16 - Baik - Baik Saja
"Azim. Aku benar-benar rela jika harus melepas Hikmah agar dia bisa bersamamu. Daripada aku harus melihatnya tersiksa seperti ini." Jalu mengulang kembali permohonannya sambil menggenggam tangan Hikmah yang masih tak sadarkan diri.
Azim tak menanggapi. Dia tengah memandangi wajah Hikmah yang tampak pucat. Alat bantu pernapasan terpasang di hidung wanita itu. Hatinya remuk ketika melihat Hikmah terbaring tak berdaya. Bagaimanapun, Hikmah masih menempati posisi spesial di hatinya, walau kini hanya sebagai kakak angkat, tak lebih.
"Saya tidak bisa, Kang. Kini saya sadar bahwa pernikahan bukanlah permainan yang dapat dimulai dan diakhiri sesuka hati." Azim menatap Jalu dengan nanar.
"Saya mencintai Yu Hikmah layaknya seorang adik pada kakaknya, sebagai seorang teman masa kecil yang tumbuh bersama. Tidak ada kebahagiaan yang dapat kami peroleh jika memaksakan diri bersatu, apalagi jika sampai membangun rumah tangga di atas kesedihan pria sebaik Kakang."
Kedua lelaki itu terdiam. Hanya terdengar desau angin yang keluar dari pendingin ruangan.
Azim tak tega melihat Hikmah menderita, tetapi menikahi Hikmah bukanlah jalan keluar terbaik. Dia tak bisa memberikan cinta yang diharapkan Hikmah. Cintanya sudah jatuh pada gadis yang tengah menanti di ruang tunggu rumah sakit.
Meski Azim sadar diri, tak mungkin dia bersanding dengan Millie, tetap saja dia ingin menjaga gadis itu sepenuh hati. Setidaknya sampai Azim menunaikan janji, mengantar Millie meraih kebebasannya.
"Lalu apa yang harus kulakukan, Zim? Aku tidak bisa melihat Hikmah seperti ini. Aku tak bisa pura-pura tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya nekat mengambil jalan pintas." Kepala Jalu tengadah. Lelaki itu berusaha mencegah air matanya tumpah.
Azim menyentuh pundak Jalu. Rasa bersalah kembali memeluknya erat. Dia sendiri tak tahu jawaban atas segala masalah yang kini mereka hadapi.
"Jika Kang Jalu masih bersedia menerima Yu Hikmah, tetaplah bersamanya. Mungkin dengan kepergian saya kali ini, Yu Hikmah dapat menyadari betapa besar cinta Kakang kepadanya." Azim menarik napas dalam-dalam. "Harusnya saya pergi sejak dulu, agar tidak menjadi penghalang di antara Yu Hikmah dan Kang Jalu. Untuk itu saya sekali lagi meminta maaf."
Jalu menatap Azim dengan sayu Tak ada sorot benci maupun kemarahan di matanya. "Harusnya aku yang minta maaf. Kalau saja waktu itu aku tidak membiarkan keluargaku melamar Hikmah, tidak akan seperti ini jadinya."
"Tidak, Kang. Gusti Allah telah menakdirkan Yu Hikmah menjadi istri Kakang. Berandai-andai hal itu tidak terjadi berarti menentang takdir Gusti Allah."
Lagi-lagi kedua pria itu terdiam. Waktu Hikmah menikahi Jalu dulu, Azim memang sempat marah dan mempertanyakan keputusan Tuhan. Namun, kini pemuda itu mengerti. Bahwa ada hikmah di balik semua kejadian. Pernikahan Hikmah lah yang mengantar kakinya menginjak ibu kota, lalu garis takdir mempertemukannya dengan Millie.
Teringat akan Millie, Azim buru-buru mengeluarkan ponsel. Rupanya telah lebih satu jam dia meninggalkan gadis itu di ruang tunggu. Malam pun sudah semakin larut, padahal besok pagi mereka harus berangkat ke bandara selepas subuh.
"Kang. Saya pamit pulang. Besok saya harus kembali ke Jakarta. Sampaikan permohonan maaf pada Yu Hikmah."
"Kamu tidak menunggu sampai Hikmah sadar?"
Azim menggeleng. "Ada tanggung jawab yang harus saya tunaikan. Lagipula ... mungkin lebih baik saya tak ada di sini ketika Yu Hikmah sadar."
Jalu membalas dengan anggukan kepala.
"Kalau Kang Jalu butuh bantuan saya, silakan hubungi saya."
"Iya. Terima kasih, Azim. Aku minta maaf atas perlakuan Cak Agus tadi."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kang. Saya memang pantas menerimanya."
***AmelA***
Azim termangu di teras. Sejak tadi dia belum bisa tidur. Pikirannya masih dipenuhi kilasan singkat percakapan dengan Jalu. Dia tahu keputusannya telah tepat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dia masih mencemaskan keadaan Hikmah.
"Abang sedang apa?" Suara Millie mengagetkan Azim.
Tadi gadis itu hendak ke dapur untuk mengambil minum. Ketika melihat pintu depan tak menutup rapat, dia memutuskan mengintip ke luar. Betapa kagetnya Millie kala melihat Azim duduk terpekur di lincak kayu dekat pintu.
"Enggak ngapa-ngapain, Mil. Lagi enggak bisa tidur," jawab Azim setengah berbisik.
"Tapi kenapa bengong di luar begini? Enggak takut masuk angin? Digigit nyamuk? Dikencingi tikus? Dimakan beruang?" cecar Millie dengan rentetan pertanyaan yang pernah diucapkan Azim ketika melihatnya tidur di taman.
Azim memegang rahangnya yang ngilu karena tertawa terlalu keras. "Anak beruangnya kan lagi tidur di dalam, jadi aman."
Millie ikut tertawa. Senyumnya berhasil menyejukkan hati Azim yang tengah bimbang. Kini tak ada keraguan lagi. Azim mengakui bahwa senyum Millie telah memikatnya. Kini, hatinya telah terikat pada gadis itu.
"Besok kita harus berangkat ke Banyuwangi pagi-pagi lho, Bang. Abang enggak tidur?" tanya Millie sambil mengisi tempat di sebelah Azim. Lincak yang dia duduki berderit pelan.
"Iya. Nanti aku tidur. Aku juga sudah minta tolong Eko buat nyopirin kita ke bandara. Jadi aku bisa tidur sepanjang perjalanan."
"Abang benar baik-baik saja?" Millie masih mengkhawatirkan sang pengawal yang belum juga menceritakan penyebab wajahnya babak belur seperti itu.
Azim memiringkan kepalanya hingga jatuh ke bahu Millie. Gadis itu tak protes. Ditegakkannya badan agar tak terdorong ke samping karena beban tubuh Azim. Meski posisinya saat ini kurang nyaman, Millie membiarkan Azim terus bersandar padanya.
Mata Azim mulai terpejam. Selisih tinggi badannya dengan Millie membuat posisi mereka terlihat aneh. Pinggang Azim sedikit tertarik karena tubuhnya terlalu condong ke kiri. Walaupun begitu, ada rasa nyaman yang menjalar melalui permukaan kulit pemuda itu. Untuk sementara waktu, Azim dapat melupakan hal-hal yang sejak tadi memusingkannya.
"Asalkan ada kamu, aku akan selalu baik-baik saja, Mil."
Azim tersentak. Dia segera menarik kepalanya dari pundak Millie. Sepertinya karena terlalu lelah, tanpa sadar Azim mengucapkan kalimat tadi dengan keras. Wajahnya memerah. Pemuda itu tak berani menatap Millie yang duduk di sampingnya.
"Aku juga merasa begitu, Bang. Kalau bersama Bang Azim, seberat apapun masalah yang kuhadapi, aku yakin semuanya akan baik-baik saja."
Biasanya Azim adalah orang yang penuh pertimbangan. Malahan terlalu banyak pertimbangan. Begitu lambat dalam mengambil keputusan. Apalagi untuk suatu hal sebesar pengakuan cinta. Namun, otak Azim telah begitu lelah, sehingga hatinya lah yang mengambil kendali.
Kalimat itu telah berada di ujung lidah. Dalam satu gerakan bibir, akan meluncur keluar dan tidak bisa ditarik lagi. Bibir Azim sudah setengah terbuka ketika terdengar suara cicitan tikus. Mata Azim nyalang memeriksa sekeliling untuk memastikan sumber suara. Konsentrasinya buyar seketika, lupa akan kalimat yang hendak dia ucapkan. Pemuda itu langsung bangkit dari duduknya.
"Mil. Ayo masuk!" Azim menarik tangan Millie. Sungguh dia benci hewan pengerat menyebalkan itu.
Millie mengikuti Azim sambil menutupi mulut untuk menyumpal tawa. Menurut Millie, wajah panik Azim tadi sungguh lucu. Ternyata pengawalnya itu benar-benar takut tikus.
Azim segera mengunci pintu. Dia terus berdoa dalam hati, semoga suara tikus tadi tidak berasal dari dalam rumah. Apalagi dia harus tidur di kasur lantai karena kamarnya ditempati Millie. Azim tak ingin kejadian digigit tikus terulang lagi.
"Sudah sana tidur lagi!" Pemuda itu mengusir Millie kembali ke kamar. "Aku juga mau coba tidur, mumpung belum subuh."
Sebenarnya Millie ingin meledek Azim, tetapi tak tega. Wajah pengawalnya itu terlihat begitu lelah. Azim butuh tidur, meski hanya selama beberapa jam. Selain itu, Millie perlu mengatur irama jantungnya yang berdetak tak terkendali sejak tadi.
Begitu menutup pintu kamar, Millie melemparkan tubuhnya ke kasur. Dia mengambil bantal dan membekapkannya ke mulut. Gadis itu berteriak tanpa suara dari balik bantal.
Saat duduk berdua dengan Azim di teras tadi, nyaris saja dia keceplosan meminta Azim menemaninya seumur hidup. Bukankah itu seperti sebuah pernyataan cinta? Millie belum siap menerima kenyataan bila Azim tak merasakan hal yang sama terhadapnya. Dia takut Azim tak nyaman dan justru memilih pergi jika tahu Millie menyimpan harapan yang lebih terkait masa depan mereka berdua.
Belum. Belum saatnya. Millie merasa harus memastikan lagi perasaan Azim. Apabila cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, lebih baik Millie menyimpan rahasianya rapat-rapat.
***AmelA***
"Abbeh! Mak tedung pole reh?" (Lho, kok tidur lagi ini?) Suara Eko mengusik tidur Azim. Selepas kembali dari surau, Azim memang merebahkan tubuh lagi. Tubuhnya terasa remuk. Efek pukulan Agus semalam baru terasa olehnya ketika bangun subuh tadi.
"Majuh mangkat, Zim! Ca'en kol sanga' kodhu badah e bandara?" (Ayo berangkat, Zim! Kata kamu jam sembilan sudah harus ada di bandara?)
Azim terpaksa bangun. Wajahnya terlihat kusut. Kedua tangannya terangkat ke atas. Pemuda itu mencoba meregangkan otot tubuhnya yang kaku.
"Hihihi. Akhirnya si Abang bangun. Cuci muka sana. Bau iler tauk!" ejek Millie yang entah sejak kapan berdiri di samping Eko.
Azim memicingkan mata ke arah Millie. Pemuda itu menatap Millie sebal. "Enak aja. Aku kalau tidur enggak ileran kayak kamu!" sergahnya. Kurang tidur membuat Azim uring-uringan.
Millie menghampiri Azim dan berjongkok di depannya. Gadis itu menyentuh pipi sang pengawal dengan telunjuk. "Masak? Ini apa?" Gadis itu beralih menunjuk bantal yang tadi dipakai Azim. "Itu apa? Memang motif sarung bantalnya kayak begitu?" tanya Millie sambil terus terkikik geli.
Azim mengusap kedua pipinya dengan kasar lalu menyentuhkan telapaknya ke pipi Millie. "Sekarang kamu juga bau iler. Cuci muka sana!" balas Azim dengan tertawa.
"Abang! Aku tuh sudah mandi, sudah pakai skincare!" protes Millie sambil menarik tubuhnya mundur.
Decakan lidah Eko membuat Azim dan Millie menoleh. "Ternyata begini ya rasanya jadi obat nyamuk. Mana aku harus nyopirin kalian sampai Banyuwangi pula. Bakal jadi obat nyamuk sepanjang perjalanan lah ini."
Eko menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi yang sengaja dibuat serius. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas ketika melihat wajah Azim dan Millie tersipu mendengar sindirannya.
"Aku mau cuci muka dulu ke kamar mandi." Millie melengos. Berusaha kabur untuk menyembunyikan wajahnya yang telah menjelma semerah tomat.
Azim buru-buru berdiri. "Eh! Aku kebelet pipis, Mil. Kamu cuci muka di pinggir sumur aja!" Dia berusaha menyusul Millie ke belakang.
Eko melepas kepergian Azim dan Millie dengan gelak tawa. Pemuda itu girang karena berhasil membuat sahabatnya salah tingkah.
"Badah apah mak enger, Ko?" (Ada apa kok ramai, Ko?) tanya Lis yang masuk dari pintu depan. Dia baru kembali dari warung tetangga untuk membeli gula.
"Biasah, Buk. Pasangan anyar," jawab Eko sambil cengar-cengir.
"Aamiin," gumam Lis menganggap gurauan Eko sebagai salah satu bentuk doa.
"Azim sudah lama enggak pernah seceria itu ya, Buk?" tanya Eko. Matanya ikut mengamati pintu dapur seperti yang Lis lakukan.
Wanita paruh baya itu mengangguk. "Kalau mereka berjodoh, ibuk senang sekali. Tapi apa mungkin ya, artis seperti Ana mau dengan laki-laki desa seperti Azim?"
***AmelA***
"Hahaha ... Seriusan, Cak? Terus respon petugas polisinya gimana?"
Gelak tawa Millie membangunkan Azim yang tertidur. Gadis itu menyuruh sang pengawal menempati kursi tengah agar bisa merebahkan diri, sementara Millie duduk di samping Eko yang bertugas sebagai sopir.
"Ya terus dilepasnya aku, Mil. Percaya aja dia sama aku. Lumayan lah bisa hemat duit, ga jadi ketilang polisi."
Gaya bicara Eko yang sangat kental dengan logat Madura membuat Millie kembali tertawa.
"Eh, Bang. Maaf, kami berisik ya? Sampai Abang kebangun?" Millie menolehkan kepalanya ke belakang saat menyadari Azim yang telah mengubah posisinya.
Pemuda itu menggeleng pelan. "Enggak kok. Bukan kebangun karena suaramu. Kebangun gara-gara si Eko ini, nyetirnya enggak karuan."
"Lah. Sudah dibantuin, protes pula! Gini nih, Mil, bodyguard-mu itu memang kadang enggak tahu terima kasih. Padahal aku sampai batalin janji jalan-jalan sama Lulu lho, demi nganterin kalian ke bandara," balas Eko.
"Berarti Cak Eko enggak ikhlas nganterin aku ke bandara?" timpal Millie dengan suara manja.
Eko terbahak dengan keras. "Ya kalau kamu aku ikhlas, Mil. Yang di belakang tuh, aku enggak ikhlas. Masak dah dibantuin malah aku dicemberutin kayak gini. Coba lihat tuh!"
Millie melirik ke belakang. "Iya, Cak. Memang gitu tuh kadang. Tiba-tiba uring-uringan enggak jelas. Mana galak banget lagi orangnya." Gadis itu sengaja meledek Azim, mumpung ada sekutu yang dapat diajak kerja sama.
Azim tak menjawab. Dia terus mengawasi tindak-tanduk kedua rekan perjalanannya itu. Entah kenapa rasa sebalnya meningkat dua kali lipat melihat Millie dan Eko begitu akrab.
"Yah untunglah ada kamu. Minimal kalau lihat wajahmu yang manis, rasa sebalku ngelihat wajah Azim langsung luntur."
"Ah, Cak Eko ini bisa aja. Ternyata jago ngegombal juga ya," ujar Millie sambil menepuk lengan Eko pelan.
"Stop, Ko! Berhenti dulu di sini!" perintah Azim tegas.
Eko langsung menginjak pedal rem dan menepikan mobil ke bahu jalan. Dia menatap Azim dengan heran. Di kiri-kanan mereka hanya ada kebun kopi, tidak ada warung atau semacamnya.
"Kenapa, Zim?" tanya Eko kebingungan.
Azim tak menjawab. Pemuda itu malah turun dari mobil dan menarik pintu di sisi Millie hingga terbuka.
"Kamu pindah ke belakang aja. Biar aku yang di depan!" suruh Azim.
"Lho? Kenapa, Bang? Aku enggak perlu rebahan kok. Enggak ngantuk. Enak di depan begini."
"Aku mau ganti suasana. Gantian. Kamu yang di belakang sekarang."
Millie memanyunkan bibir, tetapi diturutinya juga perintah Azim. Setelah membereskan beberapa barangnya, gadis itu turun dan bergeser ke kursi tengah.
Azim langsung mengisi kursi kosong yang ditinggalkan Millie.
Eko tertawa geli. Melalui spion tengah, dilihatnya Millie memasang earphone ke telinga sambil asyik mengamati layar ponsel. Gadis itu lanjut menonton serial film favoritnya.
"Kalau cemburu, bilang aja, Zim! Enggak perlu marah-marah," celetuk Eko dengan seringai lebar di bibirnya.
"Sembarangan! Aku cuma bosan di belakang," kelit Azim dengan bersungut-sungut.
"Masak kejadian sama Yu Hikmah enggak kamu jadiin pembelajaran sih. Gara-gara kamu cemen enggak cepat bilang kan, sampai repot begini jadinya? Jangan sampai terulang dua kali, Zim. Aku lihat Millie juga suka tuh sama kamu." Eko menasihati.
Azim melirik ke belakang, memastikan Millie tak menguping pembicaraan mereka.
"Emang anaknya manja begitu. Bukan karena dia suka sama aku. Aku sadar diri lah, Ko. Millie siapa, aku siapa. Enggak mungkin lah dia suka sama aku."
"Hadeh! Nih anak, ngeyel bener kalau dikasih tahu. Percaya deh sama aku. Cara manjanya ke kamu itu beda."
Jujur saja, Azim merasa senang jika apa yang dikatakan Eko benar, tetapi dia tak berharap banyak. Dunia mereka begitu berbeda. Jika diibaratkan kisah negeri dongeng, Azim hanyalah rakyat jelata, sementara Millie bagian dari kalangan bangsawan kasta tertinggi.
"Aku enggak berharap banyak, Ko. Aku cuma pingin jagain dia, bantuin dia. Memastikan Millie aman, selamat, berhasil meraih cita-citanya. Itu sudah cukup buatku."
"Halah! Cemen banget sih, Zim. Kalau memang sayang, perjuangin lah! Urusan jodoh apa enggak belakangan dipikirinnya. Serahkan ke Gusti Allah. Jangan sampai menyesal belakangan, Zim!"
"Bang! Hape abang ada sinyalnya enggak?"
Azim dan Eko tersentak ketika mendengar suara Millie. Mereka kompak mengamati ekspresi Millie melalui spion. Keduanya langsung mengembuskan napas lega ketika melihat ekpresi Millie yang datar. Sepertinya gadis itu tak mendengar percakapan mereka.
"Enggak ada juga, Mil. Di sini memang susah sinyal."
Millie mendengkus kesal. Episode selanjutnya dari serial yang sedang dia tonton belum sempat diunduhnya. Gadis itu menaikkan kaki ke kursi dan memejamkan mata.
"Kalau sudah nyampe, bangunin ya Bang!" pesan Millie sebelum menenggelamkan diri ke alam mimpi.
***AmelA***
"Zim, Millie, bangun! Haduh, kalian berdua tega ya. Aku nyetir enggak ada yang nemenin ngobrol, malah pada tidur semua," omel Eko sambil mengguncang tubuh sahabatnya.
Azim terperanjat bangun. Ternyata mereka telah tiba di parkiran Bandara Blimbingsari. Pemuda itu buru-buru mengeluarkan ponsel untuk menelepon orang suruhan travel yang menyewakan mobil padanya.
"Mil. Millie. Bangun. Kita sudah sampai. Sudah jam sembilan lewat, harus segera check in ke dalam."
Millie menggeliat. Dia mengucek matanya untuk mengusir kantuk. Tangannya meraih ponsel untuk melihat jam. Terlihat beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Janine. Belum sempat Millie memeriksa isinya, Azim telah membuka pintu mobil dan mulai menurunkan barang. Karena harus mengembalikan mobil pada pihak travel, mereka terpaksa turun di parkiran, bukan di tempat drop off penumpang.
"Mil. Orang travelnya dah datang. Yuk turun, kita juga harus buru-buru lapor ke dalam."
Millie melompat dari mobil. Dia berniat menelepon Janine ketika sudah di dalam bandara saja. Pesawat yang akan dia tumpangi dijadwalkan terbang pukul 10.15, mereka harus bergegas masuk dan melapor pada petugas.
"Makasih ya, Ko. Hati-hati di jalan," ucap Azim sembari memeluk sang sahabat. Kunci mobil telah dia serah terimakan pada pihak travel.
"Hati-hati juga, Zim. Kabari kalau sudah sampai Jakarta ya."
"Makasih, Cak Eko. Sampai ketemu lagi."
Millie mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Eko, tetapi Azim langsung menyambar telapaknya.
"Ayo, Mil. Harus buru-buru ke dalam." Azim menarik tangan Millie untuk bergegas menuju gerbang keberangkatan.
Eko tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tingkah sahabatnya. Dia membalas lambaian tangan Millie dengan senyum lebar.
"Abang. Pelan-pelan, ah! Kakiku kan masih agak sakit."
Azim memperlambat langkahnya.
"Siapkan softcopy boarding pass dan KTP-mu, Mil. Ini KTP-ku, kamu yang tunjukin ke petugas ya. Aku biar ngurusin barang bawaan."
Millie menerima KTP yang disodorkan Azim dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya sibuk memeriksa riwayat percakapan dengan Janine, mencari screenshot boarding pass yang telah dikirimkan sang asisten.
Langkah Millie terhenti ketika membaca isi pesan Janine yang baru dibukanya. Matanya membelalak ketika menonton tautan video yang dikirimkan Janine. Potongan video perkelahian Azim semalam tersebar di internet. Foto candid Millie saat keluar dari ruang tunggu rumah sakit dan menunggu di dalam mobil viral di berbagai aplikasi sosial media.
"Bang, mungkin kita harus-"
Millie terlambat memperingatkan sang pengawal. Segerombolan orang langsung mengepung Azim dan Millie. Sebagian dari mereka membawa kamera, ada juga yang mengacungkan ponsel atau alat perekam suara.
"Azim. Apa benar kemarin Anda terlibat perkelahian?"
"Siapa pria yang kemarin berkelahi dengan Anda?"
"Apa penyebab perkelahian Anda semalam?"
"Sebenarnya ada hubungan apa Anda dengan Millie?"
"Sudah sejak kapan kalian pacaran?"
"Benarkah kalian berencana menikah?"
"Kenapa diam-diam berkunjung ke Jember, Millie?"
"Millie, apa reaksi calon mertua ketika ketemu kamu?"
=================
Jangan lupa votenya ya kakak. Terima kasih sudah membaca
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top