21 - Broken Home

"Kak Janine dan Bang Azim sudah tahu lebih dulu ya?" tanya Millie sinis. "Dan aku justru mendengar berita itu dari wartawan."

"Bukan begitu, Millie. Aku hanya tidak enak mendahului Bu Lalita maupun Pak Gunawan. Berita semacam itu harusnya mereka sendiri yang menyampaikan," terang Janine. Azim mengiyakan.

"Buktinya aku justru mendengar dari orang lain. Setidaknya Kak Janine dan Bang Azim bisa kasih tahu aku dulu supaya tidak kaget ketika ditodong pertanyaan seperti tadi." Kekecewaan Millie tergambar dari nada bicaranya. "Jangan-jangan Pak Tono juga sudah tahu? Cuma aku satu-satunya yang tidak tahu?" tuduhnya.

Millie ganti menatap sang sopir. Gadis itu tak repot-repot menyembunyikan rasa kesalnya. Senyum yang sejak tadi terkembang saat mengisi acara televisi kini tak berbekas sama sekali.

"Waduh, Non Millie. Bapak mah enggak tahu apa-apa. Bapak kan jarang ketemu sama Nyonya, maupun Tuan," jawab pria paruh baya itu dengan gugup.

Millie membuang napas kuat-kuat dari hidung. Dia tak semudah itu percaya pada sang sopir. Pak Tono mungkin saja sudah tahu berita itu dari para pekerja rumah yang lain.

"Sabar, Mil. Kita doakan saja yang terbaik untuk kedua orang tuamu." Azim menyentuh bahu Millie untuk menenangkan gadis itu, tetapi Millie justru menepis tangannya dengan kasar.

"Bukan perceraian mama dan papa yang membuatku kesal. Mungkin memang lebih baik begitu, daripada tetap menikah tapi bermusuhan." Millie melayangkan pandangan ke balik jendela untuk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

"Aku sedih karena selalu menjadi orang yang terakhir kali tahu. Untuk hal sepenting ini, papa dan mama sama sekali tidak mengajakku diskusi. Sebenarnya mereka itu menganggapku anak enggak sih? Apa aku ini memang hanya mesin pencetak uang saja bagi mereka? Apa mereka memang sama sekali tidak peduli pendapatku tentang rencana perceraian mereka?"

Dada Azim ikut merasa sesak ketika mendengar Millie berbicara. Lagi-lagi dia merasa tak mampu menjaga Millie sesuai janjinya. Jelas sekali gadis itu sangat terluka. Azim juga merasa bersalah karena tak memberi tahu Millie, padahal Gunawan telah menyampaikan rencananya pada pemuda itu sejak enam bulan lalu.

"Kalau mereka memang tidak peduli padaku, mungkin memang lebih baik aku pergi saja. Tidak perlu menunggu dua tahun lagi," bisik Millie begitu pelan, tetapi Azim tetap dapat mendengarnya dengan jelas.

Andaikan tak ada Janine dan Pak Tono bersama mereka, ingin sekali Azim merengkuh Millie ke dalam pelukan. Dia ingin menyakinkan Millie bahwa semuanya akan baik-baik saja selama mereka berdua tetap bersama.

***AmelA***

Lalita tiba di rumah tepat pukul sebelas. Dia cukup kaget ketika menemukan mobil suaminya parkir di halaman depan. Setelah Gunawan mengajukan gugatan cerai bulan lalu, Lalita pikir lelaki itu tak akan pulang lagi ke rumah mereka.

Wanita 40 tahun tersebut melihat pintu kamar putrinya telah tertutup rapat. Taman juga terlihat sepi. Sepertinya Millie sudah tidur lebih dulu. Lalita bersyukur tak perlu berpapasan dengan Millie, kondisinya saat itu sedang sangat berantakan.

Lalita naik ke kamarnya dengan sempoyongan. Entah berapa gelas wine yang telah dia habiskan tadi. Begitu masuk kamar, Lalita lebih kaget lagi. Rupanya Gunawan menunggunya di kamar.

"Kamu mabuk?" tanya Gunawan begitu melihat Lalita yang tak bisa berdiri tegak.

Lalita tertawa. "Kalau iya, memangnya kenapa? Tidak perlu repot-repot ceramah. Kamu hampir tidak pernah salat, berselingkuh dengan karyawan sendiri, tidak perlu sok suci menasihatiku!" sergahnya sambil menepis tangan Gunawan yang hendak membantunya duduk.

"Sekarang tolong keluar dari sini! Ini bukan kamarmu lagi! Pergi saja sana ke rumah wanita simpananmu itu!" pekik Lalita sembari melempar sepatunya ke sudut kamar.

"Aku hanya hendak mengambil beberapa barangku. Tadi aku sudah mau pulang, tetapi melihatmu belum di rumah, kuputuskan menunggu, untuk memastikan kamu baik-baik saja. Aku tahu beberapa media sudah mulai mengorek-ngorek masalah perceraian kita."

Ada nyeri di dada Lalita ketika Gunawan menyebut pulang tetapi bukan rumahnya yang dituju. Lelaki itu telah menemukan rumah lain, rumah wanita itu.

"Tidak perlu pura-pura perhatian, Gunawan!" Lalita tak sudi lagi menyematkan panggilan hormat sebelum nama suaminya.

"Kalau kamu memang peduli harusnya sejak awal kamu tidak bermain api dengan wanita itu." Lalita melirik koper yang telah disiapkan Gunawan. "Apa aku perlu memeriksa isi kopermu untuk memastikan kamu tidak membawa barang yang bukan hakmu?"

"Ya Tuhan, Lalita! Aku hanya mengambil beberapa pakaian."

Lalita tertawa mengejek. "Bahkan pakaian-pakaian itu dibeli dengan uangku, Gunawan!'

"Uangmu? Bukankah semua yang ada di rumah ini dibeli oleh Millie. Millie juga anakku, Lalita. Aku juga berhak atas sebagian aset yang kamu punya. Kalau aku mau, aku bisa meminta bagianku, tetapi aku tidak akan melakukannya. Aku tahu semua itu harusnya menjadi milik Millie."

Senyum sinis menghiasi wajah Lalita. "Tidak perlu pura-pura peduli pada Millie. Kamu tidak pernah berperan apa-apa dalam hidupnya. Jika kamu memang memikirkan masa depan Millie, harusnya tidak perlu menuntut kepemilikan saham bengkel di pengadilan!"

"Bengkel itu aku yang membangunnya dari nol! Aku berhak atas kepemilikan bengkel itu!" bentak Gunawan. Dia tak tahan lagi selalu diremehkan oleh Lalita.

Lalita tak mau kalah. "Kamu membangunnya dari uang Millie! Dan kalau bukan karena kerja kerasku, tak mungkin Millie sesukses sekarang hingga bisa memberi modal padamu!" hardiknya dengan penuh keangkuhan.

Pintu kamar yang tadi tak tertutup rapat kini membanting terbuka. Lalita dan Gunawan serempak menoleh ke arah pintu.

"Jika ingin bertengkar, Mama dan Papa tidak bisakah menutup pintu kamar rapat-rapat supaya tidak terdengar ke luar?" ketus Millie dengan ekpresi sedih. Entah sejak kapan gadis itu berdiri di depan pintu kamar kedua orang tuanya.

"Setidaknya supaya aku tidak perlu tahu bahwa yang Mama dan Papa pedulikan hanya harta dan materi, bukan aku. Bahkan aku harus tahu rencana perceraian Mama dan Papa dari pertanyaan wartawan."

Setelah menghujamkan sindiran pada kedua orang tuanya, Millie bergegas pergi. Satu tempat yang jelas dia tuju. Paviliun di bagian belakang rumah.

***AmelA***

Tangan Millie telah mengayun di udara, kurang beberapa senti lagi untuk mengetuk pintu kamar Azim. Dia menoleh ke belakang, ke arah rumah besar yang dibeli dengan hasil keringatnya. Kedua orang tuanya sama sekali tak mengejar. Rasa kecewa menyelimuti Millie. Hatinya patah untuk ke sekian kali.

Millie telah terbiasa dengan sikap kedua orang tuanya, tetapi kenapa hatinya terasa begitu perih ketika mendengar pertengkaran mereka? Seperti ada ribuan jarum menancap di jantungnya.

Tubuh gadis itu merosot ke lantai dengan kedua kaki tertekuk ke luar. Millie tergugu sendirian di depan kamar Azim. Ingin sekali dia menghambur ke dekapan sang pengawal, tempat terhangat yang selalu memberikannya rasa aman. Akan tetapi, dia tak ingin mengganggu Azim. Tak ada berkas cahaya yang menerobos dari celah pintu, artinya Azim telah tertidur.

Gadis itu menggeser posisi. Punggungnya kini bersandar pada pintu kamar Azim. Dia duduk sambil memeluk lutut. Hatinya terasa beku, seolah mati rasa, membuat udara malam tak lagi terasa dingin.

Sayup-sayup terdengar deru mobil dari arah halaman depan. Millie tahu itu suara mobil sport milik sang ayah. Hati Millie semakin patah. Ayahnya pergi begitu saja, tanpa memeriksa keadaannya, tanpa berusaha menghiburnya.

Malam itu, Millie ingin menghilang saja, memulai hidup baru entah di mana, meninggalkan segalanya yang dia punya. Sering dia bertanya-tanya, sebenarnya untuk apa dia ada jika hidupnya serupa benda yang ditakar dari nilai manfaatnya saja.

***AmelA***

Jika tak sedang teramat lelah, Azim selalu terbangun menjelang pukul empat pagi. Biasanya dia akan ke kamar mandi untuk buang air kecil lalu salat malam sekaligus menunggu waktu Subuh. Setelah keluar dari kamar mandi, Azim meraih ponsel yang tengah di-charge. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang penting untuk diperiksa.

[Azim. Tolong cek keadaan Millie. Tadi dia menyaksikan saya bertengkar dengan mamanya. Saya tak ingin memperkeruh suasana dengan Lalita, jadi saya memutuskan langsung pergi.]

Rasa kantuk yang tadi masih tersisa kini menguap begitu saja. Pesan itu dia terima empat jam lalu. Rasa cemas langsung melanda Azim. Jika sedang sedih ataupun marah, Millie akan mencarinya. Sudah empat jam berlalu dan gadis itu tak menghubungi maupun menemuinya.

Pemuda itu sudah berusaha menelepon, tetapi Millie tak mengangkat. Dia buru-buru berganti pakaian. Azim tak sanggup menunggu pagi untuk memeriksa keadaan Millie.

"Astagfirullahaladzim." Dia mengucap istigfar begitu menemui Millie tengah tidur di depan pintu, hanya beralaskan keset yang tak seberapa lebar.

Millie tertidur dengan posisi meringkuk seperti bayi. Kedua bola mata gadis itu tampak bengkak. Sepertinya dia tertidur dalam kondisi menangis. Azim jongkok di sebelah Millie. Diusapnya pipi Millie yang terasa lengket karena bekas air mata.

"Millie. Bangun! Kenapa kamu tidur di sini?" tanya Azim lembut.

Gadis itu masih tampak pulas. Azim bersyukur setidaknya malam itu baju Millie cukup tebal. Terkadang dia heran, bagaimana bisa gadis manja seperti Millie dapat tertidur di mana saja. Sama sekali tak terganggu dingin malam dan gigitan serangga.

"Bangun, Anak Beruang! Bisa masuk angin kalau kamu terus tidur di sini." Azim sedikit mengeraskan suara.

Kelopak mata Millie mulai membuka. Bola matanya begitu merah. Entah karena baru bangun tidur atau terlalu banyak menangis semalam.

"Kenapa tidur di sini?" tanya Azim sambil membantu Millie duduk.

"Semalam aku menguping papa dan mama bertengkar. Aku tidak tahan di rumah," jawab Millie dengan suara serak.

"Tapi kamu enggak harus tidur di sini kan? Kamarmu kan kedap suara. Tutup saja rapat-rapat pintunya." Azim mengucapkannya dengan tersenyum agar tak dianggap sedang mengomel.

"Aku ingin ketemu Abang. Tetapi melihat kamar Abang sudah gelap, aku enggak tega buat bangunin. Jadi aku tungguin aja Abang bangun sendiri di sini."

Azim menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia kadang sulit memahami pola pikir Millie. Gadis itu sering sekali mengambil keputusan tanpa pikir panjang dan malah semakin memperumit keadaan. Padahal Millie hanya perlu mengetuk pintu, Azim tak akan pernah merasa keberatan dibangunkan tengah malam olehnya.

"Ayo aku antar ke kamar. Lanjutkan tidurmu di sana."

Gadis itu menggeleng cepat. "Enggak mau. Aku mau kabur aja dari rumah ini. Toh enggak ada yang peduli sama aku! Semalam mama dan papa tahu aku melihat mereka bertengkar. Tapi enggak ada yang ngejar aku untuk berusaha menjelaskan."

"Mereka meributkan kepemilikan bengkel. Mama dan papa sama sekali tak peduli bagaimana dampak perceraian mereka terhadapku. Yang mereka pikirkan cuma duit, duit, dan duit!" Millie lanjut bercerita.

Azim tak lekas menanggapi. Dia terlihat mempertimbangkan apakah akan menujukkan pesan yang dia terima dari ayah Millie atau tidak.

"Semalam papamu minta tolong aku ngecek keadaanmu. Dia memutuskan langsung pergi karena tidak ingin membuat mamamu semakin marah." Azim akhirnya memutuskna menunjukkan pesan Gunawan. Millie berhak tahu bahwa sang ayah masih memikirkannya. "Maaf. Aku enggak tahu kalau ada chatt masuk semalam. Sepertinya aku tidur terlalu nyenyak."

Millie membaca isi pesan itu berulang kali. Kemarahannya sedikit reda, meski tetap saja dia berharap sang ayah memeriksa keadaannya sendiri. Gadis itu masih menganggap alasan sang ayah terlalu dibuat-buat. Kenapa tak menemuinya sejenak untuk sekadar berpamitan sebelum pergi?

"Sudah?" Azim mengambil kembali ponselnya. "Sekarang ayo kuantar ke kamar. Sebentar lagi Subuh. Jadwalmu kosong kan pagi ini? Setelah salat tidurlah lagi."

Millie pun berdiri dan menepuk-nepuk bagian belakang celananya. "Padahal aku lebih suka tidur di kamar Abang. Entah kenapa rasanya nyaman dikelilingi barang-barang Abang. Aku jadi bisa tidur nyenyak karena ngerasa tidur di pelukan Abang."

Gadis itu tak menyadari bahwa ucapannya barusan berhasil membuat hati Azim bergetar. Bukannya Azim tak ingin melakukan hal yang sama. Setiap kali melihat Millie sedih, Azim selalu ingin memeluk gadis itu erat-erat, tetapi dia selalu menahan diri.

Azim mengiringi Millie kembali ke rumah utama. Dibiarkannya Millie memilih rute. Gadis itu mengambil jalan berputar dengan melintasi kolam ikan koi. Padahal kalau mereka memotong taman, mereka akan lebih cepat sampai di rumah utama.

Tepat di depan kolam, Millie menghentikan langkahya. Dia mengamati kolam yang terlihat tenang karena ikan-ikan di dalam sana masih tertidur.

"Bang. Kalau kita menikah, berarti aku bebas minta peluk sama Abang?" tanya Millie tiba-tiba.

Melihat Azim tak juga menjawab, Millie melanjutkan bertanya, "Kalau kita menikah. Artinya kita bisa pindah dari rumah ini dan tinggal berdua saja?"

Millie berbalik menatap Azim. Wajahnya benar-benar tampak serius, tak cengengesan seperti biasanya ketika dia sedang menggoda Azim.

"Millie. Nanti kita bicarakan kalau kamu sudah dapat berpikir jernih. Jangan kebawa emosi."

"Aku enggak sedang emosi kok Bang. Malah rasanya sekarang hatiku mati rasa. Seperti sudah enggak ada artinya lagi aku hidup. Cuma Bang Azim satu-satunya yang membuat aku bertahan, membuat aku ngerasa setidaknya ada satu orang yang peduli sama aku."

"Semalam aku kepikiran kabur dari rumah, meninggalkan semua ini. Atau minum obat tidur banyak-banyak seperti dulu, supaya aku bisa tidur nyenyak dan tidak perlu bangun lagi."

Millie memberi jeda sejenak sebelum lanjut berbicara, "Tapi ... bayangan Bang Azim tiba-tiba muncul. Aku enggak sanggup melakukan semua itu karena takut Bang Azim menyalahkan diri sendiri kalau aku pergi. Aku juga takut enggak bisa ketemu Abang lagi."

Azim menarik Millie ke pelukannya. Untuk pagi itu biarlah dia melanggar janjinya. Azim ingin meyakinkan Millie bahwa dia akan selalu ada di sisi gadis itu.

"Aku ingin Abang selalu memelukku untuk memastikan aku enggak bertindak nekat. Hanya pelukan Abang yang bisa membuatku melupakan semua sakit ini."

"Tapi orang tuamu bagaimana, Mil? Kakakmu?"

"Selama ini papa dan mama hanya menganggapku aset mereka. Maka aku pun sekarang akan menganggap mereka tidak lebih dari rekan bisnis. Jika papa dan mama bercerai, maka perwalian Kak Maia pasti jatuh ke papa. Aku bisa meminta papa untuk memastikan Kak Maia baik-baik saja, sebagai gantinya akan kuserahkan semua saham bengkel pada papa."

Nada suara Millie terdengar semakin tajam. "Kalau mama. Kurasa aku bisa bernegosiasi dengannya."

Gadis itu melepaskan diri dari pelukan Azim. Dia menatap Azim dengan serius. "Enam bulan lalu, Abang sendiri yang bilang kalau aku sudah siap menikah, aku tinggal bilang. Pagi ini enggak ada rombongan wartawan yang kuundang. Cuma ikan-ikan koi itu saja yang jadi saksi. Jadi, Bang? Boleh aku menagih janji Abang sekarang?"

Azim menatap mata Millie lekat-lekat untuk memastikan gadis itu tak sedang bercanda.

"Kamu serius? Kamu yakin enggak akan menyesal? Umur kamu baru sembilan belas tahun, masa depan kamu masih panjang. Kamu yakin mau menjalani sisanya bersamaku?"

Millie mengangguk. "Kalau aku enggak yakin, enggak mungkin aku akan melamar Abang pagi-pagi buta begini."

"Maaf, Millie. Aku enggak bisa menerima lamaran kamu."

Kening Millie membentuk kerutan dalam. Jawaban yang dia terima sungguh di luar dugaan.

Melihat tangis Millie yang telah membayang di pelupuk mata, Azim buru-buru menjelaskan. "Soalnya aku yang akan melamar kamu. Jadi Mileta Anarisa Gunawan, anak beruang yang manja dan bawel, maukah kamu menikah denganku?"

Millie menutup mulutnya untuk menahan diri tak tertawa. "Ya ampun, Abang. Sungguh abang itu memang enggak cocok bersikap romantis begitu. Aku jadi geli sendiri."

Azim langsung memberengut ketika mendengar ledekan Millie. "Ya sudah kalau enggak mau. Kamu bisa kembali ke kamar sendiri. Aku juga mau kembali ke kamar. Anggap saja pembicaraan tadi enggak pernah terjadi," ketusnya.

Millie buru-buru menarik tangan Azim. "Hehehe. Gitu aja masak ngambek sih, Bang. Iya aku mau. Tentu saja aku mau, kan tadi aku yang minta."

***AmelA***

"Bentar-bentar. Aku enggak salah dengar kan ini? Kalian seriusan mau nikah?" Mata Janine membelalak lebar. Pagi-pagi sekali Millie dan Azim menemuinya di kamar untuk membicarakan rencana pernikahan mereka.

"Ka-kamu enggak hamil duluan kan, Mil?" tanya Janine hati-hati.

"Jangan sembarangan, Nin. Aku belum pernah ngapa-ngapain Millie!" Azim tampak tersinggung dengan tuduhan asisten Millie itu.

"Ya aku kan enggak ngawasin Millie 24 jam. Mana kutahu kalau kalian diam-diam janjian di kamarmu," jawab Janine tak kalah sewot. "Waktu belum pacaran dulu, Millie sudah pernah tidur di kamarmu."

Millie berusaha menengahi. "Enggak, Kak. Gimana mau hamil kalau dicium aja belum pernah," katanya sambil cekikikan.

Janine mendengkus. "Kalian sudah pikirkan baik-baik? Baru aja kehebohan tentang hubungan kalian reda, sekarang malah mau bikin kehebohan baru. Ini bakal bisa bikin geger sejagad maya."

"Makanya aku minta saran Kak Janine. Walau aku sih enggak peduli juga respon netizen. Wong yang mau nikah itu aku kok mereka yang ribut, tetapi aku ingin memastikan enggak ada yang ngehalangin rencanaku," kata Millie.

"Aku konsultasikan dulu dengan tim media ya. Harusnya sih kalau kita framing berita dengan benar, enggak akan berdampak negatif. Mungkin malah bisa nambah fanbase kalian."

"Siap. Tolong ya, Kak. Soalnya hal itu akan jadi senjata rahasiaku saat negosiasi dengan mama."

"Maksud kamu, Mil?" tanya Janine heran. Azim pun ikut penasaran. Millie memang belum bercerita detail tentang rencananya.

"Mama pasti butuh pengalihan isu agar media tidak meliput berita perceraiannya. Aku akan membuat Mama tidak bisa menentang rencana pernikahanku dan Bang Azim," jawab Millie mantap.

Janine tampak berpikir. Ide Millie memang cukup logis untuk dijalankan.

"Kamu benar sih, Mil." Akhirnya Janine setuju. "Jadi ... konsep pernikahan yang kamu mau seperti apa? Biar kucoba cari-cari sponsor, pasti banyak yang mau endorse kalian."

Millie melirik Azim sekilas. Pemuda itu menganggukkan kepala.

"Aku justru ingin Kakak rahasiakan ini dulu dari orang luar. Aku pingin pernikahannya sederhana dan hanya mengundang orang-orang dekat saja. Untuk publikasi, cukup tayangkan secara live di akun medsos kita. Jadi hebohnya sekalian saat hari H. Bukankah dengan begitu orang-orang akan lebih penasaran dan impact-nya akan lebih besar?" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top