17 - #AzimMillie

Azim menjulurkan tangan ke belakang dan segera menarik Millie agar merapat padanya. Pemuda itu menjadikan tas yang sedang dia pegang untuk merintangi wartawan yang mendekat dari sisi kanan. Tangan kirinya melingkar di pundak Millie untuk menjaga gadis itu dari serangan wartawan dari sisi kiri.

"Maaf, kami sedang buru-buru mengejar pesawat," tegas Azim.

Biasanya cara itu selalu ampuh. Enam bulan bekerja sebagai pengawal Millie membuat pemuda itu terbiasa menghadapi para pemburu berita, tetapi kali ini situasinya berbeda. Para wartawan itu tak hanya sedang mengejar Millie. Azim juga menjadi salah satu sasaran mereka.

Ketika Azim mulai kewalahan, Eko menghampiri mereka dengan diiringi dua orang satpam. Pemuda itu langsung berjaga di sisi kiri Millie. Kedua satpam yang datang bersamanya dengan sigap bantu mengamankan.

"Maaf, Pak. Hanya yang punya tiket yang boleh masuk." Seorang petugas bandara menghalangi ketika Eko hendak melewati security check point pertama.

"Terima kasih, Ko. Sampai sini saja." Azim menepuk bahu sahabatnya. Rombongan wartawan tadi tak mengejar mereka lagi.

Azim memasukkan barang-barangnya ke mesin x-ray dengan cekatan. Dia menggiring Millie ke check in counter dan memasukkan semua barang bawaan mereka ke bagasi.

Walau tak ada keterangan yang mereka berikan pada para wartawan, Azim tahu masalah yang lebih besar telah menunggu mereka. Para wartawan itu berhasil memperoleh foto mereka berdua. Foto-foto itu sudah cukup mengonfirmasi bahwa Millie memang ikut pulang ke rumah Azim. Selebihnya tergantung imajinasi masing-masing awak media.

"Kamu baik-baik saja kan, Mil?"

Azim memandangi Millie yang sejak tadi tak bersuara. Mereka berdua juga sudah duduk manis di sudut business lounge yang agak tersembunyi.

Dada Millie masih berdetak kencang. Dia sudah terbiasa dikejar pemburu berita sejak kecil, tetapi kali ini berbeda. Pertanyaan-pertanyaan yang tadi ditujukan padanya sungguh di luar dugaan. Millie kaget, tetapi entah kenapa dia juga senang.

Millie mengangguk. Tak bisa dia sembunyikan rona merah yang mewarnai wajahnya.

"Kakimu enggak sakit lagi kan? Maaf kalau tadi aku terburu-buru mengajak masuk."

Gelengan kepala Millie membuat pemuda itu sedikit lega.

"Maaf ya, Mil. Aku enggak nyangka bakal jadi viral begini. Kamu enggak apa-apa kan?"

"Enggak apa-apa, Abang. Aku sudah biasa kok dikejar-kejar wartawan. Abang tuh yang enggak apa-apa kan? Biasanya jagain aku dari wartawan, kini malah jadi objek yang dikerubuti wartawan." Millie berusaha mengusir kecanggungan dengan tertawa.

"Aku baik-baik saja. Tadi cuma kaget aja, benar-benar enggak nyangka kalau mereka bisa tahu kita di sini dan malah bikin gosip yang enggak-enggak tentang kita. Maaf banget ya Mil. Kamu jadi dapat gosip enggak enak." Azim belum berhasil mengusir rasa bersalahnya.

Millie mengangkat tangan untuk menutupi mulutnya yang tak bisa berhenti tertawa. "Ya ampun, Abang. Gosip enggak enak yang mana? Digosipin pacaran sama Bang Azim? Itu mah gosip biasa."

Gadis itu menyentuh bagian memar di wajah sang pengawal. "Abang tuh yang mesti mikirin perkembangan gosip tentang perkelahian Abang semalam. Nanti kita diskusikan sama Kak Janine apa perlu bikin konferensi pers di Jakarta."

Azim menangkap tangan Millie agar tak lanjut menyentuh wajahnya. "Jangan begini, Mil. Nanti kalau ada yang lihat, malah makin pada salah sangka," ujar Azim tak enak hati.

Hanya ada tiga calon penumpang selain Azim dan Millie yang tengah menunggu di business lounge saat itu. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing, tak ada yang terlihat memperhatikan mereka berdua. Namun, Azim tetap merasa perlu berhati-hati.

"Abang enggak suka ya digosipin pacaran sama aku," gumam Millie pelan.

Andaikan Azim tak sedang bingung memikirkan langkah selanjutnya, mungkin dia akan menyadari nada kecewa dalam suara Millie.

***AmelA***

Azim menarik pintu geser minivan hingga tertutup rapat. Millie telah duduk manis di sebelahnya, sedangkan Janine menempati kursi di samping sopir. Wajah asisten Millie tersebut tampak kesal. Tadi pagi dia harus mengurusi banyak hal untuk mengatur penjemputan Millie dan Azim di bandara.

"Kamu bilang Millie aman bersamamu! Tidak akan ada yang mengenali Millie. Kalau pun ada kamu bisa mengurusnya," sindir Janine begitu mobil keluar kawasan Bandara Soekarno Hatta.

Pagi-pagi sekali Janine dikejutkan dengan telepon dari agensi dan berbagai rekan media. Mereka semua menanyakan kebenaran kabar bahwa Millie tengah berkunjung ke rumah Azim. Seakan semua itu belum cukup merepotkannya, video perkelahian Azim menjadi trending topic di internet. Belum lagi menghadapi telepon Lalita yang mengomelinya nyaris tiga puluh menit tanpa henti.

Dengan perasaan bersalah, Azim berusaha menjelaskan, "Maaf, Janine. Aku sungguh enggak nyangka akan seperti ini jadinya. Kami sudah berusaha tidak menarik perhatian, tetapi-"

"Tidak menarik perhatian bagaimana, Zim? Jelas-jelas kamu terlibat perkelahian di tempat umum. Itu bukan menarik perhatian?" potong Janine dengan jengkel.

Janine memanfaatkan kesempatan untuk melampiaskan kekesalannya pada Azim. Tadi pagi dia berkali-kali menghubungi Millie maupun Azim, tetapi selalu gagal tersambung. Mereka baru membalas pesannya ketika sudah berhasil masuk business lounge, tetapi Janine sudah terlalu sibuk mengurus banyak hal untuk menanggapi.

Selama Azim dan Millie terbang dari Banyuwangi ke Jakarta, Janine mengatur segala persiapan penjemputan. Azim yang harusnya bertugas mengawal Millie kini justru menjadi salah satu pihak yang harus dikawal. Janine terpaksa meminta bantuan agensi untuk menyediakan tim keamanan tambahan untuk menjemput mereka berdua.

"Itu bukan salah Bang Azim, Kak. Kakak lihat kan videonya, orang itu yang nyari masalah duluan." Millie berusaha membela sang pengawal.

Janine menoleh ke belakang dan menatap Millie. "Kamu juga salah, Millie. Ke tempat umum kok enggak pakai penyamaran lengkap kayak biasanya!"

"Iya ... aku memang salah. Kemarin itu aku kepedean karena selama tiga hari enggak ada yang curiga. Kupikir emang pada enggak ada yang kenal aku di sana," timpal Millie dengan bibir mengerucut.

Janine mengurut pelipisnya. Jemarinya menggulir ponsel untuk memeriksa perkembangan berita di sosial media.

"Terus ini gimana, Kak? Perlu klarifikasi ke media? Atau biar ilang sendiri aja beritanya?" Millie memberanikan diri bertanya.

"Kita lihat perkembangan dulu. Sejauh ini belum ada efek negatif ke image kamu. Dan entah harus senang atau enggak, lagu 'Penjaga Hati"' jadi naik lagi di chart. Ini hashtag #AzimMillie juga lagi trending."

"Malah bagus dong Kak. Berarti penggemarku setuju aku pacaran sama Bang Azim?"

Azim yang tengah minum langsung tersedak ketika mendengar celetukan gadis yang duduk di sebelahnya. Janine mengamati Azim melalui spion tengah, berusaha membaca ekspresi rekannya itu.

"Jangan senang dulu, Mil! Ini hashtag #saveMillie dan #pecatAzim lagi merangkak naik juga."

Informasi yang diberikan Janine membuat Millie terkejut. "Pecat? Ngapain sampai ada yang minta Bang Azim dipecat?"

Janine memeriksa ponselnya lagi sebelum menjawab, "Ada yang meragukan kemampuan Azim sebagai bodyguard karena enggak ngelawan dipukulin. Ada yang nuduh Azim curi kesempatan ngedekatin kamu. Ada yang bilang Azim cari sensasi biar terkenal. Ada yang ... ah, kalau aku lihat sih ini rata-rata penggemar cowok. Kayaknya pada sirik sama si Azim."

***AmelA***

"Mas Azim. Mas Azim. Dicari Tuan Gunawan di dalam," ujar Ijah –salah satu asisten rumah tangga keluarga Millie– ketika Azim menurunkan barang bawaan dari mobil.

"Saya antar tas ini ke kamar Millie dulu, Bik," timpal Azim.

"Saya aja, Mas. Tuan nungguin sekarang di ruang kerjanya." Ijah langsung merebut tas yang tengah dijinjing Azim.

Azim menganggukkan kepala sambil mengucap terima kasih. Dia sudah beberapa kali bertemu dengan ayah Millie, tetapi tak pernah sampai mengobrol. Pria itu biasanya hanya membalas senyum Azim sekilas lalu pergi.

Berhubung tak ada urusan dengan Gunawan, Azim pun tak terlalu peduli. Ayah Millie itu memang jarang pulang ke rumah. Kalau tidak sibuk berkeliling mengontrol jaringan bengkel miliknya, Gunawan biasa ikut touring komunitas mobil mewah yang dia ikuti.

"Lho, Bang. Kirain langsung balik ke paviliun?" Millie terlihat heran ketika menemui Azim di ruang makan.

"Lagi dipanggil Pak Gunawan, Mil."

"Papa? Untuk apa?" Millie terus membuntuti Azim hingga ruang kerja ayahnya.

Azim memaksakan diri tersenyum. "Sudah. Istirahat sana?"

Millie justru membuka pintu ruang kerja dengan kasar. "Papa ada apa panggil Bang Azim?"

Gunawan terkesiap mendengar suara ketus Millie. Dulu gadis kecilnya itu selalu manis dan manja kepadanya. Entah sejak kapan hubungan mereka memburuk. Tiba-tiba saja Millie merasa asing dengan sang ayah, begitu juga sebaliknya.

"Papa ada urusan sebentar dengan Azim, Mil. Tolong tinggalkan kami berdua," suruh Gunawan dengan nada tegas.

"Kalau Papa mau marahin Bang Azim karena aku kabur ke Jember, Papa salah sasaran. Kemarin aku yang maksa ikut."

"Tinggalkan kami berdua, Mileta!" Suara Gunawan lebih keras dari sebelumnya. Dia bahkan menyebut nama asli Millie.

"Sudah. Kembali ke kamarmu sana," bisik Azim. Dia berusaha melepaskan pegangan Millie pada gagang pintu.

Millie akhirnya menuruti saran Azim. Setelah kepergian Millie, Azim menutup pintu lalu mendekat pada Gunawan. Dia berdiri di seberang Gunawan yang duduk di kursi kerjanya. Meja kerja berplitur cokelat tua menjadi pembatas antara mereka berdua.

"Sudah berapa bulan kamu kerja di sini, Azim?" Gunawan memulai pembicaraan dengan pertanyaan.

"Enam bulan, Pak."

Gunawan mengangguk-anggukkan kepala. "Cukup lama juga ya. Maaf kalau saya belum pernah menyambut kedatanganmu, bahkan rasanya baru kali ini kita bicara berdua?"

Azim tak menimpali. Dia tahu Gunawan sudah tahu jawabannya.

"Jadi berapa hari kemarin Millie menginap di rumahmu?" tanya Gunawan dengan nada santai, tetapi matanya menatap tajam pada Azim.

"Tiga malam. Setelah acara di Bali kami langsung ke Jember."

"Janine sudah cerita tentang kejadian di Bali. Terima kasih sudah menjaga Millie."

"Memang sudah tugas saya, Pak," jawab Azim mantap.

"Bahkan saat cuti pun kamu tetap harus menjaga Millie ya? Anak itu pasti merepotkanmu selama di sana," ujar Gunawan sambil tertawa. "Meski saya jarang di rumah dan kita jarang bertemu, saya selalu mendapat laporan tentang Millie. Saya tahu, meski kamu baru bekerja selama enam bulan, kamu sudah sangat dekat dengannya."

Azim mengangguk pelan. Kini dia tak berani membalas tatapan ayah Millie.

Gunawan melanjutkan bicara, "Bahkan dengan Rahmat, Millie tak sedekat itu. Kalau dia sampai minta ikut pulang ke rumahmu, artinya dia benar-benar sudah percaya denganmu. Tetapi Millie itu sangat polos, lugu. Saya takut dia salah paham mengartikan perhatian yang kamu beri lebih dari sekadar tuntutan tugasmu sebagai pengawal."

Pengawal Millie itu masih larut dalam diam. Dia belum terlalu mengenal Gunawan dan belum bisa menebak bagaimana respon pria itu jika Azim jujur tentang perasaannya. Menurut Azim, diam adalah pilihan terbaiknya saat itu.

"Apa kamu memang sependiam ini, Azim? Dari tadi saya terus yang bicara."

"Bukan begitu, Pak. Saya tidak tahu harus menjawab apa." Dia benar-benar bingung bagaimana menanggapi perkataan Gunawan.

"Kalau begitu, jelaskan pada saya, bagaimana pendapatmu terhadap Millie?"

Tubuh Azim sedikit tersentak. Pemuda itu tak menyangka Gunawan akan langsung menodongnya dengan pertanyaan semacam itu.

"Sa-saya mengagumi sifat Millie yang pekerja keras. Meski suasana hatinya sedang buruk, dia selalu bekerja dengan profesional. Dia juga sangat perhatian pada orang-orang di sekelilingnya. Berusaha untuk tidak merepotkan orang lain. Dan ..."

Azim tak melanjutkan kalimatnya. Dari ekspresi wajah Gunawan, Azim langsung tahu bukan jawaban semacam itu yang diharapkan.

"Baik. Saya akan mengulangi pertanyaan. Bagaimana perasaanmu pada Millie?"

Jantung Azim serasa berhenti berdetak. Meski telah menebak cepat atau lambat Gunawan akan mengajukan pertanyaan itu, tetap saja Azim kaget saat mendengarnya. Tiga hari menghabiskan waktu berdua dengan Millie telah menyadarkan Azim, bahwa dia mencintai gadis itu. Perhatian yang dia berikan bukan dikarenakan tugasnya sebagai pengawal.

"Oke. Mungkin pertanyaan saya terlalu berbelit-belit. Saya coba ulang dengan kalimat yang berbeda." Gunawan mengembuskan napas panjang sebelum lanjut bertanya, "Apa Kamu mencintai Millie?"

Lidah Azim terasa kelu. Dia hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Sudut bibir Gunawan tertarik ke atas, begitu mirip dengan gaya Millie tersenyum.

"Saya belum percaya kamu seratus persen. Bagaimanapun saya belum terlalu mengenalmu. Bisa saja penilaian saya salah, dan kamu hanya sekadar memanfaatkan Millie. Tapi untuk saat ini, cuma kamu satu-satunya yang bisa saya titipi Millie."

"Mak-sud ... Bapak?

Azim menatap pria yang tengah duduk di hadapannya itu dengan perasaan heran. Dia belum dapat menebak ke arah mana pembicaraan mereka akan bermuara.

Gunawan belum melanjutkan bicara. Dia justru menekan pangkal hidungnya dengan dua jari. Diulanginya gerakan itu beberapa kali untuk mengusir pening yang mendadak dia rasakan.

"Saya akan bercerai dengan Lalita. Kamu sudah lihat sendiri kan, bagaimana kondisi keluarga ini? Saya tidak sanggup lagi terus-terusan bertengkar dengan Lalita. Menurut saya, hal itu juga tidak baik untuk Millie." Gunawan menarik napas dalam-dalam. "Mengingat sifat Lalita, setelah bercerai, kemungkinan saya akan sulit menemui Millie. Jadi, kamulah satu-satunya harapan saya untuk menjaga Millie."

Azim sungguh tidak tahu bagaimana harus merespon berita yang disampaikan Gunawan. Hatinya kini ikut mencemaskan Millie. Jika yang dikatakan Gunawan benar terjadi, awak media pasti akan memburu Millie, lebih gencar daripada yang tadi terjadi di bandara. Retakan sekecil apa pun dalam hidup seorang bintang, akan menjadi bahan pemberitaan yang menarik.

Masyarakat cenderung senang ketika melihat seseorang yang mereka anggap memiliki segalanya, ternyata tak sesempurna yang mereka bayangkan

"Saya tidak peduli latar belakang kamu, jika memang kamu kelak berjodoh dengan Millie. Sepanjang Millie bahagia, saya tidak akan menentang. Tetapi Lalita sangat peduli. Dia wanita yang keras hati. Perlu kerja keras untuk meluluhkan hatinya, dan sampai dua puluh tahun pernikahan kami pun saya gagal melakukannya."

Gunawan meletakkan kacamatanya di meja. Dia menyandarkan kepala ke kursi dan memejamkan mata. Pria itu memberi isyarat pada Azim untuk meninggalkannya sendirian.

***AmelA***

Perkataan Gunawan berkecamuk dalam benak Azim. Pemuda itu mengkhawatirkan Millie. Meski selama ini Millie bersikap seolah tak peduli dengan kondisi keluarganya, rencana perceraian Gunawan dan Lalita tetap akan berdampak pada gadis itu. Azim teringat kejadian beberapa bulan sebelumnya, kala Millie memaksa tidur di paviliun setelah mendengar pertengkaran kedua orang tuanya.

(Kenapa sih mereka ga bertengkar besok aja? Pas aku lagi kerja buat cari duit biar mereka bisa senang-senang dengan teman mereka. Apa mereka ga bisa pura-pura bahagia gitu di depanku, seperti kalau pas lagi ada stasiun televisi yang meliput ke rumah?)

Tangisan Millie waktu itu kembali terngiang di telinga Azim. Millie tahu bahwa keluarganya sedang tidak baik-baik saja, tetapi seperti anak lain, dia berharap menyaksikan keharmonisan kedua orang tuanya. Perceraian Gunawan dan Lalita akan menghancurkan harapan Millie, dan Azim tak bisa melihat gadis itu bersedih.

"Jadi Papa marahin Abang tadi?"

Azim terperanjat ketika Millie menghadangnya. Gadis itu sengaja menunggunya di teras.

"Enggak kok. Tadi cuma ngajakin ngobrol aja." Azim berusaha mengelak.

Millie terus membuntuti Azim. Kakinya melompat-lompat kecil, seolah beberapa hari lalu tidak terkilir karena terjatuh dari pematang sawah.

"Terus? Ngobrolin apa?" tanya Millie ingin tahu. Matanya berkilat-kilat karena penasaran.

"Ra-ha-si-a," jawab Azim dengan cengiran jahil.

Gadis itu langsung mencebik. Bibirnya sengaja dimanyunkan untuk menggambarkan rasa kesal yang dirasakan.

"Ih! Abang pelit!" pekik Millie. Tangannya memukul lengan Azim. "Tapi beneran kan? Abang enggak kena omel Papa kan? Enggak dipecat kan?"

Demi melihat ekspresi Millie, Azim melepas tawanya ke udara. Perasaan pemuda itu sedikit lega. Millie mungkin akan sedih ketika tahu rencana perceraian orang tuanya, tetapi gadis itu akan baik-baik saja. Azim akan memastikan Millie baik-baik saja.

"Enggak. Malah Pak Gunawan minta aku bersabar menghadapi anak beruang bawel dan cerewet ini." Azim menepuk pipi Millie sebelum meninggalkan gadis itu sendirian di teras.

"Abang mau ke mana?" teriak Millie dari teras.

Tiga hari terus bersama Azim telah membuat Millie ketergantungan. Rasanya tak rela melepas Azim meski hanya ke paviliun yang berjarak beberapa meter dari rumahnya. Jika saja bisa, Millie ingin terus membuntuti Azim ke mana saja.

Azim menghentikan langkah dan berbalik menghadap Millie. Senyumnya terkembang lebar, hingga membuat kedua matanya nyaris membentuk garis. "Mau balik ke kamar, mau mandi. Kenapa? Ikut?"

Muka Millie langsung berubah merah. "Aku cuma mau ngingetin, abang jangan ke mana-mana dulu. Kata Kak Janine banyak wartawan berkeliaran di sekitar rumah!"

Gadis itu masuk ke rumah tanpa berpamitan pada sang pengawal. Dia setengah berlari menuju kamar. Millie ingin segera berteriak keras-keras di kamarnya yang kedap suara. Jantungnya terasa meledak ketika melihat senyum Azim tadi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top