9 - Unreality Show
"Mil. Ayo berangkat. Udah panggilan boarding." Azim mencolek Millie yang sejak tadi memejamkan mata.
Gadis itu melepas lalu menyimpan earphone di tas selempangnya. Dilihatnya Azim telah menjinjing seluruh bawaan mereka. Setelah memperbaiki rok yang kusut, Millie berjalan dengan anggun keluar ruang tunggu VIP Bandara Soekarno Hatta. Pagi itu mereka akan berangkat ke Bali untuk syuting acara travelling. Janine telah berangkat lebih dulu untuk memastikan lokasi.
Sebagai penumpang kelas bisnis, Millie dapat langsung masuk ke pesawat tanpa mengantri. Begitu di atas pesawat, Azim langsung menyimpan barang-barang mereka di kabin. Millie duduk di dekat jendela, sedangkan Azim di sebelahnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Azim tak perlu menekuk kaki dengan canggung ketika naik pesawat. Harus ia akui, kursi kelas bisnis sangat nyaman.
"Silakan, Pak." Seorang pramugari menyerahkan selembar handuk hangat pada Azim. Pemuda itu menerimanya dengan bingung.
"Buat apa ini, Mil?" tanya Azim dengan setengah berbisik.
Millie terkikik melihat ekspresi sang pengawal. "Buat ngelap muka dan tangan kalau Abang mau."
"Kamu ga pakai?"
"Enggak lah. Ntar make up aku luntur. Aku kan harus selalu tampil cantik di segala kondisi," jawab Millie sambil tertawa.
"Ya elah, Mil. Ga pakai make up aja juga sudah cantik kok."
"Dih. Makin pintar gombal aja Abang sekarang. Mentang-mentang ga ada Kak Janine ya? Atau ada maunya ya?"
Azim tak bisa menahan tawa. "Iya lah. Sengaja supaya kamu enggak berubah pikiran. Jangan sampai pas acara kelar kamu tiba-tiba batalin cutiku."
"Enggak akan. Emang aku pernah bohong sama Abang? Kelar syuting Abang boleh cuti buat pulang. Tapi cuma tiga hari lho ya. Ga boleh lebih, tapi boleh kurang, hehehe."
Mereka berhenti bercakap ketika penumpang lain mulai masuk. Millie kembali memasang masker dan topi rajutnya supaya tak menarik perhatian. Azim juga memakai masker. Sejak foto dan videonya tersebar, orang-orang juga mudah mengenalinya.
Tiga puluh menit kemudian, pintu kabin dikunci, semua penumpan duduk di kursi, kapten pesawat mulai menggerakkan pesawat di landasan. Wajah Millie memucat. Meski telah bolak-balik terbang, dia tak juga terbiasa. Proses take off dan landing selalu menjadi pengalaman yang menakutkan baginya.
Ketika laju pesawat makin kencang, Azim meraih tangan Millie dan menggenggamnya. Janine telah berpesan padanya untuk menenangkan Millie agar tak panik.
"It's okay, Mil. Tidak perlu takut."
Mille menoleh sekilas. Dia memaksakan diri tersenyum. Pesawat sedikit bergoncang ketika mulai naik ke udara. Millie meremas tangan Azim. Gadis itu bersembunyi di balik lengan sang pengawal. Tangan Azim terulur mengusap lembut pucuk kepala Millie. Seiring dengan pesawat yang melambung ke udara, ada rasa hangat yang menjalar di hati keduanya.
***AmelA***
Setelah melayani permintaan foto dari beberapa penggemar, Millie langsung bergegas menuju gerbang kedatangan. Azim telah mengontak Janine. Asisten Millie itu telah menunggu di pintu keluar dengan mobil jemputan.
Begitu keluar bandara, salah seorang kru acara langsung mengambil alih barang mereka berdua. Azim dapat fokus mengamankan Millie dari gangguan beberapa penggemar. Meski lelah, Millie tetap memasang senyum ramah di wajah. Sesekali dia melambai pada penggemar yang menyapanya.
Azim membantu Millie naik ke mobil. Berhubung Janine telah duduk di kursi depan, maka Azim lah yang menemani Millie di belakang. Mille menanggalkan senyumnya. Kini rautnya kembali datar. Jujur saja dia lelah. Pesawat yang dia tumpangi sempat mengalami turbulance, dan itu membuatnya mual sejak tadi.
Begitu mobil melaju, Janine berkata, "Mil. I have ... a bad news for you."
"Ikbal Ramdhani yang mestinya jadi partner kamu di episode ini lagi sakit. Jadi dia ga jadi ke Bali," tutur Janine.
"Terus ...?" tanya Millie heran. Perubahan partner kerja bukan hal yang baru baginya.
"Err ... yang gantiin dia ... Matt. Kebetulan Matt baru kelar syuting di Lombok, jadi semalam dia langsung ke sini."
Bibir Millie langsung melengkung ke bawah. Berita itu benar-benar buruk baginya. Sejak dia menolak pernyataan cinta Matt secara live enam bulan lalu, mereka berdua tak pernah bertemu lagi. Kebetulan Matt memang sedang sibuk syuting film terbarunya, jadi tak terlalu sulit bagi Millie untuk menghindar dari pemuda itu.
Bukannya Millie tak ingin berteman lagi dengan Matt. Dia tak sungguh-sungguh saat bilang tak ingin bertemu lagi dengan pemuda itu. Millie hanya butuh waktu untuk melupakan kekecewaannya, dan sekarang bukanlah waktu yang tepat. Masih terlalu cepat.
"Emang ga ada artis lain apa? Kenapa harus Matt?" tanya Milli jengkel.
"Mungkin karena penggemar sudah banyak yang bertanya-tanya kenapa kalian tidak pernah terlihat bersama sejak kejadian itu. Jadi bakal bagus banget buat naikin rating acara ini."
Millie menertawakan dirinya sendiri. Dia sangka dapat bekerja sekaligus liburan di Bali, ternyata justru harus memasang topeng super tebal agar penonton tak curiga tentang hubungannya dan Matt yang memburuk.
Sepanjang perjalanan ke hotel, Millie tak bicara lagi. Suasana hatinya langsung jelek sejak mendengar nama Matt disebut. Dulu kehadiran Matt selalu membuat hatinya berbunga-bunga, tetapi sekarang tidak lagi.
***AmelA***
Millie hanya bisa istirahat sebentar. Jadwal hari itu sangat padat. Mereka akan mampir ke Garuda Wisnu Kencana selama satu jam lalu langsung mengejar matahari terbenam di Uluwatu. Setelah itu, Millie dan Matt dijadwalkan wisata kuliner di Warung Mak Beng di kawasan Sanur.
Sebenarnya Millie telah terbiasa dengan jadwal yang padat, tetapi hari itu rasanya lebih berat karena kehadiran Matt. Ketika Millie turun ke lobi, pemuda itu telah menunggunya dengan seringai lebar.
"Hai, Mil. Sibuk banget sih, Kamu. Sampai susah banget diajak ketemuan," sapa Matt Ramah.
Millie ingin sekali mengabaikan pemuda itu, sayang mereka tengah dikelilingi kru acara. Millie terpaksa memasang senyum palsu dan bersikap tak kalah ramah.
"Oh, hai. A-- zim kan? Kata Simon Kamu sempat jadi stuntman-ku di Anomali Indra ya?" sapa Matt sambil mengulurkan tangan pada Azim.
"Iya, benar." Azim menjabat tangan aktor muda itu.
"Well, congratz ya. Kudengar Kamu juga terkenal sekarang. Banyak penggemar juga. Aku mesti hati-hati nih, nanti kalah saing," gurau Matt.
Azim membalas candaan Matt dengan tawa yang dipaksakan. Sebenarnya, Matt pemuda yang baik. Saat berinteraksi dengan Matt selama syuting Anomali Indra, Azim tak menemukan kejanggalan dalam sikap pemuda itu. Hanya saja, Azim menkhawatirkan Millie. Dia tahu kehadiran Matt sangat menganggu bagi gadis itu.
***AmelA***
Mereka berkeliling dengan tiga mobil. Matt semobil dengan Simon dan produser acara, sedangkan Millie dengan Janine dan Azim. Tiga kru lain yang terdiri dari sutradara, juru kamera, dan kru lokal berangkat dengan mobil lain.
Syuting di GWK dan Uluwatu tak mengalami kendala berarti. Saat di Uluwatu, seekor monyet memang sempat hendak merebut kamera mirrorless yang Millie pegang, tetapi pawang yang mereka sewa berhasil mencegah. Millie juga berhasil pura-pura senang sepanjang perjalanan, meski sebenarnya dia muak melihat senyum Matt. Begitu mudah rasa cintanya berubah menjadi benci sejak kejadian enam bulan lalu.
Millie pikir hari itu akan berakhir dengan tenang. Sayang dia salah. Setelah pengambilan gambar di Warung Mak Beng, kru meninggalkan mereka berdua untuk makan di meja yang terpisah. Millie ingin pindah, tetapi tak ingin memancing kecurigaan. Bagaimanapun, sebagian besar orang menyangka hubungan Millie dan Matt baik-baik saja.
Tangan Millie mengaduk gelas es kelapa mudanya dengan gusar. Entah kenapa orang-orang memilih meja yang agak jauh darinya. Seperti sengaja memberi kesempatan agar Matt dapat bicara dengannya.
"Mil. Kamu yakin ga pingin pacaran denganku? Bakalan viral lho ini kalau kita diberitakan cinlok saat syuting di Bali," ujar Matt tiba-tiba.
Millie pikir hatinya tak akan lebih patah lagi. Rupanya dia salah. Tawaran Matt yang kedua kalinya lebih terasa menyakitkan. Millie benar-benar merasa muak dan heran bagaimana bisa sempat tergila-gila pada pemuda itu.
"Jangan ngawur, Matt. Sudah kubilang aku ga minat pacaran pura-pura denganmu," tolah Millie ketus.
"Ini ga pura-pura, Mill. Kita pacaran beneran aja. Enggak ada ruginya buat kita. Kita kan sudah sama-sama kenal, nyaman dengan satu sama lain."
Millie mengangkat kepala dan menatap tajam pada mata hazel Matt. "Menurutmu, cara kamu barusan itu meyakinkan? Kamu pikir aku akan percaya kamu ngajak aku pacaran beneran?"
"Terus kamu maunya gimana? Mau aku nembak kamu lagi pas sunrise besok? Di tepi pantai biar romantis? Oke, tapi jangan tolak lagi. Bakal jelek buat image-ku kalau sampai kamu tolak dua kali," usul Matt tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Matt, please. Apa ga ada yang lebih penting selain image dan citra kamu? Apa kamu cuma nilai aku dari jumlah follower-ku dan impact-nya terhadap ketenaranmu?" Millie menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum sinis.
Matt yang dulu dikenalnya tak peduli dengan angka-angka di atas kertas. Pemuda itu hanya fokus mengejar cita-cita menjadi aktor profesional. Mereka berdua dulu sering berbagi mimpi bersama.
Millie sempat mengagumi Matt yang begitu mencintai dunia akting. Entah sejak kapan pemuda itu berubah. Pilihan film Matt pun tak lagi mencerminkan idealismenya. Dia kini sering menerima tawaran film horror dan komedi romantis yang sesuai selera pasar.
"Bukan gitu, Mil. Tapi kita harus realistis dong. Kesuksesan kita itu sekarang diukur dari berapa jumlah pengikut di media sosial. Sekarang tuh sutradara enggak cuma cari yang jago akting dan ganteng, tetapi juga yang bisa menarik minat pasar," jelas Matt.
Millie menatap temannya itu dengan khawatir. Matt benar-benar telah berubah. "Aku paham dengan pandanganmu itu, Matt. Tapi jangan libatkan aku dengan permainanmu. Kalau kamu masih mau berteman denganku, jangan ungkit ini lagi."
***AmelA***
Syuting hari kedua berjalan lancar. Millie berusaha menikmati perjalanan hari itu. Matt tak lagi mengungkit-ungkit pembicaraan mereka semalam. Mereka makan Nasi Jinggo, bermain olahraga air, dan makan siang di Ayam Pedas yang legendaris. Syuting ditutup dengan mencari oleh-oleh di Pasar Seni Sukawati.
Mata Millie langsung berbinar melihat berbagai kerajinan tangan yang dijual di sana. Aneka anyaman, tas rajuk, aksesoris manik-mani, kain berwarna-warni. Semua menarik hatinya. Millie serasa ingin membeli semuanya.
"Mil. Coba deh ini. Cincin ini cocok deh buat kamu," panggil Matt.
Berhubung kamera masih menyala, Millie mendekat penuh semangat. Dia pun pura-pura sneang dengan aksesoris pilihan Matt meski bukan seleranya.
"Ini berapa, Bu?" tanya Matt pada pemilik kios.
"Dua ratus lima puluh ribu, Bli."
"Lima puluh ribu aja ya Bu?" Matt menawar.
"Ga dapat, Bli. Itu mutiara-mutiaranya asli, bukan manik-manik, dua ratus ribu deh buat Bli."
Matt melempar senyum dan terus merayu sang penjual. "Lima puluh ribu ya, Bu. Nanti saya kasih bonus foto bareng saya dan Millie. Gimana?"
Sutradara meneriakkan 'cut'. Salah satu kru lokal membujuk sang penjual dengan bahasa daerah. Akhirnya wanita itu setuju dengan tawaran terakhir Matt.
"Terima kasih ya, Bu," ucap Matt begitu mereka selesai foto bersama.
Sutradara memberi kode pada para kru untuk membereskan peralatan dan berpindah lokasi.
"Ibunya ga dibayar, Bli?" tanya Millie pada kru yang tadi berbicara dengan sang penjual.
"Ga perlu, Kak. Tadi dia sudah setuju untuk kasih diskon sebagai ganti foto bareng dan masuk acara kita."
Rombongan mereka pun mulai bergerak ke kios selanjutnya. Millie berlari menghampiri Azim yang memang sejak tadi mengawasinya.
"Bang. Punya duit dua ratus ribu ga?"
"Ada. Buat apa, Mil?"
"Pinjam dulu."
Azim mengeluarkan dompet dan mengeluarkan dua lembar uang. Millie langsung merebut lembaran merah itu dari tangan Azim dan berlari kembali ke kios tadi.
"Buk. Ini tadi ya kekurangan uang untuk cincin yang saya beli. Terima kasih ya."
"Ta-tapi ...."
"Tadi itu cuma buat keperluan syuting aja kok. Kami tetap bayar utuh. Terima kasih ya Buk."
Millie langsung kabur sebelum wanita penjual tadi sempat berkata-kata lagi. Azim menyaksikan semua itu dengan senyum terkembang. Kekagumannya pada Millie semakin bertambah-tambah. Di balik segala sikap manjanya, hati gadis itu begitu tulus.
Rombongan mereka mampir ke dua kios lain. Satu kios makanan dan satu kios pakaian. Millie memborong beberapa pakaian khas Bali untuk para pekerjanya di rumah.
Setelah pengambilan gambar terakhir, Produser acara menyalami Millie dan Matt. "Terima kasih ya. Senang bekerja dengan kalian. Semoga nanti bisa kerja bareng lagi."
"Sama-sama, Mas. It's my pleasure. Boleh lah kapan-kapan undang kita lagi, biar bisa kerja sambil jalan-jalan," jawab Matt dengan senyum lebar.
Millie membalas dengan tak kalah ramah. "Iya, Mas. Saya juga senang dilibatkan dalam acara ini. Maaf kalau ada salah-salah selama syuting."
"Kalian mau langsung balik hotel apa jalan-jalan dulu?" tanya sang produser.
"Oh. Habis ini, aku ada janji hang out bareng teman." Matt menoleh pada Millie. "Ikut ga Mill? Temanku ngajak nonkrong di Carrot Club, katanya view sunsetnya kece habis di sana."
Millie memaksakan diri tersenyum saat menolak tawaran Matt. "Enggak. Aku mau muter pasar dulu sebentar sebelum balik ke hotel."
"Mari, Mas-Mas. Terima kasih ya atas bantuannya selama dua hari ini," Millie mengangguk hormat pada sang produser dan kru acara lain. Setelah itu, dia bergegas menghampir Azim yang menunggu di depan salah satu kios.
Senyum Millie mekar begitu berhadapan dengan pengawalnya. Bukan senyum palsu seperti yang dia kembangkan sepanjang syuting. Senyumnya kali ini benar-benar tulus.
Millie menarik tangan Azim dan mengajaknya kembali ke salah satu kios yang tadi mereka lewati. "Bang, tadi ada kalung yang aku suka. Beliin ya. Dompetku dibawa Kak Janine," pinta Millie dengan manja.
"Kalung apa. Aku ga bawa kas banyak lho. Apa perlu kita cari ATM dulu?"
"Enggak perlu. Harganya ga mahal kok. Cuma kalung manik-manik biasa," jawab Millie.
Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong pasar. Millie terus berceloteh riang sambil menggelendoti lengan Azim. Tanpa mereka sadari, kamera kembali dinyalakan untuk merekam kedekatan mereka, dan Matt mengamati dengan sorot mata yang menyiratkan rasa tak suka.
***AmelA***
Rombongan Millie baru tiba di hotel selepas Isya. Janine langsung masuk kamar. Selama syuting di pasar tadi dia memang sengaja menunggu di mobil karena tak enak badan. Sebenarnya Millie ingin mengajak Azim menyusuri pantai di bagian belakang hotel, tetapi pemuda itu hendak berkemas. Jam sebelas nanti dia berencana menumpang travel untuk pulang ke kampung halamannya.
"Abang jadi pulang malam ini? Enggak besok pagi aja?" tanya Millie ketika Azim mengantarnya ke kamar.
Pemuda itu menganggukkan kepala. "Iya, Mil. Biar besok pagi-pagi sudah sampai di Jember. Kalau pulang besok pagi nanti kena macet, siang baru nyampe. Sayang waktunya."
Millie mengerucutkan bibir. Rasanya tak rela melepas pemuda yang telah menemaninya tiap hari selama enam bulan terakhir, tetapi tak tega juga menahan hak cuti Azim.
"Kalau gitu hati-hati di jalan ya, Bang. Kabari kalau sudah sampai."
"Siap, Anak Beruang. Jangan nakal ya selama aku tinggal!" seru Azim sambil menepuk pipi Millie.
"Nanti kalau aku kangen, gimana?" tanya Millie dengan kepala tertunduk.
Azim tergelak. "Cuma tiga hari, Millie. Kalau kangen telepon aja. Tetapi di kampungku kadang susah sinyal, jadi maklum aja ya kalau susah nyambung."
"Emang Abang ga bakal kangen sama aku?"
Tawa Azim makin keras. "Enggak lah. Ngapain juga kangen sama anak beruang yang manja dan bawel. Lumayan lah tiga hari enggak perlu dengar omelanmu."
Celetukan Azim membuat Millie jengkel. Dia melayangkan tinju ke arah Azim, tetapi pemuda itu langsung sigap menangkap kepalan tangan Millie.
"Bercanda Millie. Sudah sana istirahat. Aku masih harus packing dulu."
"Ya sudah sana balik ke kamar!" ketus Millie.
"Ya kamu masuk kamar dulu."
"Abang balik dulu, habis itu baru masuk."
"Tutup dulu pintunya Millie. Kunci. Ini sudah malam."
"Iya nanti aku kunci, tapi—" Melihat tatapan galak Azim, Millie tak melanjutkan kalimatnya. Dia pun mematuhi instruksi Azim dan masuk kamar.
Setelah mendengar suara kunci diputar, Azim pun berjalan ke lift. Wajah merajuk Millie masih terbayang di kepalanya. Tiga hari tanpa kehadiran Millie sepertinya akan membuat hari Azim terasa sepi.
***AmelA***
Jarum pendek jam belum beranjak dari angka sebelas ketika Millie mendengar suara bel. Gadis itu mengintip dari lubang bidik dan melihat Matt berdiri di balik pintu.
"Mil. Millie. Buka pintunya dong. Aku mau ngomong." Suara Matt terdengar kasar. Membuat Millie ragu.
"Millie ... Please buka pintunya," seru Matt dengan suara yang meninggi. Kali ini dibarengin dengan gedoran di pintu.
Milli buru-buru membuka pintu agar Matt tak membuat keributan.
"Ada apa sih, Matt? Ini sudah malam. Apa ga bisa nunggu besok?" tanya Millie sinis.
Matt merangsek masuk. "Kita perlu bicara berdua Millie. Jangan ada orang lain yang dengar." Telunjuknya menempel di bibir. Tangan kirinya mendorong pintu hingga menutup.
Perasaan Millie tak enak. Belum pernah dia melihat Matt sekacau itu. Apalagi kini Millie dapat mencium bau alkohol dari mulut Matt.
"Matt. Lebih baik kamu kembali ke kamar kamu. Kita bicara besok saja," saran Millie sambil berusaha meraih gagang pintu, tetapi Matt menarik lengannya dengan kasar.
"Enggak bisa Millie. Aku maunya sekarang!"
Millie berusaha melepaskan cengkraman Matt di lengannya, sayang usahanya sia-sia. "Matt. Lepasin! Sakit tahu!"
Seringai Matt membuat Millie jeri. "Aku bakal lepas, tapi izinin aku cium kamu dulu, Mil!"
Tanpa menunggu persetujuan Millie, Matt langsung menyorongkan bibir ke wajah Millie. Gadis itu buru-buru menarik kepala. Telapaknya melayang ke pipi Matt.
Matt yang kaget langsung mendorong Millie hingga terjatuh."Kamu bukan Millie yang aku kenal lagi! Kemana Millie yang manis dan penurut?"
"Kamu yang berubah, Matt! Kemana Matt yang baik dan tulus?" hardik Millie. Pandanganya mulai buram oleh air mata. Dia buru-buru bangkit dan berlari mengambil ponsel di atas nakas. Menyadari hal itu, Matt buru-buru mengejar Millie hingga membuat gadis itu tersudut di antara dinding dan tempat tidur.
"Matt. Tolong tinggalin aku. Kita bicara besok saja. Aku capek, mau istirahat," pinta Millie dengan suara bergetar.
Jemari Matt menyentuh pipi Millie yang basah oleh air mata. "Jangan nangis, Millie-ku yang manis."
"Kamu tahu enggak, Mil. Tiap kali ada kissing scene, aku selalu bayangin lawan mainku itu kamu lho." Telunjuk Matt mengusap bibir teman masa kecilnya itu.
Millie melirik ponsel yang sengaja dia dorong ke bawah tempat tidur. Sebelum Matt memojokkannya, Mille sempat memanggil nomor Azim. Namun, sang bodyguard belum mengangkat telepon.
Tubuh Millie bergetar hebat ketika Matt memainkan dan menciumi ujung rambutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top