2 - Tugas Pertama Azim

Sebelum berangkat menuju lokasi konser, Rahmat telah memberikan briefing singkat kepada Azim. Namun, pria itu kembali mengulang penjelasannya di mobil. Malam itu Millie akan menjadi salah satu pengisi dalam sebuah konser amal.

"Agensi dan panitia acara selalu menyediakan bodyguard tambahan di venue. Tapi ingat, pengawal pribadi Millie itu kamu. Keselamatan Millie adalah tanggung jawabmu. Meski bodyguard lain lebih senior, kamu tetap yang pegang komando masalah keamanan Millie."

Azim mengangguk mantap. Sebenarnya dia sudah hafal di luar kepala kalimat yang diucapkan Rahmat, tetapi demi menghargai seniornya itu, Azim tetap mendengarkan dengan serius.

"Setelah kita mengantarkan Millie ke VVIP Room. Aku akan kenalkan kamu ke Bang Joe. Untungnya kepala keamanan kali ini temanku. Bang Joe mudah diajak kerja sama. Tetapi kadang kita akan menemui rekan yang arogan dan sok. Kalau bertemu yang seperti itu, kamu jangan mau kalah," lanjut Rahmat.

"Tenang saja. Uda tahu sendiri aku bukan tipe orang yang mudah mengalah. Kalau masalah keras-kerasan kepala dengan orang lain, Uda tidak perlu meragukanku."

Rahmat tergelak mendengar kalimat Azim. "Masalahnya, lawan terberatmu itu justru Millie. Kadang gadis itu suka melakukan hal-hal yang justru membahayakan dirinya sendiri. Dan kalau urusan keras kepala, Millie tidak perlu diragukan lagi. Kalau sudah begitu kamu tinggal mengancam akan melaporkan pada Bu Lita. Dia biasanya akan langsung patuh kalau mendengar nama ibunya disebut."

"Uda! Aku bisa dengar lho apa yang Uda omongin dari tadi," protes Millie dari kursi belakang minivan yang telah dimodifikasi lebih lega supaya gadis itu bisa istirahat sepanjang perjalanan. Meski memejamkan mata sejak tadi, rupanya Millie tidak tidur.

"Ini informasi penting, Millie. Kamu sendiri yang bilang dalam seminggu Azim harus sudah paham tugasnya. Tentu dia harus tahu seperti apa orang yang harus dia kawal dan jaga 24 jam dalam sehari," ujar Rahmat sambil menahan tawa.

Pak Tono menghentikan mobil. Mereka sudah sampai di lokasi acara. Janine yang duduk di depan turun lebih dulu. Dia langsung menyapa perwakilan panitia. Azim dan Rahmat yang duduk di tengah turun dari sisi pintu masing-masing. Setelah memastikan kondisi aman, Rahmat mengetuk pintu mobil untuk memberi kode agar Millie segera turun.

Gadis itu memilih turun dari sisi pintu sebelah kiri, tempat Azim berjaga. Dia tak segera melangkah turun. Dengan tubuh sedikit menunduk dan tangan bertumpu pada sandaran kursi, dia mematung di atas mobil. Matanya menatap tajam pada Azim, menunggu uluran tangan pemuda itu untuk membantunya turun.

Azim bergeming dengan posisi tangan di sebelah badan. Matanya bergerak ke kiri dan kanan untuk memeriksa keadaan. Pemuda itu sama sekali tak mengerti bahwa Millie sedang menuggu uluran tangannya. Gadis itu membuang napas dengan kasar. Raut wajahnya langsung ditekuk dengan bibir mengerucut.

Rahmat yang menyadari hal itu langsung memberi kode pada Azim.

"Bantu Millie turun," bisik Rahmat sambil memberi isyarat dengan tangannya.

Azim terkesiap dan segera mengulurkan tangan yang langsung Millie sambut dengan kasar. Setelah berhasil turun, gadis itu langsung nyelonong pergi tanpa mengucapkan terima kasih. Rahmat dan Azim berlari menyusul untuk memastikan gadis itu tiba di ruang tunggu VVIP dengan selamat.

"Lain kali langsung bantu Millie turun," desis Rahmat ketika Millie telah masuk ke ruang tunggu VVIP bersama Janine. Kedua pria itu sedang menuju ruang briefing untuk bertemu dengan staf keamanan lainnya.

"Mobilnya tidak terlalu tinggi. Bukannya dia bisa turun sendiri?" tanya Azim sinis.

"Sejak pernah jatuh dari panggung beberapa tahun lalu, pergelangan kakinya jadi gampang keseleo. Salah pijak sedikit, bisa cedera lagi. Jadi sebaiknya kamu selalu sigap membantunya," terang Rahmat.

Azim mengedikkan bahu. Ternyata tugasnya lebih banyak dari yang dia kira.

***AmelA***

"Dia sudah siap dilepas sendiri, Da?" tanya Janine dengan nada ragu.

Malam ini Millie ada agenda makan malam dengan rekan-rekan sesama artis. Janine tak bisa ikut karena harus meeting dengan promotor konser Millie berikutnya. Rahmat mengusulkan bahwa cukup Azim yang mengawal Millie ke restoran seafood di kawasan Jakarta Selatan itu. Pemilik restoran sengaja mengundang Millie dan gengnya, atau biasa disebut sebagai 'Rempong Ranger'.

Jika dijumlahkan, total pengikut media sosial Millie dan kelima temannya mencapai seratus juta orang. Jumlah yang sangat menggoda bagi pengusaha yang menargetkan anak muda sebagai calon pelanggan. Tak heran jika pemilik restoran bersedia membayar biaya yang cukup mahal agar foto-foto restorannya lewat di media sosial para anggota 'Rempong Ranger'.

Rempong Ranger terdiri dari enam orang. Millie sang penyanyi bersuara emas. Matt, aktor keturunan Kanada-Jawa yang telah mengenal Millie sejak sepuluh tahun lalu. Lalu Darren, adik Matt yang baru-baru saja terpilih sebagai brand ambassador sebuah merk pakaian asal Prancis. Kedua kakak-beradik itu pernah menjadi model dalam video klip Millie. Selain itu ada si kembar Bara dan Bea, podcaster dan vlogger terkenal. Terakhir ada Tania, pemain FTV yang baru bergabung di geng mereka sejak berpacaran dengan Bara.

"Nanti kamu jangan biarin Tania duduk terlalu dekat dengan Millie ya, Zim. Anak itu lagi coba pansos, tetapi image-nya akhir-akhir ini kurang bagus," pesan Janine yang baru bergabung dengan mereka.

Alis tebal Azim bertaut di tengah kening. "Bukannya mereka berteman?" tanya pemuda itu heran. Setahu Azim, keenam remaja itu sangat akrab dan sering disebut sebagai friendship goals oleh penggemar mereka.

Janine tertawa. "Itu cuma pencitraan. Kecuali Matt, ga ada yang benar-benar dekat dengan Millie. Yang kamu lihat di televisi maupun internet itu ga selamanya benar. Jadi jangan terlalu kaget kalau orang yang terlihat akrab di depan media tiba-tiba tak saling bicara ketika kamera berhenti menyorot mereka."

"Kudengar Tania sedang berusaha terjun ke dunia tarik suara. Makanya dia lagi sok akrab sama Millie. Apalagi Millie memang sedang cari partner untuk kolaborasi di proyek album barunya. Si Tania ini lagi berusaha dompleng ketenaran Millie," lanjut Janine.

Ekspresi Azim tak berubah, tetapi sebenarnya dia cukup kaget mengetahui kenyataan itu. Dari kejauhan kehidupan Millie tampak sempurna, begitu ramai dan gemerlap. Namun, kenyataannya begitu sepi.

Rasanya Azim mulai mengerti dengan maksud Rahmat kemarin ketika bilang mereka harusnya senang ketika Millie bersikap ketus. Jika Millie bicara blak-blakan tanpa filter, artinya gadis itu sedang menjadi diri sendiri. Tak terbayang jika seseorang harus berpura-pura menjadi sosok lain sepanjang waktu.

"Yuk, Da. Kita berangkat. Ini Matt dah bolak-balik telepon nanyain aku dah berangkat atau belum," ajak Millie begitu keluar kamar.

Sore itu dia mengenakan atasan rajut warna hitam dengan potongan krah berbentuk 'v' yang memamerkan bahunya. Millie memadukan atasan itu dengan rok jeans selutut dan topi baret berwarna merah menyala. Kakinya dibungkus ankle boot warna merah dengan hak setinggi tujuh sentimeter. Sebenarnya Millie lebih nyaman dengan sepatu flat, tetapi dia tak ingin badannya yang mungil semakin tenggelam di antara anggota Rempong Ranger lain.

"Hari ini Azim yang temani ya, Mil," jawab Rahmat.

Millie menghentikan langkahnya dan memicingkan mata ke arah kedua pengawalnya. "Uda ga ikut?"

"Kan cuma nemenin kumpul sama gengmu. Restorannya juga cukup ekslusif, ga sembarangan orang makan di situ. Jadi ga perlulah sampai bawa dua bodyguard."

Millie berbalik dan kembali melangkah ke luar. "Ya sudah. Asal jangan malu-maluin aja selama di sana," gumam gadis itu dengan nada sinis.

Rahmat menepuk bahu Azim agar segera menyusul Millie. Azim langsung berlari mendahului gadis itu untuk membukakan pintu sedan merah yang baru dibeli Millie bulan lalu.

***AmelA***

Sikap ketus Millie langsung berubah 180 derajat ketika bertemu teman-temannya. Bibirnya mengukir senyum lebar dan tak henti tertawa. Para gadis langsung sibuk berfoto begitu pelayan mengantarkan mereka ke ruang VIP yang telah dipesan. Azim menunggu di meja dekat ruang VIP bersama Simon, manajer Matt dan Darren. Asisten si kembar yang awalnya bergabung bersama mereka dipanggil ke dalam untuk bantu memotret gerombolan anak muda itu.

"Kita pernah ketemu enggak sih?" tanya Simon sambil menyesap kopi yang dipesannya.

"Err ... mungkin. Saya pernah menjadi pemeran pengganti untuk Matthew saat adegan action di Anomali Indra," terang Azim.

Simon membentuk huruf 'O' dengan mulutnya. "Ya. Mungkin aku pernah lihat kamu di situ pas lagi nemenin Matt. Lalu ... kenapa sekarang beralih profesi sebagai bodyguard?" tanya pria itu penasaran.

"Bayaran yang ditawarkan lebih menggiurkan," jawab Azim sekenanya.

"Padahal kalau kau mau bersabar, mungkin kamu bisa jadi pemain film lho. Seperti si Oki Uwis yang sudah go international sekarang. Apalagi dengan wajah seperti itu. Kalau mau, nanti aku kasih portofoliomu ke casting director kenalanku. Mungkin bisa dapat peran kecil-kecilan dulu, nanti lama-lama juga bisa jadi pemeran utama," tawar Simon penuh semangat.

"Saya ga bakat akting."

"Alah. Itu nanti dapat diasah. Dengan tampangmu itu, aku rasa ga terlalu bermasalah. Serius deh. Kamu itu lebih cocok jadi pemain film. Apa mau kurekomendasiin kelas akting yang bagus?" Tatapan Simon entah kenapa membuat Azim merasa tak nyaman. Ada yang aneh dari pria itu.

Pintu ruang VIP tiba-tiba terbuka. Millie keluar dengan langkah tergesa.

"Kita pulang sekarang, Bang," desis Millie ketika melewati meja Azim.

Azim langsung mengejar gadis itu sambil menelepon Pak Tono untuk segera menyiapkan mobil. Karena terlalu terburu-buru, Millie sempat terpeleset di tangga. Untung Azim dengan sigap meraih lengannya sebelum gadis itu terjatuh.

"Hati-hati, Mil." Untuk pertama kalinya setelah tiga hari bekerja pada gadis itu, Azim berkata sesuatu pada Millie. Sebelum itu, selalu Rahmat atau Janine yang bicara mewakilinya.

"Terima kasih." Untuk pertama kalinya setelah tiga hari Azim bekerja padanya, Millie tak bernada ketus saat bicara pada Azim. Dia menuruni sisa anak tangga dengan lebih hati-hati dan terus berpegangan pada lengan kokoh sang pengawal.

Pak Tono menghentikan mobil tepat di pintu keluar. Setelah memastikan Millie duduk nyaman di kursi belakang, Azim mengambil tempat di sebelah sang sopir.

"Langsung pulang, Non Millie?" tanya Pak Tono pada majikannya.

"Terserah, Pak," jawab Millie tak bersemangat.

Azim melirik gadis itu melalui spion. Millie tampak menempelkan kepala di jendela dan memandang ke luar. Wajahnya terlihat murung.

"Kok terserah, Non?"

Azim buru-buru melaporkan perubahan suasaa hati Millie yang tiba-tiba kepada Janine. Asisten Millie itu menyarankan agar mereka mengulur waktu sampai rumah.

"Kita pulang aja, Pak. Tetapi sambil muter-muter dulu, ambil jalur yang agak jauh," jawab Azim menuruti saran yang diberikan Janine.

Setelah memasukkan kembali ponsel ke saku jasnya, Azim kembali melirik spion. Pantulan di cermin menunjukkan Millie telah menyandarkan tubuh ke kursi dan memejamkan mata.

***AmelA***

Begitu sampai rumah, Millie langsung masuk ke kamar dengan membanting pintu. Dia mengabaikan Janine yang telah menunggunya untuk mengajak bicara.

"Memangnya ada apa, Jan?" tanya Azim penasaran.

"Lho, kan kamu yang ikut dia, kok malah tanya aku?" Janine malah balik bertanya, tetapi dari seringai di wajahnya, gadis berambut sebahu itu hanya sedang menggoda Azim.

"Tadi Simon telepon aku. Katanya Matt ngajak Millie pura-pura pacaran, buat naikin popularitas. Fans-fans mereka kan memang sudah lama tuh jodoh-jodohin mereka berdua. Kebetulan film baru Matt mau premier bulan depan, Millie juga mau ngeluarin album. Jadi kalau mereka pura-pura pacaran, netizen pasti heboh, bisa jadi trending topic dan dongkrak pemasaran," terang Janine panjang lebar sambil mengantarkan Azim keluar. Hari ini tugas pemuda itu telah usai, dia bisa kembali ke kamarnya.

"Terus kenapa Millie terlihat marah?" tanya Azim tak segera meninggalkan teras rumah utama.

Janine mengedikkan bahu tanda tak tahu. Gadis itu melambaikan tangan pada Azim dan kembali ke kamarnya.

Azim menyusuri taman dengan pikiran bercabang. Dia pikir Millie telah terbiasa dengan segala kepura-puraan. Senyumnya, sikap cerianya, kisah persahabatannya, semua adalah pura-pura. Lalu kenapa tersinggung dengan tawaran Matt? Bukankah tidak masalah menambahkan sandiwara kisah cinta dalam daftar kepalsuan hidupnya? Ternyata gadis itu lebih sulit ditebak daripada yang Azim kira.

***AmelA***

Millie sengaja mematikan ponsel karena tak tahan melihat notifikasi pesan dari Matt dan Darren yang masuk bertubi-tubi. Dia sedang tak ingin berbicara pada kedua temannya itu, terutama Matt.

Di antara kelima anggota Rempong Ranger lainnya, Matt adalah yang mungkin paling mendekati definisi teman bagi Millie. Mereka sama-sama debut dalam usia yang sangat muda. Millie sebagai penyanyi cilik, sedangkan Matt memang sejak awal menggeluti dunia akting. Sepuluh tahun lalu mereka bahkan sempat berada di bawah naungan agensi yang sama.

Gadis itu tak mempermasalahkan ketika muncul ide membentuk Rempong Ranger. Pertemanan pura-pura yang dibentuk untuk keuntungan masing-masing pihak. Millie sama sekali tidak merasa dirugikan, justru merasa untung. Artinya dia punya alasan untuk sering-sering bertemu Matt yang memang sudah disukainya sejak berusia lima belas tahun.

Mengenang masa lalu bersama Matt membuatnya semakin dongkol. Millie melempar boneka beruang pemberian Matt keras-keras ke lantai. Hatinya sungguh jengkel. Kalau Matt sungguhan memintanya menjadi pacar, Millie tanpa ragu akan menyetujuinya. Namun, Matt justru menawarkan hubungan pura-pura. Tidakkah Matt sadar bahwa selama ini Millie menyimpan perasaan khusus padanya?

Jam antik di ruang tamu berdentang dua belas kali. Lagi-lagi Millie tak bisa tidur. Kali ini sibuk memikirkan hidupnya yang penuh kepalsuan. Apakah kisah cintanya pun harus menjadi bagian dari sebuah sandiwara?

Gadis itu meraih kardigan lalu mengendap-endap ke luar kamar. Dia menuju kolam ikan koi di taman belakang. Biasanya Millie bisa menemukan sedikit ketenangan dengan mengamati ikan-ikan itu. Tak dipedulikannya angin malam yang berembus cukup kencang. Millie merapatkan kardigan dan meneruskan langkahnya.

Rumahnya begitu sepi. Hanya sayup-sayup terdengar suara televisi dari pos satpam di depan. Penghuni lainnya pasti sudah tertidur. Millie duduk di bangku taman yang menghadap tepat ke kolam. Tempat favoritnya untuk menyendiri di tengah malam. Air kolam tampak begitu tenang tanpa riak. Bahkan ikan-ikan itu pun telah terlelap.

Malam itu langit begitu cerah. Sayang polusi cahaya di Jakarta membuat bintang-bintang tak dapat terlihat jelas dengan mata telanjang. Millie mengangkat kaki dan merebahkan tubuh di kursi panjang itu. Dengan berbantalkan tangan, gadis itu pelan-pelan memejamkan mata. Dia biarkan pikirannya mengembara.

Millie sering berharap bisa menghilang seperti buih, lenyap begitu saja dari dunia yang dikenalnya. Toh hidupnya bukan milik sendiri. Semua telah diatur oleh ibu dan orang-orang di sekelilingnya. Dia merasa seperti boneka yang tak punya daya menentukan sendiri pilihan hidupnya. Setiap hari dia harus selalu tersenyum, tak peduli seburuk apa suasana hatinya. Hidup macam itu apakah cukup berharga untuk dijalani?

Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang semakin mendekat. Millie menahan napas. Dia ingin membuka mata dan melihat siapa yang datang, tetapi kelopak matanya terasa berat. Gadis itu tak rela melepaskan begitu saja kedamaian palsu yang baru dia temukan di bangku taman itu. Dalam hati Millie berdoa, supaya siapa pun itu terus lewat tanpa menyadari keberadaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top