CHAPTER 1

Malam ini saya tidak bisa tidur. Hujan yang katanya ampuh mengundang lelap, justru terdengar menakutkan. Atap rumah seperti digempur jutaan kerikil. Berisik sekali. Belum lagi gelegar petir yang terdengar hampir setiap lima menit sekali. Jangankan untuk lelap, kantuk yang saya kumpulkan sejak pukul delapan malam tadi, sekarang jadi hilang.

Tiga jam saya habiskan tercenung dalam gelapnya kamar. Mencumbu pikiran kosong. Di dinding hanya ada pantulan lampu luar membentuk lubang udara. Dari sangat bosannya menunggu kantuk, dinding itu jadi terasa menarik untuk diperhatikan setiap detik, sampai akhirnya ada suara yang membuyarkan kebosanan ini.

Seseorang mengetuk pintu rumah. Saya bisa mendegar dengan jelas, karena kamar saya berada di depan, berdampingan dengan ruang tamu. Sekarang sudah pukul setengah satu malam. Sepertinya kakek saya menyerah menunggu hujan reda, dan memutuskan untuk pulang menerobos deras.

Kakek ada acara di kantor desa. Katanya akan pulang jam sepuluh, tapi hujan ini benar-benar mengacaukan jadwal pulang kakek dan jadwal tidur saya. Sedikit menggerutu, saya pun bangun dan langsung menuju pintu.

Ruang tamu yang lengang menyambut. Kursi-kursi kosong menghadap ke televisi yang padam, memunggungi dinding dengan jendela kaca besar dilindungi terali besi berpola diagonal. Pintu rumah ada di samping jendela, masih berbunyi dengan ketukan yang tak beraturan dan sedikit kasar.

"Ya, kek, sebentar," ucap saya.

Begitu pintu rumah saya buka, yang saya dapati bukanlah orang yang seharusnya datang.

PANGAPORA

Begitu yang tamu saya ucapkan dengan nada halus memelas. Pangapora adalah bahasa madura untuk ucapan permisi. Biasa diucapkan ketika hendak lewat di depan orang, di halaman rumah orang, dan sebagainya. Namun, situasi kali ini sedikit berbeda, dan walaupun saya berusaha bersikap sopan, tapi saya tidak bisa menampik heran dan ketakutan.

Orang di hadapan saya adalah laki-laki berambut gondrong. Saya hanya bisa melihat salah satu matanya melotot dari sela-sela rambut lepek dan semrawut. Dia mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang penuh noda tanah. Celana compang-camping bernoda lumpur. Hanya dengan sekali lihat, saya bisa menyimpulkan kalau bukan pengemis, berarti orang gila.

Hanya saja, ada satu hal yang membuat saya harus mempertimbangkan kesimpulan barusan. Laki-laki ini sedang menggendong seseorang di punggungnya. Orang itu diselimuti kain cokelat lusuh yang lebih mirip karung beras kalau saja saya tidak melihat dua kaki kurus menjuntai, kepala yang bersandar ke leher belakang si laki-laki dengan wajah miring, dan tangan ringkih sedang menengadah ke arah saya. Seolah sedang meminta sedekah.

"Pangapora, cong."

Ucapan itu tidak keluar dari mulut si laki-laki yang sejak tadi hanya menganga, melainkan dari orang yang sedang ia gendong, yang dari suaranya saja bisa saya terka kalau itu seorang nenek-nenek. Rambut putih kusam yang menyembul dari kain cokelat itu menegaskan semuanya.

Entah kebetulan atau memang rezeki si nenek, di kantong celana pendek saya ada uang seribu rupiah. Saya berikan uang itu ke tangan si nenek yang kemudian menggengamnya dengan lemah.

Laki-laki itu berbalik, lalu pergi menggendong si nenek menerobos hujan yang masih sangat deras. Tanpa permisi, tanpa terima kasih. Kaki telanjangnya menjejaki tanah becek. Kedua tangannya dengan kokoh menggendong nenek itu, meskipun langkahnya yang goyah membuat saya khawatir akan jatuh.

Petir menyambar. Bunyinya keras sekali. Kalau bukan karena itu, saya mungkin masih berdiri di pintu memerhatikan kepergian pengemis barusan yang sudah sampai... sampai mana? Mereka sudah tidak kelihatan. Entah ditelan deras hujan, gelap malam, atau mata saya saja yang mulai memberat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top