22 - Restu
Tangan Millie menyentuh pundak Azim dari belakang dan menyadarkan pemuda itu untuk segera membantu sang kekasih turun dari mobil. Bersama-sama mereka masuk ke bengkel melalui pintu belakang khusus karyawan. Beberapa pegawai bengkel tampak berbisik-bisik ketika melihat kedua sejoli itu.
"Selamat siang, Mbak Millie. Bapak sudah menunggu di kantor," sapa seorang gadis dengan rambut dikucir kuda.
"Siang, Mbak. Terima kasih." Millie balas tersenyum sembari memberi isyarat bahwa gadis itu tak perlu mengantar.
Millie merasakan telapak tangan Azim berkeringat dalam genggamannya.
"Abang kenapa? Grogi ketemu Papa?" tanya gadis itu dengan seringai meledek.
"Memangnya kamu enggak? Kalau papamu enggak setuju gimana?" Azim berbisik pelan, khawatir ada pegawai yang menguping pembicaraan mereka.
"Aku akan terus membujuk sampai papa setuju. Sudah kubilang kan, aku punya tawaran yang tidak bisa papa tolak?" Millie terdengar begitu percaya diri.
Azim tak menjawab dan terus mengiringi langkah gadis bersuara merdu itu. Meski Millie terus meyakinkan, tetap saja dia cemas. Usia Millie baru sembilan belas, tergolong muda untuk menjalani pernikahan. Azim takut Gunawan menentang rencana mereka.
Millie mengintip melalui celah pintu. Dilihatnya sang ayah sedang menonton televisi dari balik meja kerja.
"Pa. Boleh kami masuk?" tanya gadis mungil itu sembari mengetuk pintu.
Gunawan terkejut ketika mendengar suara sang putri, tetapi dia berhasil menguasai diri. Pria itu menguntai senyum ramah dan mempersilakan putrinya masuk.
Millie segera menarik Azim ke dalam ruangan lalu menutup pintu rapat-rapat.
"Boleh kan aku tutup pintunya, Pa? Biar tidak ada yang menguping atau mengintip?"
"Terserah kamu saja." Gunawan menganggukkan kepala. "Tumben kamu menemui papa di bengkel?"
"Soalnya tidak mungkin menemui papa di rumah," jawab Millie santai sambil melemparkan tubuhnya ke sofa kulit di sudut ruangan. Masih tersisa sedikit kesal di hati Millie terkait sikap sang ayah malam sebelumnya. Dia enggan bersikap manis pada Gunawan. Lagipula sudah bertahun-tahun hubungan ayah-anak itu renggang dan berjarak.
Azim menghampiri Gunawan dan mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. "Mohon maaf menganggu waktu, Bapak," ucapnya sambil menjabat tangan sang calon mertua.
"Saya yang minta maaf karena selalu merepotkanmu."
Gunawan mematikan televisi dan beranjak dari kursinya. Dia mengajak Azim untuk duduk di sofa supaya dapat lebih santai berbincang-bincang.
"Jadi apa yang membuat kamu ke sini? Kamu ingin papa menjelaskan masalah kemarin? Atau tentang alasan papa menggugat cerai mamamu?" Kening Gunawan membentuk kerutan. Tak biasanya Millie meminta waktu bertemu.
Penyanyi muda itu menarik napas dalam-dalam untuk menekan emosinya kuat-kuat. Misinya hari itu adalah meminta restu sang ayah, bukan mencari masalah.
"Bukan itu, Pa. Aku sudah tidak peduli masalah kemarin. Lagian aku juga berpikir keputusan Papa adalah langkah terbaik. Papa dan mama itu seperti orang bermusuhan. Saling serang seperti sedang perang. Mungkin memang lebih baik menjalani hidup sendiri-sendiri, jadi aku pun tidak perlu melihat pertengkaran Papa dan mama lagi."
Meski telah berlapang dada, tetap saja Millie merasa sedih ketika mengungkit masalah perceraian kedua orang tuanya. Matanya sedikit berkabut. Millie menyusupkan tangannya ke telapak Azim untuk mencari kekuatan.
"Syukurlah kalau kamu mengerti, tapi papa tetap minta maaf selama ini tidak menjelankan peran sebagai ayah untuk kamu." Ekspresi Gunawan terlihat sendu.
"Tidak perlu minta maaf, Pa. Tidak mungkin juga kita mengubah apa yang sudah terjadi," tegas Millie. Siang itu dia datang untuk bernegosiasi, bukan bernostalgia atau berandai-andai.
Gunawan sempat terkejut dengan ketegasan Millie. Entah kenapa Millie tampak sangat dewasa.
"Tapi kalau Papa memang merasa bersalah padaku. Aku ingin meminta beberapa hal pada Papa," lanjut Millie sambil mencondongkan tubuh ke depan. Kedua bola matanya menatap lurus pada sang ayah.
"Selama papa mampu, papa akan berusaha memenuhi permintaanmu."
"Kalau papa dan mama bercerai, artinya perwalian Kak Maia akan jatuh ke tangan Papa?" tanya Millie tanpa basa-basi. Tubuhnya kembali bersandar ke sofa, tetapi matanya tetap menatap tajam pada sang ayah.
Gunawan mengangguk. "Seharusnya begitu, karena Maia adalah anak kandung Papa, sedangkan mamamu tidak ada hubungan darah dengannya."
"Aku mohon Papa tetap memastikan Kak Maia mendapat perawatan terbaik. Setidaknya sampai aku berusia 21 tahun dan dapat mengajukan diri sebagai wali pengampu bagi Kak Maia." Pinta Millie tanpa sungkan.
Gunawan sedikit terkejut dengan sikap Millie yang terang-terangan. Sungguh berbeda dengan gadis kecil yang selama ini dia kenal. "Tanpa kamu minta pun papa akan melakukannya, Millie. Bagaimanapun Maia adalah anak Papa. Tentu saja papa juga ingin yang terbaik untuk Maia." Pria itu terdengar sedikit tersinggung dengan perkataan sang putri.
Millie tertawa sinis. "Benarkah? Memangnya kapan terakhir kali papa menjenguk Kak Maia?"
Andaikan Azim tak meremas tangannya, mungkin Millie akan terus melontarkan sindiran yang lebih keras pada sang ayah. Dia tahu bahwa beberapa tahun terakhir Gunawan tak pernah mengunjungi Maia di rumah sakit. Bahkan tak pernah sekalipun Millie mendengar ayahnya menanyakan kabar sang kakak.
"Kamu benar, Millie. Sudah lama sekali sejak terakhir kali papa menjenguk kakakmu. Papa tak sanggup melihatnya. Setiap kali bertemu Maia, papa selalu merasa gagal sebagai ayah. Mungkin jika kamu menjadi orang tua nanti, kamu akan mengerti." Nada bicara Gunawan terdengar lebih lunak. Meski hubungannya dengan Millie mungkin tak dapat diperbaiki, dia tak ingin semakin merusaknya.
"Terima kasih karena kamu selalu memastikan Maia mendapatkan yang terbaik. Kalau bukan karena kamu, tidak mungkin papa sanggup membiayai perawatan Maia selama ini," lanjut pria berkumis tipis itu.
Napas Millie sedikit memburu, sekuat tenaga ditahannya emosi. Ucapan sang ayah barusan semakin menegaskan bahwa semua kembali pada materi. Meski tak terang-terangan meminta, Gunawan telah menyiratkan bahwa biaya perawatan Maia membutuhkan uang yang tak sedikit.
"Kalau masalah biaya, papa tidak perlu khawatir. Aku akan menyerahkan saham bengkel milikku pada papa. Harusnya itu lebih dari cukup untuk membiayai perawatan Kak Maia."
Gadis itu menggigit bibir untuk menahan diri tak melontarkan kata-kata yang membuat sang ayah tersinggung. Dia masih punya permintaan kedua untuk diajukan.
"Mamamu tahu tentang hal itu?"
Gunawan tak serta merta percaya. Usia Millie baru sembilan belas. Meski telah masuk kategori dewasa untuk memiliki aset pribadi, Millie masih dianggap belum cakap hukum untuk mengambil keputusan sebagai pemegang saham. Artinya penyerahan saham harus melalui persetujuan Lalita terlebih dulu. Beberapa tahun lalu Gunawan memang menyerahkan perwalian pada sang istri karena tak mau repot dengan kontrak-kontrak kerja Millie.
"Kalau aku sudah menikah dengan Bang Azim nanti, otomatis yang akan menjadi waliku adalah Bang Azim. Jadi aku tidak perlu persetujuan mama lagi untuk menyerahkan kepemilikan sahamku itu."
Penuturan Millie membuat sang ayah kaget. Gunawan menatap putrinya lekat-lekat untuk memastikan dia tak salah dengar.
Azim coba mengambil alih pembicaraan. "Begini Pak Gunawan. Mungkin memang semua ini terkesan mendadak. Saya dan Millie memang baru setahun saling mengenal dan baru enam bulan menjalin hubungan spesial. Usia Millie pun juga masih terhitung di bawah umur, tetapi kami sudah mempertimbangkannya masak-masak."
Pemuda itu melirik sekilas pada Millie yang duduk di sampingnya. "Agar saya dapat menjaga Millie dengan lebih maksimal, saya mohon restu Bapak agar saya dapat menikahi Millie."
Selama hampir tiga menit, tidak ada yang bersuara di ruangan itu. Gunawan masih terlihat kaget mendengar penuturan Azim. Sebagian dirinya setuju dengan rencana pernikahan itu. Jika Millie menikah, maka beberapa masalahnya dapat selesai. Namun, hati kecilnya khawatir pernikahan itu terlalu terburu-buru, apalagi melihat usia Millie yang masih belia.
"Millie, kamu sudah pikirkan baik-baik semuanya? Menikah itu bukan hal yang mudah. Jangan jadikan pernikahan sebagai mainan. Kamu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Papa tidak ingin kamu menyesal belakangan seperti yang sekarang papa rasakan."
Entah kenapa Millie merasa iba pada sang ayah. Kalimat yang dia dengar barusan membuat gadis itu sadar bahwa selama ini ayahnya hidup dalam penyesalan. Kini dia bisa memahami penyebab Gunawan sering kali menyibukkan diri dengan kegiatan di luar rumah. Kehadiran Millie dan Lalita hanya membuat pria itu teringat pada kegagalannya sebagai kepala keluarga.
"Apa bedanya aku menikah sekarang, tahun depan, lima tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, Pa? Bukankah tetap tidak ada yang bisa menjamin bahwa pernikahanku akan happy ending? Menyesal atau tidaknya aku dengan pernikahan ini baru akan diketahui nanti-nanti, tetapi satu hal yang pasti, kalau aku tidak menikah sekarang maka aku akan menyesal sekarang."
Tanpa sadar air mata mulai menetes di pipi Millie. "Selama ini aku sering menyesal karena tidak memperjuangkan kebahagiaanku sendiri, sampai-sampai aku kehilangan jati diri. Sebelum ada Bang Azim, aku sudah seperti mayat hidup saja, Pa. Hidup hari demi hari tanpa tujuan pasti." Dia menoleh pada pemuda yang sedang dibicarakan.
"Sekarang aku punya tujuan, aku punya harapan, dan aku tidak ingin menyesal jika tidak mengusahakannya."
-=-=-=Amela=-=-=-
Azim mengantar Millie sampai ke teras rumah. Mereka berdua telah berhasil mengantongi restu dari ayah Millie, tetapi tantangan utamanya justru ada pada ibu gadis itu. Sejak awal Lalita telah menentang hubungan mereka. Meski lambat laun Lalita tak terang-terangan melarang, semua itu karena dia tak ingin merusak image putrinya. Lalita memang mementingkan karir Millie di atas segalanya.
"Kamu yakin tidak ingin kutemani?" Azim enggan melepas tangan gadis pujaannya dari genggaman. Dia khawatir emosi Millie akan terpancing, tadi saja gadis itu hampir mengacaukan pertemuan dengan sang ayah.
"Yakin Abang. Mama lebih baik kuhadapi sendiri. Takutnya kalau Abang ikut, Mama justru akan mengintimidasi Abang, emosiku pasti akan meledak kalau lihat Abang diserang." Gadis manis itu tersenyum. "Aku janji enggak akan berantem sama Mama."
"Millie. Bu Lalita sudah menunggu di kamarnya." Kedatangan Janine membuat Azim terpaksa melepas genggaman tangannya. Millie melempar senyum sekali lagi sebelum menghilang ke dalam rumah.
"Selamat ya, Zim. Setidaknya Pak Gunawan sudah beri izin. Mana suratnya, biar besok aku urus ke KUA." Janine menjulurkan tangan.
Azim menyerahkan map berisi surat izin menikah yang telah ditandatangani ayah Millie tadi. Surat itu menjadi salah satu persyaratan untuk mendaftarkan pernikahan mereka karena Millie belum berusia 21 tahun.
"Kamu sudah ngabarin orang tuamu?"
"Masih nunggu jawaban Bu Lalita. Aku tidak ingin orang tuaku telanjur senang tetapi ujungnya kecewa." Azim menyuarakan kekhawatirannya.
"Yang penting kan ayah Millie setuju. Bukankah restu ibu bukan menjadi syarat sah pernikahan?"
"Memang. Tetapi tetap saja menurutku penting, Nin. Aku tidak ingin pernikahan kami dimulai dengan menyakiti hati ibu Millie."
"Kita lihat saja nanti. Tadi kulihat mood Bu Lalita sedang muram karena rencana perceraiannya. Tapi bisa jadi hal itu justru baik bagi kita, usulan Millie mungkin akan dipertimbangkan beliau."
"Semoga saja, Nin."
"Ya. Semoga."
Janine mendengkus kasar. "Ah. Aku sendiri masih tidak habis pikir. Tahun lalu Millie masih gadis polos yang jangankan berpikir menikah, rasanya jatuh cinta pun dia belum pernah. Bagaimana bisa sih kalian mantap menikah hanya dalam kurun waktu sesingkat itu?"
"Aku juga tidak tahu, Nin. Kalau boleh jujur, kesan pertama pertemuanku dengan Millie pun tak terlalu baik. Saat itu aku juga masih belum move on dari masa lalu. Semua ini rasanya memang tidak logis, tetapi tetap saja terasa nyata. Mungkin kamu nanti akan mengerti kalau mengalaminya sendiri."
"Hey!" seru Janine. "Dasar kalian berdua itu sama saja. Mentang-mentang mau married, jadi sombong dan meledekku!"
"Enggak ngeledek, Janine. Kamu aja yang gampang baper."
"Ya itu gara-gara kalian juga. Karena tiap hari ngecekin komentar-komentar uwu di sosial media, aku jadi kebawa-bawa baper jadinya."
Tawa mereka pecah. Rasa gugup yang tadi melanda Azim pun perlahan berkurang.
"Aku masuk dulu ya. Ada beberapa hal yang meski kuurus. Dah banyak-banyak berdoa sana supaya calon ibu mertua kasih restu!" ledek Janine sambil mengibaskan tangan untuk mengusir rekannya.
Sebenarnya Azim masih ingin menunggu di teras, siapa tahu Millie mencarinya begitu selesai berbicara dengan sang ibu. Namun, pemuda itu akhirnya memutuskan kembali ke kamarnya. Sebentar lagi Asar. Benar kata Janine, tak ada salahnya merayu Tuhan agar niat baiknya tak mendapat halangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top