6 - Sweet Escape
Millie menatap takjub pada instalasi kaca di depannya. Ruangan yang mereka kunjungi dipenuhi cermin di semua sisi. Mulai dari keempat sisi tembok, hingga langit-langit. Dengan setengah berlari, Millie menuju tanda 'X' di tengah ruangan. Yang paling mengesankan dari karya itu adalah penempatan lampu gantung berwarna-warni yang penuh perencanaan. Dari tempat Millie berdiri, pantulan lampu-lampu di cermin berhasil membentuk mandala tak hingga.
Gadis itu memutar tubuh untuk mengamati semua sisi. Sang seniman pasti telah mengukur dan merancang karya itu dengan presisi. Tanpa cela. Membuat Millie terinspirasi. Dia benar-benar terkesan. Untung saja Azim berhasil mendapatkan tiket masuk ke Museum. Biasanya calon pengunjung harus masuk daftar tunggu dulu untuk memperoleh tiket. Museum MACAN memang menjadi tujuan wisata favorit semenjak viral beberapa waktu lalu.
"Jangan lebar-lebar mangapnya. Nanti kalau ada lalat nyemplung baru nyesal," ledek Azim ketika melihat ekspresi Millie yang terus melongo sejak tadi.
Millie buru-buru mengatupkan mulut. Kini bibirnya mengerucut maju. Ditatapnya Azim dengan sebal. Sejak menjadi lebih akrab tiga hari terakhir, pemuda itu jadi sering meledeknya jika tak ada orang lain di dekat mereka.
"Mau difotoin, enggak?"
Mendengar tawaran Azim, kepala Millie langsung mengangguk-angguk cepat. Hal itu membuat Azim tertawa. Image gadis sombong dan menyebalkan tentang Millie telah luntur dari benak Azim. Kini sikap manja dan kekanak-kanakan Millie justru terlihat menggemaskan dan sering kali memancing tawa. Azim pun menjadi lebih nyaman menampakkan sifat aslinya yang usil dengan sesekali mengerjai gadis itu.
"Posisiku sudah pas belum, Bang?" tanya Millie sambil membenahi ikatan rambutnya. Agar tak menarik perhatian, dia memang sengaja menata rambut agak berantakan. Wajah manisnya juga berusaha dia sembunyikan di balik memakai kacamata tebal ala kutu buku.
Azim membentuk bulatan dengan telunjuk dan ibu jari. Bibirnya membisikkan aba-aba dengan menghitung mundur. Millie mulai memasang pose-pose aneh yang tak bisa dia pakai jika sedang pemotretan. Untuk membangun image dewasa yang direncanakan sang mama, Millie harus selalu tampak manis dan anggun di depan kamera. Namun, saat itu dia sedang tak menjadi Millie sang penyanyi idola. Hari itu dia adalah Millie sang gadis remaja yang ingin bersenang-senang tanpa memikirkan beban hidup yang memberati langkahnya.
"Lihat dong hasilnya." Millie berlari menghampiri Azim setelah jepretan kesepuluh. Karena terlalu terburu-buru, pucuk kepala Millie tak sengaja membentur bibir Azim. Pemuda itu langsung mengaduh. Dia refleks mundur hingga nyaris terjatuh. Untung saja Azim dapat segera mengatur keseimbangan.
"Duh, Bang. Sorry. Aku benar-benar ga sengaja."
Millie menatap sang pengawal dengan sorot mata khawatir. Jemarinya terulur hendak menyentuh wajah Azim, tetapi pemuda itu langsung menepisnya pelan.
"Iya, ga papa. Aku tahu kamu ga sengaja. Nih kalau mau lihat fotonya."
Setelah menyerahkan ponsel pada sang nona muda, Azim menyingkir ke ruangan sebelah. Adegan beberapa detik tadi membuatnya teringat pada seseorang di masa lalu. Kejadian tadi nyaris sama persis dengan kenangan masa muda Azim, jika saja tadi dia tak menepis tangan Millie. Mungkin akan berakhir sama jika jemari Millie berhasil menyentuh wajahnya.
"Eh iya, aku belum sempat video call Uda Rahmat," cetus Millie sembari mengejar Azim.
Millie mengulurkan ponsel pada sang pengawal. "Bang. Aku telepon pakai hape Abang ya? Punyaku low bat. Power bank nya ketinggalan di mobil."
Azim menatapnya heran. "Lho, katanya mau pinjam? Kok malah dibalikin? Langsung aja telepon!"
"Ya aku takut ga sengaja lihat hal-hal yang bersifat pribadi. Abang yang teleponin, biar aku ga perlu ngulik-ngulik isi hape, Abang."
Azim tersenyum menatap gadis muda yang menjadi majikannya itu. Tak menyangka bahwa Millie begitu menghargai privasi orang lain. Mungkin karena sepanjang hidupnya, Millie selalu dikerubuti orang-orang yang penasaran pada kehidupan pribadinya. Gadis itu paham bagaimana rasanya ranah privasinya menjadi tontonan orang banyak. Dia tak ingin menjadi bagian orang-orang kepo yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain.
"Ya sudah, ayo minggir dulu. Jangan di tengah jalan begini," jawab Azim sambil menepi ke salah satu kursi yang tersedia. Dia menghubungi Rahmat melalui salah satu aplikasi panggilan video.
Millie duduk di samping Azim. Gadis itu terlihat tak sabar menunggu Rahmat menerima panggilan mereka.
"Assalamualaikum, Bang," sapa Azim begitu wajah sang senior muncul di layar.
"Waalaikumussalam, Zim. Gimana? Millie baik-baik aja kan? Aku baru nonton beritanya di KauTube. Aku ga nyangka kalau-" ucapan Rahmat langsung terputus ketika wajah Millie muncul di layar dengan senyum lebar.
"Hai, Uda. Tenang!I'm okay. Ini aku lagi jalan-jalan sama Bang Azim," sapa Millie dengan ceria. Dia telah berhasil menyimpan segala kegundahan tadi rapat-rapat. Gadis itu tak ingin Rahmat yang telah dia anggap saudara sendiri menjadi khawatir jika melihatnya sedih.
Azim menyerahkan ponsel kepada gadis itu lalu bangkit dari kursi untuk memberi privasi bagi Millie dan Rahmat mengobrol. Dia memilih berkeliling mengamati karya senin yang dipajang. Dilihat sepintas, Museum Macan tak jauh berbeda dengan galeri seni yang memamerkan karya-karya kontemporer. Namun, ada beberapa ruangan khusus untuk memajang instalasi tematik sesuai jadwal pameran.
Tema bulan itu adalah 'sudut pandang'. Karya yang ditampilkan berusaha menggambarkan sudut-sudut unik yang jarang terpikirkan manusia pada umumnya. Seperti perpaduan cermin dan lampu gantung di ruangan yang telah mereka kunjungi. Dari sudut pandang tertentu, lampu-lampu yang terlihat acak itu justru membentuk lukisan indah di cermin.
Senyum Azim langsung terkembang lebar begitu masuk ke ruang instalasi yang ketiga. Dia langsung teringat dua malam terakhir yang dia habiskan dengan menemanin Millie. Azim bergegas kembali ke tempat tadi meninggalkan gadis itu.
"Mil. Coba ke ruang pamer tiga deh. Kamu pasti suka banget," ajak Azim penuh semangat.
Millie mengerutkkan kening. "Kan aku masih vidcal- sama Uda nih Bang."
"Ya kan sambil telepon juga bisa. Ayo deh," ajak Azim sekali lagi. Dia mengulurkan tangan untuk membantu Millie bangkit dari duduk..
Melihat raut Azim yang tak sabaran, Millie menyambut uluran tangan pemuda itu. Dia sengaja tak melepaskan genggaman tangan Azim dan malah mengayun-ayunkannya seirama dengan dengan langkah sambil berbicara pada Rahmat. Azim menatap Millie dengan gemas. Entah apa yang merasuki Millie hari itu, sikapnya tak seperti majikan pada pengawalnya, tetapi lebih mirip adik yang bermanja-manja pada abangnya.
"Tuh lihat. Ruangan ini cocok jadi rumahmu," tunjuk Azim begitu mereka sampai di ruang instalasi yang dituju.
Millie akhirnya mengangkat kepala dari ponsel. Mulutnya membulat begitu melihat ruangan penuh dengan boneka beruang aneka ukuran dan warna. Saking banyaknya, boneka-boneka itu bertumpuk membentuk piramida. Sepintas memang hanya seperti timbunan boneka biasa, tetapi jika diperhatikan lagi dari sudut tertentu, boneka-boneka itu membentuk huruf 'B-R-A-V-E'. Berani.
"Waaah ... Banyak banget bonekanya," celetuk Millie takjub.
Dia memeriksa beberapa boneka yang berpakaian layaknya manusia. Millie ingin sekali mengelus boneka-boneka itu, tetapi tak ingin melanggar aturan museum. Pengunjung dilarang menyentuh karya seni yang dipamerkan. Millie tak ingin merusak karya indah itu, jadi dia memilih hanya mengamati saja. Matanya langsung berbinar ketika membaca informasi karya. Sang seniman menyelipkan pesan tersembunyi di antara tumpukan boneka-boneka itu. Millie langsung tertantang untuk menemukannya.
"Nih Bang, temenin Uda ngobrol dulu," ujar Millie sambil menyerahkan ponsel kepada Azim. Dia langsung berlari mengitari ruangan untuk mencari petunjuk yang dimaksud.
"Millie beneran baik-baik saja?" tanya Rahmat begitu wajah Azim kembali muncul di tampilan layar.
"Sekarang sepertinya sih iya. Tadi sih enggak. Ini aja Janine terpaksa batalin beberapa jadwal gara-gara Millie ngambek dan main kabur," tutur Azim sambil sesekali mencuri pandang mengawasi Millie.
"Kalau kena omel Bu Lalita ga usah jawab apalagi membela diri. Nanti makin panjang urusannya. Iya-iyain aja biar ga makin kisruh." Rahmat memberi saran.
"Iya, Uda," jawab Azim sambil menyimpul senyum melihat tingkah Millie yang pecicilan.
"Kalau Millie lagi berantem sama Bu Lalita ga usah ikut campur. Kita ga bisa bantuin Millie kalau dipecat. Jadi bersikaplah netral kalau lagi ada Bu Lalita."
"Iya." Pandangan mata Azim tak lagi fokus ke layar ponsel.
"Aku beneran titip Millie ya, Zim."
"Iya." Azim tak bisa menahan tawa melihat Millie yang memiring-miringkan kepala untuk membaca tulisan di kostum salah satu boneka beruang.
"Zim. Kamu dengerin ga sih? Orang lagi serius, malah ketawa," protes Rahmat dari seberang.
Azim kembali menoleh ke layar ponsel. Dilihatnya sang senior menatap sebal.
"Maaf, Uda. Aku lagi ngawasin Millie. Takut dia bikin ulah," jawab Azim sambil terkekeh.
Rahmat ikut tertawa. "Hati-hati lho, Zim. Jagain Millie-nya ga usah terlalu bawa perasaan. Nanti naksir lho."
Azim mendengkus. "Enggak lah. Dia sama sekali bukan tipeku kok." Hampir semua yang ada di Millie sungguh bertolak belakang dengan kriteria gadis idaman Azim. Lagipula hatinya masih terpaut dengan sosok wanita yang dia kagumi sejak masih remaja.
Gambar di layar tampak berguncang. Karena Rahmat terlalu keras tertawa, ponsel yang dia pegang pun ikut bergoyang.
"Ah iya. Aku lupa. Kamu kan sukanya sama perempuan yang lebih tua ya. Kalau gitu hati-hati jangan sampai naksir Bu Lalita."
Azim memaki pelan mendengar ledekan Rahmat. Baru saja dia hendak membalas, konsentrasinya terpecah oleh keributan yang berasal dari tempat Millie.
"Da. Sudah dulu ya. Hati-hati di jalan. Nanti kabari kalau sudah sampai Padang," pamit Azim sebelum buru-buru menghampiri Millie yang tengah bertengkar dengan seorang gadis lain.
"Itu tadi Mbaknya mindah-mindahin boneka. Padahal kan sudah jelas-jelas tuh di dinding banyak banget tulisan 'Don't Touch!', Mbaknya bisa baca ga sih? Kok malah ambil dan peluk bonekanya buat foto-foto," omel Millie pada gadis berambut kemerahan di depannya.
"Saya kan sudah kembalikan ke tempat semula, Mbak. Lagian Mbak siapa sih? Galak bener! Petugasnya aja ga protes," kilah lawan bicara Millie.
"Ya karena petugasnya ga lihat. Meski dah dibalikin ke tempat semula, tapi posisinya kan geser Mbak. Padahal senimannya sudah susah-susah lho ngedesain semua ini. Makanya banyak tulisan yang melarang pengunjung menyentuh boneka-boneka itu. Biar ga rusak!" sergah Millie dengan sewot. Dia mundur beberapa langkah untuk mengamati susunan boneka yang diutak-atik gadis berambut merah itu dari jauh.
"Tuh kan. Huruf V nya jadi ga simetris lagi," ucap Millie dengan pandangan menuduh.
"Ga ada yang nyadar juga kali, Mbak!" Gadis berambut merah itu tak mau kalah sewot.
Azim langsung menggamit siku Millie dan berbisik, "Sudah, Mil. Jangan bikin ribut. Nanti kalau ada orang ngenalin kamu gimana? Bisa viral nanti."
Millie mencebik sebal. "Tapi Bang ... dia dulu yang bikin ribut. Aku tadi cuma ngingetin baik-baik, dia malah balasnya sewot."
Azim menarik napas dalam-dalam dan beralih memandang gadis berambut merah yang bertengkar dengan Millie. Pemuda itu melemparkan senyum manis untuk meredakan amarah lawan bicaranya.
"Maaf ya, Mbak. Lain kali tolong jangan diulangi lagi. Museum pasti membuat aturan itu untuk menjaga supaya karya seni yang dipajang bisa dinikmati orang lain. Supaya pesan yang ingin disampaikan Lagi pula kasihan senimannya kalau karya yang dibuat susah-susah rusak." Azim ikut menasihati gadis itu.
Gadis tampak tersipu. Dia menatap Azim dengan malu-malu. "I-iya. Mas. Saya tidak akan mengulanginya lagi. Terima kasih."
Millie mendengkus kesal, tetapi dia tak protes ketika Azim menuntunnya keluar ruangan.
"Dasar. Giliran yang negur cowok cakep aja langsung manis sikapnya," gerutu Millie dengan bersungut-sungut.
Azim mengalihkan pandangan ke lukisan-lukisan di dinding. Pura-pura tak mendengar celetukan Millie yang telah menyentak rasa di dadanya. Benar kata Rahmat. Dia harus lebih berhati-hati, tidak boleh terlalu bawa perasaan saat menjalankan tugas sebagai pengawal Millie. Dia tak boleh mengkhianati tanggung jawab yang diembannya. Lagipula dia punya janji yang harus ditepati pada wanita yang telah mencuri hatinya sejak bertahun-tahun lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top