13 - Hati yang Cedera

"Ana beneran mau ikut ibuk belanja ke pasar?" tanya Lis dari pintu kamar.

Millie tengah menyemprotkan parfum ke baju yang dikenakannya. Sebenarnya dia ingin mandi dulu, tetapi air sumur yang sedingin es membuatnya mengurungkan niat. Mandi air hangat justru akan membuatnya menggigil ketika selesai. Millie pun menuruti saran Azim untuk berganti baju saja.

"Sini ibuk kepangin rambutmu." Lis menawarkan diri ketika melihat Millie lagi-lagi mengikat rambutnya secara sembarangan.

"Nanti merepotkan ibuk," jawab Millie sungkan.

Lis tersenyum lembut. "Enggak ngerepotin kok. Ibuk malah seneng, dari dulu tuh pingin banget punya anak perempuan. Biar bisa didandani. Tapi Allah ternyata menakdirkan hanya Azim yang lahir dari rahim ibuk."

Millie membiarkan Lis menyisir rambutnya. Sudah banyak hairdresser yang pernah menata rambut Millie. Namun, sentuhan Lis berbeda. Millie merasakan kehangatan di setiap sentuhan jemari Lis.

Lis mengikat kepangan di sisi sebelah kiri dengan karet. Kini dia beralih ke sisi kanan. "Rambutmu halus. Jadi mudah dikepang," puji Lis.

Millie mematut diri di cermin. Hasil kepangan Lis begitu rapi, tak kalah dari para penata rambut profesional.

'Terima kasih, Buk."

"Ibuk yang terima kasih. Sudah lama ibuk tidak mengepang rambut orang. Rasanya kayak nostalgia waktu Azim kecil. Dulu waktu Hikmah belum menikah, rambut dia yang sering ibu kepang."

"Hik-mah?" Millie tak berhasil menyembunyikan rasa penasarannya.

"Millie. Sudah siap belum? Ayok sebelum pasarnya keburu ramai," panggil Azim dari luar kamar.

Millie dan Lis kompak berdiri. Lis lebih dulu keluar kamar. Setelah menyambar kacamata andalannya, Millie menyusul. Begitu dia sampai ruang tamu, Azim melemparkan sweater tebal, tepat mengenai muka Millie.

"Lupa bawa jaket tebal kan? Nih pakai biar enggak masuk angin," suruh Azim.

Millie mengerucutkan bibir, tetapi tetap dilaksanakannya juga perintah Azim. Suhu udara memang sedang rendah-rendahnya.

Begitu sampai mobil, Millie mengambil tempat di kursi tengah. Kursi di samping Azim telah diisi oleh Lis. Gadis itu memandangi punggung sang pengawal dengan bingung. Sejak pagi tadi sikap Azim padanya terasa dingin. Sedingin udara pagi itu.

Dari pada menyimpan dongkol, Millie memutuskan menikmati pemandangan sawah dari jendela mobil. Ditempelkannya pipi ke kaca yang berembun.

Berkas cahaya matahari pelan-pelan mengusir gelap malam. Hamparan padi yang mulai menguning, berpadu dengan langit kemerahan, sungguh indah bagai lukisan. Millie menurunkan kaca jendela agar dapat lebih bebas menghirup kesejukan udara pagi.

Tak bisa menahan diri, Millie akhirnya menjulurkan satu tangan keluar jendela, seakan memberi salam pada pagi yang menjelang.

"Millie! Bahaya! Jangan keluarin tangan dari mobil!" hardik Azim dari kursi pengemudi ketika melihat aksi Millie dari spion.

Buru-buru Millie menarik tangannya masuk, sampai sikunya tak sengaja membentur sudut jendela. Gadis itu mengaduh pelan.

"Tuh kan. Aku bilang juga apa. Bandel banget sih," ketus Azim dengan suara pelan, tetapi Millie tetap dapat mendengarnya.

"Sabar, Zim. Enggak perlu marah-marah." Lis mengusap bahu sang putra.

Millie menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Entah kenapa sejak pengawalnya itu kembali dari surau, sikapnya begitu menjengkelkan. Padahal Millie telah meminta maaf karena membangunkan Azim dini hari untuk menemaninya ke kamar mandi.

Azim melirik Millie dari spion. Ada rasa bersalah yang hinggap di hati pemuda itu. Tak seharusnya dia melampiaskan kekesalan pada Millie. Gadis itu tak salah apa-apa.

Sebenarnya Azim merasa kesal pada dirinya sendiri karena belum bisa mengusir bayang-bayang mimpi semalam. Padahal dini hari tadi Azim telah mengguyur kepala dengan air begitu Millie kembali ke kamar. Dia juga kabur ke surau untuk mencari kesibukan lain, mengobrol dengan pengurus surau yang dulu pernah menjadi guru mengajinya.

Bayang-bayang itu sempat hilang ketika Azim menyapa para tetangga yang dia temui di surau saat jamaah subuh. Akan tetapi, ketika pulang dan melihat wajah Millie lagi, perhatiannya tetap tak bisa lepas pada bibir Millie. Hal itu membuatnya uring-uringan sejak tadi.

***AmelA***

Setelah mengantar kedua orang tua serta rantang-rantang berisi makanan untuk para pekerja sawah, Azim kembali ke rumah untuk menjemput Millie. Gadis itu baru berani mandi ketika matahari telah agak tinggi. Sudah dua puluh menit Azim menunggu, tetapi Millie belum juga keluar kamar. Azim pun memutuskan menunggu di teras rumah.

"Woi, Zim! Pulang kok enggak bilang-bilang?" Sebuah suara yang sangat familier menyapanya.

Tampak Eko memanjat jalan setapak menuju rumah Azim. Seringai sang sahabat langsung memancing terbitnya senyum Azim. Mereka berpelukan sekilas.

"Kok tadi pagi enggak ketemu di langgar (surau), Ko?" tanya Azim.

"Kesiangan, hehehehe." Eko terkekeh sembari menggaruk belakang kepala.

"Ngomong-ngomong, Kamu sudah berani bawa cewek ya sekarang! Syukurlah kalau kamu sudah berhasil ngelupain Yu Hikmah," celetuk Eko sambil meninju pelan lengan sahabatnya.

Azim menggeleng pelan. "Dia majikanku, Ko."

Eko melongo ketika mendengar penuturan Azim. Matanya membelalak dan mulutnya terbuka lebar. "Majikanmu bukannya Millie yang artis itu?"

Anggukan kepala Azim membuat dagu Eko semakin jatuh ke bawah. "Ngapain dia ikut ke sini?"

Azim langsung menarik tubuh sahabatnya menjauh. Khawatir Millie tiba-tiba muncul dan melihat tingkah norak Eko. "Lagi mau rehat dari dunia keartisan. Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa, Ko."

"Iyeh-iyeh. Tang colok re kening eparcajah." (Iya-iya. Mulutku ini bisa dipercaya.)

"Sengak lho! Engko' gun acereta ka ba'na. Jha' sampek oreng laen taoh!" (Awas lho! Aku hanya cerita ke kamu. Jangan sampai orang lain tahu.)

Eko tergelak. "Iyeh-iyeh. Aman la Zim. Parcajah bi' engko'. Tapi ... aku boleh minta tanda tangan Millie kan?"

"Boleh, Mas."

Kedua pemuda itu terperanjat ketika mendengar suara Millie. Ternyata gadis itu berdiri di belakang mereka sejak tadi.

"MasyaAllah. Subhanallah. Aslinya lebih raddhin (cantik) dari yang di tivi." Eko terpukau melihat Millie.

Azim langsung mengusapkan tangan ke wajah sahabatnya dengan jengkel. "Jha' dus-nudosin engko', Ko," (Jangan malu-maluin aku, Ko!) bisik Azim gemas.

Eko tak memedulikan sang sahabat. Dia mengulurkan tangan untuk mengajak Millie bersalaman.

"Perkenalkan. Saya Eko Samsudin. Panggil aja Cak Eko," ucap Eko sambil cengengesan.

"Millie. Tapi selama di sini tolong panggil saya Ana." Millie tersenyum ramah dan balas menjabat tangan pemuda sepantaran Azim itu.

Entah kenapa Azim merasa sebal melihat cengiran sahabatnya ketika bersalaman dengan Millie, seperti sengaja mencari perhatian. Azim buru-buru memutus jabat tangan mereka.

"Sudah. Ayo. Kamu mau ikut ke sawah, enggak?" tanya Azim ketus.

"Eh sebentar, Bang! Pintunya belum kukunci." Millie berlari kembali ke rumah.

Eko mengacungkan kedua jempolnya ke atas. "Raddhin, Zim."

Azim mendengkus kesal. "Sudah sana! Nanti kamu telat ke pabrik," usirnya.

"Ga perlu lah cemburu, Zim. Aku cuma ngefans saja sama Millie. Kan hatiku sudah ada yang punya. Millie buat kamu sajalah! Biar enggak mikirin istri orang terus." Eko cengar-cengir sambil menaik-turunkan alis, sengaja menggoda sang sahabat.

Melihat ekspresi Azim yang sudah seperti akan menelannya bulat-bulat, Eko langsung berlari turun. Tangannya melambai tinggi-tinggi.

Millie terlihat masih berkutat dengan pintu. Pemuda itu pun terpaksa menghampiri. Lubang kunci pintu depan memang sudah agak berkarat, perlu teknik khusus untuk menguncinya.

"Bukan begitu caranya." Azim berusaha mengambil alih kunci.

Millie terlalu fokus berusaha memutar anak kunci hingga tak menyadari Azim telah berdiri di belakangnya. Gadis itu kaget dengan sentuhan Azim yang tiba-tiba. Kakinya refleks melangkah mundur hingga hilang keseimbangan di undakan teras. Untung saja Azim tepat waktu menangkap tubuh gadis itu.

"Ya ampun, Millie. Hati-hati dong!" omel Azim sambil membantu Millie kembali berdiri tegak.

"Maaf, Bang. Maaf. Aku kaget tadi," ucap Millie dengan kepala tertunduk.

"Sudah sana tunggu di bawah! Biar aku yang ngunci."

Millie melangkahkan kaki dengan wajah ditekuk. Kini suasana hatinya jadi ikutan buruk karena sudah dibentak untuk kesekian kali oleh sang pengawal.

***AmelA***

"Itu calon istrimu, Zim?" tanya salah seorang pekerja yang ikut mengaso di sebelah Azim.

"Aamiin. Doakan saja, Pak," jawab Azim sesuai skenario sandiwara yang telah disepakati dengan Millie.

"Anak kota ya? Dari tadi terlihat semangat sekali bertanya ini-itu, bahkan tadi mau nyobain mesin bajak, untung dicegah ibumu." Pria itu terkekeh. Pembawaan Millie yang ceria dan ramah memang menjadi hiburan tersendiri bagi para buruh tani yang bekerja pada keluarga Azim hari itu.

Azim mengamati Millie yang tengah asyik memanen kacang panjang. Ayah Azim memang senang memanfaatkan area kosong di pematang sawan untuk bertanam sayur-sayuran.

"Semoga jodoh ya, Zim. Kelihatannya dia anak baik-baik." Pria itu kembali berdiri. Ditepuknya pundak Azim dua kali.

Tawa Azim mengudara. Dia sedang menertawakan dirinya sendiri. Saat mendengar doa pria tadi, tiba-tiba secercah harap muncul di hatinya. Tiba-tiba Azim ingin mengamini doa itu setulus hati, meski dia sadar diri, siapa dirinya dan siapa Millie.

Pemuda itu tertawa pelan ketika melihat Millie yang kini asyik bermain keong. Hal-hal yang terlihat biasa di mata anak desa seperti Azim, ternyata luar biasa bagi Millie yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke sawah.

Azim berdiri dan memutuskan berjalan ke sungai. Mungkin gemericik air dapat menenangkan pikirannya. Millie yang melihat Azim menyusuri pematang sawah ke arah sungai langsung berusaha mengejar.

"Abang! Abang mau ke mana? Tungguin! Aku ikut!" teriak Millie tanpa peduli bahwa orang-orang di sekelilingnya memperhatikan.

Azim pura-pura tak mendengar. Berharap Millie akan menyerah dan kembali bermain dengan keong-keong sawah seperti tadi. Pemuda itu sedang butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikirannya. Dia butuh waktu sejenak menjauh dari sang sumber kegalauannya hari itu.

"Abang! Tungguin!" Suara Millie terdengar semakin mendekat.

Ah, Azim lupa kalau gadis itu lebih keras kepala darinya. Dia pun menoleh dan memperingatkan Millie, "Jangan lari-lari begitu! Hati-hati! Nanti kamu jatuh!"

Baru saja Azim mengatupkan mulut, hal yang dia takutkan benar terjadi. Millie terpeleset dan jatuh dari pematang yang agak tinggi. Azim langsung melompat panik menghampiri gadis itu. Jantungnya serasa copot. Lagi-lagi dia merasa gagal menjalankan tugas.

"Mil! Kamu enggak apa-apa?" Azim bertanya dengan cemas. Diperiksanya wajah dan tangan Millie yang kini belepotan lumpur.

"Ana? Ana? Kamu enggak apa-apa?" Lis bertanya dari atas pematang. Wajahnya terlihat tak kalah khawatir. Beberapa pekerja ikut melongokkan kepala ke arah Millie.

"Enggak apa-apa, Buk. Tadi saya kurang hati-hati saja." Millie tersenyum lebar untuk meyakinkan Lis.

"Beneran enggak apa-apa?" Azim mengulang pertanyaaannya setelah sang ibu kembali mengawasi pekerja.

Tanpa mendengar jawaban dari Millie, Azim langsung tahu kalau tadi gadis itu berbohong. Air mata Millie kini mengalir, tumpah membasahi pipi. Dia tidak baik-baik saja.

"Pergelangan kakiku sakit, Bang," tutur Millie dengan suara lirih agar yang lain tidak mendengar tangisannya.

Azim memeriksa kaki Millie. Rahmat sudah memperingatkan bawah kaki kiri Millie rentan cedera semenjak gadis itu pernah jatuh dari panggung. Azim begitu menyesal tak benar-benar mengawasi Millie seperti pesan Rahmat. Wajah galak Janine tiba-tiba membayang. Asisten Millie itu pasti berang jika mengetahui Millie terluka gara-gara kecerobohan Azim.

"Sakit banget?"

Millie mengangguk.

"Bisa berdiri?"

Gadis itu mengangguk sekali lagi. Dia mencoba berdiri dengan berpegangan pada lengan sang pengawal. Millie membebankan sebagian besar berat tubuhnya ke kaki kanan.

"Bandel sih! Dibilangin jangan lari-larian di sawah, ngeyel!" Azim mengusap jejak lumpur di pipi Millie, tetapi justru membuat wajah gadis itu semakin belepotan.

"Habisnya Abang dipanggil enggak dengar! Takut abang keburu jauh," sahut Millie dengan mata yang masih berkaca-kaca.

"Tadi aku mau ke sungai. Kebelet pipis. Masih mau ikut?"

Wajah Millie sontak memerah. "Ya bilang kek! Kan kalau abang bilang aku enggak perlu ngejar-ngejar kayak tadi."

Gadis itu berusaha kabur dari Azim, tetapi langkahnya terhenti ketika kaki kirinya menjejak tanah. Millie meringis saat merasakan nyeri menjalar dari pergelangan kakinya yang terkilir.

Azim menekuk kaki dan berjongkok di depan Millie. "Sini aku gendong sampai atas. Daripada kakimu makin bengkak. Aku bisa dicincang Janine kalau dia sampai tahu kamu terluka."

"Aku janji enggak ngadu ke Kak Janine, tapi ... belikan aku pentol tusuk yang kemarin."

"Iya. Baru sekarang aku tahu kalau anak beruang doyan pentol tusuk," ledek Azim. "Ayo cepat naik, Mil! Pegel nih jongkok begini terus!"

Millie buru-buru melingkarkan lengan ke leher sang pengawal. Azim menahan lutut Millie dengan tangan agar gadis itu tak merosot dari gendongannya.

"Ya ampun. Cak Ajim. siang-siang sudah berani gendong-gendongan sama calon istri," Salah satu pekerja bersiul menggoda ketika mereka melintas. Membuat pekerja lainnya ikut menoleh dan memperhatikan anak sang pemilik sawah.

"Buk Lis. Jadi kapan nih saya terima undangan? Ajim sudah enggak sabar pingin cepat kawin tuh." Pekerja lain ikut meledek.

"Buk. Saya pulang dulu. Kaki Ana terkilir tadi. Nanti saya balik lagi buat jemput Ibuk." Azim berusaha tak menghiraukan ledekan para pekerja itu.

"Iya. Hati-hati. Ada minyak gosok di meja ibuk. Nanti balur kaki Ana pakai itu dulu," pesan Lis sebelum putranya pergi.

Azim mengangguk hormat pada para pekerja yang tengah beristirahat. Tak ada lagi yang berani menggoda Azim dan Millie ketika Dirman mendekat. Namun, wajah Millie sudah terlanjur memerah. Dia menyembunyikan mukanya di balik pundak sang pengawal.

***AmelA***

Setelah Millie membersihkan diri, Azim membalurkan minyak gosok ke pergelangan kaki gadis itu seperti saran sang ibu.

"Dah. Istirahat saja di kamar. Jangan banyak gerak. Kalau nanti sore tidak bengkak, kita coba bawa ke tukang urut," ujar Azim sambil meletakkan botol minyak gosok ke atas nakas.

"Abang mau ke mana?"

"Kembali ke sawah lah. Jemput ibuk. Apa kata orang nanti kalau mereka tahu kita berduaan di rumah begini?"

"Kan kita enggak ngapa-ngapain juga, Bang," timpal Millie dengan wajah polos.

"Kamu yakin aku enggak bakal ngapa-ngapain kamu? Rumah ini terpencil lho, enggak bakal ada yang dengar kalau ...."

Millie buru-buru menutup telinga. "Abang! Sudah enggak usah dibahas. Sana jemput ibuk cepat. Aku mau ditemenin ibuk aja, bukan Abang."

Azim keluar kamar dengan senyum lebar. Selalu ada kepuasan tersendiri tiap kali dia berhasil mengerjai gadis itu.

Beberapa menit kemudian, Azim kembali dengan seteko air dan gelas kosong di tangannya. "Nih, kalau kamu haus biar enggak repot-repot ke dapur. Jadi anak manis dan jangan turun dari tempat tidur!" pesan Azim sekali lagi sambil meletakkan gelas dan teko itu di nakas.

"Aku pergi dulu ya, Anak beruang!"

"Jangan lama-lama. Aku takut sendirian di sini!"

"Iya-iya, Bawel!" Tangan Azim mengusap rambut Millie sekilas sebelum keluar kamar.

Rumah mendadak sunyi selepas kepergian Azim. Millie berusaha mengusir rasa takut dengan berselancar di sosial media. Sejauh ini tak ada yang curiga bahwa Millie belum kembali ke Jakarta. Janine mengunggah stok video lama ke akun sosial media Millie sesuai rencana. Orang-orang mengira gadis itu tengah bersantai di rumah mewahnya.

Mata Millie mulai terasa berat. Pandangannya tak lagi fokus pada layar ponsel. Millie akhirnya memutuskan merebahkan diri agar tidurnya lebih nyaman.

Belum sampai Millie terlelap, suara ketukan pintu mengagetkannya. Samar-samar didengarnya seseorang mengucap salam.

Millie mendorong tubuhnya duduk. Bingung apa yang harus dilakukan. Sudah tiga puluh menit, tetapi Azim belum kembali juga. Di rumah itu, hanya ada dirinya seorang.

"Assalamualaikum!" Suara itu semakin jelas, diiringi ketukan pintu yang semakin keras.

Sambil berpegangan ke pinggir tempat tidur, Millie akhirnya menjejakkan kaki. Millie memberanikan diri melangkah dengan memusatkan beban ke kaki kanan. Dia melipir ke pintu depan dengan terus berpegangan pada dinding.

"Assalamualaikum."

Kini Millie yakin bahwa orang di balik pintu adalah seorang wanita. Suaranya halus dan lembut.

"Waalaikumsalam," jawab Millie untuk memberitahukan keberadaannya.

"Sebentar ya, Mbak," teriak Millie dari ruang tamu. Untung saja dia menemukan kunci yang dilemparkan Azim lewat jendela. Millie segera memungut anak kunci itu.

"Maaf Mbak, yang lain sedang di sawah. Di rumah cuma ada saya sendiri," sapa Millie begitu berhasil membuka pintu.

Wanita yang berdiri di hadapannya tampak kaget. "Ka-kamu. Kamu Millie kan? Penyanyi itu?"

"Bu-bukan. Saya Ana, tetapi memang banyak yang bilang saya mirip dengan Millie sih, Mbak," jawab Millie sambil berpura-pura tersipu.

"Kamu enggak perlu bohong. Saya tahu kok kalau Azim bekerja ke kamu. Tadi saya hanya kaget kenapa kamu ada di sini. Tidak menyangka kalau seorang artis terkenal terdampar di desa terpencil seperti ini."

Suara wanita itu terdengar ramah, tetapi entah kenapa membuat Millie merasa tak nyaman. Seperti ada sindiran yang sangat halus bersembunyi di balik tutur kata lembut wanita itu.

"Oh. Mbak temannya Bang Azim ya? Bang Azim sedang ke sawah, tetapi mungkin sebentar lagi kembali."

"Ya ... bisa dibilang teman sih. Kalau gitu boleh saya tunggu di dalam?"

Millie memperhatikan wanita itu. Rambut panjangnya tergerai lurus hingga pinggang. Meski hanya menggunakan riasan tipis, wanita itu tampak sangat menawan. Matanya lebar dengan bulu mata yang lentik alami. Gestur tubuhnya juga begitu anggun, menimbulkan kesan dewasa yang tak Millie miliki.

"Bo-boleh, Mbak," jawab Millie ragu.

Baru saja Millie membuka pintu lebih lebar, terdengar suara motor meraung berusaha mendaki tanjakan jalan setapak. Millie dan wanita itu serempak menoleh ke asal suara. Mereka melihat Azim datang berboncengan dengan Lis.

"Lho, Hikmah. Sudah lama?" Lis menyapa wanita yang berdiri di hadapan Millie itu.

"Lumayan, Buk. Kirain enggak ada orang, soalnya enggak ada yang menjawab salam. Pas sudah mau pulang, eh ternyata Dek Millie bukain pintu."

"Ya sudah, ayo masuk Hikmah," ajak Lis sambil mendahului masuk. Wanita paruh baya itu langsung menuju dapur untuk menyiapkan minum bagi tamunya.

"Apa kabar Zim? Kok belum mampir ke rumah juga? Aku tungguin dari pagi lho." Ada bias rindu yang tersirat di mata Hikmah kala menatap Azim.

"Masih belum sempat, Yu. Tadi pagi langsung bantu-bantu di sawah," jawab Azim sopan.

Azim mengalihkan pandangan kepada Millie yang masih berdiri terpaku dengan setengah tubuh bersandar ke pintu. "Kamu kok malah turun dari tempat tidur toh? Kan tadi sudah dibilang istirahat saja, biar kakimu enggak tambah bengkak."

"Abang sih lama. Ada orang ketuk pintu, enggak enak kalau enggak dibukain."

"Tadi beli pentol dulu. Kan kamu yang minta." Azim menyodorkan kantung plastik yang dipegangnya kepada Millie. "Ayo kubantu kembali ke kamar."

"Aku bosan di kamar, Bang. Aku mau duduk di ruang tamu aja," tolak Millie.

Azim membantu Millie duduk. "Aku pergi dulu dengan Yu Hikmah ya. Sudah ada ibuk yang nemenin kamu,"

Lidah Millie tersekat ketika hendak mencegah Azim pergi. Entah kenapa ada perasaan tak rela saat melihat pengawalnya pergi dengan wanita itu. Ngilu di pergelangan kakinya tak terasa lagi. Kini justru berganti denyut nyeri yang merangsek di dadanya.

Meski Azim tak berkata apa-apa. Meski perempuan itu tak berkata apa-apa. Millie seolah bisa menebak bahwa hubungan mereka berdua bukan sekadar teman biasa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top