8 - Janji Masa Lalu

Saat azan subuh berkumandang, Janine telah terbangun. Lebih awal dari alarm yang dipasangnya semalam. Dia langsung menuju kamar Millie. Pagi itu mereka harus berangkat lebih awal menuju Bandung. Millie ada job menyanyi di acara family gathering sebuah hotel bintang lima. Setelah itu ada acara meet and greet yang harus Millie hadiri.

Ketika tak menemukan sosok Millie di atas tempat tidur, Janine pikir gadis itu sedang di kamar mandi. Dia menunggu sampai lima belas menit Millie tak kunjung keluar. Janine memutuskan untuk memeriksa. Gadis itu langsung panik ketika mendapati Millie juga tak ada di kamar mandi.

Janine mencoba menghubungi ponsel Millie, tetapi tak tersambung. Dia segera berkeliling memeriksa rumah dengan hati-hati agar tak membuat keributan dan membangunkan penghuni lain.

Semalam Janine sempat mendengar keributan dari kamar utama. Dia takut Millie bertindak nekat dan mencelakakan diri sendiri. Janine tahu pasti bahwa gadis itu sangat benci ketika orang tuanya bertengkar.

Setelah gagal menemukan Millie di dalam rumah, Janine memutuskan mengecek ke taman. Siapa tahu Millie sedang jalan pagi atau entah sedang apa di sana. Bukankah gadis itu suka sekali menyendiri di tepi kolam ikan koi? Ah tidak, akhir-akhir ini Millie tak sekadar sendiri di sana. Sering Janine lihat ada Azim yang menemani.

Hawa dingin langsung menerpa ketika Janine membuka pintu. Langit masih gelap, hanya ada semburat tipis warna jingga di ufuk timur. Sambil berjalan, Janine memindai seisi taman. Namun, sosok Millie tak terlihat di mana pun.

Janine langsung berlari menuju paviliun. Saat ini, Azim adalah satu-satunya harapan untuk menemukan Millie. Meski baru bekerja selama tiga bulan, pemuda itu lebih memahami jalan pikiran Millie, mengalahkan Janine yang telah mengabdi selama bertahun-tahun.

Tak dia pedulikan cipratan lumpur yang mengotori ujung celana. Hujan deras semalam meninggalkan genangan air di beberapa bagian taman. Yang Janine pikirkan saat itu adalah segera menemukan Millie sebelum Bu Lalita bangun. Sang nyonya rumah bisa marah besar jika putri kesayanganya tak dapat ditemukan.

Dengan tak sabaran, Janine mengetuk pintu kamar Azim keras-keras.

"Zim! Azim! Bangun dong!" Janine terus menggedor pintu. "Millie enggak ada di kamarnya. Bantuin aku cari Millie, Zim!"

Kecemasan Janine sedikit reda ketika mendengar suara kunci dibuka. Namun, kepanikannya langsung berganti dengan rasa kaget dan bingung ketika melihat wajah Millie dari celah pintu. Dia memang ingin segera menemukan Millie, tetapi tidak di kamar Azim di pagi buta seperti ini. Apalagi Millie terlihat mengenakan pakaian pemuda itu.

"Mi-Millie ... Ka-kamu kenapa ada di sini pagi-pagi begini?" Janine memandangi Millie dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Millie mengucek matanya tanpa merasa bersalah. "Numpang tidur. Emang enggak kelihatan apa Kak? Aku baru bangun begini. Ada apa sih ribut-ribut?"

Janine tak menjawab pertanyaan Millie. Dia mendorong pintu agar terbuka lebih lebar dan masuk ke kamar untuk mencari sosok Azim. Siap-siap mengomeli pemuda itu. Awas saja kalau Azim merusak Millie yang telah Janine jaga bertahun-tahun.

"Azim mana?" tanya Janine kasar ketika tak menemukan sosok pemuda itu di kamar mandi.

Millie mengangkat bahu dengan malas. Kini dia telah duduk di tepi tempat tidur sambil mengayun-ayunkan kaki. "Mana kutahu, Kak. Kan aku baru bangun."

"Iya. Tapi kamu bangun di kamar Azim, Mil. Ngapain kamu tidur di sini? Apa yang kalian lakukan semalam? Ja-jangan bilang kamu semalam enggak sadar ketika Azim ... Coba lihat sekelilingmu, Mil. Ini kamar Azim!" Janine terlihat gusar. Berbagai skenario buruk berkelebat di pikirannya.

"Enggak usaha khawatir, Nin! Aku semalam tidur di sebelah," kata Azim yang telah berdiri di depan pintu. Dari sarung dan baju koko yang dikenakannya, Azim terlihat baru kembali dari masjid.

Azim melotot pada Millie yang malah cengengesan sendiri. Sebelum berangkat ke masjid tadi, dia telah membangunkan gadis itu agar segera kembali ke kamarnya sendiri. Ternyata Millie justru tidur lagi dan kini hal yang ingin mereka rahasiakan justru ketahuan oleh Janine.

Janine menatap Millie dan Azim secara bergantian. Dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Ta-tapi ... Ke – kenapa Millie tidur di sini? Apa kalian enggak mikir kalau sampai orang lain lihat. Bisa habis jadi bahan gosip!"

"Aku semalam dengar papa dan mama bertengkar. Rasanya rumah terasa sumpek dan sempit. Jadinya aku minta tidur di sini." Millie berusaha menjelaskan kejadian semalam. Dia merebahkan tubuhnya ke kasur dengan tungkai menjuntai ke lantai.

Azim menyampirkan sejadahnya di kursi. "Kupikir kamu langsung balik ke rumah tadi, Mil. Kan aku sudah bilang langsung balik kamar sebelum orang-orang pada bangun. Malah tidur lagi." Dia langsung mengomeli Millie.

"Eh? Masak sih Bang Azim sudah banguni? Kok aku ga inget?" Millie memasang wajah polos untuk menghindari kemarahan Azim.

Azim menatap Millie dengan pandangan menuduh. "Berarti kamu belum salat subuh?"

"Ya mana bisa salat, di sini kan enggak ada mukena, Bang." Millie mencari alasan.

Janine memperhatikan kedua orang itu dengan perasaan yang entah. Dia merasa lega karena hal buruk yang dia bayangkan tak terjadi. Akan tetapi, Janine melihat sinyal berbeda di antara Azim dan Millie. Keakraban mereka tak wajar.

"Bawa Millie ke kamarnya, Nin. Aku mau mandi dulu. Hari ini kita harus berangkat pagi kan?" Pertanyaan Azim membuyarkan lamunan Janine.

Janine mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia langsung menarik tangan Millie untuk mengajaknya kembali ke rumah utama. Millie mengikuti dengan pasrah.

Sebelum Azim menutup pintu kamar, gadis itu masih sempat-sempatnya melambaikan tangan dan tertawa senang.

"Dah, Bang Azim. Kapan-kapan aku nginep situ lagi ya?"

Melihat mata Azim yang melotot padanya, Millie terkikik geli. Balas mengusili Azim telah menjadi hiburan tersendiri baginya.

"Kamu gila apa, Mil? Kalau sampai orang lain tahu, itu bisa jadi masalah besar." Janine lanjut mengomel ketika mereka telah aman di kamar Millie.

"Ya kan cuma kita bertiga yang tahu. Kalau Kak Janine tidak cerita ke orang lain. Aman."

"Bukan cuma itu masalahnya, Mil! Kamu juga jangan terlalu dekat dengan Azim. Kita kan baru kenal dia. Kalau misalnya semalam dia ngapa-ngapain kamu, ga ada yang bakal tahu. Kamu tahu sendiri letak paviliun agak jauh dari rumah. Apalagi semalam hujan deras."

"Bang Azim bukan laki-laki semacam itu, Kak. Semalam dia juga sudah usir aku pulang, cuma akunya aja yang bandel." Millie tak terima Azim disalahkan karena ulahnya.

"Tapi tetap saja dia laki-laki, Mil. Kamu tetap harus lebih hati-hati." Janine menatap Millie dengan serius. "Kamu ga lagi naksir Azim kan, Mil?"

Millie mengangkat kepalanya. Pertanyaan itu akhirnya dia dengar juga. Kali ini dari orang lain. Sebulan terakhir Millie juga menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri. Mungkinkah dia telah jatuh cinta pada Azim? Millie juga belum tahu jawabannya.

***AmelA***

Selepas makan siang, Millie telah duduk manis untuk menyapa penggemarnya. Dia tengah menghadiri acara jumpa fans di sebuah kafe bernuansa vintage. Panitia telah menyediakan staf keamanan sendiri untuk mengawasi jalannya acara sehingga Azim dapat mendampingi Millie di panggung tempat Millie akan menemui para penggemarnya..

Penggemar yang telah membeli merchandise dan album baru Millie sedang mengantri, menunggu giliran bertemu idola mereka. Di hadapan Millie telah tersedia tumpukan yang siap ia tanda tangani dan juga poster ekslusif khusus bagi penggemar yang membeli merchandise dengan nilai tertentu.

"Sudah siap, Mil?"

Begitu Millie mengangguk, Azim memberi kode kepada panitia untuk mulai mempersilakan penggemar pertama masuk.

"Halo, selamat siang. Apa kabar?" sapa Millie kepada penggemar pertama. Seorang gadis remaja dengan gaya berpakaian meniru Millie.

Sang penggemar tersenyum lebar mendengar suara idolanya. "Ba-baik. Aah aku senang banget ketemu langsung sama Kak Millie."

"Nama kamu siapa?" tanya Millie sambil menggoreskan tanda tangan pada salah satu foto.

"Ella, Kak."

Millie menambahkan pesan singkat dengan mencantumkan nama sang penggemar. Gadis itu menerima foto dengan berbinar-binar.

"Kak. Ini ada hadiah buat, Kakak." Gadis itu menyerahkan boneka beruang kecil pada Millie.

"Terima kasih." Millie menerima pemberian itu dengan senyum lebar.

Panitia mengarahkan gadis itu turun dan memanggil penggemar berikutnya naik ke panggung. Millie menyerahkan boneka tadi pada Azim yang langsung menyimpannya di tempat yang telah disediakan panitia.

Hampir setiap penggemar yang menemui Millie membawa hadiah khusus bagi sang idola. Mulai dari hal-hal kecil seperti gantungan kunci, buku, boneka, dan makanan ringan. Ada juga yang memberikan karya mereka sendiri seperti lukisan, aksesoris, syal, hingga sweater rajut. Millie sampai harus berulang kali berganti aksesoris untuk menghargai penggemarnya.

Millie melepas bando pemberian penggemar sebelumnya untuk mengenakan flower crown penggemar yang baru datang. Tak lama kemudian dia harus melepas mahkota bunga itu untuk memakai topi yang dihadiahkan penggemar lain. Kejadian itu terus berulang dengan barang dan penggemar yang berbeda. Azim yang berjaga di belakang terus sigap menyimpankan hadiah yang diterima Millie.

Tangan Millie pun mulai pegal karena harus bolak-balik membubuhkan tanda tangan. Namun, Millie melakukan semua itu dengan profesional. Senyum manisnya tak luntur sejak tadi.

"Kak Millie marahan dengan Kak Matt? Kok ga pernah kelihatan main bareng lagi sejak ditembak tempo hari?" tanya seorang penggemar yang kepo.

Millie berhasil menutupi rasa canggungnya dengan tawa renyah. "Enggak kok. Kami baik-baik saja. Masih berteman. Cuma memang lagi sama-sama sibuk aja, jadi belum sempat main bareng," kelitnya sambil menyerahkan poster kepada sang penggemar.

Azim memberi kode kepada panitia untuk menyetop alur penggemar sejenak ketika Millie meraih gelas minum. Sambil menunggu Millie selesai minum, pemuda itu buru-buru menukar spidol yang tadi Millie gunakan. Beberapa kali gadis itu terlihat menggoyang spidol karena tintanya macet. Begitu Millie meletakkan kembali gelas, panitia mengarahkan penggemar berikutnya naik.

Tugas Azim siang itu tak hanya menjaga Millie, tetapi juga membantu apa pun yang gadis itu butuhkan. Memungut foto yang terjatuh, membantu melepaskan jepit rambut yang tersangkut di rambut, mengikatkan pita flower crown, memasangkan kalung, dan masih banyak lagi.

Semua itu Azim jalankan dengan sepenuh hati. Tak pernah dia sangka, mengurusi gadis manja itu justru menjadi kesenangan tersendiri baginya. Dan semua itu diabadikan secara sembunyi-sembunyi dari kejauhan oleh salah seorang penggemar.

***AmelA***

Begitu acara meet and greet usai, rombongan Millie langsung bertolak kembali ke ibu kota. Millie langsung tertidur di kursi belakang. Sepertinya dia cukup kelelahan.

Janine yang sedang memantau hasil liputan acara hari itu terbelalak kaget ketika melihat tautan video yang dikirimkan salah satu rekan media. Video yang menyorot interaksi Azim dan Millie di panggung tadi telah tersebar di Kamutube. Dalam kurun waktu sejam, video itu telah ditonton nyaris sepuluh ribu orang dan dibagikan ratusan kali.

"Zim. Coba kamu lihat link yang kushare deh," bisik Janine pada Azim yang duduk di depannya.

Azim segera memeriksa ponselnya dan mengklik tautan yang dikirimkan Janine. Judul video yang terpampang berhasil membuat kening Azim berkerut.

'Uwu Banget. Momen Manis Millie dengan Bodyguard Gantengnya'

Tak ada yang aneh dari video itu. Azim hanya menjalankan tugas sebagaimana biasa. Tak jauh berbeda dengan interaksi bodyguard dan artis lainnya. Hanya saja caption dan komentar penggemar di video menyiratkan seolah ada hubungan khusus antara Azim dan Millie.

"Kok bisa viral gini, Nin? Is it a good news or bad news for Millie?" Azim tampak mencemaskan efek video itu pada gadis yang tengah lelap di bangku paling belakang.

Janine mengangkat bahu. "Entah. Aku belum bisa nebak ke mana larinya opini netizen tentang video itu. Sejauh ini sih responnya masih positif-positif aja. Kayaknya emang banyak yang ngeship kalian berdua. Tapi ini baru jalan sejam, apa pun masih bisa terjadi."

"Kamu ga bisa take down video itu?"

"Bisa aja sih. Tapi aku harus perhitungkan dampaknya juga. Jangan sampai ketika aku turunin video itu, kita dianggap terlalu kaku, membatasi fans, tidak mendukung citizen journalism. Karena sebenarnya video itu juga diambil di acara publik, ga ada alasan kuat buat kita minta take down."

"Kenapa sih video kayak gini aja bisa viral? Emangnya ga ada hal menarik lain buat diberitain?" Azim masih belum mengerti dengan jalan pikiran orang-orang yang merekam, mengunggah, menonton, dan meramaikan kolom komentar video itu.

Janine mengamati Azim dengan saksama. Sebenarnya dia ingin mengkonfrontasi Azim terkait hubungan pemuda itu dengan Millie. Hanya saja ada Pak Tono di situ. Dia pun memutuskan untuk menahan rasa penasarannya sampai ada kesempatan untuk bicara berdua dengan Azim.

***AmelA***

Yang Azim khawatirkan akhirnya menjadi kenyataan. Video itu sampai juga ke tangan Hikmah. Wanita yang telah mencuri hatinya sejak Azim mulai mengenal cinta. Bahkan ketika wanita itu memilih lelaki lain, Azim tetap tak bisa berpaling. Dia tahu bahwa Hikmah menerima pinangan Kang Jalu karena kasihan dan rasa utang budi. Bukan cinta. Seperti yang diutarakan Hikmah sendiri kepada Azim semalam sebelum pernikahannya.

[Kenapa tidak cerita kalau kamu ganti pekerjaan, Zim?]

Hanya itu pesan yang dikirimkan Hikmah tadi sore. Azim telah coba menjelaskan, tetapi Hikmah tak membalasnya lagi. Perjalanan menuju Jakarta terasa begitu lama bagi Azim. Dia tak sabar sampai rumah agar bisa segera menelepon wanita pujaannya.

Begitu masuk kamar, Azim langsung mengunci pintu dan menelepon Hikmah. Rindu yang selama beberapa minggu terakhir jarang muncul kini menyerbu ketika nada panggil terdengar melalui ponsel.

"Assalamualaikum, Zim. Maaf aku belum sempat balas pesanmu. Tadi masih sibuk ngerewang di rumah Budhe Siti." Suara lembut Hikmat mengalun merdu.

"Waalaikumsalam, Yu. Maaf. Apa aku ganggu?" tanya Azim ragu. Dia selalu gugup ketika bicara pada wanita yang lima tahun lebih tua darinya itu.

Tempat tinggal Hikmah tepat di sebelah rumah keluarga Azim. Orang tua Azim dulu sering menitipkan putra mereka satu-satunya itu kepada Hikmah jika harus ke sawah. Hikmah yang anak bungsu dengan senang hati mengasuh Azim. Sejak kecil Hikmah memang sangat ingin memiliki adik. Sayang orang tuanya memutuskan tak ingin menambah anak lagi.

"Enggak kok, Zim. Ini aku sudah di rumah" jawab Hikmah santai.

"Kang Jalu ke mana?" Lidah Azim tersekat ketika mengucap nama suami Hikmah.

Jalu juga tinggal di desa yang sama dengan Hikmah dan Azim. Lelaki itu sempat sekelas dengan Hikmah waktu dan memang sudah menunjukkan cinta sejak awal perkenalan. Sayang perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan. Jalu lelaki yang baik, dia sama sekali tak memaksa. Begitu lulus SMA, dia pun pergi merantau ke Kalimantan.

Tampaknya usaha Jalu di Kalimantan cukup sukses. Pulang-pulang dia membeli beberapa hektar sawah. Gadis-gadis desa pun berebut perhatiannya. Sayang hatinya telah tertumbuk pada Hikmah. Gadis yang juga menjadi cinta pertama Azim.

Entah sejak kapan kekaguman Azim pada tetangganya itu berubah menjadi perasaan cinta. Wajah Hikmah yang teduh, tutur katanya yang lembut, perangainya yang keibuan. Semua itu membuat Azim jatuh cinta. Tak ada satu pun gadis lain yang berhasil mengalihkan pandangan Azim dari Hikmah. Selepas lulus kuliah, dia berencana menyatakan cinta. Sayang, takdir berkata lain.

"Kang Jalu masih di rumah Budhe Siti. Biasa, jagongan sama bapak-bapak yang lain."

Azim menarik napas lega. Bagaimana pun dia masih menghormati Jalu. Dia tak enak hati menelepon istri lelaki itu malam-malam seperti ini. Sebenarnya Azim telah berusaha merelakan Hikmah pada lelaki baik hati itu. Namun, Hikmah sendiri yang memintanya menunggu.

'Aku hanya akan menjadi istri Kang Jalu sampai dia sembuh, Zim. Aku tidak memaksamu, tetapi kalau memang kamu mau bersabar, tunggu aku sampai melunasi utang budiku pada Kang Jalu'

Kalimat Hikmah malam itu mematahkan hati Azim tetapi juga memberi harapan. Cintanya selama ini terbalas. Sayang takdir belum berkenan mempersatukan mereka. Gara-gara menyelamatkan Hikmah yang nyaris tertabrak truk, Jalu menjadi lumpuh.

Rasa bersalah membuat Hikmah mengikuti saran keluarganya untuk menjadi istri lelaki itu. Utang budi membuat Hikmah merasa berkewajiban mendampingi Jalu menjalani terapi. Setidaknya sampai Jalu dapat berjalan lagi, dia akan menjadi istri yang patuh, meski hatinya tak utuh.

"Video itu ... itu tidak seperti yang diberitakan. Aku hanya menjalankan tugas seperti biasa." Azim memulai penjelasannya.

"Iya, Azim. Aku tahu. Hanya saja aku heran kamu tak cerita kalau saat ini bekerja sebagai bodyguard gadis itu. Bukankah dulu kamu selalu bercerita padaku tentang apa pun?" Meski nada suara Hikmah terdengar lembut, tetapi rasa kecewanya jelas tertangkap telinga Azim.

"Ma-af. Aku tak ingin mengganggu Yu Hikmah. Kata Ibuk, Yu Hikmah sedang sibuk ngurusin penggilingan padi."

Embusan napas Hikmah menimbulkan bunyi kemerusuk di telepon. "Ya tapi kan kamu bisa chatt, telepon pun tak masalah sebenarnya. Sesibuk-sibuknya aku kalau kamu yang telepon pasti kuangkat. Atau ... jangan-jangan kamu sudah capek menungguku ya, Zim?"

Capek? Entahlah. Azim sendiri tak tahu. Dia tahu hatinya masih milik Hikmah. Setidaknya masih ada sebagian hatinya yang menjadi milik Hikmah. Tiga tahun penantian yang telah dia jalani bukanlah waktu yang singkat, tetapi Azim sama sekali tak mempermasalahkannya.

"Kang Jalu sudah bisa berjalan dengan tongkat, Zim. Meski tidak bisa lama-lama. Aku tidak akan memaksa, tetapi kalau kamu bersedia, bersabarlah sedikit lagi."

Azim telah berjanji akan menunggu Hikmah, dan dia bukanlah pemuda yang mudah ingkar janji. Menikahi Hikmah adalah mimpinya sejak remaja. Bahkan dia tak mempermasalahkan status Hikmah sebagai janda jika kelak telah bercerai dengan Jalu. Baginya Hikmah tetaplah sosok wanita yang sempurna.

"Zim. Maaf ya. Kang Jalu rupanya sudah pulang. Kapan-kapan kita sambung lagi ya?"

Azim menutup telepon dengan perasaan yang tak dia mengerti. Biasanya dia selalu merasa kurang mengobrol dengan Hikmah, tetapi malam itu terasa biasa saja. Akhir-akhir ini sosok Hikmah memang jarang muncul dalam bayangan Azim. Sepertinya kesibukan menjadi pengawal Millie membuat Azim tak punya banyak waktu merenungkan kisah cintanya ayang rumit. Cerita-cerita Millie berhasil mengalihkan perhatian Azim dari kisah hidupnya sendiri yang tak kalah pelik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top