. Kakek bilang, Mak Sulas sudah berhari-hari mencari Kasmin, tapi tidak bisa menyeberang sungai karena jembatan putus. Mak Sulas berasumsi kalau Kasmin juga tidak bisa pulang karena alasan yang sama. Namun, setelah satu minggu, alih-alih pulang ke rumah, Kasmin justru pulang menghadap yang maha kuasa.

Usai berdoa, Mak Sulas berusaha berdiri dengan bantuan tongkat. Jemari kurusnya bergetar. Tongkatnya pun tampak rapuh seperti kaki Mak Sulas. Setelah memandangi kuburan Kasmin, Mak Sulas mengalihkan pandangan ke seberang makam, dan entah kenapa saya juga ikut-ikutan.

"I-itu, kan?"

Saya melihatnya. Saya melihat seseorang sedang duduk di tanah, bersandar pada salah satu tiang penyangga tempat penyimpanan keranda. Umumnya, dari jarak sejauh ini saya tidak bisa mengenali siapa pun, tapi sosok di seberang itu terlalu familier untuk saya lewatkan. Bagaimana tidak? Nyaris setiap malam saya dibuat ketakutan olehnya.

KAMU MELIHATNYA?

Entah sejak kapan Mak Sulas berada di samping saya. Saya terhenyak dan nyaris teriak seperti perempuan.

"Saya tanya, apa kamu melihatnya?" tanya Mak Sulas. Kali ini sambil menunjuk tempat penyimpanan keranda.

"I-iya, nek," jawab saya tergagap.

Saya yakin itu orang yang sama. Saya hanya tidak pernah mendengar ada hantu di siang bolong. Lagipula, melihat gelagat kakek dan yang lain, sepertinya mereka tidak melihat sosok itu. Ini semakin membuktikan kalau nenek itu hanya menampakkan diri pada orang-orang tertentu.

"Siapa namamu?" tanya Mak Sulas.

"Ha-Hadi, nek, Hadi Prayoga."

"Apa sebelum ini kamu pernah bertemu dengan perempuan itu?"

"Nggak, nek, baru-baru ini saja dia--"

"--Jadi, kamu juga tidak tahu kalau dia tewas dibunuh?"

"DIBUNUH?"

Seketika kakek dan teman-temannya menyadari obrolan kecil saya dan Mak Sulas. Mereka tampak bisik-bisik heran, dan sepertinya tak lama lagi akan segera menghampiri kami.

"Jangan keras-keras, goblok! Gendeng! Tambeng! Bunggen!" Tegur Mak Sulas. Sirih di mulutnya nyaris melompat ke luar.

"Dibunuh siapa, nek? Dari mana nenek tahu?"

"Saya tahu, karena ...."

PENGEMIS ITU TEWAS DIBUNUH OLEH KASMIN

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top