20 - Mendadak Viral

Terik matahari siang itu tak menghalangi anak-anak berseragam putih biru berfoto dengan latar belakang taman lapangan banteng dan monumen pembebasan irian barat. Dari logo sekolah di seragam, tampaknya mereka siswa dari luar kota yang sedang study tour ke Jakarta.

Millie menatap iri pada rombongan pelajar itu. Sejak lulus sekolah dasar, dia tak pernah pergi ke sekolah formal. Lalita memanggil guru privat agar jadwal belajar Millie lebih fleksibel. Dua tahun lalu dia sudah meraih ijazah SMA melalui ujian kesetaraan.

Sepulang dari konferensi pers, gadis itu sengaja meminta Pak Tono untuk berputar-putar dulu. Millie tak ingin cepat pulang. Ketika melintas di lapangan banteng, tiba-tiba dia ingin jajan es goyang. Pak Tono harus mengelilingi lapangan banteng sekali lagi karena jalanan yang searah tak memungkinkan untuk putar balik.

"Mas. Biar saya saja yang beli." Pak Tono melarang Azim turun. Tadi Janine sudah mewanti-wanti agar Azim maupun Millie menghindari keramaian.

"Rasa alpukat kayak biasa ya, Pak. Enggak perlu ditaburi kacang." Millie menoleh pada pemuda di sampingnya. "Abang Sayang mau rasa apa?" tanya gadis itu sambil mengedip-ngedipkan mata.

Andai tak ada Pak Tono, Azim sudah ingin mencubit pipi Millie. Sejak tadi gadis itu sengaja menggodanya dengan panggilan-panggilan aneh.

"Tidak perlu, Pak." Azim menggeleng sopan pada Pak Tono.

"Pak. Sama titip cilok yang disitu juga ya. Aku laper," pinta Millie manja.

"Siap, Non. Kalau ada yang mau dibeli lagi, SMS saja ya, Non."

Millie mengacungkan jempol sebagai tanda setuju. Gadis itu menurunkan sandaran kursi agar dapat merebahkan tubuh, sementara Azim menyibukkan diri dengan ponsel. Berduaan dengan Millie dalam mobil seperti itu membuatnya gugup. Apalagi kejadian tadi pagi telah menegaskan bahwa perasaannya bersambut.

"Maaf ya, Bang," ucap Millie masih dengan mata terpejam.

"Maaf kenapa, Millie?"

Millie kembali menegakkan badan dan menatap Azim dengan rasa bersalah. "Aku tidak berpikir panjang. Gara-gara tindakanku tadi, kini media pasti semakin penasaran tentang Bang Azim. Abang jadi semakin tidak bebas beraktivitas. Mesti terus kucing-kucingan sama wartawan."

Azim terkekeh. "Jika itu harga yang harus dibayar agar bisa terus menjagamu, aku rela, Mil."

Millie menangkupkan tangan ke atas dada dan berpose seperti orang yang habis tertembak. "Abang jangan bersikap terlalu manis. Jantung aku enggak kuat," celetuknya dengan bibir yang sengaja dimonyong-monyongkan.

Tawa Azim makin kencang. Didorongnya dahi Millie dengan telunjuk. "Makanya kamu jangan mancing-mancing. Nanti aku pingin segera bawa kamu ke MUI."

"MUI? Ngapain?" tanya Millie polos. Apa hubungannya Majelis Ulama Indonesia dengan tingkah manjanya.

"Biar cepat halal," jawab Azim sambil melengos, pura-pura marah, padahal sebenarnya sedang berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Perlu beberapa detik bagi Millie untuk memahami maksud candaan Azim. Begitu dia mengerti, buru-buru dipukulnya lengan Azim.

"Abaang! Katanya mau sabar nunggu. Aku belum siap nikah!" rajuk Millie.

Azim menangkap telapak Millie dan menguncinya dalam genggaman. "Makanya kamu jangan sengaja mancing-mancing. Jantung aku juga enggak kuat kalau sering-sering," seloroh Azim sambil meniru gaya Millie tadi.

Millie tak menjawab. Kepalanya mengangguk pelan dengan ekspresi yang begitu menggemaskan. Azim buru-buru melepas tangan Millie. Entah kenapa gurauan mereka justru membangkitkan suasana romantis. Memang benar bahwa laki-laki dan perempuan tak boleh berduaan saja, setan akan memanfaatkan kesempatan untuk membisiki mereka. Hampir saja Azim tergoda melanggar janjinya pada Millie tadi pagi.

"Aku mau ngecek, Pak Tono dulu." Azim meraih masker scuba yang dia selipkan di saku jas dan memasangnya.

"Tapi kata Kak Janine ... Jasnya tidak perlu dipakai Bang, biar tidak terlihat terlalu formal," saran Millie, tak jadi mencegah. Terdapat beberapa kantor pemerintah di sekeliling Taman Lapangan Banteng, mungkin orang-orang akan mengira Azim salah satu pekerja di sana. Millie rasa tak apa jika pemuda itu keluar sebentar. Dia sendiri perlu menenangkan jantungnya yang sejak tadi berdebar-debar.

Azim memicingkan mata begitu menjejakkan kaki ke tanah. Telapaknya memayungi mata tepat dari silau matahari. Dia mencari-cari sosok Pak Tono. Rupanya pria itu tengah berteduh di bayang-bayang pohon Angsana sambil mengantri es goyang. Azim bergegas menghampiri sopir Millie itu, tetapi dering ponsel menghentikan langkahnya.

"Assalamualaikum, Uda," jawab Azim sambil membelokkan langkah ke arah berlawanan. Urung menghampiri Pak Tono.

"Waalaikumsalam, Azim. Ya ampun, itu Millie apa-apaan tadi? Itu beneran, apa sekadar gimmick?" Rahmat langsung memberondong Azim dengan pertanyaan.

"Be-beneran, Uda," jawab Azim sambil menahan perasaan malu.

Tawa Rahmat terdengar menggema di telepon, sampai-sampai Azim khawatir orang-orang di sekitarnya dapat mendengar.

"Lalu kamu bagaimana? Hubungan dengan tetanggamu itu bagaimana?"

Azim terbatuk pelan. "Aku dan Yu Hikmah sudah tidak ada hubungan apa-apa. Kalau Uda sempat menonton video perkelahianku beberapa waktu lalu, yang menonjokku waktu itu adalah kakak Yu Hikmah."

"Kenapa kamu tidak melawan?"

"Rumit, Uda. Kapan-kapan saja akan aku ceritakan."

"Jadi ... Kamu juga menyukai Millie?"

Azim tak menjawab. Dia rasa Rahmat pasti sudah tahu jawabannya.

"Ya ampun. Istriku benar. Hidup kalian sudah seperti drama Korea yang sering dia tonton saja." Rahmat kembali tergelak. Tiga bulan lalu dia memang telah menikahi gadis pilihan ibunya.

"Respon Bu Lalita bagaimana?" sambung Rahmat.

"Marah besar. Dia kaget Millie berani melawan."

"Lalu rencana kalian ke depannya seperti apa? Bagaimana dengan rencana Millie tiga ... maksudku dua tahun lagi?"

"Kami belum memikirkan sampai ke sana, Uda. Aku akan berusaha membujuk Millie untuk berdamai dengan Bu Lalita. Jika kami berjodoh, aku tidak ingin menikah tanpa restu beliau."

Suara tawa Rahmat kembali terdengar. "Ya Tuhan. Kalian benar-benar serius ya? Sampai terpikir menikah segala. Entah aku harus ikut senang atau mengkhawatirkan kalian, Zim."

Rahmat terdengar menghela napas. "Aku senang kalau Millie menemukan seseorang yang menjaganya dengan tulus. Tetapi kamu juga harus paham risikonya. Semua orang menyorot Millie. Mengumumkan hubungan kalian terang-terangan ke publik berarti membuat mereka juga akan menyorotmu. Media akan melahap segala informasi tentang kalian. Apa pun yang kalian lakukan, baik atau buruk, akan menjadi bahan berita mereka. Kalian harus lebih hati-hati."

Azim mendengarkan nasihat seniornya itu dengan saksama. Pemuda itu juga memikirkan hal yang sama sejak tadi. Semua tindakannya akan berpengaruh pada image Millie. Kekhawatiran Lalita bukan tanpa alasan. Masa lalu Azim bersama Hikmah dapat menjadi bumerang bagi mereka semua.

"Ah. Sudah dulu ya Zim, istriku minta antar ke pasar. Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian. Jaga Millie baik-baik. Jaga juga dirimu. Salam buat gadis manja itu ya."

Azim menutup telepon setelah menjawab salam Rahmat. Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ternyata Pak Tono sudah mendapatkan es goyang dan cilok yang dipesan Millie. Mereka berdua segera kembali ke mobil.

Millie mengeluarkan es goyang dari plastik pembungkusnya. Senyumnya mekar sempurna. Gadis itu tampak bahagia hanya karena sebuah hal sesederhana jajanan pinggir jalan.

"Abang beneran enggak mau?" Gadis itu mengacungkan sebungkus es goyang pada Azim.

Azim menerima bungkusan itu. "Ini cuma karena aku enggak mau kamu banyak-banyak makan es. Janine bisa marah sama aku dan Pak Tono kalau kamu sampai batuk pilek."

Gadis itu nyengir lebar. Dia tahu Janine pasti mengomel kalau tahu dia jajan sembarangan, tetapi hari itu Millie sedang ingin membandel. Rasanya ingin dia langgar semua pantangan yang diberikan sang ibu selama ini.

***AmelA***

Lalita masuk ke kamarnya begitu sampai rumah. Mobil yang dikemudikan Pak Tono belum terlihat di parkiran, entah ke mana putrinya pergi. Mungkin memang lebih baik begitu, daripada mereka berdua bertengkar lagi.

Wanita yang masih tampak awet muda itu melonggarkan krah blouse dan kancing di lengan. Kejadian tadi pagi merupakan hantaman keras bagi Lalita. Hal yang selama ini dia takutkan akhirnya terjadi, Millie telah berani melawan.

Sejak melihat keakraban Millie yang tak biasa dengan pengawal barunya, Lalita sudah mulai cemas. Beberapa kali dilihatnya Millie mengobrol dengan Azim di taman saat tengah malam. Memang tak ada hal aneh yang terjadi selama Lalita mengamati dari jendela kamar, tetapi Millie terlihat begitu nyaman dengan pemuda itu.

Begitu tahu Millie berlibur ke kampung halaman Azim, kecemasan Lalita semakin menjadi-jadi. Bukan karena gosip yang beredar di internet. Lalita tahu bahwa persepsi publik tentang Millie dan Azim cenderung positif. Video perkelahian Azim tak membuat masyarakat membenci pemuda itu, bahkan banyak yang membela.

Mengingat semua itu membuat kepala Lalita terasa semakin berat. Disentaknya bedcover yang menutupi tempat tidur dan dilemparkannya begitu saja ke lantai. Dia juga melemparkan bantal-bantal ke segala penjuru, tak peduli hal itu membuat barang-barang berjatuhan dan pecah.

Yang paling Lalita takut dari kehadiran Azim adalah kepergian Millie. Sejak pemuda itu datang, Millie seperti mendapat keberanian untuk menentang. Gadis itu mulai menuntut kelonggaran jadwal, juga menyindir sikap Lalita yang terlalu mengekang. Itulah kenapa Lalita bertekad untuk memisahkan Azim dari putrinya. Namun, dia terlambat. Pagi tadi Millie telah terang-terangan mengobarkan api pemberontakan.

Ketukan di pintu mengagetkan Lalita. Tak lama kemudian Janine masuk sambil membawa beberapa lembar kertas. Di mobil tadi, Lalita memang menyuruh Janine berkoordinasi dengan konsultan media untuk mencari tahu dampak pernyataan Millie saat konferensi pers tadi.

Lalita memberi isyarat agar Janine segera berbicara.

"Berdasarkan hasil analisis konsultan media kita, Bu, sejauh ini respon masyarakat sangat positif, bahkan mulai bermunculan basis fans yang mendukung Millie dan Azim. Banyak penggemar yang mendoakan kelanggengan hubungan mereka. Beberapa malahan berharap Azim dan Millie dapat terlibat proyek bersama."

"Kalau mereka putus, efeknya bagaimana?"

"Jika dibandingkan dengan pengalaman pasangan-pasangan lain, pasti akan memancing pertanyaan penggemar. Mengingat Azim bukan dari kalangan artis, bisa saja nanti kita menjadikannya kambing hitam, kita bisa mengarahkan berita perpisahan mereka untuk publikasi Millie."

Janine menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Tetapi untuk sementara ini, sebaiknya kita tidak bermain-main dengan isu tersebut. Terlalu berisiko. Jika kita salah perhitungan, malah bisa berdampak buruk. Masyarakat tengah mengalami euforia dengan berita pagi tadi. Saran konsultan kita, setidaknya perlu menunggu 1 tahun untuk mengembuskan berita kerenggangan hubungan mereka jika memang itu yang direncanakan."

Lalita mendengkus. Untuk saat ini memang tidak ada yang bisa dia lakukan. Terlalu berisiko untuk memaksakan rencananya sekarang.

"Simon tidak menghubungimu? Dia pasti kaget mendengar berita tadi. Aku sudah menjanjikannya bahwa Matt akan menjadi bintang video klip Millie, supaya bisa kita tiupkan berita cinta lokasi."

Janine menggeleng. "Bu ... ada sesuatu yang perlu saya sampaikan pada Bu Lalita. Saya sengaja belum melaporkannya karena tak ingin menganggu acara liburan ibu."

Tatapan Lalita begitu tajam, sampai membuat Janine merasa jeri.

"Saat syuting acara traveling di Bali tempo hari. Matt sempat hampir melecehkan Millie. Waktu itu Matt dalam keadaan mabuk. Untungnya Millie berhasil melawan dan Azim datang menyelamatkan. Itulah kenapa kemarin saya menyetujui permintaan Millie untuk ikut ke rumah Azim, supaya Millie dapat menenangkan diri."

Wajah Lalita mengeras. Dihempaskannya bokong ke atas kasur. Pandangannya jauh menerawang.

"Media ada yang tahu kejadian itu?"

"Sejauh ini saya dan Simon berhasil menutupinya, tetapi Millie tidak mau terlibat proyek bersama Matt lagi."

Lalita mengurut keningnya yang terasa berdenyut. "Kenapa kamu baru cerita sekarang, Janine?" desisnya.

"Ma-maaf, Bu. Sesampai Jakarta saya sudah melapor Pak Gunawan, beliau menyarankan saya untuk menunggu sampai Ibu pulang, supaya tidak menganggu agenda Ibu."

Kedua bola mata Lalita membelalak. Keringat dingin mulai bermunculan di dahi Janine. Lalita tampak jauh lebih marah dari sebelumnya.

"Ngapain kamu lapor Gunawan? Yang menggajimu itu aku, Janine! Bukan dia!"

"Waktu itu nomor ibu sedang tidak aktif, dan Pak Gunawan sedang ada di rumah. Saya rasa perlu untuk mendiskusikan hal itu dengan orang lain," jawab Janine dengan takut-takut.

"Sudah! Kamu bisa keluar sekarang. Pantau terus perkembangan Millie. Diskusikan jadwal Millie berikutnya dengan konsultan media dan agensi."

Berita yang disampaikan Janine membuat Lalita kaget. Dia telah mengenal Matt sejak lama, tak disangkanya pemuda itu telah terjebak dalam pergaulan yang salah. Untung saja waktu itu Millie menolak cinta Matt. Jika saja mereka benar pura-pura berpacaran, bisa jadi Matt justru akan memperburuk citra Millie. Lagi-lagi Millie benar dan dia salah, tetapi Lalita bukanlah wanita yang dengan mudahnya mengakui kesalahan. Dia terlalu angkuh untuk melakukan hal semacam itu.

***AmelA***

Rumah begitu sepi ketika Millie pulang. Mobil Lalita tak ada di parkiran. Hal itu membuat Millie lega. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan sang ibu.

Millie menuju dapur dan membuka kulkas. Diambilnya kotak susu dan menuangkan isinya ke gelas. Belum sempat dia menyesap susu cokelat itu, kehadiran Janine mengagetkannya.

"Ya ampun, Kak. Aku sampai kaget." Millie melanjutkan minum lalu meletakkan gelas yang telah kosong ke meja. "Maaf ya, Kak. Gara-gara aku, Kak Janine pasti kena omel mama."

"It's okay, Mil. Sudah biasa," canda Janine. Dirinya memang sudah kebal dengan kemarahan Lalita.

"Lalu --- apa rencana mama berikutnya?" tanya Millie penasaran.

"Sejauh ini persepsi publik tentang hubunganmu dan Azim cukup baik. Akan jadi blunder kalau Bu Lalita memaksa kalian berpisah dalam waktu dekat. Setidaknya sampai tahun depan, kurasa Bu Lalita tidak akan mengganggu kalian."

"Kenapa cuma setahuuun? Kenapa tidak selamanyaaa?" keluh Millie sambil berjalan ke kamarnya. Janine terus membuntuti gadis itu.

"Kamu beneran suka sama Azim, Mil?" Meski Janine telah mencurigai kedekatan Millie dengan sang pengawal, rasanya tetap perlu memastikan.

Millie melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Kedua tungkainya dibiarkan menggantung di sisi tempat tidur. Millie meraih boneka beruang kesayangan lalu memeluknya erat.

"Kalau enggak suka, enggak mungkin aku mempertaruhkan semuanya seperti tadi, Kak."

"Bukan karena ingin membalas Bu Lalita, karena beliau mengatur rencana dengan Simon dan Matt tanpa berdiskusi denganmu?"

Mendengar nama Matt disebut, wajah Millie berubah pucat. Dia menjadi teringat kejadian minggu lalu. Seringai Matt waktu itu masih sulit dia lupakan.

"Itu juga menjadi salah satu alasan, tetapi alasan utamanya, aku tidak ingin Bang Azim pergi. Belum pernah aku merasa begitu nyaman dan bebas seperti saat bersamanya, Kak. Aku takut kehilangan dia. Apa itu bisa disebut cinta?"

Janine mengangkat bahu dan duduk di sebelah Millie. "Kamu bertanya pada orang yang salah, Millie. Aku belum pernah jatuh cinta?"

Millie mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. "Masak sih, Kak?"

Janine mengedikkan bahu.

"Kalau gitu aku doain Kakak segera bertemu pangeran tampan berkuda putih yang akan membuat hati Kakak selalu berbunga-bunga seperti yang kurasakan sekarang."

"Tolong jangan sombong ya Nona Millie. Mentang-mentang sudah punya pacar jadi memandangku sebelah mata," ujar Janine di sela tawanya.

"Aku dan Bang Azim enggak pacaran kok, Kak." Millie mengerucutkan bibir sambil memainkan kedua tangan boneka beruangnya.

Janine menatapnya bingung. "Bukannya Azim juga suka sama kamu?"

Pipi Millie memerah ketika mengingat percakapannya dengan Azim di ruang tunggu tadi. "Iya. Tapi kata Bang Azim sekarang jalani aja seperti biasa, pacarannya nanti setelah nikah aja," tutur Millie dengan suara lirih karena malu.

"Ya Tuhan, Azim itu nekat banget ngajakin anak kecil nikah." Janine tergelak. Lucu mendengar gadis delapan belas tahun membicarakan pernikahan sementara dirinya sendiri belum terpikirkan hal itu.

"Tapi kamu jangan langsung mengiyakan ajakan Azim, Millie. Mantapkan dulu hatimu. Jangan sampai menyesal belakangan. Pernikahan itu bukan hal main-main, lho."

Millie mengangguk pelan. "Iya. Bang Azim juga bilang gitu tadi. Dia bilang aku enggak boleh gegabah ambil keputusan."

Janine mengembuskan napas lega. Setidaknya dia tahu Azim tak sekadar memanfaatkan kesempatan. Meski telah menyelidiki rekam jejak Azim sebelum merekrut pemuda itu sebagai pengawal Millie, Janine belum bisa percaya seratus persen. Millie terlalu polos dan lugu. Janine merasa sudah menjadi tugasnya untuk menyaring orang-orang yang berada di dekat gadis itu.

Walaupun sejauh ini Azim tak pernah bertindak mencurigakan, Janine rasa tetap perlu mengawasi pemuda itu.

***AmelA***

"Memangnya aku harus ikut tampil, Nin?" tanya Azim ragu.

Asisten Millie itu melotot pada Azim. "Ini konsekuensi dari tindakan kalian kemarin! Semua orang masih ingin mendengar klarifikasi langsung dari kalian. tidak ada pilihan lain jika kamu tidak ingin menghancurkan karir Millie."

Azim melirik Millie yang tengah didandani oleh make-up artist langganannya. Pagi tadi Janine menjelaskan rencananya pada Azim dan Millie untuk melakukan livestory melalui akun media sosial Millie. Mereka akan memanfaatkan rasa penasaran masyarakat tentang sosok Azim untuk mempromosikan single terbaru Millie.

"Lalu aku harus apa?"

"Jadi dirimu sendiri. Kamu enggak ngapa-ngapain sudah berhasil bikin Millie tergila-gila begitu, tidak akan terlalu sulit untuk mencuri hati penggemar Millie. Yang penting jangan sampai keluar jalur. Ingat baik-baik poin do's and dont's yang tadi kuberikan!" jawab Janine setengah meledek rekannya itu.

"Mas. Kita coba tes video dulu ya buat pastiin angle yang pas," kata salah satu tim media yang Janine sewa.

Azim menuruti ajakan pemuda berambut gondrong itu. Meski livestory dibuat dengan konsep sesantai dan sealami mungkin, tetap saja ada beberapa bagian yang telah direncanakan sebelumnya. Setelah semua persiapan selesai, proses syuting pun dimulai.

"Halo teman-teman Millie-tan semuanya. Apa kabar? Maaf ya kalau sudah buat kalian kaget dengan kejadian konferensi pers kemarin," sapa Millie sambil melambaikan tangan ke arah kamera.

"Maaf juga kemarin tiba-tiba kabur begitu aja. Makanya hari ini aku dan Bang Azim akan melanjutkan tanya jawab lewat livestory ini. Silakan ketik pertanyaan kalian di kolom komentar ya!" Millie memandangi layar televisi yang telah disetting untuk menayangkan pertanyaan-pertanyaan yang masuk.

"Oke pertanyaan pertama dari Lidya. Hai Lidya." Millie mulai membacakan pertanyaan. "Kemarin itu beneran apa gimmick doang?"

Wajah Millie tampak tersipu. Entah hanya akting atau gadis itu memang malu-malu kucing, wajahnya tampak merona.

"Beneran lah. Itu aku lagi panik karena takut ditinggalin Bang Azim. Enggak kebayang kalau Bang Azim beneran mengundurkan diri." Millie menutup wajahnya dengan kedua belah tangan. "Duh bucin banget ya aku ini. Tapi memang seperti itu yang kurasakan kemarin."

"Terus respon Azim gimana? Ini pertanyaan kedua dari Luthfi ya." Millie tersenyum lebar. "Kalau aku ditolak enggak mungkin lah aku ketawa-ketawa begini."

"Lanjut ya, kali ini dari Nana. Millie! Tunjukin wajah si babang dong!" Millie memasang wajah galak. "Enggak boleh! Nanti banyak yang naksir sama babang aku!"

Gadis itu tertawa lebar. "Boleh kok, boleh! Tapi sekilas aja ya! Soalnya babang aku ini pemalu." Millie memberi kode pada kamerawan untuk menyorot wajah Azim.

"Tuh kan wajahnya tegang banget!" Tawa Millie begitu merdu. Kamerawan telah kembali mengarahkan kamera kepada penyanyi muda itu.

Millie lanjut membacakan komentar. "Cium dong Mil, biar si abang enggak grogi."

Gadis itu kembali terkikik geli. "Enggak boleh! Kata babang Azim enggak boleh cium-cium kalau belum halal. Iya kan, Bang?"

Wajah Azim merah padam. Dia harus membiasakan diri dengan ketenaran yang diraihnya dalam waktu semalam itu. Kini dia tak hanya bertindak sebagai pengawal Millie ataupun kekasih, tetapi juga lawan main Millie dalam drama kehidupan. Meski berat bagi Azim, dia tak menyesal. Melihat Millie mulai terbiasa tampil apa adanya di depan kamera membuat Azim lega. Setidaknya gadis itu terlihat lebih bahagia menjalankan perannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top