23 - Live Streaming

"Ma. Boleh aku masuk kan?" tanya Millie santun. Dia sudah bertekad mengawali pembicaraan dengan hati-hati agar tak memantik pertengkaran dengan ibunya.

Lalita tengah duduk di samping jendela yang mengarah ke taman. Tak ada larangan ataupun penolakan. Millie kembali menutup pintu dan mendekat pada sang ibu.

Penampilan Lalita hari itu sungguh berantakan. Rambut lurusnya yang selalu tertata rapi kini tampak kusut, seolah tak tersentuh sisir berhari-hari. Setelah pertengkarannya dengan Gunawan beberapa malam lalu, Lalita memang tak pernah keluar kamar. Makan dan minum selalu diantar oleh pelayan.

Sebelum masuk kamar tadi, Millie sudah menyiapkan diri atas segala kemungkinan. Jika ibunya menentang rencana pernikahannya, dia telah menyiapkan perlawanan. Amarah yang terpendam bertahun-tahun telah dia susun rapi untuk dapat dimuntahkan dalam bentuk kalimat-kalimat tajam. Millie bertekad tak akan menyerah sampai tujuannya tercapai. Telah dia siapkan beberapa alternatif penawaran bahkan ancaman untuk bernegosiasi.

Melihat kondisi sang ibu, sepertinya semua itu tak diperlukan lagi. Sinar mata Lalita tampak begitu redup, tak ada semangat hidup. Hal itu justru menerbitkan rasa iba di hati Millie. Belum pernah dia lihat ibunya sehancur itu.

"Mama sudah makan?" tanya Millie dengan penuh perhatian. Kondisi sang ibu benar-benar terlihat memprihatinkan. Alih-alih marah, gadis itu justru merasa kasihan.

Lalita tak menjawab. Kedua matanya terus memandang ke balik jendela kaca. Entah apa yang dicarinya di luar sana.

"Untuk apa kamu datang ke sini, Millie? Menertawakan mama yang tenggelam dalam ambisi hingga kehilangan segalanya?" tanya Lalita sinis.

"Mama tidak kehilangan apa-apa. Semua yang mama miliki masih ada, tak berkurang sedikit pun." Hanya itu yang bisa Millie ucapkan.

"Tidak usah menghibur mama! Jelas-jelas mama kehilangan papamu, dan sebentar lagi pun akan kehilangan kamu. Pada akhirnya mama akan menua sendirian."

"Mama tidak akan kehilangan aku."

Lalita terpingkal-pingkal mendengar perkataan putrinya.

"Tidak perlu berbohong Millie. Memangnya kamu pikir mama tidak tahu apa yang tengah kamu rencanakan. Kamu lupa kalau mama pun kenal dengan konsultan media dan orang-orang agensi? Kamu pikir semua orang akan menjaga rapat-rapat rahasiamu dari mama?" Lalita mencebik. "Mama tahu kamu sedang merencanakan pernikahan dengan Azim. Mama pun tahu kamu juga telah menyiapkan segalanya, termasuk kartu sakti untuk mengancam Mama kan?"

Millie tak menyangka sang ibu telah mengetahui semuanya. Lalita memang tak bisa diremehkan. Meski mengurung diri berhari-hari di kamar, rupanya arus informasi terus mengalir padanya. Rasa iba yang tadi sempat menguasai Millie telah lenyap tak berbekas. Ternyata ibunya belum berubah. Lalita masih wanita yang enggan mengakui kesalahan.

Gadis sembilas tahun itu menyesal sempat mengkhawatirkan kondisi ibunya. Senyum getir menghias bibir Millie ketika berbicara, "Syukurlah kalau Mama sudah tahu semuanya. Jadi aku tidak perlu repot-repot menjelaskan. Jadi ---apa yang akan mama lakukan?"

Ibu dan anak itu saling tatap selama beberapa detik. Mungkin memang sudah terlambat untuk memperbaiki hubungan keduanya. Terlalu jauh perbedaan pandangan di antara mereka. Entah apakah mereka akan menemukan titik temu di masa depan dan dapat kembali berbaikan.

"Lakukan apa saja yang kamu mau. Mama tidak peduli lagi. Biar kamu merasakan sendiri bahwa menikah itu tak semenyenangkan yang kamu kira. Lambat laun kamu akan mengerti bahwa cinta saja tak cukup untuk melawan dunia." Lalita menegarkan diri. Egonya masih tak rela menampakkan sisi lemah dirinya di hadapan sang putri semata wayang.

Tenggorokan Millie mendadak terasa begitu kering. Dia sudah mempersiapkan diri menghadapi apa pun respon sang ibu, tetapi entah kenapa hatinya tetap saja terasa sakit. Lalita memang tak menentang rencananya, tetapi tak juga merestui. Kalimat sang ibu barusan justru terkesan menyumpahi, berharap pernikahannya tak berakhir bahagia. Seakan menanti suatu saat nanti dapat menatap sinis padanya dan berkata 'Sudah mama bilang, kan. Ini akibatnya kalau kamu melawan mama.'

"Baik, Ma. Terima kasih sudah mengerti." Millie menatap nanar pada sang ibu. Rasanya memang sudah sulit untuk merangkul kembali wanita yang telah melahirkannya itu. Lalita telah melangkah terlalu jauh dalam dunia ideal versinya sendiri.

"Tapi jangan minta mama hadir dalam pernikahanmu. Mama tidak sudi bertemu dengan papamu."

"Jangan khawatir, Ma. Aku juga tidak mengundang Mama kok," ketus Millie sebelum pergi.

Gadis bersuara merdu itu mempercepat langkah. Dia ingin segera melempar tubuhnya ke kasur dan menutupi wajah dengan bantal. Tangis yang sejak tadi dia tahan kini mendesak keluar. Meski dia telah memprediksi restu ibunya tak akan mudah dia dapat, tetap saja rasa kecewa itu membekapnya hingga sesak.

Untuk kali ini, Millie akan menyimpan dukanya sendiri. Azim tak perlu tahu isi percakapannya dengan sang ibu. Biarlah pemuda itu mengira pernikahan mereka dapat terlaksana tanpa tentangan dari Lalita. Cukuplah kekecewaan itu Millie sendiri yang menanggungnya.

=-=-= Amela =-=-=

"Mil. Kita sudah sampai."

Janine menepuk tangan Millie dengan pelan. Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar membuka mata. Setelah kesadarannya terkumpul, Millie turun dari mobil.

Tidak ada uluran tangan Azim yang membantunya turun. Pemuda itu sedang menuju bandara untuk menjemput kedua orang tuanya. Hanya ada Janine yang menemani Millie untuk fitting baju pengantin di butik langganannya.

"Selamat siang Mbak Millie, Mbak Janine. Mbak Arumi sudah menunggu di atas."

Gadis resepsionis mengantarkan Millie dan Janine ke ruang kerja Arumi di lantai dua.

"Halo, Neng. Ayo masuk-masuk. Mau minum apa? Biar disiapkan Jihan." Arumi menyambut kliennya dengan senyum lebar. Begitu Millie mendekat, dia langsung memeluk dan mencium kedua pipi gadis itu.

"Enggak usah repot-repot, Mbak"

"Ya enggak repot dong. Memang sudah SOP di butik ini. Setiap tamu yang datang harus disuguhi minum." Arumi memberi instruksi kepada gadis resepsionis tadi untuk menyiapkan minuman.

"Aku benar-benar enggak nyangka kamu mau nikah di usia semuda ini, Mil. Enggak takut kehilangan masa muda?" tanya Arumi sambil mengiringi sang klien ke ruang ganti yang terletak di sebelah ruang kerjanya.

"Memangnya aku bisa menikmati masa muda, Mbak? Selama ini aku sudah kehilangan masa mudaku, enggak bisa menikmatinya seperti teman-teman seusia," jawab Millie sambil mentertawakan diri sendiri.

Arumi ikut tertawa. "Benar juga sih. Kamu sudah jadi artis sejak masih kecil ya. Aku saja sering kangen masa-masa masih bebas nongkrong dengan teman-teman. Sekarang susah banget cari waktu."

"Iya, Mbak. Makanya aku pingin memanfaatkan sebanyak-banyaknya waktu yang kupunya bareng Bang Azim," ujar Millie sambil tersipu. Membayangkan hari-hari ke depan yang akan dia habiskan dengan status istri Azim membuat hatinya berbunga-bunga.

"Iya deh iya, yang lagi bucin nih ya. Sampai-sampai tidak memperhatikan perasaan yang masih single sepertiku," ledek Arumi sembari bantu memasangkan kebaya pengantin yang telah dia rancang khusus untuk hari pernikahan Millie

Kebaya sewarna gading itu membalut tubuh mungil Millie dengan sempurna. Ukurannya sudah pas, hanya ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki. Arumi menusukkan jarum pentul sebagai penanda bagian yang harus dia permak nanti.

"Single? Bukannya Mbak Arumi CLBK sama Bang Ale?" tanya Millie dengan seringai lebar di wajahnya.

Kini giliran wajah Arumi yang membara. Tak disangka gosip tentang hubungannya dan Ale terdengar juga sampai telinga penyanyi muda itu.

"Ah. Sembarangan kamu. Dengar dari siapa?"

"Mbak Raras yang cerita waktu kapan hari kami ketemu di acara konser amal. Katanya untuk proyek video klip lagu duet kami, aku enggak perlu khawatir lagi kalau mau ngajak Mbak Arumi, karena Mbak Arumi dan Bang Ale sudah baikan lagi."

"Ya kami sudah baikan, tetapi bukan berarti balikan, Millie."

"Tapi tetap ada kemungkinan ke situ kan? Ya kan? Ya kan?" tawa Millie semakin keras ketika melihat ekspresi Arumi yang salah tingkah. "Kalau enggak ada, enggak mungkin muka Mbak Arumi semerah ini."

Desainer muda itu mencubit pipi Millie dengan gemas. "Mentang-mentang sudah mau nikah, jadi nakal ya! Suka ngeledekin yang lebih tua ya!"

"Enggak ngeledek Mbak Rumi. Aku itu ngedoain supaya Mbak Arumi beneran jodoh sama Bang Ale. Biar abang satu itu enggak kebanyakan bikin lagu galau lagi."

Tawa kedua gadis berbeda usia itu kembali pecah. Perkataan Millie memang benar. Saking banyaknya lagu galau yang diciptakan Ale, pemuda itu sampai mendapat julukan The Prince of Brokenheart.

"Sudah. Gimana? Terlalu sederhana enggak? Yakin kamu enggak mau ditambahin taburan kristal biar lebih bling-bling?" cecar Arumi.

Millie mematut pantulan dirinya di cermin. Kebaya lengan panjang dengan krah tinggi model shanghai itu benar-benar cantik. Sederhana, tetapi justru terlihat anggun. Bordiran kebaya yang disulam tangan begitu rapi dan simetris. Ekor kebaya menjuntai sampai mata kakinya. Millie memang sengaja berpesan agar bagian bawah kebaya tak sampai menyentuh tanah seperti kebanyakan gaun pernikahan yang sedang trend.

Gadis itu membingkai wajah dengan kedua tangan lalu menahan rambutnya ke belakang. Jantungnya terasa berdebar-debar ketika membayangkan dua hari lagi dia akan mengenakan kebaya itu di hari pernikahan. Kebaya itu begitu sempurna untuk hari yang begitu istimewa.

"Kenapa? Kamu ga suka?"

Suara Arumi memaksa Millie kembali ke dunia nyata. Gadis muda itu menarik napas dalam-dalam.

"Suka. Suka banget malah, Mbak."

"Terus kenapa mukamu terlihat pucat?"

Millie mengangkat bahu. Rasa yang tengah berkecamuk di dadanya sukar untuk diungkapkan. Bersamaan dengan rasa haru yang merebak, juga ada cemas yang menyeruak. Dua hari ke depan akan terasa sangat panjang baginya dan Azim. Waktu seolah bergulir lebih lambat bagi kedua calon pengantin itu.

=-=-= Amela =-=-=

Tangan Millie bekeringat meski pendingin udara telah dipasang pada suhu paling rendah. Biasanya pengantin wanita lain akan ditemani orang-orang terdekat saat detik-detik menjelang pernikahan, sayang Millie tidak mengalami itu.

Lalita memenuhi ucapannya tempo hari, dia memilih tidak hadir dalam pernikahan putrinya. Millie tak punya sahabat dekat yang bisa dia minta menemani. Hubungannya dengan para anggota rempong ranger hanya sandiwara belaka. Sejak bermasalah dengan Matt, Millie tak pernah lagi menghadiri pertemuan-pertemuan dengan geng populer itu.

Tadi ada Janine dan Arumi bersamanya. Sayang kedua wanita itu pergi untuk memastikan persiapan acara akad nikah. Janine sedang mengatur persiapan livestory. Arumi bantu mengecek dekorasi. Ella, sang penata rias, izin keluar untuk makan. Karena bangun kesiangan, make up artist langganan Millie itu tak sempat sarapan.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Sebelum Millie sempat menjawab, pintu kamar yang dia tempati terbuka lebar. Senyum hangat Lis menyapa sang calon menantu.

"Ah. Kenapa calon pengantin ditinggal sendirian begini? Ke mana yang lain?"

Millie menggeleng lemah. Lidahnya kelu. Sejak tadi pikirannya bercabang ke mana-mana. Berbagai pertanyaan terus muncul ke permukaan. Silih berganti dengan perasaan waswas yang sejak kemarin hilir mudik di kepalanya.

Lis duduk di sebelah Millie. Dielusnya pipi gadis itu. "Ibuk tidak menyangka doa ibuk benar-benar terkabul."

Gugup yang sejak tadi Millie rasakan perlahan mencair.

"Mamamu beneran enggak datang?" tanya wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu.

Millie kembali menggeleng. Kini air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Enggak papa. Ada ibuk di sini. Sejak kamu datang ke rumah waktu itu, ibuk sudah menganggapmu anak sendiri." Lis segera merengkuh sang calon menantu ke pelukan.

Untung saja Ella menggunakan make up waterproof. Riasan wajah Millie tak terusik gerimis yang jatuh di pipinya.

"Millie. Ayo. Sudah saatnya untuk akad nikah." Wajah Janine menyembul dari balik pintu.

Millie menarik napas dalam-dalam. Lis menggenggam tangannya untuk memberi kekuatan. Gadis itu pun bangkit dari duduknya. Arumi yang baru datang langsung bantu merapikan kebaya pengantin yang dikenakan Millie.

Kaki mungilnya menapak mantap. Dia sudah melangkah sejauh ini, terlambat untuk berputar arah. Lagipula di depan sana sang pangeran telah menantinya, meski tanpa kuda putih sebagai tunggangan.

Ruang tamu vila keluarga Millie telah disulap cantik dengan dekorasi putih-kuning. Bunga-bunga bakung menghias berbagai sudut. Beberapa kamerawan telah bersiaga untuk menayangkan prosesi akad nikah secara live. Sejak acara pernikahan Millie diumumkan dini hari tadi, ribuan pasang mata telah bersiaga di depan gawai masing-masing untuk turut menyaksikan.

Memang terdapat beberapa komentar sumbang yang terdengar. Ada yang mengira pernikahan itu hanya sekadar settingan. Ada juga yang menyebar gosip bahwa Millie hamil duluan. Namun, penyanyi muda itu tak lagi peduli. Dia telah muak hidup dengan mengedepankan anggapan orang. Lagipula tak sedikit juga yang mendukung dan memuji keberanian Millie yang memutuskan menikah muda.

Kepala Azim yang sejak tadi tertunduk karena tegang perlahan terangkat. Matanya bertemu dengan sang gadis pujaan. Waktu serasa beku saat itu juga, seolah setiap detik hanya milik mereka berdua. Setiap hari dia selalu terpesona dengan senyum Millie, tetapi hari ini hatinya jatuh begitu dalam.

Keraguan yang memenuhi hatinya beberapa hari terakhir kini lenyap tak berbekas.

Dia rela melakukan apa saja demi gadis itu. Dia akan menghadapi dunia demi gadis itu. Dia akan mengorbankan segalanya demi gadis itu.

Sungguh tak ada yang bisa menebak jalan takdir. Setahun lalu mereka tak saling mengenal, kini justru sedang berhadapan dalam prosesi paling sakral.

Lis mengantarkan Millie duduk di tempat yang disediakan, berseberangan dengan Azim yang duduk diapit ayahnya dan ayah Millie. Pembawa acara memberi salam. Penggemar yang awalnya mengira semua itu hanya prank mulai percaya ketika salah satu ustadz kondang memberikan khotbah pernikahan. Seluruh kanal media sosial Millie dan Azim terus dibanjiri komentar.

Doa-doa dipanjatkan. Air mata haru berjatuhan. Penghulu memanggil wali dan kedua mempelai maju ke depan. Tangan Azim bergetar ketika menjabat tangan Gunawan. Dalam satu tarikan napas, janji suci itu berhasil diucapkan.

=-=-= Amela =-=-=

Lalita mengunci diri di kamar. Sikap angkuhnya telah membuat dia memilih tak menghadiri hari bersejarah putri semata wayang. Dipikirnya dia dapat pura-pura tidak peduli, ternyata jemarinya tak tahan membuka akun media sosial. Bersama ribuan penggemar Millie, dia turut menyaksikan prosesi pernikahan sang putri.

Bendungan matanya jebol begitu kamera menyorot wajah Millie secara close up. Gadis kecilnya kini telah menjelma wanita dewasa, dan selama ini dia telah melewatkan banyak hal. Dada Lalita mendadak sesak. Rasa bersalah yang selama ini berusaha dia singkirkan tak mampu lagi disembunyikan. Lalita sadar, dia telah kehilangan hartanya yang paling berharga.

"Saya terima nikahnya Mileta Anarisa Gunawan Binti Gunawan Wibisono dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."

Teriakan sah menggema dari speaker ponsel Lalita. Tangisnya semakin keras, hingga menimbulkan suara yang terdengar begitu pilu.

Senyum lebar Millie terpampang di layar ponselnya. Belum pernah sang putri tersenyum seperti itu padanya.

Harusnya dia ada di sana menemani sang putri. Harusnya dia memeluk Millie dan mendoakan segala kebaikan. Namun, kesombongan telah membuatnya kehilangan kesempatan itu. Yang tersisa kini hanyalah sesal yang membuncah.

Dipandanginya kamar mewah yang telah bertahun-tahun dia tempati. Hidupnya kini memang bergelimangan harta, tetapi entah kenapa tak ada rasa bahagia di hati. Untuk meraih mimpi, dia justru mengorbankan hal terpenting di hidupnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top